Share

Bab 8

Penulis: Nalla Ela
last update Terakhir Diperbarui: 2024-11-28 10:02:13

Ruangan itu sunyi ketika Michelle kembali ke rumah. Amethyst, yang tengah duduk di sofa, mendongak, berharap ada sedikit kehangatan dari kakaknya yang sudah lama tak terlibat langsung dalam masalah keluarga mereka. Namun, Michelle hanya mengangguk sekilas, lalu mengalihkan pandangan, seperti biasa. Michelle memang selalu menghindar, seolah tak ingin terlibat atau bahkan mendengar tentang kejadian yang menghancurkan keluarga mereka.

“Kak,” Amethyst mencoba memulai percakapan, nadanya penuh harap. "Sudah lama aku ingin bicara soal... soal Ibu."

Michelle, yang tengah membuka jendela, berhenti sejenak, tetapi tidak berbalik. “Amy, aku tidak ingin membahas soal itu. Kau tahu, kan?” suaranya terdengar dingin, seolah menutup segala pintu bagi Amethyst untuk mendekat.

Amethyst menelan ludah, merasakan emosi yang selama ini dipendamnya mulai menggelegak. “Kenapa selalu begitu, Kak? Kenapa kau selalu menghindar setiap kali kita bicara soal keluarga kita?”

Michelle akhirnya menoleh, wajahnya datar. “Karena aku sudah cukup lelah dengan semua ini, Amy. Kau tahu, kan? Semua orang sudah punya masalah masing-masing, dan aku juga punya hidup sendiri. Aku tidak harus selalu terjebak dalam masalah yang sama, lagi dan lagi.”

Kata-kata itu, dingin dan penuh ketidakpedulian, menusuk hati Amethyst. Ia merasa seolah kehadirannya dan segala beban yang ia pikul tidak pernah berarti bagi kakaknya. Tiba-tiba, semua luka lama yang dipendamnya selama bertahun-tahun seolah menyeruak tanpa bisa lagi ia bendung.

“Masalah yang sama? Kak, ini bukan hanya masalah biasa! Ini hidup kita, masa lalu kita... dan Ibu kita!” suara Amethyst mulai bergetar, dan amarah yang selama ini dipendamnya tak lagi bisa ia tahan. “Kau tidak peduli, karena kau tak pernah benar-benar ada di sana! Kau selalu tinggal bersama Nenek, jauh dari rumah, jauh dari ayah…”

Michelle mendengus pelan, seolah muak. “Dan kau kira aku yang harus menanggung semua ini, huh? Kau tidak tahu apa-apa, Amethyst. Aku pergi karena aku memang tersisihkan. Kau, anak perempuan kesayangan Ayah.”

Amethyst merasa jantungnya mencelos. Dia tidak bisa lagi menahan amarahnya. “Tersisihkan?” Amethyst mendengus sinis. “Kak, kau tidak tahu apa artinya tersisih! Aku yang harus melihat Ayah menghancurkan segalanya di rumah ini. Aku yang harus melihat Ibu jatuh dalam depresi, sampai dia merasa harus... harus menghilangkan nyawa Ayah demi melindungi aku! Sementara kau? Kau di rumah Nenek, jauh dari semua kekejaman itu!”

Michelle terdiam, tapi Amethyst melanjutkan, perasaannya yang selama ini terpendam keluar tanpa terkendali. “Aku harus hidup setiap hari dengan kecemasan, rasa takut. Aku harus berurusan dengan segala trauma yang Ayah tinggalkan! Kau tidak pernah tahu rasanya, Kak. Kau tidak pernah ada di sini ketika aku ketakutan setiap malam, ketika aku merasa aku bukan siapa-siapa… hanya anak perempuan yang selalu terabaikan.”

Bahkan, untuk sekedar mencari perhatian pada neneknya ia tak pernah mendapatkannya. Nenek dan Ayahnya hanya peduli pada anak laki-laki penerus keluarga. Bukan anak perempuan yang lembek sepertinya.

"Jangan dimakan! Ini untuk cucuku."

"Kau masih bisa pakai bekas kakakmu. Sekarang uangnya habis untuk biaya kuliah kakakmu."

