Kakek Kepala Perguruan Elang Putih sedang berputar-putar di atas langit. Murid-muridnya di bawah tampak tercengang melihatnya. Mereka menempati padepokan yang dulu dihuni oleh Perguruan Tengkorak. Menurut Kakek itu, di atas bukit itu adalah tempat terbaik untuk menurunkan ilmu pada murid-muridnya.“Lemparkan minuman padaku?” teriaknya di atas langit sana.Para muridnya bingung. Keberadaannya yang sangat tinggi itu tidak mungkin melemparkan bambu tempat minumannya.“Cepaaat!” teriak Kakek itu.Tak lama kemudian seorang muridnya melempar tempat minuman yang terbuat dari bambu itu ke atas, namun lemparannya tidak begitu tinggi. Kakek itu terbang ke bawa lalu dengan cepat menangkap tempat minuman itu lalu mendarat ke atas tanah dan menenggaknya hingga habis.Semua murid yang mengelilinginya tampak bertepuk tangan. Kakek itu melempar tempat minuman itu dengan geram. Dia mendekat pada muridnya yang gagal melemparkan tempat minuman tadi.“Sudah ratusan purnama saya mengajarkan ilmu tenaga da
Kepala Perguruan Matahari tengah berdiri di hadapan Pangeran Sakai dan teman-teman seangkatannya. Dia menatap semua murid itu dengan tatapan serius.“Esok pagi kalian harus melaksanakan tugas terakhir kalian di sini. Kalian harus menemukan kitab sakti masing-masing sesuai dengan petunjuk yang sudah diberikan oleh guru utama masing-masing,” ucap Pendekar Tangan Besi dengan serius.“Siap, Tuan Guru!” jawab semuanya.Kancil dan Dahayu saling menoleh. Mereka teringat bagaimana perjuangan Bimantara dulu untuk menemukan Lembah Gunung Menara dahulu. Sekarang giliran mereka.“Kalian harus menyamar dalam pengembaraan! Jangan sampai ada yang tahu kalau kalian berasal dari perguruan matahari! Dan ingat! Kalian tidak diperbolehkan kembali ke perguruan sebelum kalian mendapatkan kitab sakti masing-masing!” lanjut Pendekar Tangan Besik.“Siap, Tuan Guru!” jawab semuanya.Tak lama kemudian seorang guru pendamping berlari ke arah mereka. Saat dia tiba di dekat mereka, dia langsung memanggil kepala Pe
Bimantara terbangun di atas kapal saat mendengar suara nyanyian dari kejauhan. Dia terkejut melihat para awak kapal sedang tertidur pulas. Begitupun dengan Datuk Margi, Saruang dan ketiga pendekar lainnya.Kapal itu berhenti di tengah-tengah samudera yang luas di bawah rembulan. Bimantara berdiri lalu berjalan dengan tongkatnya ke sisi kapal. Lautan tampak tenang di hadapannya. Tenang seperti air kolam. Bimantara heran.Suara nyayian itu semakin jelas terdengar. Bimantara mencari-cari sumber suaranya. Namun saat dia mencari sumber suara, dia heran mendengar suara nyanyian itu datang dari berbagai arah.“Bimantaraaa!”Bimantara terkejut mendengar suara perempuan memanggilnya disertai tawa cecicikan yang terdengar manja. Bimantara menatap ke bawah. Tak ada siapapun di bawah sana. Ikan-ikan pun tak nampak berenang di permukaan lautan malam.“Bimantaraaa!”Bimantara mencoba berjalan ke sisi kapal satunya. Dia pun tak melihat siapa-siapa di bawah sana. Anehnya panggilan itu berasal dari lu
Bimantara bersiap dengan pedang perak cahaya merahnya. Saruang tampak awas. Kini semua menghening. Saruang berjalan ke sisi kapal lalu memeriksa di bawah sana, dia tak melihat ikan besar itu lagi. Saruang pun mengitari sisi kapal, memeriksa sekitar kapal, dia lega tak melihat para putri duyung itu lagi.“Sepertinya kita sudah aman,” ucap Saruang lega.Bimantara pun menurunkan pedangnya dengan lega.“Kita harus menggerakkan layar agar kapal ini kembali berlayar,” pinta Bimantara.Saruang pun mengangguk. Namun ketika Saruang berjalan ke tiang layar, tiba-tiba kedua tangan hitam yang memanjang menariknya ke belakang.“Bimantaraaa!” teriaknya.Bimantara terkejut. Dia langsung berlari ke hadapan hendak memutus tangan itu dengan pedangnya, namun tubuh Saruang keburu ditarik ke bawah hingga dia terjatuh ke atas lautan malam.“Saruaaang!” teriak Bimantara.Saruang menggerak-gerakkan tangannya di atas permukaan laut hendak berenang menuju kapal, namun tangan itu kian cepat menyeretnya ke belak
