Saat kelima pendekar itu maju hendak mengeluarkan jurus-jurusnya ke Bimantara. Bimantara pun langsung melompat dan menggunakan jurus tendangan seribunya pada mereka. Kelima pendekar itu pun terpelanting jauh menghantam pepohonan. Mereka mendarat ke atas tanah sambil memegangi bagian tubuh yang sakit.Bimantara memutar kepalanya untuk melihat mereka satu-satu dengan pandangan mata tajam. “Jangan lagi lakukan ini kepada siapapun yang melewati jalanan ini!” pinta Bimantara. “Hari ini aku tidak akan membunuh kalian, tapi jika sekali lagi aku melihat kalian merampok di sini, maka aku tidak akan segan-segan mematahkan leher kalian!”“Ampun anak muda! Ampuni kami!” mohon salah satu pendekar itu pada Bimantara. Keempat pendekar lainnya pun berlutut padanya memohon ampunan.“Kami berjanji tak akan merampok di sini lagi! Mohon jangan bunuh kami,” ucap pendekar lainnya.Bimantara tidak menyahuti permohonan ampun mereka. Dia malah kembali melompat ke atas kuda, setelah itu dia kembali memacukan k
Prajurit itu datang menghadap Panglima Susesa di kediaman tamu kerajaan nusantara tengah. Panglima Susesa mengawasi sekitar, khawatir ada mata-mata kerajaan yang akan mendengar pembicaraan mereka. Saat dia merasa sudah aman, dia pun bicara pada prajuritnya.“Bagimana?” tanya Panglima Susesa padanya.“Semua pendekar sudah dilepaskan dari kurungannya,” jawab prajuritnya.“Bagus! Berarti esok kita bisa kembali ke kerajaan kita.”“Siap, Panglima!” jawab prajuritnya.Panglima Adhira yang sengaja mencuri dengar dari balik dinding kediaman tamu kerajaan itu tampak terkejut mendengarnya. Dia pun langsung pergi dari sana dengan langkah hati-hati. Namun langkahnya terhenti saat melihat Panglima Susesa melompat ke arahnya lalu mendarat di hadapannya.“Tidak sopan pihak kerjaan memata-matai tamu yang datang,” ancam Panglima Susesa padanya.“Kalian yang tidak sopan! Kamu sudah menyambut kedatangan kalian, namun ternyata kalian ingin mengacakukan kerajaan kami!” tegas Panglima Adhira.Panglima Suse
Pagi sekali, Raja Dawuh memanggil Panglima Adhira sebelum melepas kepergian tamu kerajaan dari kerajaan Tala. Panglima datang menemuinya di kediaman sang Raja. Dia berlutut penuh hormat padanya.“Ampun yang mula. Semalam hamba tidak menemukan kejanggalan apapun mengenai tamu kita,” ucap Panglima Adhira.Raja Dawuh mengernyit tak percaya. “Kau yakin?” tanyanya.“Hamba berkata benar yang mulia. Semalam hamba sudah mencoba berkeliling ke kediaman tamu kerajaan, namun hamba tidak menemukan kecurigaan apapun,” jawab Panglima Adhira.Raja Dawuh menarik napas berat lalu menghembuskannya.“Baiklah kalau begitu, mari kita hantarkan mereka untuk meninggalkan istana kita,” pinta Raja Dawuh sambil berdiri.“Baik, yang mulia,” ucap Panglima.Mereka pun berjalan menuju kediaman tamu kerajaan. Saat melangkah mengikuti Sang Raja, Panglima Adhira sebenarnya masih heran dengan kejadian semalam. Dia tiba-tiba berada di hadapan Panglima Susesa dan tidak ingat apapun kenapa dia tiba-tiba berada di hadapan
Kepala Pergurun berdiri sambil menatap Pendekar Pedang Emas yang tampak sadar namun masih terlihat lemas di ruangan Tabib Perguruan. Pendekar itu menatap kepala perguruan dengan lemah.“Apakah aku masih bisa diselamatkan?” tanya Pendekar Pedang Emas dengan sedih.“Percayalah, kau pasti akan sembuh. Bimantara tengah mengarungi samudera menuju daratan Suwarnadwipa untuk mendapatkan obat yang bisa mengeluarkan racun di tubuhmu,” jawab Kepala Perguruan.Pendekar Pedang Emas terkejut mendengarnya. “Kenapa harus jauh-jauh ke sana untuk mendapatkan obat penawar racun di tubuhku?”“Hanya di sana bunga raksasa merah berada. Dan hanya di sana kita bisa menemukannya,” jawab Kepala Perguruan.Pendekar Pedang Emas menatap langit-langit ruangan itu dengan tatapan sendu. “Harusnya Tuan Guru Besar tidak mengutus Bimantara ke sana,” ucap pendekar itu dengan tidak enak hati.“Hanya dia yang bisa ke sana. Semua murid harus menyelesaikan tugas akhirnya. Semua penghuni perguruan harus menunaikan tugas mas
