Bimantara terbangun dengan lemah. Dia terkejut sudah berada di dalam ruangan yang sangat gelap. Dia tidak dapat melihat apapun di dalam ruangan itu yang hanya bisa didengarnya suara tetes air entaha berada di mana. Dia semakin terkejut ketika menyadari sudah tidak berada di dalam kapal layar lagi.“Di mana aku?” tanyanya heran.Tangannya terikat sebuah rantai. Tubuhnya tidak mengenakan selembar kain pun. Bimantara berusaha mengumpulkan tenaga dalamnya untuk melepaskan diri dari ikatan rantai itu. Namun racun di tubuhnya masih menguasai tubuhnya. Berkali-kali dia berusaha melakukannya namun dia tidak berhasil melakukannya.“Kau tak akan bisa lepas dari rantai itu dan tak akan bisa keluar dari kurungan ini wahai penjahat!” ucap seseorang yang tiba-tiba terdengar di telinganya.Bimantara terkejut mendengarnya.“Lepaskan aku! Aku bukan penjahat!” teriak Bimantara.Seseorang itu tertawa.“Kau adalah salah satu perompak yang kerap mencuri kapal-kapal di wilayah kerjaan Suwarnadwipa! Kau har
Bimantara bingung harus bagaimana. Tubuhnya semakin lemah di dalam ruangan gelap dan pengap itu. Yang bisa meruntuhkan mantra penghilang ilmunya dari tempat itu adalah hanya Pedang Perak Cahaya Merah. Namun kini pedang itu telah dicuri oleh Datuk Margi dan kawanannya.Bimantara mencoba menutup matanya. Dia mencoba mengingat-ingat apa yang diajarkan Ki Walang padanya. Namun tak satupun yang bisa menghilangkan mantra pengilang ilmu itu kecuali pedang itu. Ki Walang tidak mengajarkan mantra penghilang ilmu itu padanya dan dia tidak diajarkan cara mengangkalnya.Tiba-tiba dia teringat sebuah perkataan Ki Walang di suatu petang di pinggir laut. Saat itu matahari tengah tenggelam. Mereka baru saja selesai berlatih ilmu bela diri.“Jika pusaka telah ditakdirkan untukmu, maka siapapun yang merebutnya kelak akan tetap kembali padamu,” ucap Ki Walang padanya. Saat itu mereka tengah membahas pedang perak cahaya merah. Kala itu Ki Walang tengah meminta Bimantara untuk melupakan pedang perak cahay
Pedang itu terus terbang menembus awan. Para penduduknya yang berlarian mengejar tampak kelelahan. Mereka akhirnya berhenti karena tak sanggup lagi berlari. Sementara itu, Bimantara masih berusaha memanggil pedang itu di dalam ruangan yang gelap dan pengap itu.“Pedang perak cahaya merah, datanglah padaku jika benar kau ditakdirkan untukku,” gumam Bimantara.Tak lama kemudian dia mendengar suara teriakan kesakitan di luar sana. Bimantara berhenti bergumam. Dia heran ada apa di luar sana. Tak lama kemudian dia mendengar suara ribut para tawanan yang dikurung di dalam penjara.“Ada pedang terbang! Ada pedang terbang!”Bimantara terbelalak mendengar itu. Apakah itu pedang perak cahaya merah? Tanya Bimantara tak percaya. Lalu, tiba-tiba cahaya datang menerangi lorong gelap di hadapan jeruji besi yang mengurung Bimantara. Dia terbelalak tak percaya melihat cahaya kemerahan itu perlahan mendekat padanya. Di bawah nya dia melihat mayat-mayat penjaga tengah terkapar bersimbah darah.“Apakah i
Pendekar kampak itu langsung menyerang Bimantara dengan jurus kampaknya. Bimantara pun melawannya dengan pedang cahaya merah. Kampak dan pedang itu akhirnya beradu hingga terdengar suara besi yang beradu. Tak lama kemudian para perajurit berdatangan mengelilingi mereka berdua.Bimantara terus saja mengeluarkan jurus-jurus pedangnya melawan pendekar kampak itu. Tak lama kemudian kampak di tangan musuhnya itu terhempas dari tangannya. Bimantara pun menendang perut pendekar itu hingga dia terpelanting jauh ke belakang.Para prajurit mengarahkan anak panah masing-masing ke Bimantara yang berdiri di tengah-tengah mereka.“Lepaskan pedangmu dan menyerahlah!” teriak salah satu Panglima yang berdiri di antara barisan para prajurit itu.“Aku tidak akan menyerah!” tegas Bimantara. “Aku bukan penjahat seperti yang kalian kira! Aku bukan perompak! Aku difitnah Datuk Margi! Aku menumpang di kapal layarnya dengan membawa pelakat perak. Kalau kalian tidak percaya, silahkan saja kalian surati kerajaa
