Share

bab 3

Author: Tikha
last update Last Updated: 2025-01-12 14:17:45

Adi menyunggingkan senyumnya kala membaca pesan absurd dari istrinya itu. Ah, rasanya ia ingin pulang karena sudah merindukan istrinya itu.

"Dia begitu lucu," gumamnya.

"Mari, Pak." ajak Putra yang membuat Adi terperanjat kaget.

Adi mengangguk dan mengikuti sekretarisnya itu. Mereka baru saja tiba di bandara dan sekarang sedang mencari taksi untuk ke penginapan.

"Pak, kita menginap di hotel atau di desa itu?" tanya Putra.

"Kita menginap di hotel aja, Put." jawab Adi.

"Kita pesan online saja hotelnya, Pak. Soalnya, rekan bisnis Bapak ingin kita langsung ke desa untuk melihat tanah yang dijual warga desa itu," jelas Putra.

"Tidak ada waktu istirahat sebentar?" tanya Adi yang ingin istirahat setelah penerbangan mereka.

Putra menggeleng sebagai jawaban. "Pak Wibowo ingin langsung survei sekarang juga, Pak,"

Perusahaan Adi bekerjasama dengan perusahaan Wibowo untuk pembangunan klinik kesehatan di desa terpencil itu. Walaupun klinik tersebut untuk membantu warga desa, tetap saja mereka membeli tanah itu.

Adi menarik napas pasrah. "Baiklah, pesan hotel untuk 2 kamar."

Beruntung jarak desa dan kota tidak terlalu jauh. Jadi, ia dan sang sekretaris bisa menginap di hotel dan tidak perlu merepotkan warga desa untuk menginap.

"Baik, Pak."

Tak lama mereka menunggu, taksi yang mereka pesan sudah tiba. Adi dan sekretarisnya langsung masuk dan menuju perjalanan ke desa tujuan mereka.

***

Hafizah sedang duduk sendirian di halte guna menunggu taksi online yang ia pesan.

"Kok belum nyampe juga? Aku sudah pusing ini," keluh Hafizah karena taksi tersebut tak kunjung tiba. Kepalanya benar-benar terasa pusing dan ia ingin segera pulang untuk mengistirahatkan diri.

"Nunggu suaminya?"

Hafizah mendongak saat mendengar suara seseorang menyapanya. "Taksi, Pak Hafidz," jawabnya setelah sekilas melihat seseorang yang menyapa nya itu. Tidak mungkin ia berlama-lama menatap lawan jenisnya, bukan?

Hafidz mengangguk pelan. "Kamu sakit?" tanyanya karena wajah Hafizah terlihat lesu.

Hafizah menggeleng sebagai jawaban. "Tidak, Pak. Hanya sedikit pusing,"

"Bagaimana saya anterin pulang? Sepertinya kamu harus segera istirahat,"

Hafizah lantas menggeleng, ia tersenyum manis. "Tidak perlu, Pak. Bentar lagi taksinya datang kok, terimakasih tawarannya." tolak nya halus.

Hafidz mengangguk pelan. Ia mengerti kalau wanita itu pasti menjaga perasaan suaminya. "Kalau begitu, saya duluan, Bu Fizah."

"Iya, Pak, Assalamu'alaikum."

"Walaikumsalam."

Setelah kepergian Hafidz, Hafizah memejamkan matanya sambil menarik napas. Tak lama taksi yang ia pesan akhirnya tiba.

"Pak, ke rumah sakit dulu, ya? Saya benar-benar pusing ini,"

"Baik, Bu."

Rasanya ia tak tahan untuk pulang, karena jarak rumahnya cukup jauh dibanding ke rumah sakit. Untuk itu ia ke rumah sakit terlebih dahulu.

"Rindu Mas Adi," gumam Hafizah tiba-tiba.

Skip

Setibanya di rumah sakit, Hafizah langsung diperiksa karena wanita itu pingsan saat diperjalanan menuju rumah sakit. Sopir taksi itu panik bukan kepalang, ia takut nantinya disalahkan karena penumpang itu pingsan di tempatnya.

