"Biar aku bantu, Mas." Lia mendekati Adi yang tengah sibuk memasang dasi itu.
"Tidak perlu." tolak Adi ketus. Sebenarnya ia malas bersiap di kamar Lia. Tapi, ia terpaksa kesana karena istri pertamanya itu sedang tidak ingin melihat wajahnya dan tidak ingin dekat-dekat dengannya. "Kamu kenapa sih? Aku hanya ingin berbakti pada suami. Apa itu salah?" tanya Lia menatap lekat Adi. Adi diam dan ikut menatap Lia. Lia memberikan senyum manisnya dan ia mengambil kesempatan itu untuk meraih dasi yang ada digenggaman suaminya. "Aku ganti, ya?" tawarnya lembut. Adi masih diam. Ia tidak bersuara bahkan menggerakkan kepalanya menolak atau mengiyakan keinginan Lia. Lia tersenyum dan memasangkan dasi itu pada Adi dengan telaten. Adi melihat ke arah lain saat istri keduanya itu mulai memasangkan dasi. Andai itu Hafizah, ia pasti terus memandangi wajah Hafizah saat wanita itu memasangkannya dasi. "Mas," Lia membuka suaranya, memanggil Adi. "Hm?" "Kenapa tadi malam kamu pindah?" tanya Lia, terdengar nada suara yang hendak menangis. "Aku tidak bisa tidur di sampingmu," jujur Adi, menjawab ketus. Selalu saja begitu, bicara dengan Lia tidak pernah lembut sama sekali. Lia tersenyum getir. Ia mengangguk kecil karena mengerti. "Bolehkah malam ini tidak seperti itu, Mas?" "Kamu gak berhak ngatur." "Mas, aku sudah minta agar kamu memberi ruang sedikit saja padaku." Lia sedikit menjauh dari Adi karena dasinya sudah terpasang. Adi melirik singkat pada Lia. "Aku usahakan," Ada sedikit perasaan bahagia di hati Lia. "Aku ingin hamil," celetuknya. Adi langsung memberikan tatapan tajam pada Lia. "Jangan meminta aneh-aneh, Lia! Aku tidak ingin mendapatkan anak darimu!" kata Adi pedas. Lia menitikkan air matanya karena suaminya itu langsung menolaknya mentah-mentah. "Apa salahnya, Mas?! Itu kewajiban kamu sebagai suami untuk memberiku nafkah batin!" "Sudah aku katakan berulang kali, Lia! Aku terpaksa menikahi kamu dan jangan harap kamu mendapat nafkah seperti itu!" ah, semenjak memiliki dua istri, Adi sering marah-marah. Beruntung bukan Hafizah yang ia marahi. "Kamu harus adil, Mas!!" Adi memejamkan matanya sejenak. Ia benci mendengar kata adil itu. Ia membuang napas kasar dan memilih untuk pergi dari hadapan Lia. "Aku sudah berhenti haid, Mas. Malam ini masih jatahku tidur bersamamu," Adi menghentikan langkahnya saat mendengar perkataan Lia. Walaupun malam ini jatah tidur bersama Hafizah pun, ia tidak bisa tidur berdua dengan istri pertamanya itu. Ia harus menahan sampai kapan Hafizah tidak ingin melihatnya. "Tidur berdua, dan tidak melakukan apa-apa!" Di luar kamar Lia, Hafizah yang sudah siap itu hendak turun. Namun, langkahnya terhenti karena tidak sengaja mendengar pembicaraan antara suami dan madunya itu. Hafizah tersenyum kecut. Entah ia harus bahagia karena dicintai begitu hebat oleh suaminya, atau harus bersedih karena ia harus berbagi cinta suaminya itu. "Sebenarnya cara Mas Adi salah. Tapi, aku juga belum bisa membagi cinta Mas Adi untuk perempuan lain," gumam Hafizah lirih. Saat Hafizah ingin melanjutkan jalannya, tiba-tiba Adi sudah keluar dan ia menyapa istri pertamanya itu. "De," Hafizah melirik singkat dan