10. Pulang

Langit di luar rumah sakit berwarna abu-abu pekat, hujan rintik-rintik membasahi kaca jendela kamar rawat Amethyst. Suara detak jarum jam terdengar jelas di ruangan itu, sementara Amethyst duduk di tepi ranjang, menggenggam erat selimut putih yang menutupi kakinya. Tubuhnya masih terasa lemah setelah serangan kecemasan hebat beberapa hari lalu.

Pintu terbuka perlahan, dan Dominic masuk dengan langkah mantap. Setelan jasnya sempurna seperti biasa, tapi rambutnya sedikit acak, menunjukkan bahwa pria itu sudah melewati hari yang panjang. Tangannya membawa sekotak makanan dan sebuah jaket tebal.

“Bagaimana perasaanmu?” tanyanya lembut, menaruh barang-barangnya di meja kecil dekat ranjang.

Amethyst mengangkat bahu, mencoba tersenyum meski canggung. “Lebih baik. Aku akan menemui dokter Clara setelah ini. Kalau dia bilang aku bisa pulang, aku akan segera meninggalkan tempat ini.”

Dominic mengangguk, lalu mendekat. Ia meraih tangan Amethyst, membelainya lembut. “Bagus. Rumah sakit ini tidak cocok untukmu. Kau terlihat lebih baik di rumah—atau lebih tepatnya di sisiku.”

Amethyst tersipu, tetapi sebelum ia sempat membalas, perawat mengetuk pintu dan mengumumkan bahwa dokter Clara sudah menunggu di ruang konseling. Dominic langsung berdiri.

“Aku akan mengantarmu ke sana,” katanya tegas.

Amethyst mendesah kecil. “Dominic, aku bisa sendiri.”

“Tidak ada diskusi,” balas Dominic singkat, menggenggam tangannya dan memandu gadis itu keluar dari kamar.

---

Di ruang konseling, dokter Clara duduk di balik meja, menatap Amethyst dengan senyum hangat. “Amethyst, aku senang melihatmu sudah lebih tenang,” katanya.

Amethyst duduk dengan gugup di kursi, sementara Dominic berdiri di dekat pintu, menjaga jarak tapi tetap memperhatikan percakapan mereka.

“Aku merasa lebih baik,” jawab Amethyst, suaranya pelan. “Tapi... kadang-kadang, pikiran itu kembali. Seperti aku tidak bisa mengontrolnya.”

“Itu wajar, Amethyst,” kata dokter Clara. “Trauma membutuhkan waktu untuk sembuh, dan kau sudah membuat banyak kemajuan. Aku akan terus mendampingimu, tapi yang terpenting adalah kau belajar menerima bahwa bukan salahmu hal-hal buruk terjadi.”

Amethyst mengangguk, meskipun masih ada keraguan di matanya. Dominic, yang mendengar percakapan itu, merasa hatinya berat.

Setelah beberapa saran dan motivasi dari dokter Clara, mereka akhirnya diizinkan pulang. Sebelum keluar, dokter Clara berpesan, “Ingat, Amethyst. Lingkungan yang mendukung sangat penting. Kau beruntung memiliki Dominic di sisimu.”

Amethyst tersenyum kecil, sementara Dominic hanya memberikan anggukan sopan.

---

Di perjalanan pulang, Dominic menggenggam tangan Amethyst di dalam mobil, ibu jarinya mengusap lembut punggung tangannya.

“Dokter Clara benar,” kata Dominic tiba-tiba. “Kau beruntung memiliki seseorang sepertiku.”

Amethyst memutar matanya, tapi senyumnya mulai terlihat. “Kau benar-benar tidak bisa melewatkan kesempatan untuk menggombal, ya?”

Dominic tertawa kecil. “Bukan gombalan, hanya fakta.”

Mereka berhenti di sebuah lampu merah, dan Dominic menoleh, menatap Amethyst dengan mata penuh arti. “Kau tahu, Amethyst, aku tidak pernah membayangkan diriku begitu peduli pada seseorang. Tapi denganmu, segalanya berbeda.”

Amethyst terdiam, hatinya terasa hangat oleh kata-kata Dominic.

---

Sesampainya di apartemen, Dominic memastikan Amethyst merasa nyaman sebelum membiarkannya istirahat di sofa. Namun, Amethyst memanggilnya.

“Dominic?”

“Hm?” Dominic menoleh dari dapur tempat ia sedang membuat teh.

“Terima kasih,” katanya pelan.

Dominic berjalan mendekat, duduk di tepi sofa dan menatapnya dalam-dalam. “Kau tidak perlu berterima kasih padaku. Menjagamu adalah tugasku.”

Amethyst tersenyum, tapi kali ini matanya berkaca-kaca. “Aku tidak tahu bagaimana hidupku akan berjalan tanpa kau.”

Dominic tersenyum lembut, lalu mencondongkan tubuh, mengecup kening Amethyst dengan penuh kasih. “Kau tidak perlu memikirkan itu, karena aku tidak akan pernah pergi.”

"Janji?" Amethyst menyodorkan kelingkingnya dengan raut wajah yang imut. Membuat Dominic tergelak dan menyambut jari kecilnya, "aku janji."

Janji yang tanpa sadar makin mengikat Amethyst untuk selamanya berasa di sisi Sang tuan muda Dominic Blackwood.

Saat malam semakin larut, Amethyst tertidur di sofa, kepalanya bersandar di bahu Dominic.

Sebuah notifikasi mengalihkan perhatiannya sekejap, dengan tenang Dominic menatap layar ponselnya dan menyeringai bengis. "Mereka akan membayar mahal karena berani mengusik milikku."

Dominic membelai rambut Amethyst perlahan, berjanji dalam hati bahwa ia tidak akan membiarkan siapa pun atau apa pun menyakitinya lagi.