Home / Romansa / Bersandar pada Ketakutan / 2. Tentang masa lalu

Share

2. Tentang masa lalu

Author: Nalla Ela
last update Last Updated: 2024-11-28 10:02:13

Pagi itu, sinar matahari masuk melalui tirai tipis apartemen Amethyst, menerangi ruangan dengan lembut. Udara masih dingin setelah hujan deras semalam. Dominic terbangun lebih dulu. Dengan hati-hati, dia melepaskan pelukan dari tubuh Amethyst yang masih tertidur lelap di sebelahnya. Wajahnya yang tenang setelah malam penuh kecemasan membuat Dominic merasa lega. Dia menatapnya sejenak, membelai rambut Amethyst dengan penuh kasih sebelum akhirnya bangkit dari tempat tidur.

Dominic mengenakan kaus polos dan celana pendek sederhana, tampak berbeda dari sosok pria formal dan berkarisma yang biasa dikenali orang lain. Dia menuju dapur, memutuskan untuk menyiapkan sarapan sederhana: roti panggang dengan telur orak-arik dan kopi untuk dirinya sendiri, sementara secangkir teh hangat untuk Amethyst.

Saat aroma teh dan roti panggang memenuhi apartemen, Amethyst mulai terbangun. Matanya terbuka perlahan, dan untuk beberapa detik ia hanya menatap langit-langit, mengingat sisa-sisa malam sebelumnya. Suara langkah kaki Dominic membawanya kembali ke kenyataan.

Dominic muncul dengan nampan berisi sarapan, senyumnya tipis tapi penuh perhatian. “Selamat pagi, cantik,” sapanya dengan nada lembut. Ia meletakkan nampan di meja kecil di samping tempat tidur.

Amethyst tersenyum lemah, rasa syukur mengalir di hatinya. “Pagi... Terima kasih,” jawabnya, suaranya serak tapi hangat.

Dominic duduk di tepi tempat tidur, memandangnya penuh perhatian. “Bagaimana perasaanmu? Sudah lebih baik?” tanyanya.

Amethyst mengangguk. “Ya, jauh lebih baik. Aku merasa... lebih ringan.”

Setelah sarapan bersama, Dominic kembali ke sofa di ruang tamu. Ia membuka laptopnya, mulai tenggelam dalam pekerjaan yang sepertinya tak pernah habis. Amethyst memperhatikannya dari dapur, menyeduh teh tambahan untuk dirinya sendiri. Ada sesuatu yang aneh tapi menenangkan dalam melihat Dominic, pria dengan aura dominan dan keras di luar, terlihat santai bekerja di apartemennya.

Ketika sore menjelang, Amethyst mendekatinya, membawa dua cangkir teh. Dominic menerima cangkirnya sambil menatap Amethyst yang kini duduk di sebelahnya. “Kau terlihat jauh lebih cerah hari ini,” katanya dengan nada menggoda.

Amethyst tertawa kecil. “Itu karena aku tidak sendirian. Terima kasih sudah ada di sini semalam.”

Dominic menatapnya dalam, matanya mengunci pada Amethyst seperti tidak ingin melepaskannya. “Aku akan selalu ada di sini, Amethyst. Kau harus tahu itu.”

Amethyst terdiam sejenak, jemarinya bermain di tepi cangkir. Dominic menyadari perubahan raut wajahnya. “Apa yang kau pikirkan?” tanyanya.

“Masa kecilku,” Amethyst akhirnya menjawab pelan. “Dan... kejadian beberapa bulan yang lalu.”

Dominic mendekat, meletakkan cangkirnya di meja. “Ceritakan padaku,” katanya lembut, tapi tegas, seolah memberikan Amethyst izin untuk melepaskan beban yang selama ini dipendamnya.

Amethyst menarik napas panjang. “Ayahku... dia selalu mabuk. Ketika aku kecil, aku sering berharap dia akan berubah, tapi itu tak pernah terjadi. Ibuku mencoba melindungiku, tapi dia sendiri terlalu lemah. Aku ingat betapa seringnya aku merasa sendirian, bahkan ketika ada orang lain di sekitarku.”