"Bagaimana, Dok?" tanya pria paruh baya, atau sopir taksi yang membawa Hafizah itu.

"Anda ayahnya, Pak?" tanya Dokter perempuan itu.

Bapak itu lantas menggeleng. "Dok, anda lihat saya pakai baju apa? Saya sopir taksi," celetuknya.

Si dokter terkekeh karena mendengar perkataan dari pria paruh baya di depannya itu. Ia kan hanya bertanya, karena si sopir terlihat benar-benar panik.

"Bapak tenang saja, dia baik kok."

"Kalau baik, kenapa bisa pingsan, Dok?"

"Sebentar ya, Pak. Saya mau panggil teman saya dulu untuk memeriksa ulang keadaan wanita itu,"

Bapak tersebut mengangguk cepat. Dokter itu pun pamit untuk memanggil temannya didalam bidang kandungan.

Tak lama dokter tadi kembali dengan membawa satu temannya. Mereka bertiga pun masuk ke ruangan tempat Hafizah diletakkan.

Hafizah yang sudah sadar sedari tadi pun mengernyit heran karena melihat mereka masuk.

"Sudah sadar, Bu? Masih pusing?" tanya dokter perempuan itu ramah.

Hafizah tersenyum hangat dan mengangguk. "Masih sedikit pusing, Dok. Saya sakit apa?" tanyanya waspada.

"Tidak sakit kok," sahut dokter itu terkekeh. Ia mempersiapkan alat untuk memeriksa kandungan.

Dokter spesialis kandungan itu mendekat. "Bu, bajunya kita buka sedikit, ya?" izinnya.

Hafizah melirik sopir taksi yang ada di sana itu. Ia tidak mungkin membiarkan laki-laki lain melihat auratnya.

"Pak, bisa balik badan dulu?" pinta dokter menyuruh sopir taksi itu.

Seakan paham, si bapak langsung membalikkan badannya.

"Buka, ya?"

Hafizah mengangguk setuju. Ia mengajar tidak menggunakan gamis, melainkan baju dinas yang menggunakan rok. Jadi, sedikit mudah untuk dokter menyingkap baju Hafizah.

"Perhatikan layar monitor itu, Bu."

Hafizah menurut, ia memperhatikan layar yang seperti TV itu. Perutnya sedikit menyusut karena merasakan gel yang dioleskan ke perutnya.

"Liat itu, kamu hamil dan usia kandunganmu sudah 3 minggu." ujar sang dokter.

Hafizah tertegun melihat gumpalan darah yang terlihat seperti kacang itu. Ia tidak menduga kalau ia hamil setelah satu bulan tidak meminum pil KB.

"Dimana suaminya, Bu?" tanya dokter itu.

Hafizah yang memperhatikan buah hatinya itu, tersentak karena pertanyaan dari dokter tersebut.

"Suami saya pergi dinas keluar kota, Dok."

Dokter tersebut manggut-manggut. "Pulang nanti, beri kabar gembira ini, Bu."

Hafizah tersenyum saat membayangkan itu. "Pasti Mas Adi senang," ujarnya.

***

"Bagaimana?"

Adi mengangguk tanda setuju. "Tanah ini cocok untuk dijadikan klinik karena sangat dekat dengan kampung warga." jelasnya.

Beberapa jam mereka menyurvei beberapa tanah untuk mencari yang pas, akhirnya mereka dapat juga. Adi benar-benar kelelahan karena ia dari tadi berjalan kesana-kemari.

"Jadi deal, ya?" Pak Wibowo menyodorkan tangannya pada Adi.

Adi menerimanya dan mereka saling bersalaman tanda kerjasama mereka akan terlaksanakan.

"Berarti besok udah bisa pulang, 'kan?" tanya Adi tersenyum.

Pak Wibowo mengangguk. "Iya, beruntung hanya satu hari saja kita melakukan survei,"

"Alhamdulillah,"

"Pak, Pak.."

