Bimantara masih menatap tajam kedua mata harimau besar di hadapannya. Nenek, Seruni dan pemuda itu saling berpelukan dengan takut.“Pergilah dari sini! Kami tidak mengganggumu dan jangan ganggu kamu” ucap Bimantara pada harimau itu sambil mengarahkan pedangnya.Harimau itu bersuara sangat keras. Ia menatap kancil yang tak berdaya yang diletakkan pemuda itu tadi di atas lantai.“Kau marah karena dia berburu makananmu?” tanya Bimantara.Harimau itu kembali bersuara seolah mengatakan iya kepada Bimantara.Nenek, Seruni dan Pemuda itu tampak heran melihat Bimantara yang seolah bisa bicara dengan binatang buas itu.“Ambilah dan bawalah pergi kancil itu,” pinta Bimantara. “Lalu pergilah dari sini.”Harimau itu pun langsung menggigit kancil yang tak berdaya itu dan membawanya pergi dari sana. Nenek, Seruni dan Pemuda itu tercengan melihat harimau itu menuruti perkataan Bimantara.Nenek pun memukul punggung pemuda itu dengan geram.“Aku sudah bilang jangan berburu terlalu jauh ke dalam hutan!
Bimantara hendak keluar dari persembunyiannya, namun saat itu Nenek itu berkata pada para prajurit yang mencari keberadaannya.“Tidak ada siapapun yang datang ke sini!” jawab nenek itu sambil berjalan keluar menghampiri mereka.Bimantara terkejut mendengar itu. Seruni dan Pemuda itu pun diam saja, mengikuti perkataan nenek yang hendak mencoba melindungi Bimantara. Bimantara bisa saja menyerang mereka, namun dia tidak ingin terjadi pertumpahan darah. Melawan para prajurit itu akan membunuh mereka, karena mereka tak akan menyerah sampai bisa membawa Bimantara kembali ke penjara istana.Para prajurit itu saling menatap. Lalu salah satu dari mereka menatap nenek itu dengan lekat.“Baiklah, jika bertemu dengan orang yang berada di dalam lukisan ini, kau harus hati-hati. Dia penjahat terbesar yang telah merusak penjara istana dan membunuh para prajurit kerajaan,” ucap Prajurit itu lalu menoleh pada teman-temannya. Kemudian mereka pergi dari sana.Saat para prajurit itu menghilang dari hadap
Pendekar Buruk Rupa sedang mendekam di dalam penjara bersama Tama, Salwa dan Darsa. Tama tampak bingung dan khawatir.“Bagaimana jika kita tidak dikeluarkan di dalam penjara ini, Tuan Pendekar?” tanya Tama.Pendekar Buruk Rupa tertawa. “Mudah bagiku untuk melelehkan jeruji besi itu. Aku tengah mengikuti alur yang dimaui Panglima itu. Kita lihat saja nanti, apakah dia akan memenuhi janjinya untuk melepaskan kita atau tidak setelah yang mulia ratunya percaya dengan ramalan itu. Jika yang mulia ratunya percaya dan kita bisa dibebaskan, usaha kita mencari Candaka Uddhiharta akan semakin mudah. Jika tidak, terpaksa aku akan mengeluarkan segala ilmuku untuk membasmi mereka semua!” jawab Pendekar Buruk Rupa.“Baik, Tuan Pendekar,” ucap Tama.Pendekar Buruk Rupa pun menoleh pada Darsa.“Hei, Pendekar. Bisakah kau melihat masa depan dengan ilmu kanuraganmu?” tanya Pendekar Buruk Rupa penasaran.Darsa terkejut mendengarnya. “Aku bisa saja menerawangnya, namun aku belum pernah melakukannya,” jaw
Kepala Perguruan menatap Pendekar Pedang Emas yang tampak semakin lemah tak berdaya di atas jerami itu. Tabib Perguruan baru saja selesai mengobatinya.“Apakah sudah ada kabar dari Bimantara?” tanya Tabib Perguruan padanya.Kepala Perguruan menggeleng. “Aku tidak mewajibkannya untuk memberi kabar padaku, lagipula merpati tak akan bisa sampai ke sana untuk mengirimkan surat padanya, begitupun dengan Bimantara,” jawab Kepala Perguruan.Tabib Perguruan pun mengangguk. Dia menatap Pendekar Pedang Emas dengan bingung.“Keadaannya semakin buruk,” ucap Tabib Perguruan. “Aku sudah mencoba mencarikan ramuan untuknya, namun semuanya tidak berhasil, hanya dapat nenambah sedikit tenaganya saja, tidak bisa mengeluarkan racun dalam tubuhnya.”“Pedang Perak Cahaya Merah memang sangat berbahaya. Itulah sejak dulu perguruan melarang pedang itu digunakan. Khawatir jatuh kepada tangan yang salah. Namun ternyata pedang itu memilih muridku. Aku membiarkannya karena aku percaya Bimantara akan dapat diperca