Suasana hening sejenak. Dominic menggenggam tangan Amethyst, memberinya keberanian untuk melanjutkan.

“Beberapa bulan lalu, aku memutuskan untuk meninggalkan rumah. Ayahku sudah tiada, tapi bayangannya tetap menghantui kami. Michael, kakakku, yang tinggal di rumah nenek sejak kecil memilih tak mau tau. Aku tidak bisa. Aku merasa rumah itu penuh dengan luka yang terus mengingatkanku pada rasa sakit.”

Amethyst berhenti sejenak, air mata mulai menggenang di matanya. Dominic meremas tangannya pelan, memberi tanda bahwa ia tidak perlu buru-buru.

“Ada satu malam...” Amethyst melanjutkan dengan suara bergetar. “Aku sendirian di rumah. Hujan deras, seperti semalam. Aku mendengar suara, seperti ayahku yang marah-marah. Aku tahu itu hanya di kepalaku, tapi rasanya begitu nyata. Aku tidak bisa tidur. Aku hanya duduk di sudut kamar, seperti anak kecil yang ketakutan lagi. Itu malam terakhirku di rumah. Keesokan harinya, aku pindah ke apartemen ini.”

Dominic mengangguk pelan, memahami setiap kata yang Amethyst ucapkan. Wajahnya tegang, tapi sorot matanya tetap lembut. “Kau sudah melalui begitu banyak, Amethyst. Tapi kau masih berdiri di sini. Itu yang membuatmu luar biasa.”

Amethyst tersenyum kecil, air mata mengalir di pipinya. “Aku tidak tahu apa yang akan terjadi jika aku tidak bertemu denganmu, Dominic.”

Dominic menariknya ke dalam pelukan, membiarkan kepala Amethyst bersandar di dadanya. “Kau tidak perlu memikirkan itu. Kau milikku sekarang. Dan aku tidak akan pernah membiarkanmu menghadapi apa pun sendirian lagi.”

Hening meliputi mereka berdua, hanya suara detak jantung Dominic yang terdengar di telinga Amethyst. Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, Amethyst merasa benar-benar aman.

Related chapters

  • Bersandar pada Ketakutan   3. Dominic's Affection

    Dominic memeluk Amethyst erat, tangannya mengelus punggungnya dengan lembut. Setelah beberapa saat dalam keheningan, ia melepaskan pelukan itu perlahan, menatap wajah Amethyst yang masih sembab. “Tangismu membuatku ingin mencium bibir itu, Amethyst,” gumam Dominic dengan suara rendah, nadanya setengah menggoda tapi penuh otoritas.Amethyst terhenyak. Matanya melebar, dan pipinya langsung memerah. “Dominic!” serunya setengah tertawa, mencoba menutupi rasa malunya. “Kau selalu tahu cara membuatku salah tingkah!”Dominic tersenyum, senyum yang sangat khas dirinya—memiliki sentuhan misteri dan dominasi. “Kalau aku tidak tahu caranya, aku sudah kehilanganmu sejak awal,” balasnya, satu alis terangkat penuh percaya diri.Amethyst tertawa kecil, suasana hatinya perlahan mencair. “Kau terlalu percaya diri, Tuan Blackwood. Apa kau pikir aku begitu mudah terpesona padamu?” katanya mencoba terdengar galak, meskipun bibirnya melengkung membentuk senyum.Dominic mengulurkan tangan, menarik Amethys