Adi dan Wibowo menoleh saat mereka dipanggil. Salah satu warga menghampiri mereka.

"Kalian mau pulang?"

Adi mengangguk mengiyakan. Ia ingin segera merebahkan dirinya di kasur.

"Sebelum pulang, mari mampir dulu ke rumah saya, Pak. Saya sudah menyiapkan jamuan untuk kalian,"

Wibowo melirik ke arah Adi untuk meminta pendapat. Karena tidak enak, Adi mengangguk pertanda setuju.

"Baiklah,"

Bapak itu pun tersenyum dan menuntun kedua pengusaha itu menuju rumahnya.

Sesampainya di rumah warga tersebut, mereka langsung makan bersama dan berbincang-bincang hingga malam tiba.

"Sudah malam, tidak terasa kita sudah berbicara dua jam. Saya pulang dulu, Pak, Bu, Adi." pamit Wibowo.

"Iya, Pak. Terimakasih sudah mampir,"

"Pak, kita pulang juga?" tanya Putra berbisik pada Adi.

Adi yang sedari tadi diam itu lantas menggeleng pelan. "Kita menginap disini bisa? Saya benar-benar pusing karena kelelahan," lirihnya. Padahal ia tadi ia tidak se pusing sekarang.

Putra mengangguk dan meminta izin pada bapak pemilik rumah itu untuk menginap satu malam.

"Pak, bisa kami menginap? Sepertinya bos saya sedang sakit," izin Putra.

Bapak tersebut lantas mengangguk setuju. "Boleh, mari bawa bos mu ke kamar." ujarnya.

Dengan cepat Putra menghampiri bos nya dan membantu sang bos berdiri. Putra dan pemilik rumah itu memapah Adi ke salah satu kamar yang ada di rumah itu.

Setelah memastikan Adi berbaring dengan nyaman, mereka berdua keluar. "Badannya panas," celetuk bapak itu.

Putra mengangguk. "Benar, mungkin bos saya kecapekan."

"Iya, kamu istirahat lah juga. Entar istri atau anak saya yang akan mengompres dia,"

Putra menatap bapak itu tidak enak. "Tidak perlu, Pak. Biar saya aja yang urus sendiri,"

"Tidak apa-apa. Kamu juga pasti capek, 'kan?"

Tidak munafik, Putra mengangguk mengiyakan. Ia juga kelelahan karena menemani bos nya itu.

"Istirahatlah,"

"Baik. Maaf merepotkan, Pak."

"Sudah tugas kami melayani tamu," bapak itu tersenyum menatap Putra.

Putra pun ikut tersenyum, bapak tersebut menunjukkan kamar untuk Putra tidur. Yang menjamu itu, termasuk orang yang memiliki uang dibanding warga lainnya. Untuk itu, di rumah beliau ada beberapa kamar karena memang rumahnya luas.

Setelah mengantarkan Putra di kamarnya, beliau ke kamar sang putri untuk meminta bantuan.

"Lia...."

"Masuk aja,"

Beliau masuk dan tersenyum mendapati putrinya yang tengah membaca buku itu.

"Ada apa, Pak?" tanya Lia menatap ayahnya itu.

"Kamu ini, betah sekali seharian dikamar."

"Buat apa Lia keluar? Itu itu aja kok yang dilihat, bosen." sahut Lia malas.

Mendengar perkataan putrinya, ia tersenyum kecut. "Kalau kamu begini terus, bagaimana ada laki-laki yang melirik mu? Umur udah 26 masa belum menikah?"

Lia memutar bola matanya malas. "Bapak kebiasaan deh! Gak usah bahas nikah mulu. Kalau jodoh Lia sudah tiba, ada saatnya nanti Lia menikah." kesalnya karena bapaknya itu selalu meminta dirinya untuk menikah. Padahal jodoh sudah di tangan Tuhan, bukan? Kita nunggu saja.

Beliau menghela napas. "Maaf, ya? Mau bantu bapak?"

"Bantu apa?"