Kalimat itu masih membekas dibenaknya bagai mantra yang mengingatkan tentang betapa ia harus berjuang keras untuk sampai di titik ini.

Amethyst merasa dadanya sesak, emosinya memuncak. “Kau tidak tahu bagaimana rasanya menjadi aku, Kak. Karena yang tersisihkan dari dulu bukan kau—tapi aku! Aku yang harus menghadapi semua kebencian, kekejaman, dan kesepian di rumah ini.”

Michelle hanya memandang Amethyst, tampak tak percaya. Ada sesuatu yang bergolak di matanya, mungkin rasa bersalah yang selama ini ia abaikan. Tapi Michelle tetap diam, tak berkata apapun, seolah kata-kata Amethyst baru saja meruntuhkan tembok yang selama ini ia pertahankan.

Akhirnya, Michelle mengalihkan pandangannya dan menghela napas panjang. Tanpa berkata apa-apa, ia berbalik dan pergi dari rumah itu, meninggalkan Amethyst dengan segala beban yang masih menggantung di hatinya.

Amethyst merasakan perasaannya runtuh. Semua yang ia sembunyikan selama ini telah keluar, namun itu tidak membuatnya merasa lebih baik. Keheningan yang tersisa di apartemen hanya memperdalam luka yang ia rasakan, meninggalkan rasa sepi dan sakit yang tak terkatakan.

Setelah Michelle pergi, Amethyst duduk di ruang tamu yang sepi, terpaku. Hatinya terasa begitu berat, seolah luka lama yang selama ini dipendam kini terbuka lebar, tanpa ada yang bisa menutupnya kembali. Amarah, kesedihan, dan kelelahan bercampur menjadi satu, membuat dadanya terasa begitu sesak. Ia berpikir, mungkin Michelle benar; mungkin, pada akhirnya, tidak ada yang benar-benar peduli padanya. Pikiran itu membuat Amethyst semakin merasa terpuruk, dan kecemasannya perlahan mengambil alih.

Perlahan, ia merasakan rasa cemas yang begitu kuat mulai menguasainya. Napasnya menjadi tidak teratur, tangannya gemetar, dan kepalanya terasa berputar. Ia berusaha mengendalikan diri, tetapi bayangan kenangan buruk yang terus berputar membuatnya semakin tersesat dalam rasa takutnya. Rasanya seperti tenggelam dalam lubang gelap, tanpa ada yang bisa menariknya keluar.

Seperti mengetahui kondisi Amethyst, telepon genggamnya berdering. Pesan singkat masuk dari Dominic: "Aku akan ke tempatmu."

Amethyst awalnya ragu untuk membalas, tetapi ia tak sanggup lagi memendam semuanya sendirian. Ada sesuatu dalam diri Dominic yang selalu berhasil membuatnya merasa lebih aman. Meski terkesan mendominasi dan misterius, kehadirannya memberi Amethyst rasa nyaman yang tidak bisa ia dapatkan dari orang lain.

Dengan tangan gemetar, Amethyst mengetik iya tanpa memberi tau keberadaannya, seolah yakin Dominic pasti menemukannya. Tidak butuh waktu lama, Dominic segera membalas, "Aku akan tiba sebentar lagi. Tunggu dan jangan khawatir." Pesan itu singkat, namun cukup untuk memberinya sedikit ketenangan.

Bab terkait

  • Bersandar pada Ketakutan   Bab 9

    Beberapa menit kemudian, suara ketukan pintu membuyarkan lamunannya. Ia membuka pintu dan mendapati Dominic berdiri di sana, mengenakan masker hitam dan topi yang menutupi sebagian wajahnya, membuatnya tetap misterius namun tegas. Dominic melangkah masuk tanpa banyak bicara, menutup pintu di belakangnya, lalu menatap Amethyst dengan tatapan yang penuh perhatian, seolah tahu bahwa gadis di hadapannya sedang dilanda kepedihan.Dominic mendekati Amethyst dan menariknya ke dalam pelukan, membiarkan gadis itu mencurahkan emosinya. Ia tak mengatakan apa-apa; kehadirannya saja sudah cukup bagi Amethyst. Perlahan, dengan kehangatan yang ia tawarkan, Dominic mengusap punggung Amethyst, memberi sentuhan yang membuat ketegangan di tubuhnya mereda."Amethyst, tenanglah," bisiknya lembut. "Aku di sini. Aku tidak akan membiarkanmu merasa sendirian."Dalam pelukan Dominic, Amethyst merasakan kecemasannya perlahan menghilang. Kehadiran pria itu bagai pelipur di tengah badai yang mengamuk. Ia merasa,

