Bimantara tengah berlatih jurus-jurusnya di dalam gua. Dia sedang melatih kembali teknik tendangan seribunya. Seketika tubuhnya berpindah dengan cepat. Melompat dengan kaki cahayanya menginjaki dinding gua. Tak berapa lama kemudian sesorang menarik tubuhnya dengan cepat lalu membawanya mendarat di atas dasar gua.Bimantara terbelalak ketika mendapati Pendekar Tangan Besi sudah berada di hadapannya sambil memegangi kedua lengannya.“Tuan Guru?” ucap Bimantara heran melihat Kepala Perguruan itu mampu menangkap tubuhnya disaat dia tengah melakukan teknik tendangan seribu.“Kau masih harus melatih konsentrasimu saat melakukan jurus tendangan seribu, jika tidak musuh akan menggunakan tekniknya untuk mengetahui keberadaanmu disaat tubuhmu bergerak cepat,” pinta Kepala Perguruan.“Baik, Tuan Guru,” ucap Bimantara. “Apakah Tuan Guru menjengukku kemari karena pengembaraanku sudah harus aku lakukan?” tanya Bimantara heran.Kepala Perguruan mengeluarkan pelakat perak dari balik pakaiannya lalu m
Esoknya, Bimantara berdiri dengan tongkatnya di hadapan Kepala Perguruan dan teman-temannya. Dahayu menatap Bimantara dengan sedih. Sementara Bimantara menatap wajah Kepala Perguruan dengan tatapan penuh semangat. Buntalan kain sudah di punggungnya.“Aku berangkat, Tuan Guru Besar. Aku pasti kembali membawa bunga raksasa merah itu,” ucap Bimantara.“Ingat semua pesanku agar kau bisa menempuh pulau itu dengan aman,” pinta Kepala Perguruan padanya.“Baik, Tuan Guru.”Bimantara pun menoleh pada Dahayu. “Aku pergi dulu,” ucap Bimantara.Dahayu pun mengangguk. Lalu Bimantara menoleh pada Kancil, Pangeran Sakai, Rajo, Wira, Welas dan Sanum sambil tersenyum.“Aku pasti akan merindukan bertualang bersama kalian lagi,” ucap Bimantara.Semua tersenyum padanya.“Jaga dirimu baik-baik,” pinta Kancil.Bimantara mengangguk. “Semoga kalian semuanya bisa berhasil melakukan tugas terakhir untuk mendapatkan kitab sakti masing-masing.”Bimantara pun berjalan menuju kapal layar milik perguruan. Kapal lay
Malam itu Raja Dawuh mengadakan jamuan makan malam bersama Panglima Susesa di istana. Hidangan lezat sudah tersaji di atas meja. Para pelayan berdiri mengelilingi mereka, bersiap diperintah untuk kelancaran jamuan makan malam itu. Maksud kedatangannya ke sana sudah dibicarakan sebelumnya. Raja Dawuh menyambut dengan baik niat kerjaan Tala untuk menyambungkan kembali persahabatan yang redup hampir seratus tahun lamanya.“Hamba sangat mengucapkan ribuan terima kasih kepada yang mulia telah menyambut hamba dengan baik,” ucap Panglima Susesa penuh hormat.“Selama niat kerjaan Tala mengunjungi kami dengan niat yang baik, tentu saya akan menyambutnya dengan baik,” sahut Raja Dawuh. “Saya juga mengucapkan terima kasih atas hadiah yang diberikan yang mulia rajamu kepada saya.Panglima Susesa angguk-angguk. Raja Dawuh kembali menikmati makan malamnya. Panglima Susesa melihat ke prajuritnya yang berdiri sebentar, memberi kode bahwa misi mereka untuk melepaskan para pendekar dalam awak kapal har
Saat kelima pendekar itu maju hendak mengeluarkan jurus-jurusnya ke Bimantara. Bimantara pun langsung melompat dan menggunakan jurus tendangan seribunya pada mereka. Kelima pendekar itu pun terpelanting jauh menghantam pepohonan. Mereka mendarat ke atas tanah sambil memegangi bagian tubuh yang sakit.Bimantara memutar kepalanya untuk melihat mereka satu-satu dengan pandangan mata tajam. “Jangan lagi lakukan ini kepada siapapun yang melewati jalanan ini!” pinta Bimantara. “Hari ini aku tidak akan membunuh kalian, tapi jika sekali lagi aku melihat kalian merampok di sini, maka aku tidak akan segan-segan mematahkan leher kalian!”“Ampun anak muda! Ampuni kami!” mohon salah satu pendekar itu pada Bimantara. Keempat pendekar lainnya pun berlutut padanya memohon ampunan.“Kami berjanji tak akan merampok di sini lagi! Mohon jangan bunuh kami,” ucap pendekar lainnya.Bimantara tidak menyahuti permohonan ampun mereka. Dia malah kembali melompat ke atas kuda, setelah itu dia kembali memacukan k