"Ada tamu yang menginap, dan dia sakit."

"Lalu?"

"Bisa kamu rawat dia? Bapak mau rawat ibumu yang sedang sakit itu juga,"

Lia mendengus kesal mendengar permintaan ayahnya itu. "Itu tamu bapak, kok malah Lia yang urus?" kesal.

"Please, kompres sebentar doang," mohon nya.

Lia menarik napas panjang. "Hm," deham nya.

Beliau pun tersenyum dan menyuruh putrinya untuk menyiapkan kompresan. Walaupun kesal, Lia menurut dan pergi ke dapur untuk menyiapkan semuanya.

Lia masuk ke kamar dimana Adi beristirahat. Ia melangkah malas menghampiri pria tersebut.

Mata Lia menatap kagum saat melihat wajah Adi. "Tampan sekali," pujinya.

Lia duduk di tepi ranjang dan memegang jidat Adi. "Panas sekali," gumamnya. Ia pun mengambil kain yang ada di ember kecil itu dan memerahnya. Ia letakkan diatas jidat Adi.

Sambil menunggu, Lia tak henti-henti menatap kagum wajah tampan Adi dengan jarak dekat. "Ada pria setampan ini?" gumamnya terus menatap Adi.

Merasa keningnya agak basah, Adi perlahan sadar dan samar-samar melihat Lia. Lia tersentak karena tiba-tiba pria itu terbangun dan reflek menjauhkan wajahnya.

Adi menyinggungkan senyumnya. "De," ujarnya lirih. Adi memegang lengan Lia dan menariknya hingga tubuh Lia menubruk tubuhnya.

"Peluk, De. Mas kedinginan," racau Adi yang meminta untuk dipeluk.

Lia tidak membuka suara dan juga tidak menolak saat Adi memeluknya. Ia tersenyum miring dan mengambil kesempatan itu.

"Selamat tidur, Mas." bisiknya.

Adi tersenyum dalam tidurnya dan mengeratkan pelukannya pada Lia yang ia kira itu istrinya.

***

Paginya, suhu tubuh Adi sudah menurun. Ia masih belum sadar kalau ada orang lain yang di sana.

"Astagfirullah, kalian!!" tiba-tiba Pak Ahmad, ayah dari Lia itu berteriak saat masuk ke dalam kamar.

Adi menggeliat dalam tidurnya kala mendengar suara seseorang yang berteriak. Ia membuka matanya dan menatap ke arah pintu kamar.

"Ada apa, Pak?" tanya Adi heran.

"Liat, apa yang kamu lakukan pada putri saya?!" marah Pak Ahmad.

"Putri, Bapak?" bingung Adi. Ia melirik sekretarisnya yang baru datang itu.

Putra terbelalak kala melihat bosnya itu tengah tidur berdua dengan seorang perempuan. Putra memberikan isyarat bahwa ada seseorang disamping bosnya itu.

Adi yang mengerti isyarat mata dari Putra itu pun lantas menoleh ke samping. "Astagfirullahalazim." ucapnya yang bergegas turun dari ranjang.

Adi menatap pak Ahmad sambil menggeleng pertanda tidak tahu kenapa ia bisa tidur dengan perempuan itu.

"Pak, saya...."

"Lia!!!" teriak Pak Ahmad.

Lia menggeliat mendengar suara ayahnya itu. Ia menarik selimut guna menutupi seluruh tubuhnya. "Apasih, Pak? Lia gak sholat subuh, masih halangan." sahutnya.

"Bangun Lia!!"

Dengan kesal Lia bangun. "Apasih, Pa...." Lia langsung membungkam mulutnya kala menyadari apa yang telah terjadi.

"Bisa kamu jelaskan ini, Lia?" tanya Pak Ahmad menatap tajam Adi dan Lia.

"Pak, saya tidak tahu kalau pu..."

"Saya bicara dengan Lia, Tuan!" sela Pak Ahmad.

Adi lantas terdiam. Ia melirik Lia guna hendak mendengarkan penjelasan dari gadis itu.