Dahayu duduk termenung sendiri di depan pintu kamarnya. Dia memandangi langit malam yang dipenuhi bintang-bintang. Welas datang lalu duduk di sebelahnya.“Kenapa kau belum tidur? Apa karena memikirkan tugas terakahir kita esok pagi?” tanya Welas heran.“Tidak apa-apa,” jawab Dahayu. “Aku belum mengantuk saja.” Dia terpaksa berbohong pada gadis itu. Dia masih memikirkan siapa cinta sejatinya dan dia masih memikirkan perkataan mendiang ibunya yang melarang menyentuh lelaki sembarang karena itu bisa mengembalikannya ke alam peri jika lelaki yang menyentuhnya itu bukan cinta sejatinya.Welas memandangi wajah Dahayu dengan jeli. Dia tahu Dahayu masih memikirkan apa yang dia minta dulu untuk menerawang siapa cinta senjatinya.“Kau ragu kalau Bimantara bukan cinta sejatimu?” tanya Welas tiba-tiba.Dahayu terkejut mendengarnya. “Tidak! Aku tidak pernah meragukannya,” jawab Dahayu berbohong.Welas tertawa.“Aku ini memiliki kesaktian kebatinan! Dan aku sudah lulus tinggal mencari kitab sakti s
Datuk Margi membawa Bimantara ke perut kapal. Mereka berdiri di depan pintu kamar.“Kau bisa istirahat di sini,” pinta Datuk Margi dengan ramah.Bimantara heran melihat kebaikan Datuk Margi yang tiba-tiba itu. Apa ini karena dia telah menyelamtkan Saruang? Pikirnya. Bimantara bingung.“Aku di atas kapal saja,” jawab Bimantara.“Kau jangan khawatir. Tidak ada para perempuan itu di dalam sana. Aku tahu kau tipe lelaki setia,” ucap Datuk Margi yang curiga kalau Bimantara menolak tawarannya untuk istirahat di sana karena itu.Bimantara pun terdiam. Datuk Margi membuka pintu kamar itu.“Masuklah dan istirahatlah,” pinta Datuk Margi.Akhirnya Bimantara pasrah lalu masuk ke dalam kamar di dalam perut kapal itu. Datuk Margi tersenyum senang.“Selamat beristirahat!” ucap Datuk Margi lalu bergegas pergi meninggalkannya. Bimantara pun menutup pintu kamar itu lalu duduk di tepi kasur. Dia memandangi ruang kamar yang kecil itu.Sesaat kemudian dia meraih sebuah lukisan di balik pakaiannya. Lalu me
Bimantara terbangun saat mendengar suara ketukan pintu di kamar sempit di dalam perut kapal itu. Cahaya keluar dari celah-celah pintu. Rupanya hari sudah pagi. Bimantara pun bergegas bangkit, meraih tongkatnya lalu berjalan membuka pintu. Saruang tersenyum padanya di ambang pintu.“Datuk mengajak sarapan bersama di atas,” pinta Saruang.Bimantara mengangguk. Saat Saruang hendak kembali ke atas, Bimantara memanggilnya.“Saruang!”Saruang menoleh heran padanya. “Iya,” jawabnya.“Berapa lama lagi kira-kira kita akan tiba ke Suwarnadwipa?” tanya Bimantara.“Mungkin sekitar lima hari lima malam lagi,” jawab Saruang.Bimantara terkejut mendengarnya.“Lama sekali,” keluhnya.Saruang tersenyum padanya. “Pelayaran dari Nusantara ke Suwarnadwipa memang jauh.”Bimantara angguk-angguk.“Kita tunggu di atas,” ucap Saruang lalu pergi ke atas sana. Bimantara pun bersiap-siap keluar dari kamar sempit itu.Saat dia sudah tiba ke atas. Matahari terbit tampak bersinar indah memantulkan cahayanya ke perm
Dan di hari itu, Kepala Perguruan Matahari tengah melepas murid-murid barunya untuk melaksanakan tugas terakhir perguruan mencari kitab sakti. Pangeran Sakai, Dahayu, Kancil, Wira, Rajo, Welas dan Sanum berdiri di hadapannya. Semua penghuni perguruan juga sudah berdiri di dermaga itu hendak melepas kepergian mereka, kecuali Pendekar Pedang Emas yang masih terbaring di kediaman Tabib Perguruan.Kancil akan mengembara ke arah hulu sungai air keruh. Pangeran Sakai dan Rajo akan bersama-sama mengembara ke Bukit Kapur. Dahayu dan Sanum akan bersama-sama mengembara ke pulau sutera. Wira akan mengembara sendiri ke gua kelelawar. Terakhir Welas, dia diminta mencari kitab sakti di wilayah ujung Nusantara.Kepala Perguruan menyapu pandangannya ke arah mereka sambil berkata. “Apapun yang terjadi, kalian tidak diperbolehkan bertarung kecuali ada yang duluan menyerang kalian,” pinta Pendekar Tangan Besi pada mereka.“Siap, Tuan Guru!” jawab Semuanya.“Saya harap kalian berhasil menemukan kitab sak