Home / Romansa / Bersandar pada Ketakutan / 2. Tentang masa lalu

Share

2. Tentang masa lalu

Author: Nalla Ela
last update Last Updated: 2024-11-09 19:37:46

Pagi itu, sinar matahari masuk melalui tirai tipis apartemen Amethyst, menerangi ruangan dengan lembut. Udara masih dingin setelah hujan deras semalam. Dominic terbangun lebih dulu. Dengan hati-hati, dia melepaskan pelukan dari tubuh Amethyst yang masih tertidur lelap di sebelahnya. Wajahnya yang tenang setelah malam penuh kecemasan membuat Dominic merasa lega. Dia menatapnya sejenak, membelai rambut Amethyst dengan penuh kasih sebelum akhirnya bangkit dari tempat tidur.

Dominic mengenakan kaus polos dan celana pendek sederhana, tampak berbeda dari sosok pria formal dan berkarisma yang biasa dikenali orang lain. Dia menuju dapur, memutuskan untuk menyiapkan sarapan sederhana: roti panggang dengan telur orak-arik dan kopi untuk dirinya sendiri, sementara secangkir teh hangat untuk Amethyst.

Saat aroma teh dan roti panggang memenuhi apartemen, Amethyst mulai terbangun. Matanya terbuka perlahan, dan untuk beberapa detik ia hanya menatap langit-langit, mengingat sisa-sisa malam sebelumnya. Suara langkah kaki Dominic membawanya kembali ke kenyataan.

Dominic muncul dengan nampan berisi sarapan, senyumnya tipis tapi penuh perhatian. “Selamat pagi, cantik,” sapanya dengan nada lembut. Ia meletakkan nampan di meja kecil di samping tempat tidur.

Amethyst tersenyum lemah, rasa syukur mengalir di hatinya. “Pagi... Terima kasih,” jawabnya, suaranya serak tapi hangat.

Dominic duduk di tepi tempat tidur, memandangnya penuh perhatian. “Bagaimana perasaanmu? Sudah lebih baik?” tanyanya.

Amethyst mengangguk. “Ya, jauh lebih baik. Aku merasa... lebih ringan.”

Setelah sarapan bersama, Dominic kembali ke sofa di ruang tamu. Ia membuka laptopnya, mulai tenggelam dalam pekerjaan yang sepertinya tak pernah habis. Amethyst memperhatikannya dari dapur, menyeduh teh tambahan untuk dirinya sendiri. Ada sesuatu yang aneh tapi menenangkan dalam melihat Dominic, pria dengan aura dominan dan keras di luar, terlihat santai bekerja di apartemennya.

Ketika sore menjelang, Amethyst mendekatinya, membawa dua cangkir teh. Dominic menerima cangkirnya sambil menatap Amethyst yang kini duduk di sebelahnya. “Kau terlihat jauh lebih cerah hari ini,” katanya dengan nada menggoda.

Amethyst tertawa kecil. “Itu karena aku tidak sendirian. Terima kasih sudah ada di sini semalam.”

Dominic menatapnya dalam, matanya mengunci pada Amethyst seperti tidak ingin melepaskannya. “Aku akan selalu ada di sini, Amethyst. Kau harus tahu itu.”

Amethyst terdiam sejenak, jemarinya bermain di tepi cangkir. Dominic menyadari perubahan raut wajahnya. “Apa yang kau pikirkan?” tanyanya.

“Masa kecilku,” Amethyst akhirnya menjawab pelan. “Dan... kejadian beberapa bulan yang lalu.”

Dominic mendekat, meletakkan cangkirnya di meja. “Ceritakan padaku,” katanya lembut, tapi tegas, seolah memberikan Amethyst izin untuk melepaskan beban yang selama ini dipendamnya.

Amethyst menarik napas panjang. “Ayahku... dia selalu mabuk. Ketika aku kecil, aku sering berharap dia akan berubah, tapi itu tak pernah terjadi. Ibuku mencoba melindungiku, tapi dia sendiri terlalu lemah. Aku ingat betapa seringnya aku merasa sendirian, bahkan ketika ada orang lain di sekitarku.”