"Bapak, tadi malam 'kan Lia rawat pria ini. Terus, dia meluk Lia dan mengatakan kalau dia kedinginan. Karena pelukannya cukup kuat, Lia pasrah dan ikut tidur bersama. Tapi, jujur, Lia sama pria ini gak ngapa-ngapain kok, Pak." jelas Lia apa adanya yang terjadi kemarin.

Adi yang mendengar itu lantas mengingat-ingat kejadian tadi malam. Ia hanya mengingat kalau istrinya tengah merawatnya yang sedang sakit dan meminta istrinya untuk memeluk dirinya.

"Astagfirullahalazim," istighfar Adi karena ia sudah menganggap orang lain adalah istrinya.

"Kalian harus menikah!" putus Pak Ahmad yang membuat Adi menggeleng keras.

"Pak, saya tidak apa-apain putri anda." protes Adi tak terima.

"Tetap saja kamu sudah tidur dengan putrinya saya yang jelas-jelas bukan mahrammu," ujar Pak Ahmad benar adanya.

"Pak, saya tidak bisa menikahi putri anda,"

"Kenapa?"

"Saya sudah memiliki istri,"

Pak Ahmad menghela napas. Ia menatap putrinya yang menunduk itu. "Lia, apa kamu ikhlas tubuhmu disentuh orang tanpa dinikahi?" tanyanya pada sang putri.

Lia menggeleng sebagai jawaban. "Dia harus bertanggungjawab, Pak. Lia tidak masalah meskipun jadi istri kedua," pungkasnya.

"Jangan seperti itu. Saya tidak ingin melukai hati istri tercinta saya!" sentak Adi menatap marah pada perempuan yang berambut panjang itu.

"Tapi anda sudah memeluk saja, Tuan." kata Lia lirih.

"Kenapa kamu tidak menampar saya? Saya sedang tidak sadar tadi malam." marah Adi.

Pak Ahmad menghela napas panjang. "Keputusan tidak bisa diganggu gugat. Kalian akan menikah pagi ini juga!" putusnya. "Lia, ayo keluar!" lanjutnya menyuruh putrinya untuk keluar.

Setelah ayah dan anak itu keluar, Adi terduduk lemas di tepi ranjang. Putra yang sedari tadi hanya diam itu lantas mendekati tuannya itu.

"Pak," Putra ikut duduk disamping tuannya itu.

Adi mengusap wajah gusar. "Bagaimana dengan perasaan istriku, Putra? Dia pasti sakit hati," lirihnya.

Mendengar perkataan dari Adi, Putra merasa bersalah karena tadi malam ia lah yang sudah meninggalkan tuannya itu tidur.

"Maafkan saya, Pak. Gara-gara saya meninggalkan anda tidur, anda harus mengalami ini," kata Putra sesal.

Adi tidak menjawab, ia memikirkan perasaan istrinya nanti. Mustahil ia menutupi pernikahan keduanya dari sang istri, bukan? Dosa akan terus menghampirinya.

"Bagaimana dikasih uang saja sebagai syarat tidak usah menikah, Pak?" usul Putra yang membuat Adi menatap sekretaris nya itu.

"Kamu benar,"

***

"Astagfirullahalazim," Hafizah mengatur napasnya kala terbangun akibat mimpi buruk. Ia bangkit dari tidurnya dan langsung menuju kamar mandi untuk mengambil air wudhu.

Hafizah melaksanakan sholat subuhnya, dan berdoa.

"YaAllah, kenapa perasaan hamba gelisah? Apa ini ada kaitannya dengan mimpi hamba tentang pernikahan kedua dari suami hamba. YaAllah, jika itu terjadi, hamba meminta maaf jika hamba akan menunjukkan sifat asli hamba. Tetap lindungi suami hamba di manapun dia berada, dan luaskan rezeki kami, Aamiin..."

