Datuk Margi dan ketiga pengikutnya tampak berdiri terkejut di depan gerbang istana saat mendengar obrolan penduduk tentang pemuda sakti yang telah kabur dari penjara. Datuk Margi menedekati dua pemuda yang berbincang itu, diikuti oleh Saruang dan ketiga pendekar lainnya.“Seperti apa pemuda sakti yang kabur dari penjara istana itu?” tanya Datuk Margi penasaran.Dua pemuda itu menoleh heran pada Datuk Margi yang tiba-tiba menyengkar obrolan mereka.“Dia pincang, namun masih bisa berjalan normal. Dia memiliki pedang bercahaya. Sepertinya pedang yang kita lihat terbang di atas langit itu adalah pedang pusakanya,” jawab pemuda itu.Datuk Margi terbelalak mendengarnya. Dia menoleh pada Saruang dan ketiga pendekar lainnya.“Sepertinya Bimantara sudah berhasil kabur dari penjara,” ucap Datuk Margi khawatir.Saruang dan ketiga pendekar itu tampak takut. Mereka takut jika Bimantara akan mencari mereka untuk menuntut balas.“Bagaimana jika dia mencari kita dan membunuh kita semua?” tanya Saruan
Darsa datang dengan kudanya ke hadapan sebuah pondok yang tertinggal. Dia pun turun dari kudanya lalu memasuki pondok itu dengan bingung. Di dalam pondok itu sudah menunggu Pendekar Buruk Rupa, Tama dan Salwa.“Apa dia masih berada di penjara istana?” tanya Pendekar Buruk Rupa yang sekarang sudah menggunakan topeng agar orang-orang tidak curiga padanya dan tidak menimbulkan perhatian penduduk di Suwarnadwipa.Darsa duduk di hadapan mereka dengan bingung.“Dia sudah berhasil keluar dari penjara,” jawab Darsa.Pendekar Buruk Rupa terkejut mendengarnya. Dia pun berpikir.“Berarti kita tidak perlu melanjutkan rencana kita untuk ikut bertarung di dalam kerajaan dengan penyamar sebagai penjahat kerajaan,” ucap Pendekar Buruk Rupa. “Padahal aku sudah senang, selain bisa membawa kepala Candaka Uddhiharta, kita juga akan membawa koin emas ke kerajaan Tala.”“Sekarang apa yang harus kita lakukan?” tanya Tama dengan bingung.Pendekar Buruk Rupa geram mendengar pertanyaan yang menurutnya sangat b
Bimantara masih menatap tajam kedua mata harimau besar di hadapannya. Nenek, Seruni dan pemuda itu saling berpelukan dengan takut.“Pergilah dari sini! Kami tidak mengganggumu dan jangan ganggu kamu” ucap Bimantara pada harimau itu sambil mengarahkan pedangnya.Harimau itu bersuara sangat keras. Ia menatap kancil yang tak berdaya yang diletakkan pemuda itu tadi di atas lantai.“Kau marah karena dia berburu makananmu?” tanya Bimantara.Harimau itu kembali bersuara seolah mengatakan iya kepada Bimantara.Nenek, Seruni dan Pemuda itu tampak heran melihat Bimantara yang seolah bisa bicara dengan binatang buas itu.“Ambilah dan bawalah pergi kancil itu,” pinta Bimantara. “Lalu pergilah dari sini.”Harimau itu pun langsung menggigit kancil yang tak berdaya itu dan membawanya pergi dari sana. Nenek, Seruni dan Pemuda itu tercengan melihat harimau itu menuruti perkataan Bimantara.Nenek pun memukul punggung pemuda itu dengan geram.“Aku sudah bilang jangan berburu terlalu jauh ke dalam hutan!