Suasana hening sejenak. Dominic menggenggam tangan Amethyst, memberinya keberanian untuk melanjutkan.

“Beberapa bulan lalu, aku memutuskan untuk meninggalkan rumah. Ayahku sudah tiada, tapi bayangannya tetap menghantui kami. Michael, kakakku, yang tinggal di rumah nenek sejak kecil memilih tak mau tau. Aku tidak bisa. Aku merasa rumah itu penuh dengan luka yang terus mengingatkanku pada rasa sakit.”

Amethyst berhenti sejenak, air mata mulai menggenang di matanya. Dominic meremas tangannya pelan, memberi tanda bahwa ia tidak perlu buru-buru.

“Ada satu malam...” Amethyst melanjutkan dengan suara bergetar. “Aku sendirian di rumah. Hujan deras, seperti semalam. Aku mendengar suara, seperti ayahku yang marah-marah. Aku tahu itu hanya di kepalaku, tapi rasanya begitu nyata. Aku tidak bisa tidur. Aku hanya duduk di sudut kamar, seperti anak kecil yang ketakutan lagi. Itu malam terakhirku di rumah. Keesokan harinya, aku pindah ke apartemen ini.”

Dominic mengangguk pelan, memahami setiap kata yang Amethyst ucapkan. Wajahnya tegang, tapi sorot matanya tetap lembut. “Kau sudah melalui begitu banyak, Amethyst. Tapi kau masih berdiri di sini. Itu yang membuatmu luar biasa.”

Amethyst tersenyum kecil, air mata mengalir di pipinya. “Aku tidak tahu apa yang akan terjadi jika aku tidak bertemu denganmu, Dominic.”

Dominic menariknya ke dalam pelukan, membiarkan kepala Amethyst bersandar di dadanya. “Kau tidak perlu memikirkan itu. Kau milikku sekarang. Dan aku tidak akan pernah membiarkanmu menghadapi apa pun sendirian lagi.”

Hening meliputi mereka berdua, hanya suara detak jantung Dominic yang terdengar di telinga Amethyst. Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, Amethyst merasa benar-benar aman.

Related chapters

  • Bersandar pada Ketakutan   3. Dominic's Affection

    Dominic memeluk Amethyst erat, tangannya mengelus punggungnya dengan lembut. Setelah beberapa saat dalam keheningan, ia melepaskan pelukan itu perlahan, menatap wajah Amethyst yang masih sembab. “Tangismu membuatku ingin mencium bibir itu, Amethyst,” gumam Dominic dengan suara rendah, nadanya setengah menggoda tapi penuh otoritas.Amethyst terhenyak. Matanya melebar, dan pipinya langsung memerah. “Dominic!” serunya setengah tertawa, mencoba menutupi rasa malunya. “Kau selalu tahu cara membuatku salah tingkah!”Dominic tersenyum, senyum yang sangat khas dirinya—memiliki sentuhan misteri dan dominasi. “Kalau aku tidak tahu caranya, aku sudah kehilanganmu sejak awal,” balasnya, satu alis terangkat penuh percaya diri.Amethyst tertawa kecil, suasana hatinya perlahan mencair. “Kau terlalu percaya diri, Tuan Blackwood. Apa kau pikir aku begitu mudah terpesona padamu?” katanya mencoba terdengar galak, meskipun bibirnya melengkung membentuk senyum.Dominic mengulurkan tangan, menarik Amethys

