Dahayu duduk termenung sendiri di depan pintu kamarnya. Dia memandangi langit malam yang dipenuhi bintang-bintang. Welas datang lalu duduk di sebelahnya.“Kenapa kau belum tidur? Apa karena memikirkan tugas terakahir kita esok pagi?” tanya Welas heran.“Tidak apa-apa,” jawab Dahayu. “Aku belum mengantuk saja.” Dia terpaksa berbohong pada gadis itu. Dia masih memikirkan siapa cinta sejatinya dan dia masih memikirkan perkataan mendiang ibunya yang melarang menyentuh lelaki sembarang karena itu bisa mengembalikannya ke alam peri jika lelaki yang menyentuhnya itu bukan cinta sejatinya.Welas memandangi wajah Dahayu dengan jeli. Dia tahu Dahayu masih memikirkan apa yang dia minta dulu untuk menerawang siapa cinta senjatinya.“Kau ragu kalau Bimantara bukan cinta sejatimu?” tanya Welas tiba-tiba.Dahayu terkejut mendengarnya. “Tidak! Aku tidak pernah meragukannya,” jawab Dahayu berbohong.Welas tertawa.“Aku ini memiliki kesaktian kebatinan! Dan aku sudah lulus tinggal mencari kitab sakti s
Datuk Margi membawa Bimantara ke perut kapal. Mereka berdiri di depan pintu kamar.“Kau bisa istirahat di sini,” pinta Datuk Margi dengan ramah.Bimantara heran melihat kebaikan Datuk Margi yang tiba-tiba itu. Apa ini karena dia telah menyelamtkan Saruang? Pikirnya. Bimantara bingung.“Aku di atas kapal saja,” jawab Bimantara.“Kau jangan khawatir. Tidak ada para perempuan itu di dalam sana. Aku tahu kau tipe lelaki setia,” ucap Datuk Margi yang curiga kalau Bimantara menolak tawarannya untuk istirahat di sana karena itu.Bimantara pun terdiam. Datuk Margi membuka pintu kamar itu.“Masuklah dan istirahatlah,” pinta Datuk Margi.Akhirnya Bimantara pasrah lalu masuk ke dalam kamar di dalam perut kapal itu. Datuk Margi tersenyum senang.“Selamat beristirahat!” ucap Datuk Margi lalu bergegas pergi meninggalkannya. Bimantara pun menutup pintu kamar itu lalu duduk di tepi kasur. Dia memandangi ruang kamar yang kecil itu.Sesaat kemudian dia meraih sebuah lukisan di balik pakaiannya. Lalu me
Bimantara terbangun saat mendengar suara ketukan pintu di kamar sempit di dalam perut kapal itu. Cahaya keluar dari celah-celah pintu. Rupanya hari sudah pagi. Bimantara pun bergegas bangkit, meraih tongkatnya lalu berjalan membuka pintu. Saruang tersenyum padanya di ambang pintu.“Datuk mengajak sarapan bersama di atas,” pinta Saruang.Bimantara mengangguk. Saat Saruang hendak kembali ke atas, Bimantara memanggilnya.“Saruang!”Saruang menoleh heran padanya. “Iya,” jawabnya.“Berapa lama lagi kira-kira kita akan tiba ke Suwarnadwipa?” tanya Bimantara.“Mungkin sekitar lima hari lima malam lagi,” jawab Saruang.Bimantara terkejut mendengarnya.“Lama sekali,” keluhnya.Saruang tersenyum padanya. “Pelayaran dari Nusantara ke Suwarnadwipa memang jauh.”Bimantara angguk-angguk.“Kita tunggu di atas,” ucap Saruang lalu pergi ke atas sana. Bimantara pun bersiap-siap keluar dari kamar sempit itu.Saat dia sudah tiba ke atas. Matahari terbit tampak bersinar indah memantulkan cahayanya ke perm
Dan di hari itu, Kepala Perguruan Matahari tengah melepas murid-murid barunya untuk melaksanakan tugas terakhir perguruan mencari kitab sakti. Pangeran Sakai, Dahayu, Kancil, Wira, Rajo, Welas dan Sanum berdiri di hadapannya. Semua penghuni perguruan juga sudah berdiri di dermaga itu hendak melepas kepergian mereka, kecuali Pendekar Pedang Emas yang masih terbaring di kediaman Tabib Perguruan.Kancil akan mengembara ke arah hulu sungai air keruh. Pangeran Sakai dan Rajo akan bersama-sama mengembara ke Bukit Kapur. Dahayu dan Sanum akan bersama-sama mengembara ke pulau sutera. Wira akan mengembara sendiri ke gua kelelawar. Terakhir Welas, dia diminta mencari kitab sakti di wilayah ujung Nusantara.Kepala Perguruan menyapu pandangannya ke arah mereka sambil berkata. “Apapun yang terjadi, kalian tidak diperbolehkan bertarung kecuali ada yang duluan menyerang kalian,” pinta Pendekar Tangan Besi pada mereka.“Siap, Tuan Guru!” jawab Semuanya.“Saya harap kalian berhasil menemukan kitab sak