Prajurit itu datang menghadap Panglima Susesa di kediaman tamu kerajaan nusantara tengah. Panglima Susesa mengawasi sekitar, khawatir ada mata-mata kerajaan yang akan mendengar pembicaraan mereka. Saat dia merasa sudah aman, dia pun bicara pada prajuritnya.“Bagimana?” tanya Panglima Susesa padanya.“Semua pendekar sudah dilepaskan dari kurungannya,” jawab prajuritnya.“Bagus! Berarti esok kita bisa kembali ke kerajaan kita.”“Siap, Panglima!” jawab prajuritnya.Panglima Adhira yang sengaja mencuri dengar dari balik dinding kediaman tamu kerajaan itu tampak terkejut mendengarnya. Dia pun langsung pergi dari sana dengan langkah hati-hati. Namun langkahnya terhenti saat melihat Panglima Susesa melompat ke arahnya lalu mendarat di hadapannya.“Tidak sopan pihak kerjaan memata-matai tamu yang datang,” ancam Panglima Susesa padanya.“Kalian yang tidak sopan! Kamu sudah menyambut kedatangan kalian, namun ternyata kalian ingin mengacakukan kerajaan kami!” tegas Panglima Adhira.Panglima Suse
Pagi sekali, Raja Dawuh memanggil Panglima Adhira sebelum melepas kepergian tamu kerajaan dari kerajaan Tala. Panglima datang menemuinya di kediaman sang Raja. Dia berlutut penuh hormat padanya.“Ampun yang mula. Semalam hamba tidak menemukan kejanggalan apapun mengenai tamu kita,” ucap Panglima Adhira.Raja Dawuh mengernyit tak percaya. “Kau yakin?” tanyanya.“Hamba berkata benar yang mulia. Semalam hamba sudah mencoba berkeliling ke kediaman tamu kerajaan, namun hamba tidak menemukan kecurigaan apapun,” jawab Panglima Adhira.Raja Dawuh menarik napas berat lalu menghembuskannya.“Baiklah kalau begitu, mari kita hantarkan mereka untuk meninggalkan istana kita,” pinta Raja Dawuh sambil berdiri.“Baik, yang mulia,” ucap Panglima.Mereka pun berjalan menuju kediaman tamu kerajaan. Saat melangkah mengikuti Sang Raja, Panglima Adhira sebenarnya masih heran dengan kejadian semalam. Dia tiba-tiba berada di hadapan Panglima Susesa dan tidak ingat apapun kenapa dia tiba-tiba berada di hadapan
Kepala Pergurun berdiri sambil menatap Pendekar Pedang Emas yang tampak sadar namun masih terlihat lemas di ruangan Tabib Perguruan. Pendekar itu menatap kepala perguruan dengan lemah.“Apakah aku masih bisa diselamatkan?” tanya Pendekar Pedang Emas dengan sedih.“Percayalah, kau pasti akan sembuh. Bimantara tengah mengarungi samudera menuju daratan Suwarnadwipa untuk mendapatkan obat yang bisa mengeluarkan racun di tubuhmu,” jawab Kepala Perguruan.Pendekar Pedang Emas terkejut mendengarnya. “Kenapa harus jauh-jauh ke sana untuk mendapatkan obat penawar racun di tubuhku?”“Hanya di sana bunga raksasa merah berada. Dan hanya di sana kita bisa menemukannya,” jawab Kepala Perguruan.Pendekar Pedang Emas menatap langit-langit ruangan itu dengan tatapan sendu. “Harusnya Tuan Guru Besar tidak mengutus Bimantara ke sana,” ucap pendekar itu dengan tidak enak hati.“Hanya dia yang bisa ke sana. Semua murid harus menyelesaikan tugas akhirnya. Semua penghuni perguruan harus menunaikan tugas mas
Datuk Margi dan keempat pendekar lainnya tertawa melihatnya.“Kenapa? Kau belum pernah merasakannya?” tawa Datuk Margi.Keempat pendekar lainnya pun semakin terbahak-bahak melihat Bimantara tampak ketakutan dengan perempuan itu.“Aku akan mengajarimu,” rayu perempuan itu sambil bekedip pada Bimantara.“Maaf, sama yang lain saja, jangan denganku,” pinta Bimantara.Bimantara pun melangkah meninggalkan mereka menuju ujung kapal. Datuk Margi tampak marah. Dia melompat lalu berputar melewati Bimantara lalu mendarat ke hadapannya. Bimantara terkejut melihatnya.“Kau tidak tahu caranya berterima kasih pada tuan rumahmu,” ucap Datuk Margi dengan marah.“Maaf, aku tidak boleh melakukan itu,” ucap Bimantara dengan polosnya. Bagaimana pun dia ingin setia dengan Dahayu. Dia sudah berjanji pada dirinya sendiri akan selalu mencintai dahayu dan tak akan mengotori dirinya dengan perempuan lain.Saat Datuk Margi hendak mengeluarkan jurusnya untuk memberi pelajaran pada Bimantara. Tiba-tiba Saruang ber