    Last Updated : 2024-11-10
  • Bersandar pada Ketakutan   4. Menemui Ibu

    Jari jemari Amethyst menari di atas keypad untuk meneruskan draft revisi skripsinya. Dia tak berniat lama-lama di kampus itu dan membuatnya harus bertemu dengan orang-orang yang membencinya semenjak ia dekat dengan Dominic. Matanya berusaha fokus meskipun pikirannya berkelana kemana-mana. Menyerah, Amethyst menghela napas panjang, pandangannya jatuh pada secangkir kopi hitam yang sudah setengah kosong. Kehangatan kopi itu mengingatkannya pada sentuhan lembut Dominic di puncak kepalanya saat dia mencium keningnya sebelum pergi pagi ini. Dominic memang terlalu perhatian, bahkan sedikit cerewet, tapi ia tidak bisa memungkiri betapa nyamannya ia merasa dicintai seperti itu.Apartment beberapa hari ini sunyi tanpa Dominic yang biasa berkunjung. Pria itu berpamitan akan pergi ke luar negeri untuk kunjungan kerja. Entah mengapa, Amethyst mulai ketergantungan dengan kehadiran Dominic disekelilingnya. Hal abu-abu dalam hidupnya kini penuh warna. Hal yang ia idam-idamkan selama ini-dicintai

    Last Updated : 2024-11-10
  • Bersandar pada Ketakutan   5. Keluarga adalah luka

    “Amy,” sebuah suara berat memanggilnya dari pintu. Amethyst melepaskan pelukannya perlahan, lalu menoleh. Michael Callahan berdiri di sana, setelan jasnya rapi seperti biasa, dengan wajah tanpa emosi yang telah menjadi ciri khasnya.“Kau masih di sini?” tanyanya, nada suaranya terdengar biasa saja, tapi tatapannya seperti menelanjangi semua perasaan Amethyst.“Kak Michael,” jawab Amethyst datar. “Aku hanya ingin melihat ibu.”Michael melangkah masuk, tangannya dimasukkan ke dalam saku jas. “Kau tahu dia tidak akan meresponmu, kan?” ucapnya, hampir tanpa perasaan.Amethyst mengepalkan tangannya di bawah meja, mencoba menahan rasa marah yang mulai muncul. “Aku tahu. Tapi aku tetap ingin berada di sini.”Michael mendengus kecil, lalu mendekati meja. “Kau terlalu banyak membuang waktu untuk sesuatu yang tidak ada hasilnya, Amethyst. Jika aku jadi kau, aku akan fokus pada masa depan.”“Masa depan?!” Amethyst mendongak tajam, matanya menyala dengan kemarahan yang terpendam. “Kau selalu meng

    Last Updated : 2024-11-10
  • Bersandar pada Ketakutan   6. Pelajaran kecil

    Dominic mengetuk permukaan meja dengan ritme yang sama, menghasilkan suara mengerikan bagi kelima bawahannya yang tengah berdiri menunduk dengan keringat dingin menetes di wajahnya.Aura di sekeliling makin mencekam kala suara Amethyst terdengar dari tablet yang dipegangnya.Di rekaman CCTV itu terlihat jelas bagaimana obrolan sepasang saudara yang memanas.Saat melihat Amethyst mulai menangis, Dominic merasa darahnya mendidih. Bayangan semua orang yang pernah melukai Amethyst-ayahnya, kakaknya, bahkan orang-orang di kampus yang memandangnya rendah-berkelebat di pikirannya. Di dalam benaknya, ia membuat keputusan tegas. Dia akan melakukan apa pun untuk memastikan tak ada yang akan merusak hidup gadis itu lagi, bahkan jika harus menghancurkan siapa saja yang berani mendekat atau mengancam kedamaian Amethyst. Termasuk keluarganya sekalipun. "Bajingan itu memang perlu diberi sedikit pelajaran."---Dominic memutar pena di jarinya, ekspresi keras menghiasi wajahnya saat menonton pemandan

    Last Updated : 2024-11-10
  • Bersandar pada Ketakutan   7. Bersandar padamu

    Amethyst duduk di sofa apartemennya, menatap secangkir teh di tangannya yang mulai mendingin. Matanya sembap, pipinya memerah akibat menangis terlalu lama. Di hadapannya, Dominic duduk dengan postur santai, tetapi mata gelapnya mengamati setiap gerak-gerik Amethyst seperti elang yang siap melindungi mangsanya.“Apa yang dia katakan padamu?” suara Dominic tenang, tapi ada nada tajam yang tersembunyi di baliknya.Amethyst menggigit bibir, mencoba menahan tangis yang kembali mengancam. “Michael bilang... aku yang memilih tetap tinggal. Bahwa semua ini adalah tanggung jawabku sendiri. Dan dia... dia tidak peduli.”Dominic bersandar ke depan, menyentuh dagu Amethyst dengan lembut, memaksa gadis itu menatapnya. “Dia salah,” ujarnya pelan, tetapi penuh penekanan. “Semua keputusan yang kau buat itu menunjukkan bahwa kau jauh lebih kuat daripada yang dia sadari.”“Tapi Dominic...” Amethyst memalingkan wajah, suaranya bergetar. “Aku merasa gagal. Dia benar, aku tetap tinggal, tapi apa gunanya?

