Adi mengernyit heran kala istrinya itu hanya diam. Padahal biasanya istrinya itu suka berceloteh sepanjang jalan.
"De," "Eh iya, Mas?" kaget Hafizah karena tersentak dari lamunannya. Saat ini mereka tengah di perjalanan menuju tempat kerja. Sebelum ke kantor, Adi mengantarkan istrinya itu bekerja di salah satu sekolah menengah pertama di kota tempat mereka tinggal. Ya, Hafizah menjadi guru di sekolah SMP negeri. Istrinya itu baru saja lulus CPNS, yang artinya tidak menjadi guru honorer lagi. "Kamu kenapa diam saja dari tadi?" tanya Adi. Hafizah sedikit memiringkan badannya dan menatap suaminya itu serius. "Kamu benar-benar ingin poligami, Mas?" tanyanya. Mendapat pertanyaan seperti itu, Adi lantas tertawa. "Tidak akan, Sayang. Tadi malam Mas hanya bercanda, jangan dibawa serius, oke?" "Bercanda sampai dua kali?" Hafizah menunduk sedih. Jujur, pagi tadi ia sengaja bercanda saat suaminya itu menawarkan madu. Ia tahu arah bicara dari suaminya itu. Melihat istrinya menunduk, ada perasaan bersalah di hati seorang Adi. Adi menggenggam tangan istrinya dengan sebelah tangannya. Ia menatap lekat wanita yang memakai hijab warna hitam itu. "Kenapa kamu mellow seperti ini? Biasanya segala candaan yang Mas lontarkan, kamu tidak pernah seperti ini," Hafizah menggeleng pelan. Apa yang dikatakan suaminya itu benar adanya. Bahkan suaminya itu pernah melontarkan candaan tentang maut pun tetap ia tanggapi dengan santai dan ia balas bercanda. "Entahlah, Mas. Setelah candaan kamu tadi malam, aku selalu kepikiran akan hal itu. Apa aku tidak menarik lagi di matamu?" tanya Hafizah kembali menatap suaminya. Adi mengulas senyum tipisnya. "Kalau kamu tidak enak dengan candaan Mas soal poligami, Mas minta maaf dan tidak akan pernah mengulanginya lagi." ucapnya dengan tulus dan lembut. Hafizah mengerjap pelan. Padahal suaminya itu sudah berkata tulus. Tapi, hatinya masih gelisah memikirkan hal tersebut. Hafizah tersenyum dipaksakan. Ia menarik napas guna menetralkan perasannya. "Jangan diulangi lagi ya, Mas? Jujur, aku sakit saat kata itu keluar dari mulutmu," Adi mengangguk dan mengusap lembut punggung tangan sang istri. "Iya, Sayang." Adi melepaskan genggaman tangannya pada sang istri dan kembali fokus menyetir. Mereka tiba didepan gerbang sekolah tempat istrinya mengajar. "Pulang nanti Mas gak bisa jemput, tidak apa 'kan? Mas harus mempersiapkan berkas-berkas yang akan dibawa besok ke luar kota," Adi begitu me-ratukan istrinya itu. Setiap hari istrinya kerja dianter dan dijemput. Hafizah sudah ratusan kali melarang suaminya seperti itu karena Hafizah paham kalau pekerjaan di kantor itu banyak. Tapi, Adi tetap kekeuh ingin antar-jemput Hafizah. Hafizah mengangguk paham. "Tidak masalah, Mas. Aku bisa pulang naik taksi," Adi tersenyum senang, istrinya itu sungguh pengertian. "Terimakasih, dan sekali lagi Mas minta maaf." "Iya, aku turun sekarang ya?" pamit Hafizah sembari meraih tangan suaminya itu dan di ciumnya punggung tangan Adi dengan takzim. Adi mengusap kepala istrinya yang berbalut hijab itu, lalu mengecup kening istrinya dengan sayang. "Semangat bekerja istri kecilku," "Mas ih! Aku udah umur 23 dan itu udah dewasa, bukan kecil lagi." sewot Hafizah karena tidak suka dipanggil istri kecil. Menurutnya, kata kecil