Datuk Margi dan keempat pendekar lainnya tertawa melihatnya.“Kenapa? Kau belum pernah merasakannya?” tawa Datuk Margi.Keempat pendekar lainnya pun semakin terbahak-bahak melihat Bimantara tampak ketakutan dengan perempuan itu.“Aku akan mengajarimu,” rayu perempuan itu sambil bekedip pada Bimantara.“Maaf, sama yang lain saja, jangan denganku,” pinta Bimantara.Bimantara pun melangkah meninggalkan mereka menuju ujung kapal. Datuk Margi tampak marah. Dia melompat lalu berputar melewati Bimantara lalu mendarat ke hadapannya. Bimantara terkejut melihatnya.“Kau tidak tahu caranya berterima kasih pada tuan rumahmu,” ucap Datuk Margi dengan marah.“Maaf, aku tidak boleh melakukan itu,” ucap Bimantara dengan polosnya. Bagaimana pun dia ingin setia dengan Dahayu. Dia sudah berjanji pada dirinya sendiri akan selalu mencintai dahayu dan tak akan mengotori dirinya dengan perempuan lain.Saat Datuk Margi hendak mengeluarkan jurusnya untuk memberi pelajaran pada Bimantara. Tiba-tiba Saruang ber
Kakek Kepala Perguruan Elang Putih sedang berputar-putar di atas langit. Murid-muridnya di bawah tampak tercengang melihatnya. Mereka menempati padepokan yang dulu dihuni oleh Perguruan Tengkorak. Menurut Kakek itu, di atas bukit itu adalah tempat terbaik untuk menurunkan ilmu pada murid-muridnya.“Lemparkan minuman padaku?” teriaknya di atas langit sana.Para muridnya bingung. Keberadaannya yang sangat tinggi itu tidak mungkin melemparkan bambu tempat minumannya.“Cepaaat!” teriak Kakek itu.Tak lama kemudian seorang muridnya melempar tempat minuman yang terbuat dari bambu itu ke atas, namun lemparannya tidak begitu tinggi. Kakek itu terbang ke bawa lalu dengan cepat menangkap tempat minuman itu lalu mendarat ke atas tanah dan menenggaknya hingga habis.Semua murid yang mengelilinginya tampak bertepuk tangan. Kakek itu melempar tempat minuman itu dengan geram. Dia mendekat pada muridnya yang gagal melemparkan tempat minuman tadi.“Sudah ratusan purnama saya mengajarkan ilmu tenaga da
Kepala Perguruan Matahari tengah berdiri di hadapan Pangeran Sakai dan teman-teman seangkatannya. Dia menatap semua murid itu dengan tatapan serius.“Esok pagi kalian harus melaksanakan tugas terakhir kalian di sini. Kalian harus menemukan kitab sakti masing-masing sesuai dengan petunjuk yang sudah diberikan oleh guru utama masing-masing,” ucap Pendekar Tangan Besi dengan serius.“Siap, Tuan Guru!” jawab semuanya.Kancil dan Dahayu saling menoleh. Mereka teringat bagaimana perjuangan Bimantara dulu untuk menemukan Lembah Gunung Menara dahulu. Sekarang giliran mereka.“Kalian harus menyamar dalam pengembaraan! Jangan sampai ada yang tahu kalau kalian berasal dari perguruan matahari! Dan ingat! Kalian tidak diperbolehkan kembali ke perguruan sebelum kalian mendapatkan kitab sakti masing-masing!” lanjut Pendekar Tangan Besik.“Siap, Tuan Guru!” jawab semuanya.Tak lama kemudian seorang guru pendamping berlari ke arah mereka. Saat dia tiba di dekat mereka, dia langsung memanggil kepala Pe
Bimantara terbangun di atas kapal saat mendengar suara nyanyian dari kejauhan. Dia terkejut melihat para awak kapal sedang tertidur pulas. Begitupun dengan Datuk Margi, Saruang dan ketiga pendekar lainnya.Kapal itu berhenti di tengah-tengah samudera yang luas di bawah rembulan. Bimantara berdiri lalu berjalan dengan tongkatnya ke sisi kapal. Lautan tampak tenang di hadapannya. Tenang seperti air kolam. Bimantara heran.Suara nyayian itu semakin jelas terdengar. Bimantara mencari-cari sumber suaranya. Namun saat dia mencari sumber suara, dia heran mendengar suara nyanyian itu datang dari berbagai arah.“Bimantaraaa!”Bimantara terkejut mendengar suara perempuan memanggilnya disertai tawa cecicikan yang terdengar manja. Bimantara menatap ke bawah. Tak ada siapapun di bawah sana. Ikan-ikan pun tak nampak berenang di permukaan lautan malam.“Bimantaraaa!”Bimantara mencoba berjalan ke sisi kapal satunya. Dia pun tak melihat siapa-siapa di bawah sana. Anehnya panggilan itu berasal dari lu