    Last Updated : 2024-11-11
  • Bersandar pada Ketakutan   8. Petir di tengah terik matahari

    "Jangan lupa makan siang." Dominic membelai rambut bergelombang Amethyst setelah melepaskan seatbelt. Amethyst tersenyum lebar, "siap,kapten!" Setelah turun, Amethyst melambai kecil hingga mobil mewah pria itu tak terlihat lagi. Disitulah senyuman Amethyst mulai luntur. Matanya memperhatikan sekitar menemukan semua orang memandang kearahnya terang-terangan. Namun, Amethyst segera berlalu bersikap seolah tak terpengaruh. Pagi itu, udara dingin masih menyelimuti kota ketika Amethyst berjalan di koridor kampus. Langkah kakinya tenang, namun pikirannya penuh dengan tugas yang menumpuk. Di tangannya, ada map biru berisi revisi skripsi yang harus ia serahkan kepada dosen pembimbing. Setelah minggu-minggu penuh tekanan, Amethyst akhirnya merasa sedikit lega. Hasil revisinya selesai tepat waktu, dan ini menjadi salah satu langkah terakhir sebelum ia benar-benar menyelesaikan perjalanan panjang di kampus ini. Namun, di tengah keramaian koridor, tidak ada satu pun teman yang menyapanya. Beb

    Last Updated : 2024-11-12
  • Bersandar pada Ketakutan   9. Aku bukan pembunuh

    Amethyst terbangun di ruang rawat rumah sakit dengan kepala berat dan tubuh lemas. Ada jarum infus yang tertancap di tangan dan selang oksigen di hidungnya. Dominic duduk di sisi tempat tidur, wajahnya tampak tegang tapi tetap lembut ketika menatapnya. "Kau sudah sadar," ucapnya, suaranya rendah tapi penuh kelegaan. Amethyst hanya mengangguk lemah, masih terlalu lelah untuk berbicara. Dominic membantunya duduk, menyodorkan segelas air. Saat tangan Amethyst menyentuh gelas, ia menyadari bahwa tubuhnya sedikit gemetar. Ia mulai mengingat kejadian yang terjadi sebelum ia tak sadarkan diri. Melihat Dominic yang tengah tegang melihat ponselnya, Amethyst sedikit bisa membaca sesuatu. Pria itu pasti sudah tau tentang berita yang beredar di kampus. "Mereka bilang apa lagi?" tanyanya akhirnya, suaranya nyaris berbisik. Sebuah headline berita kampus yang memuat tentang dirinya yang dengan tega membunuh ayah kandungnya dan menumbalkan sang ibu yang tengah depresi untuk di penjara. Banyak

    Last Updated : 2024-11-14
  • Bersandar pada Ketakutan   10. Pulang

    Langit di luar rumah sakit berwarna abu-abu pekat, hujan rintik-rintik membasahi kaca jendela kamar rawat Amethyst. Suara detak jarum jam terdengar jelas di ruangan itu, sementara Amethyst duduk di tepi ranjang, menggenggam erat selimut putih yang menutupi kakinya. Tubuhnya masih terasa lemah setelah serangan kecemasan hebat beberapa hari lalu.Pintu terbuka perlahan, dan Dominic masuk dengan langkah mantap. Setelan jasnya sempurna seperti biasa, tapi rambutnya sedikit acak, menunjukkan bahwa pria itu sudah melewati hari yang panjang. Tangannya membawa sekotak makanan dan sebuah jaket tebal.“Bagaimana perasaanmu?” tanyanya lembut, menaruh barang-barangnya di meja kecil dekat ranjang.Amethyst mengangkat bahu, mencoba tersenyum meski canggung. “Lebih baik. Aku akan menemui dokter Clara setelah ini. Kalau dia bilang aku bisa pulang, aku akan segera meninggalkan tempat ini.”Dominic mengangguk, lalu mendekat. Ia meraih tangan Amethyst, membelainya lembut. “Bagus. Rumah sakit ini tidak c