itu hanya cocok untuk perempuan dibawah umur 20 tahun. "Badanmu yang kecil, bukan masalah umur," ledek Adi kenyataan. Istrinya itu pendek, namun tetap ideal dimata masyarakat. Memiliki berat badan 50 kg dengan tinggi badan 155 cm itu termasuk normal. Hafizah mencibir. "Kamu aja yang ketinggian kayak tiang bendera!" "Kenapa tiang bendara?" tanya Adi heran. Biasanya seperti tiang listrik. "Kurus," Hafizah terkikik. Adi terkekeh kecil. "Ini bukan kurus. Tapi, ideal dan Mas punya ABS yang suka kamu raba," "Ish... Udah ah, aku mau kerja dulu. Bicara sama kamu gak akan ada habisnya." sengaja menghindari suaminya karena pipinya sudah memerah karena malu. Adi mengangguk, namun tak ayal ia terkekeh geli karena melihat istrinya yang malu-malu seperti itu. Setelah memastikan istrinya masuk disekolah dengan selamat tanpa adanya gangguan dari guru muda, Adi menjalankan mobilnya menuju kantornya. Pengantin baru begitu harmonis, apalagi mereka satu se frekuensi. Rumah tangga mereka dihiasi dengan canda tawa dari mereka berdua. Adi begitu menyayangi istrinya, selain berpendidikan, istrinya pandai mengurus dirinya. "Kenapa aku memiliki istri lucu sekali?" monolog Adi tersenyum lebar. Sesampainya Adi di kantor, sekretarisnya sudah menunggu dirinya di lobi. Ia mengerutkan keningnya karena tidak biasanya sang sekretaris menunggu dirinya. "Selamat pagi, Pak." sapa Putra, sekretaris Adi. "Pagi," Adi membalas sapaan dari bawahannya itu. "Tumben kamu menunggu saya diluar, Put?" sambil berjalan masuk. "Eum, Pak. Kita harus melakukan survei sekarang," Putra mengikuti langkah atasannya itu. Langkah Adi terhenti karena mendengar perkataan bawahannya itu. "Kenapa?" tanyanya. "Karena perusahaan lain juga mengincar tempat itu, Pak. Dan rencananya mereka akan datang besok. Untuk itu, kita harus pergi sekarang agar tidak keduluan perusahaan lain," jelas Putra. Mendengar penjelasan dari sekretarisnya, Adi menarik napas panjang. "Hubungi nomor rumah saya, dan minta Bibi untuk menyiapkan baju. Kita akan berangkat sebentar lagi," serunya. "Baik, Pak." Putra mengangguk patuh. Ia pun menghubungi telepon rumah dari bosnya itu. Adi sendiri pergi ke ruangannya dan akan menghubungi sang istri untuk berpamitan. Rencana pergi besok, malah sekarang dan ia tidak sempat berpamitan dengan istrinya itu. Semenjak menikah ia memang sering melakukan perjalanan bisnis. Tapi, tidak pernah dadakan seperti ini. Dan sekarang ia khawatir kalau istrinya semakin gelisah kalau ia tidak berpamitan. Adi menghela napas gusar kala istrinya tidak mengangkat telepon darinya. Ia harus segera berangkat dan apakah sempat berpamitan dengan istrinya disekolah? "Kita berangkat, Pak?" tanya Putra yang tiba-tiba hadir di ruangannya itu. "Iya," jawab Adi. Mereka pun langsung meninggalkan kantor. "Bisakah kita ke sekolah tempat istriku mengajar, Putra?" tanya Adi yang ingin berpamitan secara langsung. "Maaf, Pak. Pesawat sebentar lagi akan terbang. Kita harus secepatnya ke bandara agar tidak ketinggalan," Mendengar perkataan dari sekretarisnya, Adi hanya bisa menarik napas panjang. Ia mengeluarkan ponselnya dan mengirimi istrinya pesan. Mereka mampir ke rumah Adi terlebih dahulu untuk mengambil koper baju yang sudah disiapkan pembantunya itu. Setelahnya mereka langsung