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-28
  • Bersandar pada Ketakutan   10. Pulang

    Langit di luar rumah sakit berwarna abu-abu pekat, hujan rintik-rintik membasahi kaca jendela kamar rawat Amethyst. Suara detak jarum jam terdengar jelas di ruangan itu, sementara Amethyst duduk di tepi ranjang, menggenggam erat selimut putih yang menutupi kakinya. Tubuhnya masih terasa lemah setelah serangan kecemasan hebat beberapa hari lalu.Pintu terbuka perlahan, dan Dominic masuk dengan langkah mantap. Setelan jasnya sempurna seperti biasa, tapi rambutnya sedikit acak, menunjukkan bahwa pria itu sudah melewati hari yang panjang. Tangannya membawa sekotak makanan dan sebuah jaket tebal.“Bagaimana perasaanmu?” tanyanya lembut, menaruh barang-barangnya di meja kecil dekat ranjang.Amethyst mengangkat bahu, mencoba tersenyum meski canggung. “Lebih baik. Aku akan menemui dokter Clara setelah ini. Kalau dia bilang aku bisa pulang, aku akan segera meninggalkan tempat ini.”Dominic mengangguk, lalu mendekat. Ia meraih tangan Amethyst, membelainya lembut. “Bagus. Rumah sakit ini tidak c

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-28
  • Bersandar pada Ketakutan   1. Pelukan di tengah badai

    Hujan deras menghantam jendela apartemen Amethyst, irama derasnya terasa seperti ancaman, bukan kenyamanan. Petir menyambar dengan suara menggelegar, mengguncang seluruh ruangan yang gelap gulita. Amethyst duduk meringkuk di sudut sofa, tubuhnya gemetar hebat. Nafasnya pendek dan terputus-putus, hampir seperti dia mencoba mencari udara di ruang hampa.Amethyst menggigit bibir bawahnya, mencoba menahan isak yang mulai mendesak keluar. Namun, pikirannya mengkhianatinya, menariknya kembali ke kenangan yang berulang kali berusaha ia lupakan."Kau ini bodoh! Tak ada gunanya!" Bentakan ayahnya menggema di benaknya, seperti rekaman yang tak henti diputar. Ia teringat tatapan penuh amarah pria itu, tangannya yang selalu terangkat untuk menegaskan kekuasaan atas keluarganya. "Jangan berani-berani menjawab ku, Amethyst!"Saat itu ia hanya seorang anak kecil, tubuhnya terlalu kecil untuk melawan, terlalu lemah untuk melindungi dirinya sendiri. Dia akan meringkuk di sudut kamar, sama seperti seka

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-28
  • Bersandar pada Ketakutan   2. Tentang masa lalu

    Pagi itu, sinar matahari masuk melalui tirai tipis apartemen Amethyst, menerangi ruangan dengan lembut. Udara masih dingin setelah hujan deras semalam. Dominic terbangun lebih dulu. Dengan hati-hati, dia melepaskan pelukan dari tubuh Amethyst yang masih tertidur lelap di sebelahnya. Wajahnya yang tenang setelah malam penuh kecemasan membuat Dominic merasa lega. Dia menatapnya sejenak, membelai rambut Amethyst dengan penuh kasih sebelum akhirnya bangkit dari tempat tidur.Dominic mengenakan kaus polos dan celana pendek sederhana, tampak berbeda dari sosok pria formal dan berkarisma yang biasa dikenali orang lain. Dia menuju dapur, memutuskan untuk menyiapkan sarapan sederhana: roti panggang dengan telur orak-arik dan kopi untuk dirinya sendiri, sementara secangkir teh hangat untuk Amethyst.Saat aroma teh dan roti panggang memenuhi apartemen, Amethyst mulai terbangun. Matanya terbuka perlahan, dan untuk beberapa detik ia hanya menatap langit-langit, mengingat sisa-sisa malam sebelumnya