    Last Updated : 2024-11-28

Latest chapter

  • Bersandar pada Ketakutan   48. Sangkar Emas

    Rumah megah Dominic kini bagai penjara bagi Amethyst. Semua gerakannya selalu diawasi. Bahkan, balkon dan jendela kamar Dominic kini ditambahi teralis besi, semakin membuatnya terpenjara sepenuhnya. Sejak keluar dari rumah sakit, ia tahu... semua telah berubah. Ia tak bisa lagi menatap Dominic seperti sebelumnya. Kini hanya ada rasa takut dan ketidakberdayaan ketika bersamanya. Dokter Eleanor telah memberinya banyak petuah agar Ia tetap bertahan untuk dirinya sendiri. Dan Ia akan berusaha untuk tidak kalah pada keadaan seperti dulu. Ia duduk di kursi membaca buku mencoba mengusir rasa jenuh yang mulai menghampiri. Pintu kamar itu telah dikunci rapat dan dijaga ketat oleh dua bodyguard. Pintu kamar tiba-tiba terbuka, Dominic datang dengan langkah penuh intimidasi, memindai keadaan Amethyst dengan tajam. "Kau tidak tidur," ucap Dominic memecah keheningan. Amethyst menutup bukunya dengan kasar. Matanya dipenuhi kebencian ketika menatap pria itu. "Apa kau kehilangan kosa kata

  • Bersandar pada Ketakutan   47. Kegelapan Yang Mengelilingi

    Di ruang konsultasi rumah sakit, Dominic duduk menyilangkan kaki merasa dingin di hatinya menunggu penjelasan tentang keadaan Amethyst.Di hadapannya, dokter Eleanor, spesialis kejiwaan memaparkan kondisi Amethyst secara profesional dan juga simpati."Tuan Blackwood," ujar dokter Eleanor pelan. Ia membuka hasil evaluasi yang ia pegang sedikit gentar dibawah tatapan Dominic yang menusuk."Setelah observasi yang kami lakukan terhadap keadaan nona Amethyst, kita bisa melihat kalau beliau mengalami depresi berat dan beberapa tingkahnya mengarah ke bipolar. Kondisi itu bisa muncul ke permukaan jika beliau berada pada tingkat stress yang cukup tinggi."Dominic terdiam mendengar penjelasan yang terasa menusuk. Rasa bersalah mulai menggelayutinya. Namun, egonya mengatakan hal lain. "Dengan ini, Amethyst pasti akan bergantung padaku sepenuhnya," pikirnya. "Apa penyebabnya?" tanya Dominic sedikit tegang, walau ia sudah tahu jawabannya. Dokter Eleanor menghela napas, meletakkan kedua tanganny

  • Bersandar pada Ketakutan   46. Sisi Gelap Dominic Blackwood

    Ruangan minimalis bergaya etnik itu diisi oleh Dominic dan Ayah besar yang tengah duduk santai dengan kopi hitam di meja. "Bagaimana dengan proyek terbaru yang kuserahkan padamu?" Suara berat itu bertanya santai. Dominic memutar pena yang ia pegang dengan pandangan kosong. "Semua berjalan lancar." Nada bicaranya bahkan terdengar datar tanpa emosi. Mata tua Fernaldi tentu tak melewatkan detail kecil ini. "Gadis itu membuat suasana hatimu jelek rupanya." Mata Dominic berkilat mendengarnya. Ia menegakkan tubuh untuk menatap Fernaldi yang tampak menyeringai. "Itu urusanku," tekannya. "Kalau kau membuat keributan karena dia...," Fernaldi bangkit, memberikan sedikit tekanan untuk Dominic. "Kau tau kalau aku bukan orang yang berbelas kasih, Dominic." Dia menepuk bahu Dominic sebelum meninggalkan ruangan. Tatapan Dominic menggelap. Pena yang semula ia mainkan kini telah menjadi dua bagian akibat amarahnya. Ketika akan pergi, Ethan sudah menunggunya sambil bersandar di pintu, bersi