menuju bandara tanpa mampir kemana lagi. Diperjalanan pun, tak henti-hentinya Adi memeriksa ponselnya guna menunggu balasan dari istrinya. Namun, sampai sekarang masih belum ada balasan dari istrinya itu. *** "Bu, kenapa kamu cantik sekali?" "Iya, apa tips cantikmu, Bu?" "Bu, besar nanti, aku ingin menjadi guru sepertimu dan akan cantik sepertimu juga." "Ibu cantik, pintar, baik pula. Berbeda dengan Ibuku di rumah, dia sering memarahiku," "Ayahku tidak memiliki istri lagi. Andai Ibu belum menikah, aku ingin Ibu menjadi istri ayahku." Hafizah tersenyum manis mendengar celotehan murid-muridnya. Ia berdiri dan akan memberikan jawaban dari semua perkataan murid kelas 3 SMP itu. Hafizah seorang guru Bahasa Indonesia. Namun, ia selalu mengajarkan agama, dan attitude untuk para murid-muridnya itu. "Dengar Ibu, Oke?" "Oke..." "Bagi yang agama islam, jika ingin memuji seseorang, alangkah baiknya diawali dengan kalimat MasyaAllah atau Subhanallah. Tujuannya, agar yang dipuji tidak terkena penyakit Ain, paham?" "Bu, apa itu penyakit Ain?" "Penyakit ain adalah penyakit badan atau jiwa yang ditimbulkan oleh pandangan yang dengki atau takjub, seperti dikutip dari buku Demi Masa terbitan Pustawa Al Uswah (2019). Pandangan ini kemudian dimanfaatkan oleh setan dan menjadi sebab terjadinya bencana atau bahaya bagi orang yang terkena penyakit ini. Untuk itu, jika ingin memuji seseorang, bagusnya diawali dengan kata MasyaAllah agar setan tidak membuat seorang yang dipuji itu menjadi dengki, dan merasa sombong akan kecantikannya." jelas Hafizah panjang lebar. Semua murid yang memang mayoritas Islam itu mengangguk paham. "Dan untukmu, Sayang. Jangan katakan seperti itu lagi, oke? Mau bagaimana pun sikap Ibu kita, kita harus tetap hormat dan patuh pada beliau. Perjuangan Ibu sudah besar karena melahirkan kita kedua, dan jangan pernah sekalipun kita membuat beliau sakit hati. Jaga sikap dan tutur katamu, Sayang." nasehat Hafizah lembut pada anak yang tadi sempat menjelekkan ibunya sendiri. "Maaf, Bu." lirih anak itu. Hafizah tersenyum. "Jangan meminta maaf pada Ibu, Sayang." "Hm, aku akan meminta maaf pada Mama saat pulang nanti." Hafizah kembali duduk di kursinya karena merasa lelah untuk berdiri. Padahal ia belum begitu lama berdiri. Hafizah melirik jam tangannya yang ternyata waktu istirahat sebentar lagi. "Anak-anak, waktu istirahat sebentar lagi tiba. Cukup sampai disini dulu pembelajaran kita, Ibu ak-.. ." "Ibu..." sela muridnya. Hafizah menatap anak perempuan yang memanggilnya itu. "Ada apa?" "Ibu belum mengatakan tips cantik Ibu pada kami," keluh anak perempuan itu. Hafizah menghela napas dan tersenyum pada muridnya itu. Hafizah memang guru yang murah senyum, untuk itu banyak murid yang menyukainya walaupun ia guru baru. "Pake skincare dong, munafik sekali kalau Ibu mengatakan cantik Ibu karena air wudhu." Hafizah terkikik sendiri. "Skincare apa, Bu? Apakah skincare itu mahal?" tanya salah satu murid perempuan yang paling menonjol dari pada yang lainnya. Hafizah menggeleng sebagai jawaban. "Skincare apapun bisa, asal kita memeriksakan kulit kita ke dokter spesialis kulit dulu. Kita minta saran padanya skincare apa yang cocok untuk kulit kita." "Baiklah, Bu." "Oh iya, satu lagi. Jangan dibiasakan menyela omongan