Bimantara pun mencari-cari sosok Dahayu di atas kapal itu. Namun dia tidak menemukannya di sana.“Benarkah engkau Dahayu?” tanya Bimantara tak percaya. “Kenapa aku tidak bisa melihat sukmamu jika kau sedang meraga sukma padaku?”“Aku tidak tahu. Di sini aku hanya dapat menatapmu yang tengah mencari-cari keberadaanku di atas sebuah kapal. Apakah benar kau sudah melakukan pelayaran, Bimantara?” tanya Dahayu terdengar di telinga.“Iya, Dahayu,” jawab Bimantara.Awak kapal yang melihat Bimantara bicara sendiri tampak heran, namun dia tidak mau terlalu menghiraukannya. Dia tetap fokus pada layar kapalnya.“Syukurlah jika itu kamu yang aku lihat. Hari ini aku melakukan tugas terakhirku bersama teman-teman di perguruan. Aku harap kau bisa menemukan bunga raksasa merah itu dengan segera dan bisa segera kembali ke perguruan,” ucap Dahayu yang terdengar di telinga Bimantara.“Aku juga berharap kau berhasil menemukan kitab sakti itu. Jaga dirimu baik-baik,” pinta Bimantara.“Kau juga,” pinta Dah
Pendekar Buruk Rupa masih menunggu bersama Tama dan Salwa di pinggir dermaga Ujung Nusantara. Mereka duduk di dekat kuda masing-masing. Pendekar Buruk Rupa sengaja menutupi sebagian wajahnya dengan kain agar tidak mencuri perhatian orang-orang di sana. Saat itu di sekitar Dermaga tampak ramai. Kapal-kapal besar sedang berlabuh berjejer di sana. Orang-orang tampak sibuk dengan aktivitas masing-masing.Tak lama kemudian seorang pendekar berikat kepala dan berambut panjang terurai datang dengan kudanya. Dia mencari-cari sosok keberadaan Pendekar Buruk Rupa, Tama dan Salwa yang telah mengiriminya surat untuk menyusul ke sana.Tama melihatnya lalu memanggilnya.“Darsa!” panggilnya.Pendekar itu menoleh ke arah Tama. Dia berbegas memacukan kudanya mendekati mereka. Pendekar Buruk Rupa dan yang lain berdiri menyambut kedatangan mereka. Saat Darsa tiba di hadapan mereka, dia langsung turun dari kuda lalu berdiri di hadapan mereka.Pendekar Buruk Rupa terkejut melihatnya.“Darsa?”“Iya, Tuan P
Bimantara berdiri di atas kapal sambil menyimpan pedang Perak Cahaya Merahnya ke punggung. Matanya menatap kapal-kapal kecil para perompak yang pecah di atas lautan. Datuk Margi tercengang melihatnya lalu mendekat ke Bimantara. Saruang dan tiga pendekar lainnya pun mengikuti jalan Datuk Margi di belakangnya.“Pedang apa yang kau gunakan itu, anak muda?” tanya Datuk Margi penasaran. Saruang dan tiga pendekar lainnya pun tampak menunggu jawaban Bimantara dengan penasaran.“Pedang biasa,” jawab Bimantara. Dia terpaksa melakukan itu dan menunjukkan kehebatan pedangnya pada mereka. Kalau tidak, mereka semua bisa mati diserang para prompak tadi.“Kau penuh dengan misteri anak muda! Kau sangat membuatku terkejut!” ucap Datuk Margi.“Terima kasih telah menyelamatkan kami untuk kesekian kalinya,” ucap Saruang kemudian.Bimantara hanya mengangguk.“Izinkan aku untuk istirahat sebentar,” pinta Bimantara.Datuk Margi mengangguk. Bimantara pun berjalan melewati mereka menuju perut kamar. Dia ingin
Bimantara baru selesai mengembalikan tenaga dalamnya. Dia tampak lega. Tak lama kemudian dia kembali mendengar sebuah suara. Dia memejamkan matanya mencoba menerawang. Bimantara terkejut melihat Pendekar yang wajahnya dipenuhi bulu mirip kera tengah membunuh awak kapal bersama pendekar lainnya. Mereka lalu melayarkan kapal layar itu menuju lautan.“Kita harus membawa kepala Candaka Uddhiharta ke Tala! Arahkan kapal ini menuju daratan Suwarnadwipa!” teriak Pendekar Buruk Rupa itu pada ketiga pendekar lainnya.Bimantara membuka matanya.“Mereka tengah mencariku? Mereka mengetahui pengembaraanku ke Suwarnadwipa hingga menyusulku?” tanya Bimantara dengan heran.***Sementara di Perguruan Matahari, Kepala Perguruan berdiri menatap Pendekar Pedang Emas yang tampak lemah. Dia sedang diberi ramuan oleh Tabib perguruan. Setelah meminum ramuan itu, Pendekar Pedang Emas tampak muntah. Tabib perguruan langsung membersihkan bekas muntahan Pendekar Pedang Emas. Pendekar itu akhirnya kembali dibari