    Last Updated : 2024-11-28
  • Bersandar pada Ketakutan   4. Menemui Ibu

    Jari jemari Amethyst menari di atas keypad untuk meneruskan draft revisi skripsinya. Dia tak berniat lama-lama di kampus itu dan membuatnya harus bertemu dengan orang-orang yang membencinya semenjak ia dekat dengan Dominic. Matanya berusaha fokus meskipun pikirannya berkelana kemana-mana. Menyerah, Amethyst menghela napas panjang, pandangannya jatuh pada secangkir kopi hitam yang sudah setengah kosong. Kehangatan kopi itu mengingatkannya pada sentuhan lembut Dominic di puncak kepalanya saat dia mencium keningnya sebelum pergi pagi ini. Dominic memang terlalu perhatian, bahkan sedikit cerewet, tapi ia tidak bisa memungkiri betapa nyamannya ia merasa dicintai seperti itu.Apartment beberapa hari ini sunyi tanpa Dominic yang biasa berkunjung. Pria itu berpamitan akan pergi ke luar negeri untuk kunjungan kerja. Entah mengapa, Amethyst mulai ketergantungan dengan kehadiran Dominic disekelilingnya. Hal abu-abu dalam hidupnya kini penuh warna. Hal yang ia idam-idamkan selama ini-dicintai

    Last Updated : 2024-11-28
  • Bersandar pada Ketakutan   5. Keluarga adalah luka

    “Amy,” sebuah suara berat memanggilnya dari pintu. Amethyst melepaskan pelukannya perlahan, lalu menoleh. Michael Callahan berdiri di sana, setelan jasnya rapi seperti biasa, dengan wajah tanpa emosi yang telah menjadi ciri khasnya.“Kau masih di sini?” tanyanya, nada suaranya terdengar biasa saja, tapi tatapannya seperti menelanjangi semua perasaan Amethyst.“Kak Michael,” jawab Amethyst datar. “Aku hanya ingin melihat ibu.”Michael melangkah masuk, tangannya dimasukkan ke dalam saku jas. “Kau tahu dia tidak akan meresponmu, kan?” ucapnya, hampir tanpa perasaan.Amethyst mengepalkan tangannya di bawah meja, mencoba menahan rasa marah yang mulai muncul. “Aku tahu. Tapi aku tetap ingin berada di sini.”Michael mendengus kecil, lalu mendekati meja. “Kau terlalu banyak membuang waktu untuk sesuatu yang tidak ada hasilnya, Amethyst. Jika aku jadi kau, aku akan fokus pada masa depan.”“Masa depan?!” Amethyst mendongak tajam, matanya menyala dengan kemarahan yang terpendam. “Kau selalu meng

    Last Updated : 2024-11-28
  • Bersandar pada Ketakutan   6. Pelajaran kecil

    Dominic mengetuk permukaan meja dengan ritme yang sama, menghasilkan suara mengerikan bagi kelima bawahannya yang tengah berdiri menunduk dengan keringat dingin menetes di wajahnya.Aura di sekeliling makin mencekam kala suara Amethyst terdengar dari tablet yang dipegangnya.Di rekaman CCTV itu terlihat jelas bagaimana obrolan sepasang saudara yang memanas.Saat melihat Amethyst mulai menangis, Dominic merasa darahnya mendidih. Bayangan semua orang yang pernah melukai Amethyst-ayahnya, kakaknya, bahkan orang-orang di kampus yang memandangnya rendah-berkelebat di pikirannya. Di dalam benaknya, ia membuat keputusan tegas. Dia akan melakukan apa pun untuk memastikan tak ada yang akan merusak hidup gadis itu lagi, bahkan jika harus menghancurkan siapa saja yang berani mendekat atau mengancam kedamaian Amethyst. Termasuk keluarganya sekalipun. "Bajingan itu memang perlu diberi sedikit pelajaran."---Dominic memutar pena di jarinya, ekspresi keras menghiasi wajahnya saat menonton pemandan