orang tua seperti tadi ya? Ibu belum selesai bicara dan kalian sudah memotongnya, itu tidak boleh dan tidak sopan, mengerti?" "Mengerti, Bu. Maaf," Inilah yang membuatnya Hafizah betah mengajar. Sejauh ini muridnya langsung minta maaf jika kena tegur sekali saja. Tring..... "Nah, bel udah berbunyi nih. Pelajaran Ibu akhiri, Assalamu'alaikum," "Walaikumsalam..." sahut murid-murid itu dan mereka berbondong-bondong mendekati Hafizah karena ingin bersalaman sebelum mereka keluar. Dibalik pintu kelas, ada seorang guru muda yang memperhatikan cara mengajar Hafizah. Ia menyunggingkan senyumnya tipis karena ia selalu dibuat kagum oleh Hafizah. Selain kagum dengan kecantikan wajah Hafizah, ia juga kagum akan sikap ramah ya walaupun kadang absurd juga. Dan sekarang ia melihat cara Hafizah mengajar. Rasa kagumnya bertambah besar. "Sadar Hafidz! Dia istri orang!" monolognya sambil menggelengkan kepalanya kuat. Ia segera meninggalkan tempat itu dan keruangan guru. Hafidz, anak dari pemilik sekolah tempat ia bekerja sekarang. Ia bekerja sebagai guru Bahasa Inggris disekolah ayahnya sendiri. Kenapa ia memilih menjadi guru biasa dibanding menjadi kepala sekolah? Itu karena, Hafidz ingin sukses sendiri tanpa bantuan ayahnya walaupun bekerja tetap disekolah milik ayahnya. Hafizah memasuki ruangan guru dan langsung duduk di tempatnya. Ia mengambil air mineral yang ada diatas mejanya itu dan meminumnya. "Capek ya? Gak biasanya kamu langsung minum setelah mengajar," tanya Salma, teman Hafizah yang sudah memiliki dua anak itu. Hafizah tersenyum dan mengangguk. "Hari ini aku berasa cepat lelah," ujarnya. "Kamu sakit?" tanya Salma, yang langsung menempelkan punggung tangannya pada jidat Hafizah. "Gak kok, Mbak." Salma manggut-manggut setelah memegang jidat Hafizah. Ia tersenyum penuh arti menatap Hafizah. "Kamu merindukan suamimu?" godanya. "Apasih, Mbak? Emang rasa lelahku karena merindukan Mas Adi?" Hafizah terkekeh sendiri. Salma tertawa kecil. "Siapa tau, 'kan? Pengantin baru biasanya ingin selalu menempel dan jika terpisah rasanya cepat lelah," "Bukan pengantin baru, Mbak. Udah 4 bulan kok," "Itu masih baru, Fizah...." gemes Salma, "Yaudah, Mbak mau ke kantin dulu. Kamu mau ikut atau menitip sesuatu?" tawarnya. Hafizah berpikir sejenak. "Eum, nitip bantal ya, Mbak. Fizah mau tidur ini," ia nyengir karena melemparkan candaan pada Salma. "Ngawur kamu. Emang kantin kita toko serbaguna?" "Serba ada, Mbak." ralat Hafizah membenarkan. "Nah iya, itu. Kalau mau nitip itu jangan yang mustahil dong," Hafizah terkekeh kecil. "Nitip... . Eh, gak deh," ujarnya nyengir kuda. Salma menatap datar Hafizah. "Dari tadi kek," sewot nya, namun tak marah. Ia memaklumi Hafizah yang seperti itu. Walaupun terlihat seperti wanita kalem, sebenarnya Hafizah itu tipe orang yang pecicilan dan jahil. "Hehe, maaf, Mbak." "Hm, Assalamu'alaikum," "Walaikumsalam." sahut Hafizah sambil memperhatikan Salma keluar dengan guru-guru yang lain itu. Hafizah mengeluarkan ponselnya dan menghidupkannya. Disaat ia mengajar, ia memang suka mematikan ponselnya agar jam ajarnya tidak terganggu. "Mas Adi," gumam Hafizah saat membuka ponselnya dan terdapat pesan dari suaminya itu. Mas Adi [Sayang, mohon maaf sebelumnya. Mas harus pergi ke luar kota sekarang