Bimantara hendak keluar dari persembunyiannya, namun saat itu Nenek itu berkata pada para prajurit yang mencari keberadaannya.“Tidak ada siapapun yang datang ke sini!” jawab nenek itu sambil berjalan keluar menghampiri mereka.Bimantara terkejut mendengar itu. Seruni dan Pemuda itu pun diam saja, mengikuti perkataan nenek yang hendak mencoba melindungi Bimantara. Bimantara bisa saja menyerang mereka, namun dia tidak ingin terjadi pertumpahan darah. Melawan para prajurit itu akan membunuh mereka, karena mereka tak akan menyerah sampai bisa membawa Bimantara kembali ke penjara istana.Para prajurit itu saling menatap. Lalu salah satu dari mereka menatap nenek itu dengan lekat.“Baiklah, jika bertemu dengan orang yang berada di dalam lukisan ini, kau harus hati-hati. Dia penjahat terbesar yang telah merusak penjara istana dan membunuh para prajurit kerajaan,” ucap Prajurit itu lalu menoleh pada teman-temannya. Kemudian mereka pergi dari sana.Saat para prajurit itu menghilang dari hadap
Pendekar Buruk Rupa sedang mendekam di dalam penjara bersama Tama, Salwa dan Darsa. Tama tampak bingung dan khawatir.“Bagaimana jika kita tidak dikeluarkan di dalam penjara ini, Tuan Pendekar?” tanya Tama.Pendekar Buruk Rupa tertawa. “Mudah bagiku untuk melelehkan jeruji besi itu. Aku tengah mengikuti alur yang dimaui Panglima itu. Kita lihat saja nanti, apakah dia akan memenuhi janjinya untuk melepaskan kita atau tidak setelah yang mulia ratunya percaya dengan ramalan itu. Jika yang mulia ratunya percaya dan kita bisa dibebaskan, usaha kita mencari Candaka Uddhiharta akan semakin mudah. Jika tidak, terpaksa aku akan mengeluarkan segala ilmuku untuk membasmi mereka semua!” jawab Pendekar Buruk Rupa.“Baik, Tuan Pendekar,” ucap Tama.Pendekar Buruk Rupa pun menoleh pada Darsa.“Hei, Pendekar. Bisakah kau melihat masa depan dengan ilmu kanuraganmu?” tanya Pendekar Buruk Rupa penasaran.Darsa terkejut mendengarnya. “Aku bisa saja menerawangnya, namun aku belum pernah melakukannya,” jaw
Kepala Perguruan menatap Pendekar Pedang Emas yang tampak semakin lemah tak berdaya di atas jerami itu. Tabib Perguruan baru saja selesai mengobatinya.“Apakah sudah ada kabar dari Bimantara?” tanya Tabib Perguruan padanya.Kepala Perguruan menggeleng. “Aku tidak mewajibkannya untuk memberi kabar padaku, lagipula merpati tak akan bisa sampai ke sana untuk mengirimkan surat padanya, begitupun dengan Bimantara,” jawab Kepala Perguruan.Tabib Perguruan pun mengangguk. Dia menatap Pendekar Pedang Emas dengan bingung.“Keadaannya semakin buruk,” ucap Tabib Perguruan. “Aku sudah mencoba mencarikan ramuan untuknya, namun semuanya tidak berhasil, hanya dapat nenambah sedikit tenaganya saja, tidak bisa mengeluarkan racun dalam tubuhnya.”“Pedang Perak Cahaya Merah memang sangat berbahaya. Itulah sejak dulu perguruan melarang pedang itu digunakan. Khawatir jatuh kepada tangan yang salah. Namun ternyata pedang itu memilih muridku. Aku membiarkannya karena aku percaya Bimantara akan dapat diperca
Bimantara mengatur napasnya sambil mengumpulkan tenaga dalamnya. Sementara Seruni berdiri menunggunya sambil mengawasi sekitar. Saat cahaya keluar dari kedua telapak tangan Bimantara, dia melihat pisau berkarat hendak melukai dadanya. Bimantara langsung mendorong pisau berkarat itu agar tidak melukai dadanya dengan tenaga dalamnya, tak lama kemudian pisau berkarat itu langsung terdorong jauh ke hadapannya kemudian menghilang. Bimantara memuntahkan isi perutnya.Seruni panik. “Bima!” panggilnya khawatir.Bimantara membuka matanya dengan lemas.“Aku melihat pisau berkarat hendak menusuk dadaku,” ucap Bimantara.Seruni terbelalak mendengarnya.“Itu pasti ilmu hitam yang dikirim oleh pihak istana padamu,” ucap Seruni dengan yakinnya.“Sepertinya kita harus istirahat dulu,” pinta Bimantara.Seruni mengangguk.***Sementara itu, Pendekar Buruk Rupa yang tengah menancapkan pisau hitam ke lukisan Bimantara, tangannya terdorong menjauh dari lukisan hingga pisau di tangannya terhempas. Tama, Sa
Panglima Adhira dari kerajaan Nusantara Tengah berdiri di atas kapal layar bersama para prajuritnya. Dia masih melakukan pelayaran atas perintah Raja Dawuh untuk mencari Bimantara agar mereka membantu Bimantara mencari bunga raksasa merah di Suwarnadwipa.Parjurit itu mendekat pada Panglima Adhira yang tengah menatap lautan.“Kenapa yang mulia Raja begitu peduli dan baiknya kepada pendekar dari Perguruan Matahari itu, Panglima?” tanya prajurit itu dengan heran.Panglima Adhira menatap prajurit itu. “Pemuda itu telah menyelamatkan nyawa yang mulia raja,” jawabnya.Prajurit tampak penasaran.“Menyelamatkan nyawa yang mulia raja?”“Iya, bahkan pemuda itulah yang menyebabkan yang mulia raja memiliki kekuatan dari kitab sakti tiada tanding dan mendapatkan pedang pusaka,” jawab Panglima Adhira.“Pantas saja yang mulia raja Dawuh kini tampak hebat dan gagah. Aku melihatnya ketika yang mulia melawan para mayat hidup dengan tangan kosongnya,” ucap Prajurit itu yang baru tahu asal muasal rajany