Bimantara mengatur napasnya sambil mengumpulkan tenaga dalamnya. Sementara Seruni berdiri menunggunya sambil mengawasi sekitar. Saat cahaya keluar dari kedua telapak tangan Bimantara, dia melihat pisau berkarat hendak melukai dadanya. Bimantara langsung mendorong pisau berkarat itu agar tidak melukai dadanya dengan tenaga dalamnya, tak lama kemudian pisau berkarat itu langsung terdorong jauh ke hadapannya kemudian menghilang. Bimantara memuntahkan isi perutnya.Seruni panik. “Bima!” panggilnya khawatir.Bimantara membuka matanya dengan lemas.“Aku melihat pisau berkarat hendak menusuk dadaku,” ucap Bimantara.Seruni terbelalak mendengarnya.“Itu pasti ilmu hitam yang dikirim oleh pihak istana padamu,” ucap Seruni dengan yakinnya.“Sepertinya kita harus istirahat dulu,” pinta Bimantara.Seruni mengangguk.***Sementara itu, Pendekar Buruk Rupa yang tengah menancapkan pisau hitam ke lukisan Bimantara, tangannya terdorong menjauh dari lukisan hingga pisau di tangannya terhempas. Tama, Sa
Panglima Adhira dari kerajaan Nusantara Tengah berdiri di atas kapal layar bersama para prajuritnya. Dia masih melakukan pelayaran atas perintah Raja Dawuh untuk mencari Bimantara agar mereka membantu Bimantara mencari bunga raksasa merah di Suwarnadwipa.Parjurit itu mendekat pada Panglima Adhira yang tengah menatap lautan.“Kenapa yang mulia Raja begitu peduli dan baiknya kepada pendekar dari Perguruan Matahari itu, Panglima?” tanya prajurit itu dengan heran.Panglima Adhira menatap prajurit itu. “Pemuda itu telah menyelamatkan nyawa yang mulia raja,” jawabnya.Prajurit tampak penasaran.“Menyelamatkan nyawa yang mulia raja?”“Iya, bahkan pemuda itulah yang menyebabkan yang mulia raja memiliki kekuatan dari kitab sakti tiada tanding dan mendapatkan pedang pusaka,” jawab Panglima Adhira.“Pantas saja yang mulia raja Dawuh kini tampak hebat dan gagah. Aku melihatnya ketika yang mulia melawan para mayat hidup dengan tangan kosongnya,” ucap Prajurit itu yang baru tahu asal muasal rajany
Seruni pun memeluk Bimantara sambil memejamkan mata. Bimantara memeluknya dengan erat. Kaki cahaya naganya menyala. Tongkat di tangannya dia angkat. Tak lama kemudian dengan satu lompatan Bimantara membawa gadis itu terbang menuju tebing di seberang. Seruni memejamkan matanya dengan takut di pelukan Bimantara, dia khawatir akan terjatuh ke bawah jurang sana. Tak lama kemudian Bimantara berhasil mendaratkan kakinya ke tebing seberang dengan sempurna.“Kita sudah sampai,” ucap Bimantara.Seruni membuka matanya lalu melepas pelukannya pada Bimantara. Dia tak percaya mereka sudah tiba di seberang sana.“Bagaimana kau melakukannya, Bimantara?” tanya Seruni tak percaya.“Aku sudah bilang aku memiliki ajiannya,” jawab Bimantara yang kini sudah berdiri tegak dengan tongkatnya.Seruni masih menunjukkan wajah tidak percayanya.“Ayo kita lanjutkan perjalanan,” pinta Bimantara.“Rumah penduduk masih sangat jauh dari sini,” jawab Seruni. “Mungkin bisa sehari perjalanan lagi.”“Kalau begitu tunjuka
Angin berembus pelan dari luar jendela kediaman Tabib Perguruan. Kepala Perguruan duduk di sisi ranjang sambil menatap Pendekar Pedang Emas yang tampak semakin lemah. Tabib Perguruan tengah menumbuk ramuan obat-obatan di dekatnya.“Kabarnya para pendekar dari Tala yang tidak berhasil ditangkap pihak istana sudah menghilang dari bumi Nusantara,” ucap Tabib Perguruan.“Itu karena mereka sudah tahu kalau Candaka Uddhiharta yang mereka cari sedang tidak berada di Nusantara ini,” jawab Kepala Perguruan.“Apa yang dilakukan pihak kerajaan terhadap para pendekar dari Tala yang ditawan, Tuan Guru?” tanya Tabib penasaran.“Mereka sudah mengirim surat ke kerajaan Tala, namun hingga kini belum ada tanggapan dari sana. Kabarnya para tawanan itu akan tetap dikurung dalam penjara selama tidak ada tanggapan dari kerajaan Tala.”“Jika mereka menanggapi surat itu dan berhenti mencari Candaka Uddhiharta bagaimana?” tanya Tabib itu lagi.“Pihak kerajaan akan mengembalikan para pendekar tawanan itu ke Ta