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-28
  • Bersandar pada Ketakutan   3. Dominic's Affection

    Dominic memeluk Amethyst erat, tangannya mengelus punggungnya dengan lembut. Setelah beberapa saat dalam keheningan, ia melepaskan pelukan itu perlahan, menatap wajah Amethyst yang masih sembab. “Tangismu membuatku ingin mencium bibir itu, Amethyst,” gumam Dominic dengan suara rendah, nadanya setengah menggoda tapi penuh otoritas.Amethyst terhenyak. Matanya melebar, dan pipinya langsung memerah. “Dominic!” serunya setengah tertawa, mencoba menutupi rasa malunya. “Kau selalu tahu cara membuatku salah tingkah!”Dominic tersenyum, senyum yang sangat khas dirinya—memiliki sentuhan misteri dan dominasi. “Kalau aku tidak tahu caranya, aku sudah kehilanganmu sejak awal,” balasnya, satu alis terangkat penuh percaya diri.Amethyst tertawa kecil, suasana hatinya perlahan mencair. “Kau terlalu percaya diri, Tuan Blackwood. Apa kau pikir aku begitu mudah terpesona padamu?” katanya mencoba terdengar galak, meskipun bibirnya melengkung membentuk senyum.Dominic mengulurkan tangan, menarik Amethys

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-28
  • Bersandar pada Ketakutan   4. Menemui Ibu

    Jari jemari Amethyst menari di atas keypad untuk meneruskan draft revisi skripsinya. Dia tak berniat lama-lama di kampus itu dan membuatnya harus bertemu dengan orang-orang yang membencinya semenjak ia dekat dengan Dominic. Matanya berusaha fokus meskipun pikirannya berkelana kemana-mana. Menyerah, Amethyst menghela napas panjang, pandangannya jatuh pada secangkir kopi hitam yang sudah setengah kosong. Kehangatan kopi itu mengingatkannya pada sentuhan lembut Dominic di puncak kepalanya saat dia mencium keningnya sebelum pergi pagi ini. Dominic memang terlalu perhatian, bahkan sedikit cerewet, tapi ia tidak bisa memungkiri betapa nyamannya ia merasa dicintai seperti itu.Apartment beberapa hari ini sunyi tanpa Dominic yang biasa berkunjung. Pria itu berpamitan akan pergi ke luar negeri untuk kunjungan kerja. Entah mengapa, Amethyst mulai ketergantungan dengan kehadiran Dominic disekelilingnya. Hal abu-abu dalam hidupnya kini penuh warna. Hal yang ia idam-idamkan selama ini-dicintai

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-28
  • Bersandar pada Ketakutan   5. Keluarga adalah luka

    “Amy,” sebuah suara berat memanggilnya dari pintu. Amethyst melepaskan pelukannya perlahan, lalu menoleh. Michael Callahan berdiri di sana, setelan jasnya rapi seperti biasa, dengan wajah tanpa emosi yang telah menjadi ciri khasnya.“Kau masih di sini?” tanyanya, nada suaranya terdengar biasa saja, tapi tatapannya seperti menelanjangi semua perasaan Amethyst.“Kak Michael,” jawab Amethyst datar. “Aku hanya ingin melihat ibu.”Michael melangkah masuk, tangannya dimasukkan ke dalam saku jas. “Kau tahu dia tidak akan meresponmu, kan?” ucapnya, hampir tanpa perasaan.Amethyst mengepalkan tangannya di bawah meja, mencoba menahan rasa marah yang mulai muncul. “Aku tahu. Tapi aku tetap ingin berada di sini.”Michael mendengus kecil, lalu mendekati meja. “Kau terlalu banyak membuang waktu untuk sesuatu yang tidak ada hasilnya, Amethyst. Jika aku jadi kau, aku akan fokus pada masa depan.”“Masa depan?!” Amethyst mendongak tajam, matanya menyala dengan kemarahan yang terpendam. “Kau selalu meng

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-28
  • Bersandar pada Ketakutan   6. Pelajaran kecil