memakai kaca mata hitam yang sengaja ia bawa itu. "Apa sih? Fizah gak mau dekat-dekat, ya? Awas kalau dekat-dekat," ujarnya ketus. Adi menghela napas panjang. Ia membiarkan Hafizah untuk turun terlebih dahulu. Setelah Hafizah sudah menuruni separo anak tangga, barulah ia turun dengan Lia yang mengekor dibelakang. "Aku bantu bawain tasnya, Mas?" tawar Lia yang hendak membawakan tas kerja suaminya itu. Karena fokus memperhatikan Hafizah, Adi menyerahkan tas kerja nya. Mereka bertiga sama-sama menuju meja makan untuk sarapan pagi. "Kalian duduk di ujung sana, ya? Aku lagi gak mau dekat-dekat Mas Adi," pinta Hafizah menunjuk kursi yang di ujung kiri. Dengan senang hati Lia mengajak Adi untuk duduk di kursi ujung kiri itu. Adi pun hanya patuh saja. Namun, tatapannya tidak pernah lepas dari Hafizah. "De, kamu yakin masuk ngajar hari ini? Bagaimana kalau mual lagi?" tanya Adi begitu khawatir. "Aku baik," sahut Hafizah singkat. "Kamu berhenti kerja aja, ya?" pinta Adi. Hafizah menghentikan kegiatan sarapannya. Ia menghela napas lelah. "Aku ingin mencari uang," "De, Mas masih sanggup menafkahi semua kebutuhan kamu." "Sekarang Mas punya dua istri yang harus dinafkahi," sindir Hafizah. Lia diam saja mendengarkan percakapan antara Hafizah dan Adi itu. Ia tidak ingin menyela dan membuat Adi semakin tidak menyukainya. Namun, Lia melihat ke arah Hafizah, madunya itu tidak sama sekali melihat ke arah mereka saat berbicara. "InsyaAllah, Mas masih sanggup, De." "Ah, tidak. Pengeluaran Fizah 'kan banyak. Apalagi sekarang sedang hamil, dan pasti lebih banyak pengeluaran. Jadi, Fizah harus tetap bekerja," kata Hafizah yang kembali sarapan. "Mas takut kamu kelelahan, Sayang." "Mas gak usah khawatir, Fizah bisa jaga diri kok." Adi menarik napas panjang. Istri pertamanya itu memang keras kepala dan sulit untuk diatur. Tapi, walaupun begitu, Hafizah orang yang baik. Ia keras kepala hanya tentang bekerja. Terbiasa mandiri sedari remaja, membuat Hafizah menjadi sosok pekerja keras. Jika seorang yang mandiri diminta berdiam diri di rumah, maka ia akan merasa cepat bosan dan hari berasa panjang. "Jaga diri baik-baik disekolah, De. Kalau kamu butuh sesuatu langsung kasih kabar sama Mas," "Bagaimana kalau kamu sibuk meeting?" tanya Hafizah. "Mas akan tinggalin meeting itu demi kamu," Hafizah menggeleng kuat. "Jangan seperti itu. Nanti rugi. Susah juga, ya kerja kantoran," pungkasnya. Adi terkekeh mendengar perkataan Hafizah. "Begitulah," ujarnya. "Mas mau saran dari Fizah gak?" "Saran apa?" "Saran pekerjaan yang enak dan menghasilkan banyak uang sama seperti keuntungan kantor juga," kata Hafizah nampak serius. Adi menatap istrinya dari jarak 2,5 meter itu. "Apa?" tanyanya ikut serius. Hafizah menunjukkan senyum lebarnya dan melirik Lia yang sedari tadi hanya diam saja. "Mas hamilin terus Lia, dan nanti anak-anaknya kita jual," saran Hafizah absurd. Mendengar perkataan Hafizah, Lia lantas menatap tajam madunya itu. "Apa maksudmu, hah?!" sentak nya. Hafizah terkekeh, dan membuka kaca matanya sedikit. "Apa? Katanya mau hamil, 'kan? Udah bagus aku kasih saran agar kamu bisa berhubungan dengan Mas Adi. Seharusnya kamu