dan tadi Mas udah coba telepon kamu, tapi tidak bisa. Mas minta maaf karena pergi tanpa pamit padamu, oke? Kamu jangan lupa makan, sholat, dan tidur. Jaga kesehatan mu, jangan terlalu capek. Mas akan segera menyelesaikan kerjaan dan pulang. Love u my wife♡] Hafizah tersenyum membaca pesan romantis dari suaminya itu. Ia pun membalas pesan itu tak kalah romantis, walaupun diselingi candaan. Me [Iya Mas, gpp. Kamu juga jangan lupa makan, minum, berak, pipis, sholat, tidur, dll. Jaga kesehatan, jaga mata, mata batin, mata kaki, mata mata, hati, jantung, ginjal, paru-paru, dan usus ya, Mas? Hehe. Aku akan menunggu Mas pulang dan jangan lupa oleh-oleh nya, oke? Love u too mh husband ♡] Hafizah terkikik kala membaca ulang pesan yang ia kirim pada suaminya itu. "Semoga selamat sampai tujuan, Aamiin.." do'anya untuk sang suami tercinta.Adi menyunggingkan senyumnya kala membaca pesan absurd dari istrinya itu. Ah, rasanya ia ingin pulang karena sudah merindukan istrinya itu."Dia begitu lucu," gumamnya."Mari, Pak." ajak Putra yang membuat Adi terperanjat kaget.Adi mengangguk dan mengikuti sekretarisnya itu. Mereka baru saja tiba di bandara dan sekarang sedang mencari taksi untuk ke penginapan."Pak, kita menginap di hotel atau di desa itu?" tanya Putra."Kita menginap di hotel aja, Put." jawab Adi."Kita pesan online saja hotelnya, Pak. Soalnya, rekan bisnis Bapak ingin kita langsung ke desa untuk melihat tanah yang dijual warga desa itu," jelas Putra."Tidak ada waktu istirahat sebentar?" tanya Adi yang ingin istirahat setelah penerbangan mereka.Putra menggeleng sebagai jawaban. "Pak Wibowo ingin langsung survei sekarang juga, Pak,"Perusahaan Adi bekerjasama dengan perusahaan Wibowo untuk pembangunan klinik kesehatan di desa terpencil itu. Walaupun klinik tersebut untuk membantu warga desa, tetap saja mereka memb
Setelah selesai sholat subuh, Hafizah mengaji. Baru saja hendak memulai ngajinya, ia mendadak mual-mual. Dengan cepat Hafizah berlari menuju kamar mandi.Setengah jam berlalu, dan matahari sudah mulai menunjukkan sinarnya. Hafizah masih saja mual dan ia benar-benar lemas."Sayang, jangan gini dong. Bunda udah lemas ini," Hafizah memegang perut ratanya. Ia menarik napas dan menghembuskannya secara perlahan.Hafizah tersenyum kecil karena ia sudah berhenti mual. "Terima kasih udah ngertiin Bunda, Sayang."Hafizah keluar dari kamar mandi dan membereskan tempat beribadahnya tadi. Ia melepaskan mukenanya dan memasang hijab yang langsung pakai.Sebelum turun ke bawah untuk membantu Bibi memasak, ia memeriksa ponselnya. Senyum manisnya terukir kala melihat pesan dari suaminya.**Mas Adi:** [De, hari ini Mas akan pulang. Tunggu Mas ya, Sayang...]**Me:** [Aku menunggumu, Mas. Ada sesuatu yang akan ku berikan padamu. Jadi, cepatlah pulang.]Setelah membalas pesan dari suaminya, Hafizah memikir