    Dominic mengetuk permukaan meja dengan ritme yang sama, menghasilkan suara mengerikan bagi kelima bawahannya yang tengah berdiri menunduk dengan keringat dingin menetes di wajahnya.Aura di sekeliling makin mencekam kala suara Amethyst terdengar dari tablet yang dipegangnya.Di rekaman CCTV itu terlihat jelas bagaimana obrolan sepasang saudara yang memanas.Saat melihat Amethyst mulai menangis, Dominic merasa darahnya mendidih. Bayangan semua orang yang pernah melukai Amethyst-ayahnya, kakaknya, bahkan orang-orang di kampus yang memandangnya rendah-berkelebat di pikirannya. Di dalam benaknya, ia membuat keputusan tegas. Dia akan melakukan apa pun untuk memastikan tak ada yang akan merusak hidup gadis itu lagi, bahkan jika harus menghancurkan siapa saja yang berani mendekat atau mengancam kedamaian Amethyst. Termasuk keluarganya sekalipun. "Bajingan itu memang perlu diberi sedikit pelajaran."---Dominic memutar pena di jarinya, ekspresi keras menghiasi wajahnya saat menonton pemandan

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-28

Bab terbaru

  • Bersandar pada Ketakutan   10. Pulang

    Langit di luar rumah sakit berwarna abu-abu pekat, hujan rintik-rintik membasahi kaca jendela kamar rawat Amethyst. Suara detak jarum jam terdengar jelas di ruangan itu, sementara Amethyst duduk di tepi ranjang, menggenggam erat selimut putih yang menutupi kakinya. Tubuhnya masih terasa lemah setelah serangan kecemasan hebat beberapa hari lalu.Pintu terbuka perlahan, dan Dominic masuk dengan langkah mantap. Setelan jasnya sempurna seperti biasa, tapi rambutnya sedikit acak, menunjukkan bahwa pria itu sudah melewati hari yang panjang. Tangannya membawa sekotak makanan dan sebuah jaket tebal.“Bagaimana perasaanmu?” tanyanya lembut, menaruh barang-barangnya di meja kecil dekat ranjang.Amethyst mengangkat bahu, mencoba tersenyum meski canggung. “Lebih baik. Aku akan menemui dokter Clara setelah ini. Kalau dia bilang aku bisa pulang, aku akan segera meninggalkan tempat ini.”Dominic mengangguk, lalu mendekat. Ia meraih tangan Amethyst, membelainya lembut. “Bagus. Rumah sakit ini tidak c

  • Bersandar pada Ketakutan   Bab 9

    Beberapa menit kemudian, suara ketukan pintu membuyarkan lamunannya. Ia membuka pintu dan mendapati Dominic berdiri di sana, mengenakan masker hitam dan topi yang menutupi sebagian wajahnya, membuatnya tetap misterius namun tegas. Dominic melangkah masuk tanpa banyak bicara, menutup pintu di belakangnya, lalu menatap Amethyst dengan tatapan yang penuh perhatian, seolah tahu bahwa gadis di hadapannya sedang dilanda kepedihan.Dominic mendekati Amethyst dan menariknya ke dalam pelukan, membiarkan gadis itu mencurahkan emosinya. Ia tak mengatakan apa-apa; kehadirannya saja sudah cukup bagi Amethyst. Perlahan, dengan kehangatan yang ia tawarkan, Dominic mengusap punggung Amethyst, memberi sentuhan yang membuat ketegangan di tubuhnya mereda."Amethyst, tenanglah," bisiknya lembut. "Aku di sini. Aku tidak akan membiarkanmu merasa sendirian."Dalam pelukan Dominic, Amethyst merasakan kecemasannya perlahan menghilang. Kehadiran pria itu bagai pelipur di tengah badai yang mengamuk. Ia merasa,