  • Bersandar pada Ketakutan   45. Sebuah Rahasia

    Setelah selesai makan siang, Ethan membimbing Amethyst untuk kembali ke ruangan Dominic tanpa mengatakan apapun. Amethyst berjalan diam disampingnya dalam keheningan. Kemudian ia teringat dengan perkataan ambigu yang sering diucapkan padanya. “Ethan,” panggilnya pelan. Namun, Ethan yang peka langsung menoleh tanpa menghentikan langkahnya. “Ya?” Amethyst merasa ragu sejenak. “Kau pernah bilang … aku bisa menghubungimu kalau butuh bantuan. Apa alasan kau mengatakan itu padaku?” Hening sejenak, kala Ethan mulai melambatkan langkahnya. “Kau terlihat mandiri dan kuat walau keadaan memaksamu untuk menggila." Amethyst mengerutkan kening. “Jadi, kau merasa kasihan padaku begitu?” "Anggap saja seperti itu." ucap Ethan cuek mendahului Amethyst. Seolah tak ingin memberitahu lebih. Langkah Amethyst terhenti. Ia tertegun menatap punggung Ethan yang makin menjauh. Namun, ia mulai mengejar Ethan dan memberanikan diri untuk bertanya hal lain yang sejak dulu mengganggu pikirannya. “Ethan

  • Bersandar pada Ketakutan   44. Dominic yang mendominasi

    Dominic menggenggam tangan Amethyst erat setelah sampai di pelataran kantor Onyx Horizon yang terlihat menjulang. Amethyst merasa sedikit tak nyaman dengan pandangan para pegawai yang memandang keduanya penasaran. Sesekali, ia melihat baju yang ia pakai. Memastikan pakaiannya sopan dan rapi ketika mereka berjalan di lobi ditemani seorang asisten laki-laki yang berjalan dibelakangnya. Dominic menuntun Amethyst masuk ke lift dan menekan tombol ke ruangannya. “Seharusnya kau tidak perlu sejauh ini," gerutu Amethyst pelan sedikit merajuk. Ia tersenyum sungkan pada asisten Dominic yang nampak sopan dan menundukkan pandangan. Dominic menatapnya sekilas. “Kau ingin bekerja bukan? Jadi, inilah pekerjaan mu. Menemaniku kemanapun aku pergi," ucapnya dengan enteng. Amethyst berdecak, merasa kesal dengan keputusan Dominic. Lift berdenting ketika sampai di pantai tujuan. Amethyst terkagum melihat interior kantor yang modern dan khas anak muda. Sama seperti di bawah, para pegawai di sini jug

  • Bersandar pada Ketakutan   43. Tautan Rasa

    Ketika Dominic memasuki kamar, ia melihat Amethyst yang tidur meringkuk membelakanginya. Dia langsung melenggang ke kamar mandi meski tau kalau Amethyst hanya berpura-pura tidur. Setelah beberapa saat, Dominic keluar dengan keadaan segar dan hanya mengenakan celana pendek. Merebahkan diri di ranjang dan memeluk Amethyst dari belakang. "Aku tau kau menguping, sayang," ucap Dominic berbisik. Namun, mengejutkan Amethyst. Dominic semakin memeluk Amethyst erat seolah mencari kekuatan. "Kau ingat sedikit cerita tentang kematian ibuku, bukan?" Perlahan, nafas Dominic semakin memberat. "Kecelakaan itu adalah konspirasi yang dibuat ayahku untuk memanipulasi publik. Ia tak ingin perusahaan terganggu dengan insiden bunuh diri yang dilakukan istrinya." "Sejak aku kecil, aku selalu melihat ibuku yang diperlakukan tidak adil. Semua jenis kekerasan fisik dan verbal ia terima. Hingga akhirnya memilih menyerah." Dominic mengelus rambut Amethyst yang mulai terisak. "Itu belum seberapa dibandi