    Last Updated : 2024-11-28
  • Bersandar pada Ketakutan   7. Bersandar padamu

    Amethyst duduk di sofa apartemennya, menatap secangkir teh di tangannya yang mulai mendingin. Matanya sembap, pipinya memerah akibat menangis terlalu lama. Di hadapannya, Dominic duduk dengan postur santai, tetapi mata gelapnya mengamati setiap gerak-gerik Amethyst seperti elang yang siap melindungi mangsanya.“Apa yang dia katakan padamu?” suara Dominic tenang, tapi ada nada tajam yang tersembunyi di baliknya.Amethyst menggigit bibir, mencoba menahan tangis yang kembali mengancam. “Michael bilang... aku yang memilih tetap tinggal. Bahwa semua ini adalah tanggung jawabku sendiri. Dan dia... dia tidak peduli.”Dominic bersandar ke depan, menyentuh dagu Amethyst dengan lembut, memaksa gadis itu menatapnya. “Dia salah,” ujarnya pelan, tetapi penuh penekanan. “Semua keputusan yang kau buat itu menunjukkan bahwa kau jauh lebih kuat daripada yang dia sadari.”“Tapi Dominic...” Amethyst memalingkan wajah, suaranya bergetar. “Aku merasa gagal. Dia benar, aku tetap tinggal, tapi apa gunanya?

    Last Updated : 2024-11-28
  • Bersandar pada Ketakutan   Bab 8

    Ruangan itu sunyi ketika Michelle kembali ke rumah. Amethyst, yang tengah duduk di sofa, mendongak, berharap ada sedikit kehangatan dari kakaknya yang sudah lama tak terlibat langsung dalam masalah keluarga mereka. Namun, Michelle hanya mengangguk sekilas, lalu mengalihkan pandangan, seperti biasa. Michelle memang selalu menghindar, seolah tak ingin terlibat atau bahkan mendengar tentang kejadian yang menghancurkan keluarga mereka.“Kak,” Amethyst mencoba memulai percakapan, nadanya penuh harap. "Sudah lama aku ingin bicara soal... soal Ibu."Michelle, yang tengah membuka jendela, berhenti sejenak, tetapi tidak berbalik. “Amy, aku tidak ingin membahas soal itu. Kau tahu, kan?” suaranya terdengar dingin, seolah menutup segala pintu bagi Amethyst untuk mendekat.Amethyst menelan ludah, merasakan emosi yang selama ini dipendamnya mulai menggelegak. “Kenapa selalu begitu, Kak? Kenapa kau selalu menghindar setiap kali kita bicara soal keluarga kita?”Michelle akhirnya menoleh, wajahnya dat

    Last Updated : 2024-11-28
  • Bersandar pada Ketakutan   Bab 9

    Beberapa menit kemudian, suara ketukan pintu membuyarkan lamunannya. Ia membuka pintu dan mendapati Dominic berdiri di sana, mengenakan masker hitam dan topi yang menutupi sebagian wajahnya, membuatnya tetap misterius namun tegas. Dominic melangkah masuk tanpa banyak bicara, menutup pintu di belakangnya, lalu menatap Amethyst dengan tatapan yang penuh perhatian, seolah tahu bahwa gadis di hadapannya sedang dilanda kepedihan.Dominic mendekati Amethyst dan menariknya ke dalam pelukan, membiarkan gadis itu mencurahkan emosinya. Ia tak mengatakan apa-apa; kehadirannya saja sudah cukup bagi Amethyst. Perlahan, dengan kehangatan yang ia tawarkan, Dominic mengusap punggung Amethyst, memberi sentuhan yang membuat ketegangan di tubuhnya mereda."Amethyst, tenanglah," bisiknya lembut. "Aku di sini. Aku tidak akan membiarkanmu merasa sendirian."Dalam pelukan Dominic, Amethyst merasakan kecemasannya perlahan menghilang. Kehadiran pria itu bagai pelipur di tengah badai yang mengamuk. Ia merasa,

    Last Updated : 2024-11-28
  • Bersandar pada Ketakutan   10. Pulang

    Langit di luar rumah sakit berwarna abu-abu pekat, hujan rintik-rintik membasahi kaca jendela kamar rawat Amethyst. Suara detak jarum jam terdengar jelas di ruangan itu, sementara Amethyst duduk di tepi ranjang, menggenggam erat selimut putih yang menutupi kakinya. Tubuhnya masih terasa lemah setelah serangan kecemasan hebat beberapa hari lalu.Pintu terbuka perlahan, dan Dominic masuk dengan langkah mantap. Setelan jasnya sempurna seperti biasa, tapi rambutnya sedikit acak, menunjukkan bahwa pria itu sudah melewati hari yang panjang. Tangannya membawa sekotak makanan dan sebuah jaket tebal.“Bagaimana perasaanmu?” tanyanya lembut, menaruh barang-barangnya di meja kecil dekat ranjang.Amethyst mengangkat bahu, mencoba tersenyum meski canggung. “Lebih baik. Aku akan menemui dokter Clara setelah ini. Kalau dia bilang aku bisa pulang, aku akan segera meninggalkan tempat ini.”Dominic mengangguk, lalu mendekat. Ia meraih tangan Amethyst, membelainya lembut. “Bagus. Rumah sakit ini tidak c