Related chapters

  • Bertahan Karena Terlalu Mencintaimu   bab 4

    Setelah selesai sholat subuh, Hafizah mengaji. Baru saja hendak memulai ngajinya, ia mendadak mual-mual. Dengan cepat Hafizah berlari menuju kamar mandi.Setengah jam berlalu, dan matahari sudah mulai menunjukkan sinarnya. Hafizah masih saja mual dan ia benar-benar lemas."Sayang, jangan gini dong. Bunda udah lemas ini," Hafizah memegang perut ratanya. Ia menarik napas dan menghembuskannya secara perlahan.Hafizah tersenyum kecil karena ia sudah berhenti mual. "Terima kasih udah ngertiin Bunda, Sayang."Hafizah keluar dari kamar mandi dan membereskan tempat beribadahnya tadi. Ia melepaskan mukenanya dan memasang hijab yang langsung pakai.Sebelum turun ke bawah untuk membantu Bibi memasak, ia memeriksa ponselnya. Senyum manisnya terukir kala melihat pesan dari suaminya.**Mas Adi:** [De, hari ini Mas akan pulang. Tunggu Mas ya, Sayang...]**Me:** [Aku menunggumu, Mas. Ada sesuatu yang akan ku berikan padamu. Jadi, cepatlah pulang.]Setelah membalas pesan dari suaminya, Hafizah memikir

    Last Updated : 2025-01-12
  • Bertahan Karena Terlalu Mencintaimu   bab 5

    "Maafin Mas, De. Mas menikah lagi dan dia istri kedua Mas." Deg! "Ya Allah, mimpi itu?" Langkah Hafizah mundur beberapa langkah karena mendengar pengakuan suaminya. Hafizah menggeleng tak percaya dengan kenyataan yang ada di depannya sekarang. Tapi, dengan segera ia mengkondisikan ekspresinya. Kalau kalian kira Hafizah akan menangis di depan mereka, itu salah. Hafizah tipe orang yang berani di luar, namun dalam kesendirian ia menangis. Biasanya orang seperti ini menjalani masa kecil atau masa lalu yang kelam. "De," panggil Adi yang hendak mendekati istri pertamanya itu. "Fizah aja, Mas," ujar Hafizah yang kembali mendekat. Ia meraih tangan suaminya itu dan mencium punggung tangan Adi dengan takzim. Lia yang melihat itu mengernyit heran karena istri pertama dari suaminya itu tidak mengeluarkan reaksi berlebihan, bahkan tidak sampai memarahinya. "Sesabar itu?" batin Lia. "Ayo masuk, Mas," Hafizah melirik perempuan seksi yang di belakang suaminya itu. "Liat, Mbak," ucap Lia se

    Last Updated : 2025-01-12
  • Bertahan Karena Terlalu Mencintaimu   bab 1

    Sepasang suami-istri tengah memadu kasih di malam sunah yang dianjurkan Nabi, yaitu malam Jumat. Di tengah permainan, si suami berhenti bergerak dan menatap istrinya lekat."De, boleh Mas ngomong serius?" tanya si suami."Apa, Mas? Kalau mau ngomong, ngomong aja," sahut si istri yang menekan punggung suaminya agar milik suaminya menusuk hingga terdalam."Mas mau poligami, boleh?"Deg!Hafizah, wanita cantik yang berumur 23 tahun itu, menatap suaminya lekat. Ia yang tadinya bergairah dengan permainan itu tiba-tiba merasakan kehambaran."Jangan bercanda, Mas," ujar Fizah lembut. Pasalnya, rumah tangganya dan sang suami baik-baik saja. Terlebih, mereka baru saja menjalani biduk rumah tangga selama 4 bulan. Masih baru dan hangat-hangatnya."Mas serius," kata lelaki di atas Hafizah itu.Hafizah menarik napas panjang. "Minggir, Mas," pintanya. Sakit? Tentu. Siapa yang tidak sakit hati saat suaminya meminta izin untuk menikah lagi? Meminta izin saat sedang santai saja sakit hati. Apalagi ini