  • Bersandar pada Ketakutan   42. Darah dan dendam

    Aiden menyusuri jalan sempit diantara gedung tua yang terbengkalai. Dengan bantuan cahaya bulan yang remang-remang, dia berjalan waspada. Setelah beberapa lama, ia sampai di sebuah rumah tradisional yang tampak kumuh diterangi lampu pijar. Satu tangannya meraih handgun yang ia sembunyikan dibalik jaket hitamnya sementara ia mengetuk pintu pelan. Menunggu sejenak, ia kemudian masuk ke dalam disambut seorang wanita muda yang duduk dibalik meja resepsionis. "Tuan Aiden?" tanya wanita itu memastikan. Dibalas anggukan oleh Aiden. "Mari ... Ibu sudah menunggu di dalam."Aiden dibimbing masuk ke sebuah pintu yang terhubung ke lorong panjang dengan banyak pintu yang terlihat dihuni. Hingga akhirnya, mereka berhenti di sebuah pintu besar tepat di ujung. "Ibu, Tuan Aiden sudah datang," katanya setelah mengetuk pintu. Tak lama terdengar sahutan dari dalam dan wanita itu menunduk pamit pada Aiden mempersilakannya masuk. Ketika Aiden masuk, aroma bunga yang menyengat bercampur asap rokok lan

  • Bersandar pada Ketakutan   41. Dekapan Yang Mengikat

    Pagi itu, setelah sarapan Dominic membawa seorang wanita yang dikenal sebagai dr. Eleanor datang ke rumah untuk sesi konseling seperti yang ia janjikan pada Amethyst. "Kenalkan, aku Eleanor. Panggil saja begitu," ucap dr Eleanor dengan senyum ramah dan hangat. "Ah, ya ... Aku Amethyst. Mohon bantuannya." Walau merasa sedikit canggung, tapi ia lega melihat senyum yang dipancarkan wanita paruh baya itu. Dominic merangkul pundak Amethyst dan mencium keningnya tanpa ragu di depan dr Eleanor. "Aku akan berada di ruang kerja. Beri tahu aku kalau kau merasa tak nyaman."Amethyst tersenyum malu melirik keberadaan dr Eleanor yang terlihat biasa saja. "Oke ... pergilah." bisiknya.Dia mengusir Dominic pelan mencoba menyembunyikan wajahnya yang bersemu. Bisa-bisanya pria itu menciumnya dihadapan orang lain. "Sepertinya, hubungan kalian cukup harmonis," kata dr Eleanor tertawa pelan. "Seperti itulah," Jawab Amethyst sekenanya. "Mari, silakan kita ke ruangan baca saja.""Tentu."---Dominic

  • Bersandar pada Ketakutan   40. Belitan Rantai Tak Kasat Mata

    Hari ini Amethyst bangun lebih pagi disaat suasana di luar masih gelap. Ia mencoba bergerak melepaskan belitan tangan Dominic."Domi, aku butuh ke kamar mandi," katanya pelan"Baiklah, sebentar saja." Dominic mengalah dan melepaskannya. Amethyst mengunci pintu kamar mandi sambil menghela nafas panjang. Pikirannya yang bercabang membuatnya sulit untuk tidur lelap. Ia duduk di kloset yang tertutup, menatap ubin yang dingin. "Apakah ini sudah tepat?"Amethyst menggumamkan kalimat itu berulang-ulang di kepalanya. Ia merasa, kembali bersama Dominic adalah keputusan salah dan yang terbaik disaat yang bersamaan. Amethyst terlonjak ketika mendengar suara Dominic dari balik pintu. "Sayang, kau baik-baik saja?" tanya Dominic terdengar dengan sedikit tekanan. "I-ini ... aku akan segera keluar." Gegas, Amethyst mencuci wajahnya untuk menutupi jejak kegelisahan. Ia mengatur nafas sebelum membuka pintu secara natural. Dominic berdiri tegak dibalik pintu kamar mandi bertelanjang dada. Meskipun

DMCA.com Protection Status