berterimakasih," celetuk nya dengan wajah songongnya. Lia menatap sinis Hafizah. "Anakmu aja yang dijual sana. Kan kamu udah hamil lebih dulu dari aku," sinis nya. "Lia!!" bentak Adi. "Mas Adi diam. Dengarkan saja pembicaraan Istri-istri mu ini, Mas." seru Hafizah. Sebagai sesama perempuan, ia tau apa yang dirasakan oleh Lia karena tidak dihargai oleh orang yang dicintai. "Tapi dia?" "Gak apa-apa, Mas. Fizah bisa lawan kok," Adi menghela napas pasrah. Ia akan diam sesuai keinginan istri tercintanya itu. Hafizah tersenyum. "Dengar, ya, Adik maduku, eh Mbak madu. Aku tidak akan menjual anakku karena sekarang hanya anak ini yang ku harapkan. Mungkin setelah lahiran aku akan meminta cerai sama Mas Adi," "Itu tidak akan terjadi!" kata Adi yang tak terima dengan ucapan Hafizah. "Yakin?" tanya Lia dengan senyumnya. Hafizah memegang dagunya nampak berpikir. "Tergantung juga sih," "Tergantung apa?" "Tergantung harta Mas Adi. Jika hartanya semakin banyak, aku bakal tetap jadi istrinya, haha.." tawa Hafizah. "Matre," cibir Lia. Hafizah mengecilkan tawanya saat mendengar perkataan madunya itu. Jika ia matre, untuk apa ia bekerja menjadi guru? Ia hanya suka bercanda. "Realistis, wahai maduku. Kamu pun memaksa Mas Adi menikahi mu karena memandang wajah dan hartanya, bukan?" tanya Hafizah dengan senyum tipisnya. "Jangan asal bicara!" sarkas Lia menatap Hafizah tajam. "Weyyy, santai, Mbak. Aku 'kan cuma nebak aja," Hafizah terkekeh sendiri. Adi tersenyum tipis karena istri pertamanya itu. "Fizah memang istimewa," batinnya."Bu...""Bu..."Beberapa murid yang ada dikelas VIII itu memanggil Hafizah. Namun, Hafizah tidak menyahutnya dan tatapannya tampak kosong.Salah satu dari mereka berdiri dan menghampiri Hafizah yang duduk diam setelah memberikan tugas pada mereka."Ibu cantik?" tegur murid perempuan menyapa Hafizah."Eh?" kaget Hafizah karena tiba-tiba merasakan sentuhan ditangannya. Ia tersadar dari lamunannya dan menatap pada murid perempuan itu.Hafizah tersenyum ke arah muridnya. "Ada apa?" tanyanya."Bu, kami sudah selesai menjawab soal dan bell istirahat pun sudah berbunyi. Kenapa Ibu diam saja saat kami memanggilmu?" tanya muridnya itu.Hafizah nampak terkejut dan mengucapkan istighfar. "Astagfirullah, maafkan Ibu, Sayang. Sekarang kalian kumpulkan tugasnya dan beristirahatlah," titahnya, menatap seluruh muridnya.Semua murid kelas VIII itu pun berbondong-bondong membawa bukunya ke arah Hafizah dan mereka satu-persatu mencium punggung tangan Hafizah sebelum keluar."Astagfirullah, ada apa denga
Paginya, mereka sarapan dengan khidmat tanpa ada yang membuka suara. Hanya ada suara sendok dan piring yang saling bertabrakan.Hafizah melirik Lia yang makan seperti orang kesal itu. Ia tersenyum tipis karena paham kalau madunya itu tengah marah akibat tadi malam Adi tidur bersamanya."Maaf, aku mau egois karena anakku menginginkan ayahnya," batin Hafizah."Mas,"Adi yang baru selesai makan itu lantas melihat ke arah Hafizah. "Iya, Sayang?""Nanti jemput Fizah, ya? Kemungkinan Fizah pulangnya Isya,"Adi tersenyum lembut. "Tanpa kamu minta pun, Mas pasti akan jemput."Hafizah ikut tersenyum dan mengangguk. "Terimakasih, Mas,""Hei, kenapa berterimakasih? Mas ini suamimu, dan sudah kewajiban Mas meratukan mu," kata Adi yang membuat Lia panas.Ting!!Suara sendok yang menabrak piring begitu nyaring. Hafizah dan Adi menatap ke arah Lia yang tengah menunduk itu."Kewajiban? Kewajiban apa yang kamu bicarakan, Mas? Kamu itu suami yang tidak adil!" sentak Lia tiba-tiba. Ia menatap Adi dan Ha