"Maafin Mas, De. Mas menikah lagi dan dia istri kedua Mas." Deg! "Ya Allah, mimpi itu?" Langkah Hafizah mundur beberapa langkah karena mendengar pengakuan suaminya. Hafizah menggeleng tak percaya dengan kenyataan yang ada di depannya sekarang. Tapi, dengan segera ia mengkondisikan ekspresinya. Kalau kalian kira Hafizah akan menangis di depan mereka, itu salah. Hafizah tipe orang yang berani di luar, namun dalam kesendirian ia menangis. Biasanya orang seperti ini menjalani masa kecil atau masa lalu yang kelam. "De," panggil Adi yang hendak mendekati istri pertamanya itu. "Fizah aja, Mas," ujar Hafizah yang kembali mendekat. Ia meraih tangan suaminya itu dan mencium punggung tangan Adi dengan takzim. Lia yang melihat itu mengernyit heran karena istri pertama dari suaminya itu tidak mengeluarkan reaksi berlebihan, bahkan tidak sampai memarahinya. "Sesabar itu?" batin Lia. "Ayo masuk, Mas," Hafizah melirik perempuan seksi yang di belakang suaminya itu. "Liat, Mbak," ucap Lia se
Sepasang suami-istri tengah memadu kasih di malam sunah yang dianjurkan Nabi, yaitu malam Jumat. Di tengah permainan, si suami berhenti bergerak dan menatap istrinya lekat."De, boleh Mas ngomong serius?" tanya si suami."Apa, Mas? Kalau mau ngomong, ngomong aja," sahut si istri yang menekan punggung suaminya agar milik suaminya menusuk hingga terdalam."Mas mau poligami, boleh?"Deg!Hafizah, wanita cantik yang berumur 23 tahun itu, menatap suaminya lekat. Ia yang tadinya bergairah dengan permainan itu tiba-tiba merasakan kehambaran."Jangan bercanda, Mas," ujar Fizah lembut. Pasalnya, rumah tangganya dan sang suami baik-baik saja. Terlebih, mereka baru saja menjalani biduk rumah tangga selama 4 bulan. Masih baru dan hangat-hangatnya."Mas serius," kata lelaki di atas Hafizah itu.Hafizah menarik napas panjang. "Minggir, Mas," pintanya. Sakit? Tentu. Siapa yang tidak sakit hati saat suaminya meminta izin untuk menikah lagi? Meminta izin saat sedang santai saja sakit hati. Apalagi ini
"Maafin Mas, De. Mas menikah lagi dan dia istri kedua Mas." Deg! "Ya Allah, mimpi itu?" Langkah Hafizah mundur beberapa langkah karena mendengar pengakuan suaminya. Hafizah menggeleng tak percaya dengan kenyataan yang ada di depannya sekarang. Tapi, dengan segera ia mengkondisikan ekspresinya. Kalau kalian kira Hafizah akan menangis di depan mereka, itu salah. Hafizah tipe orang yang berani di luar, namun dalam kesendirian ia menangis. Biasanya orang seperti ini menjalani masa kecil atau masa lalu yang kelam. "De," panggil Adi yang hendak mendekati istri pertamanya itu. "Fizah aja, Mas," ujar Hafizah yang kembali mendekat. Ia meraih tangan suaminya itu dan mencium punggung tangan Adi dengan takzim. Lia yang melihat itu mengernyit heran karena istri pertama dari suaminya itu tidak mengeluarkan reaksi berlebihan, bahkan tidak sampai memarahinya. "Sesabar itu?" batin Lia. "Ayo masuk, Mas," Hafizah melirik perempuan seksi yang di belakang suaminya itu. "Liat, Mbak," ucap Lia se
Setelah selesai sholat subuh, Hafizah mengaji. Baru saja hendak memulai ngajinya, ia mendadak mual-mual. Dengan cepat Hafizah berlari menuju kamar mandi.Setengah jam berlalu, dan matahari sudah mulai menunjukkan sinarnya. Hafizah masih saja mual dan ia benar-benar lemas."Sayang, jangan gini dong. Bunda udah lemas ini," Hafizah memegang perut ratanya. Ia menarik napas dan menghembuskannya secara perlahan.Hafizah tersenyum kecil karena ia sudah berhenti mual. "Terima kasih udah ngertiin Bunda, Sayang."Hafizah keluar dari kamar mandi dan membereskan tempat beribadahnya tadi. Ia melepaskan mukenanya dan memasang hijab yang langsung pakai.Sebelum turun ke bawah untuk membantu Bibi memasak, ia memeriksa ponselnya. Senyum manisnya terukir kala melihat pesan dari suaminya.**Mas Adi:** [De, hari ini Mas akan pulang. Tunggu Mas ya, Sayang...]**Me:** [Aku menunggumu, Mas. Ada sesuatu yang akan ku berikan padamu. Jadi, cepatlah pulang.]Setelah membalas pesan dari suaminya, Hafizah memikir