  • Bersandar pada Ketakutan   Bab 8

    Ruangan itu sunyi ketika Michelle kembali ke rumah. Amethyst, yang tengah duduk di sofa, mendongak, berharap ada sedikit kehangatan dari kakaknya yang sudah lama tak terlibat langsung dalam masalah keluarga mereka. Namun, Michelle hanya mengangguk sekilas, lalu mengalihkan pandangan, seperti biasa. Michelle memang selalu menghindar, seolah tak ingin terlibat atau bahkan mendengar tentang kejadian yang menghancurkan keluarga mereka.“Kak,” Amethyst mencoba memulai percakapan, nadanya penuh harap. "Sudah lama aku ingin bicara soal... soal Ibu."Michelle, yang tengah membuka jendela, berhenti sejenak, tetapi tidak berbalik. “Amy, aku tidak ingin membahas soal itu. Kau tahu, kan?” suaranya terdengar dingin, seolah menutup segala pintu bagi Amethyst untuk mendekat.Amethyst menelan ludah, merasakan emosi yang selama ini dipendamnya mulai menggelegak. “Kenapa selalu begitu, Kak? Kenapa kau selalu menghindar setiap kali kita bicara soal keluarga kita?”Michelle akhirnya menoleh, wajahnya dat

  • Bersandar pada Ketakutan   7. Bersandar padamu

    Amethyst duduk di sofa apartemennya, menatap secangkir teh di tangannya yang mulai mendingin. Matanya sembap, pipinya memerah akibat menangis terlalu lama. Di hadapannya, Dominic duduk dengan postur santai, tetapi mata gelapnya mengamati setiap gerak-gerik Amethyst seperti elang yang siap melindungi mangsanya.“Apa yang dia katakan padamu?” suara Dominic tenang, tapi ada nada tajam yang tersembunyi di baliknya.Amethyst menggigit bibir, mencoba menahan tangis yang kembali mengancam. “Michael bilang... aku yang memilih tetap tinggal. Bahwa semua ini adalah tanggung jawabku sendiri. Dan dia... dia tidak peduli.”Dominic bersandar ke depan, menyentuh dagu Amethyst dengan lembut, memaksa gadis itu menatapnya. “Dia salah,” ujarnya pelan, tetapi penuh penekanan. “Semua keputusan yang kau buat itu menunjukkan bahwa kau jauh lebih kuat daripada yang dia sadari.”“Tapi Dominic...” Amethyst memalingkan wajah, suaranya bergetar. “Aku merasa gagal. Dia benar, aku tetap tinggal, tapi apa gunanya?

  • Bersandar pada Ketakutan   6. Pelajaran kecil

    Dominic mengetuk permukaan meja dengan ritme yang sama, menghasilkan suara mengerikan bagi kelima bawahannya yang tengah berdiri menunduk dengan keringat dingin menetes di wajahnya.Aura di sekeliling makin mencekam kala suara Amethyst terdengar dari tablet yang dipegangnya.Di rekaman CCTV itu terlihat jelas bagaimana obrolan sepasang saudara yang memanas.Saat melihat Amethyst mulai menangis, Dominic merasa darahnya mendidih. Bayangan semua orang yang pernah melukai Amethyst-ayahnya, kakaknya, bahkan orang-orang di kampus yang memandangnya rendah-berkelebat di pikirannya. Di dalam benaknya, ia membuat keputusan tegas. Dia akan melakukan apa pun untuk memastikan tak ada yang akan merusak hidup gadis itu lagi, bahkan jika harus menghancurkan siapa saja yang berani mendekat atau mengancam kedamaian Amethyst. Termasuk keluarganya sekalipun. "Bajingan itu memang perlu diberi sedikit pelajaran."---Dominic memutar pena di jarinya, ekspresi keras menghiasi wajahnya saat menonton pemandan

  • Bersandar pada Ketakutan   5. Keluarga adalah luka

    “Amy,” sebuah suara berat memanggilnya dari pintu. Amethyst melepaskan pelukannya perlahan, lalu menoleh. Michael Callahan berdiri di sana, setelan jasnya rapi seperti biasa, dengan wajah tanpa emosi yang telah menjadi ciri khasnya.“Kau masih di sini?” tanyanya, nada suaranya terdengar biasa saja, tapi tatapannya seperti menelanjangi semua perasaan Amethyst.“Kak Michael,” jawab Amethyst datar. “Aku hanya ingin melihat ibu.”Michael melangkah masuk, tangannya dimasukkan ke dalam saku jas. “Kau tahu dia tidak akan meresponmu, kan?” ucapnya, hampir tanpa perasaan.Amethyst mengepalkan tangannya di bawah meja, mencoba menahan rasa marah yang mulai muncul. “Aku tahu. Tapi aku tetap ingin berada di sini.”Michael mendengus kecil, lalu mendekati meja. “Kau terlalu banyak membuang waktu untuk sesuatu yang tidak ada hasilnya, Amethyst. Jika aku jadi kau, aku akan fokus pada masa depan.”“Masa depan?!” Amethyst mendongak tajam, matanya menyala dengan kemarahan yang terpendam. “Kau selalu meng