"Argg....., "Prang!Prang!"Dia pasti pergi menjemput Hafizah! Arghh...!" Lia mengamuk di kamarnya sendiri saat melihat mobil Adi meninggalkan rumah.Semua barang di kamarnya ia lempar guna meluapkan kemarahan. Kamarnya sekarang terlihat seperti kapal pecah. Banyak barang yang berserakan.Dengan sorot kemarahan, Lia menatap ponselnya. Ia mengambil ponselnya itu dan menghubungi seseorang."Sial!!" umpat Lia, karena orang tersebut tidak mengangkat panggilan darinya."Percuma ngelakuin ini. Mas Adi benar-benar tidak ingin menyentuh ku."Ting..Lia bergegas membuka ponselnya saat mendengar suara pesan masuk.0899xx [Lia, bagaimana kabarmu? Sudah lama tidak bertemu setelah malam panjang yang kita lalui waktu itu, bukan? Aku berharap benihku tidak berkembang menjadi janin di rahimmu. Jika itu terjadi, aku tidak ingin bertanggungjawab, karena orang tuaku pasti tidak setuju aku menikahi wanita kampung sepertimu. Aku menghubungimu hari ini hanya karena ingin memastikan itu saja. Jika janin it
Setelah sholat subuh, Adi dan Hafizah pulang ke rumah mereka. Sedari tadi Adi terus tersenyum karena menginap di hotel malam ini membuatnya untung besar. Ia bisa merasakan kebahagiaan seperti dulu sebelum adanya orang ketiga di rumah tangga mereka."Mas kesambet apaan?" tanya Hafizah bingung."Kesambet cinta kamu, De," sahut Adi sambil menyetir itu."Apa sih, Mas? Serem tau gak kalau Mas senyum-senyum gitu," kata Hafizah yang sebenarnya ia tengah malu.Adi tidak menghiraukan perkataan Hafizah. Ia masih terus tersenyum disepanjang perjalanan pulang. "De, bagaimana kita sarapan diluar aja? Mas malas kalau sarapan di rumah,""Berarti kita pulang cuma buat ganti baju doang. Terus, kita berangkat kerja lagi?"Adi mengangguk mengiyakan. "Tapi, kamu diam di rumah aja. Pasti capek, 'kan? Lagian, pihak sekolah pasti kasih cuti untuk istirahat biasanya."Hafizah tersenyum dan mengangguk. "Iya, Mas. Kita emang cuti sehari kok,""Aku juga mau cuti," celetuk Adi dengan senyum lebarnya."Eh, kok gi
"Aaaaa Lia, lama gak ketemu..,"Lia tersenyum ke arah temannya itu dan mereka saling peluk guna melepas kerinduan."Bagaimana kabarmu?" tanya Raisa, teman Lia."Kurang baik," sahut Lia malas.Raisa merangkul temannya itu dan mengajak Lia berjalan-jalan di mall tersebut. "Kita belanja-belanja dulu, bagaimana?" tawarnya."Dasar! Bukannya hibur temannya, malah mau belanja-belanja." cibir Lia sedikit kesal.Raisa nyengir kuda. "Hehe, rindu belanja bareng," celetuknya.Lia memutar bola matanya malas, namun ia menurut pada temannya itu. Mereka menyusuri mall besar tersebut dan berbelanja.Diluar, Adi dan Hafizah masih berada di dalam mobil. Tiba-tiba Hafizah ragu untuk memasuki Mall."Mas, bagaimana kita pulang saja?" tawar Hafizah pada suaminya itu.Adi yang baru saja menutup pintu mobil itu, mengernyit heran. "Mas ajak kamu kesini untuk belanja. Bukan cuma mampir sebentar aja," pungkasnya."Iya, tapi perasaan Fizah kok kayak ragu gitu. Takut terjadi apa-apa, apalagi ada Lia disini," ah, e