    Last Updated : 2025-01-12
  • Bertahan Karena Terlalu Mencintaimu   bab 2

    Adi mengernyit heran kala istrinya itu hanya diam. Padahal biasanya istrinya itu suka berceloteh sepanjang jalan."De,""Eh iya, Mas?" kaget Hafizah karena tersentak dari lamunannya.Saat ini mereka tengah di perjalanan menuju tempat kerja. Sebelum ke kantor, Adi mengantarkan istrinya itu bekerja di salah satu sekolah menengah pertama di kota tempat mereka tinggal.Ya, Hafizah menjadi guru di sekolah SMP negeri. Istrinya itu baru saja lulus CPNS, yang artinya tidak menjadi guru honorer lagi."Kamu kenapa diam saja dari tadi?" tanya Adi.Hafizah sedikit memiringkan badannya dan menatap suaminya itu serius. "Kamu benar-benar ingin poligami, Mas?" tanyanya.Mendapat pertanyaan seperti itu, Adi lantas tertawa. "Tidak akan, Sayang. Tadi malam Mas hanya bercanda, jangan dibawa serius, oke?""Bercanda sampai dua kali?" Hafizah menunduk sedih. Jujur, pagi tadi ia sengaja bercanda saat suaminya itu menawarkan madu. Ia tahu arah bicara dari suaminya itu.Melihat istrinya menunduk, ada perasaan

    Last Updated : 2025-01-12

Latest chapter

  • Bertahan Karena Terlalu Mencintaimu   bab 5

    "Maafin Mas, De. Mas menikah lagi dan dia istri kedua Mas." Deg! "Ya Allah, mimpi itu?" Langkah Hafizah mundur beberapa langkah karena mendengar pengakuan suaminya. Hafizah menggeleng tak percaya dengan kenyataan yang ada di depannya sekarang. Tapi, dengan segera ia mengkondisikan ekspresinya. Kalau kalian kira Hafizah akan menangis di depan mereka, itu salah. Hafizah tipe orang yang berani di luar, namun dalam kesendirian ia menangis. Biasanya orang seperti ini menjalani masa kecil atau masa lalu yang kelam. "De," panggil Adi yang hendak mendekati istri pertamanya itu. "Fizah aja, Mas," ujar Hafizah yang kembali mendekat. Ia meraih tangan suaminya itu dan mencium punggung tangan Adi dengan takzim. Lia yang melihat itu mengernyit heran karena istri pertama dari suaminya itu tidak mengeluarkan reaksi berlebihan, bahkan tidak sampai memarahinya. "Sesabar itu?" batin Lia. "Ayo masuk, Mas," Hafizah melirik perempuan seksi yang di belakang suaminya itu. "Liat, Mbak," ucap Lia se

  • Bertahan Karena Terlalu Mencintaimu   bab 4

    Setelah selesai sholat subuh, Hafizah mengaji. Baru saja hendak memulai ngajinya, ia mendadak mual-mual. Dengan cepat Hafizah berlari menuju kamar mandi.Setengah jam berlalu, dan matahari sudah mulai menunjukkan sinarnya. Hafizah masih saja mual dan ia benar-benar lemas."Sayang, jangan gini dong. Bunda udah lemas ini," Hafizah memegang perut ratanya. Ia menarik napas dan menghembuskannya secara perlahan.Hafizah tersenyum kecil karena ia sudah berhenti mual. "Terima kasih udah ngertiin Bunda, Sayang."Hafizah keluar dari kamar mandi dan membereskan tempat beribadahnya tadi. Ia melepaskan mukenanya dan memasang hijab yang langsung pakai.Sebelum turun ke bawah untuk membantu Bibi memasak, ia memeriksa ponselnya. Senyum manisnya terukir kala melihat pesan dari suaminya.**Mas Adi:** [De, hari ini Mas akan pulang. Tunggu Mas ya, Sayang...]**Me:** [Aku menunggumu, Mas. Ada sesuatu yang akan ku berikan padamu. Jadi, cepatlah pulang.]Setelah membalas pesan dari suaminya, Hafizah memikir