    Last Updated : 2024-11-28

Latest chapter

  • Bersandar pada Ketakutan   10. Pulang

    Langit di luar rumah sakit berwarna abu-abu pekat, hujan rintik-rintik membasahi kaca jendela kamar rawat Amethyst. Suara detak jarum jam terdengar jelas di ruangan itu, sementara Amethyst duduk di tepi ranjang, menggenggam erat selimut putih yang menutupi kakinya. Tubuhnya masih terasa lemah setelah serangan kecemasan hebat beberapa hari lalu.Pintu terbuka perlahan, dan Dominic masuk dengan langkah mantap. Setelan jasnya sempurna seperti biasa, tapi rambutnya sedikit acak, menunjukkan bahwa pria itu sudah melewati hari yang panjang. Tangannya membawa sekotak makanan dan sebuah jaket tebal.“Bagaimana perasaanmu?” tanyanya lembut, menaruh barang-barangnya di meja kecil dekat ranjang.Amethyst mengangkat bahu, mencoba tersenyum meski canggung. “Lebih baik. Aku akan menemui dokter Clara setelah ini. Kalau dia bilang aku bisa pulang, aku akan segera meninggalkan tempat ini.”Dominic mengangguk, lalu mendekat. Ia meraih tangan Amethyst, membelainya lembut. “Bagus. Rumah sakit ini tidak c

  • Bersandar pada Ketakutan   Bab 9

    Beberapa menit kemudian, suara ketukan pintu membuyarkan lamunannya. Ia membuka pintu dan mendapati Dominic berdiri di sana, mengenakan masker hitam dan topi yang menutupi sebagian wajahnya, membuatnya tetap misterius namun tegas. Dominic melangkah masuk tanpa banyak bicara, menutup pintu di belakangnya, lalu menatap Amethyst dengan tatapan yang penuh perhatian, seolah tahu bahwa gadis di hadapannya sedang dilanda kepedihan.Dominic mendekati Amethyst dan menariknya ke dalam pelukan, membiarkan gadis itu mencurahkan emosinya. Ia tak mengatakan apa-apa; kehadirannya saja sudah cukup bagi Amethyst. Perlahan, dengan kehangatan yang ia tawarkan, Dominic mengusap punggung Amethyst, memberi sentuhan yang membuat ketegangan di tubuhnya mereda."Amethyst, tenanglah," bisiknya lembut. "Aku di sini. Aku tidak akan membiarkanmu merasa sendirian."Dalam pelukan Dominic, Amethyst merasakan kecemasannya perlahan menghilang. Kehadiran pria itu bagai pelipur di tengah badai yang mengamuk. Ia merasa,

  • Bersandar pada Ketakutan   Bab 8

    Ruangan itu sunyi ketika Michelle kembali ke rumah. Amethyst, yang tengah duduk di sofa, mendongak, berharap ada sedikit kehangatan dari kakaknya yang sudah lama tak terlibat langsung dalam masalah keluarga mereka. Namun, Michelle hanya mengangguk sekilas, lalu mengalihkan pandangan, seperti biasa. Michelle memang selalu menghindar, seolah tak ingin terlibat atau bahkan mendengar tentang kejadian yang menghancurkan keluarga mereka.“Kak,” Amethyst mencoba memulai percakapan, nadanya penuh harap. "Sudah lama aku ingin bicara soal... soal Ibu."Michelle, yang tengah membuka jendela, berhenti sejenak, tetapi tidak berbalik. “Amy, aku tidak ingin membahas soal itu. Kau tahu, kan?” suaranya terdengar dingin, seolah menutup segala pintu bagi Amethyst untuk mendekat.Amethyst menelan ludah, merasakan emosi yang selama ini dipendamnya mulai menggelegak. “Kenapa selalu begitu, Kak? Kenapa kau selalu menghindar setiap kali kita bicara soal keluarga kita?”Michelle akhirnya menoleh, wajahnya dat