"Mas!" Lia mengejar Adi cepat dan langsung menahan lengan pria itu."Lepas, Lia!" sentak Adi menghempas kasar lengannya."Mas, aku mohon. Berlaku lah adil," mohon Lia memelas.Adi menarik napas panjang dan menatap Lia datar. "Sudah berapa kali aku katakan, Lia? Aku tidak akan tidur bersamamu!" sarkas nya."Kenapa? Kenapa, Mas? Jika aku meminta baik-baik kamu tidak menurutinya, maka aku akan melakukan segala cara untuk mendapatkan cintamu. Bahkan aku berani melukai Fizah dan calon anak kalian!" desis Lia dengan beraninya.Adi menatap marah Lia dan langsung mencengkram rahang wanita itu dengan kuat. "Berani kau sentuh Fizah sedikit pun, aku tidak akan segan melukaimu. Aku rela dicap buruk oleh semua orang karena membunuh istri keduaku demi istri pertamaku sendiri!"Lia menahan pergelangan Adi. Ia terdongak dan sedikit kesusahan bernapas. "S-sakit, Mas!" ujarnya terbata.Seakan tuli, Adi tidak mendengarkan rintihan Lia yang kesakitan. Ia semakin kuat mencengkram rahang Lia hingga turun k
"Mas suka gayamu, De." puji Adi sambil menggenggam tangan Hafizah."Jadi selama ini gak suka?" tanya Hafizah menatap suaminya yang sedang menyetir itu.Adi menggeleng pelan. "Bukan begitu,"Hafizah terkekeh melihat wajah suaminya yang panik. "Iya, Mas. Fizah ngerti kok,"Drrrtt... Drrrtt...Hafizah membuka tasnya saat mendengar ponselnya berdering."Siapa, sayang?" tanya Adi."Mas," panggil Hafizah lirih."Siapa?" tanya Adi khawatir, karena nada bicara istrinya berbeda."Ibu,"Adi menatap istrinya itu dan mengangguk sekali sebagai pertanda agar istrinya tenang. "Angkat dan loudspeaker." titahnya.Hafizah menurut, ia mengangkat panggilan telepon dari ibunya dan menyalakan loudspeaker teleponnya."Assalamu'alaikum, Bu,""Walaikumsalam, Fizah.""Ada apa, Bu?" tanya Hafizah takut-takut."Ibu mau penjelasan darimu dan Adi tentang berita pagi ini, Fizah," sahut sang Ibu masih dengan suara tenangnya.Hafizah menatap suaminya itu. Adi yang paham, lantas membuka suara. "Berita kalau Adi memili
"Putra," Adi memanggil sekretarisnya itu.Putra yang tengah memperhatikan tablet itu menoleh pada atasannya itu. "Ada apa, Pak?""Bagaimana dengan jadwalku dua hari ke depan?"Putra yang baru saja memeriksa jadwal Adi pun langsung menjawab. "Dua hari ke depan jadwal anda aman, Pak. Tidak ada meeting dan pekerjaan di kantor bisa bapak kerjakan di rumah," jelasnya.Adi bernapas lega saat mendengar itu. Dua hari ia bisa menemani istrinya ke kampung. "Aku akan ke kampung istriku selama dua hari. Kamu urus kantor untuk sementara,"Putra menatap atasannya itu kasihan. "Bapak kesana pasti karena berita pagi tadi, 'kan? Saya minta maaf, Pak."Putra masih merasa bersalah atas menikahnya sang atasan."Tidak masalah, Put. Mungkin ini ujian dalam pernikahan kami," sahut Adi.Ya, setelah Adi pikirkan, mungkin orang ketiga lah untuk ujian rumah tangganya. Karena kalau soal perekonomian, ia dan sang istri sama-sama bekerja sehingga mereka tidak kekurangan harta. Tapi, kembali lagi pada yang di Atas.