  • Bertahan Karena Terlalu Mencintaimu   bab 3

    Adi menyunggingkan senyumnya kala membaca pesan absurd dari istrinya itu. Ah, rasanya ia ingin pulang karena sudah merindukan istrinya itu."Dia begitu lucu," gumamnya."Mari, Pak." ajak Putra yang membuat Adi terperanjat kaget.Adi mengangguk dan mengikuti sekretarisnya itu. Mereka baru saja tiba di bandara dan sekarang sedang mencari taksi untuk ke penginapan."Pak, kita menginap di hotel atau di desa itu?" tanya Putra."Kita menginap di hotel aja, Put." jawab Adi."Kita pesan online saja hotelnya, Pak. Soalnya, rekan bisnis Bapak ingin kita langsung ke desa untuk melihat tanah yang dijual warga desa itu," jelas Putra."Tidak ada waktu istirahat sebentar?" tanya Adi yang ingin istirahat setelah penerbangan mereka.Putra menggeleng sebagai jawaban. "Pak Wibowo ingin langsung survei sekarang juga, Pak,"Perusahaan Adi bekerjasama dengan perusahaan Wibowo untuk pembangunan klinik kesehatan di desa terpencil itu. Walaupun klinik tersebut untuk membantu warga desa, tetap saja mereka memb

  • Bertahan Karena Terlalu Mencintaimu   bab 2

    Adi mengernyit heran kala istrinya itu hanya diam. Padahal biasanya istrinya itu suka berceloteh sepanjang jalan."De,""Eh iya, Mas?" kaget Hafizah karena tersentak dari lamunannya.Saat ini mereka tengah di perjalanan menuju tempat kerja. Sebelum ke kantor, Adi mengantarkan istrinya itu bekerja di salah satu sekolah menengah pertama di kota tempat mereka tinggal.Ya, Hafizah menjadi guru di sekolah SMP negeri. Istrinya itu baru saja lulus CPNS, yang artinya tidak menjadi guru honorer lagi."Kamu kenapa diam saja dari tadi?" tanya Adi.Hafizah sedikit memiringkan badannya dan menatap suaminya itu serius. "Kamu benar-benar ingin poligami, Mas?" tanyanya.Mendapat pertanyaan seperti itu, Adi lantas tertawa. "Tidak akan, Sayang. Tadi malam Mas hanya bercanda, jangan dibawa serius, oke?""Bercanda sampai dua kali?" Hafizah menunduk sedih. Jujur, pagi tadi ia sengaja bercanda saat suaminya itu menawarkan madu. Ia tahu arah bicara dari suaminya itu.Melihat istrinya menunduk, ada perasaan

  • Bertahan Karena Terlalu Mencintaimu   bab 1

    Sepasang suami-istri tengah memadu kasih di malam sunah yang dianjurkan Nabi, yaitu malam Jumat. Di tengah permainan, si suami berhenti bergerak dan menatap istrinya lekat."De, boleh Mas ngomong serius?" tanya si suami."Apa, Mas? Kalau mau ngomong, ngomong aja," sahut si istri yang menekan punggung suaminya agar milik suaminya menusuk hingga terdalam."Mas mau poligami, boleh?"Deg!Hafizah, wanita cantik yang berumur 23 tahun itu, menatap suaminya lekat. Ia yang tadinya bergairah dengan permainan itu tiba-tiba merasakan kehambaran."Jangan bercanda, Mas," ujar Fizah lembut. Pasalnya, rumah tangganya dan sang suami baik-baik saja. Terlebih, mereka baru saja menjalani biduk rumah tangga selama 4 bulan. Masih baru dan hangat-hangatnya."Mas serius," kata lelaki di atas Hafizah itu.Hafizah menarik napas panjang. "Minggir, Mas," pintanya. Sakit? Tentu. Siapa yang tidak sakit hati saat suaminya meminta izin untuk menikah lagi? Meminta izin saat sedang santai saja sakit hati. Apalagi ini

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status