  • Bersandar pada Ketakutan   4. Menemui Ibu

    Jari jemari Amethyst menari di atas keypad untuk meneruskan draft revisi skripsinya. Dia tak berniat lama-lama di kampus itu dan membuatnya harus bertemu dengan orang-orang yang membencinya semenjak ia dekat dengan Dominic. Matanya berusaha fokus meskipun pikirannya berkelana kemana-mana. Menyerah, Amethyst menghela napas panjang, pandangannya jatuh pada secangkir kopi hitam yang sudah setengah kosong. Kehangatan kopi itu mengingatkannya pada sentuhan lembut Dominic di puncak kepalanya saat dia mencium keningnya sebelum pergi pagi ini. Dominic memang terlalu perhatian, bahkan sedikit cerewet, tapi ia tidak bisa memungkiri betapa nyamannya ia merasa dicintai seperti itu.Apartment beberapa hari ini sunyi tanpa Dominic yang biasa berkunjung. Pria itu berpamitan akan pergi ke luar negeri untuk kunjungan kerja. Entah mengapa, Amethyst mulai ketergantungan dengan kehadiran Dominic disekelilingnya. Hal abu-abu dalam hidupnya kini penuh warna. Hal yang ia idam-idamkan selama ini-dicintai

  • Bersandar pada Ketakutan   3. Dominic's Affection

    Dominic memeluk Amethyst erat, tangannya mengelus punggungnya dengan lembut. Setelah beberapa saat dalam keheningan, ia melepaskan pelukan itu perlahan, menatap wajah Amethyst yang masih sembab. “Tangismu membuatku ingin mencium bibir itu, Amethyst,” gumam Dominic dengan suara rendah, nadanya setengah menggoda tapi penuh otoritas.Amethyst terhenyak. Matanya melebar, dan pipinya langsung memerah. “Dominic!” serunya setengah tertawa, mencoba menutupi rasa malunya. “Kau selalu tahu cara membuatku salah tingkah!”Dominic tersenyum, senyum yang sangat khas dirinya—memiliki sentuhan misteri dan dominasi. “Kalau aku tidak tahu caranya, aku sudah kehilanganmu sejak awal,” balasnya, satu alis terangkat penuh percaya diri.Amethyst tertawa kecil, suasana hatinya perlahan mencair. “Kau terlalu percaya diri, Tuan Blackwood. Apa kau pikir aku begitu mudah terpesona padamu?” katanya mencoba terdengar galak, meskipun bibirnya melengkung membentuk senyum.Dominic mengulurkan tangan, menarik Amethys

  • Bersandar pada Ketakutan   2. Tentang masa lalu

    Pagi itu, sinar matahari masuk melalui tirai tipis apartemen Amethyst, menerangi ruangan dengan lembut. Udara masih dingin setelah hujan deras semalam. Dominic terbangun lebih dulu. Dengan hati-hati, dia melepaskan pelukan dari tubuh Amethyst yang masih tertidur lelap di sebelahnya. Wajahnya yang tenang setelah malam penuh kecemasan membuat Dominic merasa lega. Dia menatapnya sejenak, membelai rambut Amethyst dengan penuh kasih sebelum akhirnya bangkit dari tempat tidur.Dominic mengenakan kaus polos dan celana pendek sederhana, tampak berbeda dari sosok pria formal dan berkarisma yang biasa dikenali orang lain. Dia menuju dapur, memutuskan untuk menyiapkan sarapan sederhana: roti panggang dengan telur orak-arik dan kopi untuk dirinya sendiri, sementara secangkir teh hangat untuk Amethyst.Saat aroma teh dan roti panggang memenuhi apartemen, Amethyst mulai terbangun. Matanya terbuka perlahan, dan untuk beberapa detik ia hanya menatap langit-langit, mengingat sisa-sisa malam sebelumnya

DMCA.com Protection Status