"Sayang, ke rumah sakit, ya?" tawar Adi begitu perhatian."Siapa yang sakit, Mas?" balas Hafizah bertanya.Hafizah yang tengah melamun karena memikirkan mertuanya yang ada di rumah, dibuat bingung karena tiba-tiba suaminya itu mengajaknya ke rumah sakit."Kita ke psikiater,""Kamu gila, Mas? Kenapa? Banyak pikiran?" cecar Hafizah bertanya.Adi menggeleng, sebelah tangannya menggenggam lengan Hafizah dan sebelahnya menyetir."Kamu, sayang. Apa mental kamu baik-baik saja setelah pulang?" tanya Adi menatap istrinya itu khawatir.Hafizah menatap suaminya itu dan ia terkekeh. "Fizah tau maksud Mas baik. Tapi, percuma bawa Fizah ke psikiater, Mas. Mental Fizah udah di serang sedari kecil dan sekarang udah terbiasa. Aman kok," sahutnya lembut."Kamu yakin, sayang?""Yakin, Mas. Fizah bukan wanita lemah. Fizah wanita strong..." ucap Hafizah mengangkat tangannya memperlihatkan ototnya. Ia tertawa pelan karena seolah ia wanita terkuat di bumi dan mengalahkan wonder woman.Adi tersenyum. "Mana o
"Coba jelaskan kenapa kamu menikah lagi, Adi?" pinta Ibu Hafizah setelah mereka selesai makan.Adi menatap kedua mertuanya itu dan menceritakan kejadian sebenarnya dengan sejujur-jujurnya tanpa ada yang ditutupi.Kedua orang tua Hafizah menyimak dengan baik penjelasan dari Adi."Jadi, saat itu kamu mengira Lia itu Fizah?" tanya sang ibu."Iya, Bu. Adi benar-benar tidak menyadarinya sehingga memeluknya saat tidur." jelas Adi."Mungkin wanita itu sudah bisa menebak kalau dia hamil. Untuk itu, dia menjebak mu dengan mengambil kesempatan saat kamu tidur memeluknya." tebak sang ayah.Hafizah hanya diam tidak membuka suara. Bahkan ia hendak menjauh dari sana karena mendengar cerita suaminya ia merasa sesak.Adi menatap ayah mertuanya itu. "Adi kurang yakin kalau dia hamil, Yah. Pasalnya, saat kami menikah dia tengah halangan. Emang bisa setelah halangan langsung hamil?" bingungnya."Iya, itu bisa terjadi. Meskipun peluang hamil setelah haid biasanya lebih rendah, namun tidak mustahil. Beber
"Bu, ayo kita keluar. Kita istirahat dan lanjut besok, ya?" bujuk sang Ayah pada istrinya itu.Sang ibu menatap putrinya kasihan, namun masih belum puas untuk berdebat dengan menantunya itu. Dengan kesal ia keluar dari kamar putrinya."Jaga dia, Adi." pinta sang ayah.Adi mengangguk pasti. "Terimakasih, Ayah," ucapnya sopan.Sang ayah mengangguk sekali dan mengajak yang lain keluar. Setelah mereka semua keluar, Adi merebahkan dirinya disamping sang istri dan memeluknya sayang."Begitu kuat dirimu, sayang. Sedari remaja sampai sekarang kamu tidak pernah melawan saat Ibu merendahkan mu,"Adi memperhatikan wajah cantik istrinya yang sedikit pucat itu. Dielus-elus nya perut istrinya itu lembut."Baik-baik anak Ayah,," harap Adi. Ia benar-benar khawatir dengan keadaan istri dan calon anaknya sekarang. Mau cari dokter pun percuma karena memang di desa istrinya itu, dokter tidak melayani orang berobat lagi.Adi menarik selimut dan menutupi tubuh mereka berdua. Ia ikut memejamkan matanya dan