Datuk Margi dan ketiga pengikutnya tampak berdiri terkejut di depan gerbang istana saat mendengar obrolan penduduk tentang pemuda sakti yang telah kabur dari penjara. Datuk Margi menedekati dua pemuda yang berbincang itu, diikuti oleh Saruang dan ketiga pendekar lainnya.“Seperti apa pemuda sakti yang kabur dari penjara istana itu?” tanya Datuk Margi penasaran.Dua pemuda itu menoleh heran pada Datuk Margi yang tiba-tiba menyengkar obrolan mereka.“Dia pincang, namun masih bisa berjalan normal. Dia memiliki pedang bercahaya. Sepertinya pedang yang kita lihat terbang di atas langit itu adalah pedang pusakanya,” jawab pemuda itu.Datuk Margi terbelalak mendengarnya. Dia menoleh pada Saruang dan ketiga pendekar lainnya.“Sepertinya Bimantara sudah berhasil kabur dari penjara,” ucap Datuk Margi khawatir.Saruang dan ketiga pendekar itu tampak takut. Mereka takut jika Bimantara akan mencari mereka untuk menuntut balas.“Bagaimana jika dia mencari kita dan membunuh kita semua?” tanya Saruan
Darsa datang dengan kudanya ke hadapan sebuah pondok yang tertinggal. Dia pun turun dari kudanya lalu memasuki pondok itu dengan bingung. Di dalam pondok itu sudah menunggu Pendekar Buruk Rupa, Tama dan Salwa.“Apa dia masih berada di penjara istana?” tanya Pendekar Buruk Rupa yang sekarang sudah menggunakan topeng agar orang-orang tidak curiga padanya dan tidak menimbulkan perhatian penduduk di Suwarnadwipa.Darsa duduk di hadapan mereka dengan bingung.“Dia sudah berhasil keluar dari penjara,” jawab Darsa.Pendekar Buruk Rupa terkejut mendengarnya. Dia pun berpikir.“Berarti kita tidak perlu melanjutkan rencana kita untuk ikut bertarung di dalam kerajaan dengan penyamar sebagai penjahat kerajaan,” ucap Pendekar Buruk Rupa. “Padahal aku sudah senang, selain bisa membawa kepala Candaka Uddhiharta, kita juga akan membawa koin emas ke kerajaan Tala.”“Sekarang apa yang harus kita lakukan?” tanya Tama dengan bingung.Pendekar Buruk Rupa geram mendengar pertanyaan yang menurutnya sangat b
Bimantara masih menatap tajam kedua mata harimau besar di hadapannya. Nenek, Seruni dan pemuda itu saling berpelukan dengan takut.“Pergilah dari sini! Kami tidak mengganggumu dan jangan ganggu kamu” ucap Bimantara pada harimau itu sambil mengarahkan pedangnya.Harimau itu bersuara sangat keras. Ia menatap kancil yang tak berdaya yang diletakkan pemuda itu tadi di atas lantai.“Kau marah karena dia berburu makananmu?” tanya Bimantara.Harimau itu kembali bersuara seolah mengatakan iya kepada Bimantara.Nenek, Seruni dan Pemuda itu tampak heran melihat Bimantara yang seolah bisa bicara dengan binatang buas itu.“Ambilah dan bawalah pergi kancil itu,” pinta Bimantara. “Lalu pergilah dari sini.”Harimau itu pun langsung menggigit kancil yang tak berdaya itu dan membawanya pergi dari sana. Nenek, Seruni dan Pemuda itu tercengan melihat harimau itu menuruti perkataan Bimantara.Nenek pun memukul punggung pemuda itu dengan geram.“Aku sudah bilang jangan berburu terlalu jauh ke dalam hutan!
Bimantara hendak keluar dari persembunyiannya, namun saat itu Nenek itu berkata pada para prajurit yang mencari keberadaannya.“Tidak ada siapapun yang datang ke sini!” jawab nenek itu sambil berjalan keluar menghampiri mereka.Bimantara terkejut mendengar itu. Seruni dan Pemuda itu pun diam saja, mengikuti perkataan nenek yang hendak mencoba melindungi Bimantara. Bimantara bisa saja menyerang mereka, namun dia tidak ingin terjadi pertumpahan darah. Melawan para prajurit itu akan membunuh mereka, karena mereka tak akan menyerah sampai bisa membawa Bimantara kembali ke penjara istana.Para prajurit itu saling menatap. Lalu salah satu dari mereka menatap nenek itu dengan lekat.“Baiklah, jika bertemu dengan orang yang berada di dalam lukisan ini, kau harus hati-hati. Dia penjahat terbesar yang telah merusak penjara istana dan membunuh para prajurit kerajaan,” ucap Prajurit itu lalu menoleh pada teman-temannya. Kemudian mereka pergi dari sana.Saat para prajurit itu menghilang dari hadap