  • Bersandar pada Ketakutan   7. Bersandar padamu

    Amethyst duduk di sofa apartemennya, menatap secangkir teh di tangannya yang mulai mendingin. Matanya sembap, pipinya memerah akibat menangis terlalu lama. Di hadapannya, Dominic duduk dengan postur santai, tetapi mata gelapnya mengamati setiap gerak-gerik Amethyst seperti elang yang siap melindungi mangsanya.“Apa yang dia katakan padamu?” suara Dominic tenang, tapi ada nada tajam yang tersembunyi di baliknya.Amethyst menggigit bibir, mencoba menahan tangis yang kembali mengancam. “Michael bilang... aku yang memilih tetap tinggal. Bahwa semua ini adalah tanggung jawabku sendiri. Dan dia... dia tidak peduli.”Dominic bersandar ke depan, menyentuh dagu Amethyst dengan lembut, memaksa gadis itu menatapnya. “Dia salah,” ujarnya pelan, tetapi penuh penekanan. “Semua keputusan yang kau buat itu menunjukkan bahwa kau jauh lebih kuat daripada yang dia sadari.”“Tapi Dominic...” Amethyst memalingkan wajah, suaranya bergetar. “Aku merasa gagal. Dia benar, aku tetap tinggal, tapi apa gunanya?

  • Bersandar pada Ketakutan   6. Pelajaran kecil

    Dominic mengetuk permukaan meja dengan ritme yang sama, menghasilkan suara mengerikan bagi kelima bawahannya yang tengah berdiri menunduk dengan keringat dingin menetes di wajahnya.Aura di sekeliling makin mencekam kala suara Amethyst terdengar dari tablet yang dipegangnya.Di rekaman CCTV itu terlihat jelas bagaimana obrolan sepasang saudara yang memanas.Saat melihat Amethyst mulai menangis, Dominic merasa darahnya mendidih. Bayangan semua orang yang pernah melukai Amethyst-ayahnya, kakaknya, bahkan orang-orang di kampus yang memandangnya rendah-berkelebat di pikirannya. Di dalam benaknya, ia membuat keputusan tegas. Dia akan melakukan apa pun untuk memastikan tak ada yang akan merusak hidup gadis itu lagi, bahkan jika harus menghancurkan siapa saja yang berani mendekat atau mengancam kedamaian Amethyst. Termasuk keluarganya sekalipun. "Bajingan itu memang perlu diberi sedikit pelajaran."---Dominic memutar pena di jarinya, ekspresi keras menghiasi wajahnya saat menonton pemandan

  • Bersandar pada Ketakutan   5. Keluarga adalah luka

    “Amy,” sebuah suara berat memanggilnya dari pintu. Amethyst melepaskan pelukannya perlahan, lalu menoleh. Michael Callahan berdiri di sana, setelan jasnya rapi seperti biasa, dengan wajah tanpa emosi yang telah menjadi ciri khasnya.“Kau masih di sini?” tanyanya, nada suaranya terdengar biasa saja, tapi tatapannya seperti menelanjangi semua perasaan Amethyst.“Kak Michael,” jawab Amethyst datar. “Aku hanya ingin melihat ibu.”Michael melangkah masuk, tangannya dimasukkan ke dalam saku jas. “Kau tahu dia tidak akan meresponmu, kan?” ucapnya, hampir tanpa perasaan.Amethyst mengepalkan tangannya di bawah meja, mencoba menahan rasa marah yang mulai muncul. “Aku tahu. Tapi aku tetap ingin berada di sini.”Michael mendengus kecil, lalu mendekati meja. “Kau terlalu banyak membuang waktu untuk sesuatu yang tidak ada hasilnya, Amethyst. Jika aku jadi kau, aku akan fokus pada masa depan.”“Masa depan?!” Amethyst mendongak tajam, matanya menyala dengan kemarahan yang terpendam. “Kau selalu meng