Seorang pria tengah merokok di balkon apartemennya. Asap rokok berhamburan di udara begitu banyak.Tin!Pria itu mengernyit heran karena mendengar bel apartemennya berbunyi. Ia pun mematikan rokoknya dan keluar dari kamarnya sendiri."Siapa yang bertamu sore-sore begini?" gumamnya, yang terus berjalan menuju pintu utama.CeklekPria itu menatap orang yang ada di depannya dari atas sampai bawah. Ia menaikkan sudut bibirnya kala perempuan yang sudah tidak ia temui selama sebulan itu."Woww, Lia, kau datang? Mari masuk, Baby..," ia merangkul Lia dengan senang hati membawa wanita itu masuk.Lia memutar bola matanya malas. Sebenarnya ia malas untuk menemui pria yang sudah merenggut kesuciannya itu. Tapi, karena ia merasa sunyi sendirian di rumah, ia memutuskan untuk menemui pria itu. Lagian, ia juga menghibur diri karena merasa kesal saat membaca pesan dari Adi yang ingin pergi dengan Hafizah selama dua hari."Kenapa kamu cemberut? Jika tidak ingin menemui ku, sebaiknya tidak usah." kata p
"Putra," Adi memanggil sekretarisnya itu.Putra yang tengah memperhatikan tablet itu menoleh pada atasannya itu. "Ada apa, Pak?""Bagaimana dengan jadwalku dua hari ke depan?"Putra yang baru saja memeriksa jadwal Adi pun langsung menjawab. "Dua hari ke depan jadwal anda aman, Pak. Tidak ada meeting dan pekerjaan di kantor bisa bapak kerjakan di rumah," jelasnya.Adi bernapas lega saat mendengar itu. Dua hari ia bisa menemani istrinya ke kampung. "Aku akan ke kampung istriku selama dua hari. Kamu urus kantor untuk sementara,"Putra menatap atasannya itu kasihan. "Bapak kesana pasti karena berita pagi tadi, 'kan? Saya minta maaf, Pak."Putra masih merasa bersalah atas menikahnya sang atasan."Tidak masalah, Put. Mungkin ini ujian dalam pernikahan kami," sahut Adi.Ya, setelah Adi pikirkan, mungkin orang ketiga lah untuk ujian rumah tangganya. Karena kalau soal perekonomian, ia dan sang istri sama-sama bekerja sehingga mereka tidak kekurangan harta. Tapi, kembali lagi pada yang di Atas.
"Mas suka gayamu, De." puji Adi sambil menggenggam tangan Hafizah."Jadi selama ini gak suka?" tanya Hafizah menatap suaminya yang sedang menyetir itu.Adi menggeleng pelan. "Bukan begitu,"Hafizah terkekeh melihat wajah suaminya yang panik. "Iya, Mas. Fizah ngerti kok,"Drrrtt... Drrrtt...Hafizah membuka tasnya saat mendengar ponselnya berdering."Siapa, sayang?" tanya Adi."Mas," panggil Hafizah lirih."Siapa?" tanya Adi khawatir, karena nada bicara istrinya berbeda."Ibu,"Adi menatap istrinya itu dan mengangguk sekali sebagai pertanda agar istrinya tenang. "Angkat dan loudspeaker." titahnya.Hafizah menurut, ia mengangkat panggilan telepon dari ibunya dan menyalakan loudspeaker teleponnya."Assalamu'alaikum, Bu,""Walaikumsalam, Fizah.""Ada apa, Bu?" tanya Hafizah takut-takut."Ibu mau penjelasan darimu dan Adi tentang berita pagi ini, Fizah," sahut sang Ibu masih dengan suara tenangnya.Hafizah menatap suaminya itu. Adi yang paham, lantas membuka suara. "Berita kalau Adi memili