Adi menyunggingkan senyumnya kala membaca pesan absurd dari istrinya itu. Ah, rasanya ia ingin pulang karena sudah merindukan istrinya itu."Dia begitu lucu," gumamnya."Mari, Pak." ajak Putra yang membuat Adi terperanjat kaget.Adi mengangguk dan mengikuti sekretarisnya itu. Mereka baru saja tiba di bandara dan sekarang sedang mencari taksi untuk ke penginapan."Pak, kita menginap di hotel atau di desa itu?" tanya Putra."Kita menginap di hotel aja, Put." jawab Adi."Kita pesan online saja hotelnya, Pak. Soalnya, rekan bisnis Bapak ingin kita langsung ke desa untuk melihat tanah yang dijual warga desa itu," jelas Putra."Tidak ada waktu istirahat sebentar?" tanya Adi yang ingin istirahat setelah penerbangan mereka.Putra menggeleng sebagai jawaban. "Pak Wibowo ingin langsung survei sekarang juga, Pak,"Perusahaan Adi bekerjasama dengan perusahaan Wibowo untuk pembangunan klinik kesehatan di desa terpencil itu. Walaupun klinik tersebut untuk membantu warga desa, tetap saja mereka memb
Adi mengernyit heran kala istrinya itu hanya diam. Padahal biasanya istrinya itu suka berceloteh sepanjang jalan."De,""Eh iya, Mas?" kaget Hafizah karena tersentak dari lamunannya.Saat ini mereka tengah di perjalanan menuju tempat kerja. Sebelum ke kantor, Adi mengantarkan istrinya itu bekerja di salah satu sekolah menengah pertama di kota tempat mereka tinggal.Ya, Hafizah menjadi guru di sekolah SMP negeri. Istrinya itu baru saja lulus CPNS, yang artinya tidak menjadi guru honorer lagi."Kamu kenapa diam saja dari tadi?" tanya Adi.Hafizah sedikit memiringkan badannya dan menatap suaminya itu serius. "Kamu benar-benar ingin poligami, Mas?" tanyanya.Mendapat pertanyaan seperti itu, Adi lantas tertawa. "Tidak akan, Sayang. Tadi malam Mas hanya bercanda, jangan dibawa serius, oke?""Bercanda sampai dua kali?" Hafizah menunduk sedih. Jujur, pagi tadi ia sengaja bercanda saat suaminya itu menawarkan madu. Ia tahu arah bicara dari suaminya itu.Melihat istrinya menunduk, ada perasaan
Sepasang suami-istri tengah memadu kasih di malam sunah yang dianjurkan Nabi, yaitu malam Jumat. Di tengah permainan, si suami berhenti bergerak dan menatap istrinya lekat."De, boleh Mas ngomong serius?" tanya si suami."Apa, Mas? Kalau mau ngomong, ngomong aja," sahut si istri yang menekan punggung suaminya agar milik suaminya menusuk hingga terdalam."Mas mau poligami, boleh?"Deg!Hafizah, wanita cantik yang berumur 23 tahun itu, menatap suaminya lekat. Ia yang tadinya bergairah dengan permainan itu tiba-tiba merasakan kehambaran."Jangan bercanda, Mas," ujar Fizah lembut. Pasalnya, rumah tangganya dan sang suami baik-baik saja. Terlebih, mereka baru saja menjalani biduk rumah tangga selama 4 bulan. Masih baru dan hangat-hangatnya."Mas serius," kata lelaki di atas Hafizah itu.Hafizah menarik napas panjang. "Minggir, Mas," pintanya. Sakit? Tentu. Siapa yang tidak sakit hati saat suaminya meminta izin untuk menikah lagi? Meminta izin saat sedang santai saja sakit hati. Apalagi ini