  • Bersandar pada Ketakutan   4. Menemui Ibu

    Jari jemari Amethyst menari di atas keypad untuk meneruskan draft revisi skripsinya. Dia tak berniat lama-lama di kampus itu dan membuatnya harus bertemu dengan orang-orang yang membencinya semenjak ia dekat dengan Dominic. Matanya berusaha fokus meskipun pikirannya berkelana kemana-mana. Menyerah, Amethyst menghela napas panjang, pandangannya jatuh pada secangkir kopi hitam yang sudah setengah kosong. Kehangatan kopi itu mengingatkannya pada sentuhan lembut Dominic di puncak kepalanya saat dia mencium keningnya sebelum pergi pagi ini. Dominic memang terlalu perhatian, bahkan sedikit cerewet, tapi ia tidak bisa memungkiri betapa nyamannya ia merasa dicintai seperti itu.Apartment beberapa hari ini sunyi tanpa Dominic yang biasa berkunjung. Pria itu berpamitan akan pergi ke luar negeri untuk kunjungan kerja. Entah mengapa, Amethyst mulai ketergantungan dengan kehadiran Dominic disekelilingnya. Hal abu-abu dalam hidupnya kini penuh warna. Hal yang ia idam-idamkan selama ini-dicintai

  • Bersandar pada Ketakutan   3. Dominic's Affection

    Dominic memeluk Amethyst erat, tangannya mengelus punggungnya dengan lembut. Setelah beberapa saat dalam keheningan, ia melepaskan pelukan itu perlahan, menatap wajah Amethyst yang masih sembab. “Tangismu membuatku ingin mencium bibir itu, Amethyst,” gumam Dominic dengan suara rendah, nadanya setengah menggoda tapi penuh otoritas.Amethyst terhenyak. Matanya melebar, dan pipinya langsung memerah. “Dominic!” serunya setengah tertawa, mencoba menutupi rasa malunya. “Kau selalu tahu cara membuatku salah tingkah!”Dominic tersenyum, senyum yang sangat khas dirinya—memiliki sentuhan misteri dan dominasi. “Kalau aku tidak tahu caranya, aku sudah kehilanganmu sejak awal,” balasnya, satu alis terangkat penuh percaya diri.Amethyst tertawa kecil, suasana hatinya perlahan mencair. “Kau terlalu percaya diri, Tuan Blackwood. Apa kau pikir aku begitu mudah terpesona padamu?” katanya mencoba terdengar galak, meskipun bibirnya melengkung membentuk senyum.Dominic mengulurkan tangan, menarik Amethys

  • Bersandar pada Ketakutan   2. Tentang masa lalu

    Pagi itu, sinar matahari masuk melalui tirai tipis apartemen Amethyst, menerangi ruangan dengan lembut. Udara masih dingin setelah hujan deras semalam. Dominic terbangun lebih dulu. Dengan hati-hati, dia melepaskan pelukan dari tubuh Amethyst yang masih tertidur lelap di sebelahnya. Wajahnya yang tenang setelah malam penuh kecemasan membuat Dominic merasa lega. Dia menatapnya sejenak, membelai rambut Amethyst dengan penuh kasih sebelum akhirnya bangkit dari tempat tidur.Dominic mengenakan kaus polos dan celana pendek sederhana, tampak berbeda dari sosok pria formal dan berkarisma yang biasa dikenali orang lain. Dia menuju dapur, memutuskan untuk menyiapkan sarapan sederhana: roti panggang dengan telur orak-arik dan kopi untuk dirinya sendiri, sementara secangkir teh hangat untuk Amethyst.Saat aroma teh dan roti panggang memenuhi apartemen, Amethyst mulai terbangun. Matanya terbuka perlahan, dan untuk beberapa detik ia hanya menatap langit-langit, mengingat sisa-sisa malam sebelumnya

DMCA.com Protection Status