"Mas!" Lia mengejar Adi cepat dan langsung menahan lengan pria itu."Lepas, Lia!" sentak Adi menghempas kasar lengannya."Mas, aku mohon. Berlaku lah adil," mohon Lia memelas.Adi menarik napas panjang dan menatap Lia datar. "Sudah berapa kali aku katakan, Lia? Aku tidak akan tidur bersamamu!" sarkas nya."Kenapa? Kenapa, Mas? Jika aku meminta baik-baik kamu tidak menurutinya, maka aku akan melakukan segala cara untuk mendapatkan cintamu. Bahkan aku berani melukai Fizah dan calon anak kalian!" desis Lia dengan beraninya.Adi menatap marah Lia dan langsung mencengkram rahang wanita itu dengan kuat. "Berani kau sentuh Fizah sedikit pun, aku tidak akan segan melukaimu. Aku rela dicap buruk oleh semua orang karena membunuh istri keduaku demi istri pertamaku sendiri!"Lia menahan pergelangan Adi. Ia terdongak dan sedikit kesusahan bernapas. "S-sakit, Mas!" ujarnya terbata.Seakan tuli, Adi tidak mendengarkan rintihan Lia yang kesakitan. Ia semakin kuat mencengkram rahang Lia hingga turun k
"Aaaaa Lia, lama gak ketemu..,"Lia tersenyum ke arah temannya itu dan mereka saling peluk guna melepas kerinduan."Bagaimana kabarmu?" tanya Raisa, teman Lia."Kurang baik," sahut Lia malas.Raisa merangkul temannya itu dan mengajak Lia berjalan-jalan di mall tersebut. "Kita belanja-belanja dulu, bagaimana?" tawarnya."Dasar! Bukannya hibur temannya, malah mau belanja-belanja." cibir Lia sedikit kesal.Raisa nyengir kuda. "Hehe, rindu belanja bareng," celetuknya.Lia memutar bola matanya malas, namun ia menurut pada temannya itu. Mereka menyusuri mall besar tersebut dan berbelanja.Diluar, Adi dan Hafizah masih berada di dalam mobil. Tiba-tiba Hafizah ragu untuk memasuki Mall."Mas, bagaimana kita pulang saja?" tawar Hafizah pada suaminya itu.Adi yang baru saja menutup pintu mobil itu, mengernyit heran. "Mas ajak kamu kesini untuk belanja. Bukan cuma mampir sebentar aja," pungkasnya."Iya, tapi perasaan Fizah kok kayak ragu gitu. Takut terjadi apa-apa, apalagi ada Lia disini," ah, e
Setelah sholat subuh, Adi dan Hafizah pulang ke rumah mereka. Sedari tadi Adi terus tersenyum karena menginap di hotel malam ini membuatnya untung besar. Ia bisa merasakan kebahagiaan seperti dulu sebelum adanya orang ketiga di rumah tangga mereka."Mas kesambet apaan?" tanya Hafizah bingung."Kesambet cinta kamu, De," sahut Adi sambil menyetir itu."Apa sih, Mas? Serem tau gak kalau Mas senyum-senyum gitu," kata Hafizah yang sebenarnya ia tengah malu.Adi tidak menghiraukan perkataan Hafizah. Ia masih terus tersenyum disepanjang perjalanan pulang. "De, bagaimana kita sarapan diluar aja? Mas malas kalau sarapan di rumah,""Berarti kita pulang cuma buat ganti baju doang. Terus, kita berangkat kerja lagi?"Adi mengangguk mengiyakan. "Tapi, kamu diam di rumah aja. Pasti capek, 'kan? Lagian, pihak sekolah pasti kasih cuti untuk istirahat biasanya."Hafizah tersenyum dan mengangguk. "Iya, Mas. Kita emang cuti sehari kok,""Aku juga mau cuti," celetuk Adi dengan senyum lebarnya."Eh, kok gi