Beranda / Romansa / Bersandar pada Ketakutan / 9. Aku bukan pembunuh

Share

9. Aku bukan pembunuh

Penulis: Nalla Ela
last update Terakhir Diperbarui: 2024-11-14 22:54:26
Amethyst terbangun di ruang rawat rumah sakit dengan kepala berat dan tubuh lemas. Ada jarum infus yang tertancap di tangan dan selang oksigen di hidungnya. Dominic duduk di sisi tempat tidur, wajahnya tampak tegang tapi tetap lembut ketika menatapnya.

"Kau sudah sadar," ucapnya, suaranya rendah tapi penuh kelegaan.

Amethyst hanya mengangguk lemah, masih terlalu lelah untuk berbicara. Dominic membantunya duduk, menyodorkan segelas air. Saat tangan Amethyst menyentuh gelas, ia menyadari bahwa tubuhnya sedikit gemetar. Ia mulai mengingat kejadian yang terjadi sebelum ia tak sadarkan diri.

Melihat Dominic yang tengah tegang melihat ponselnya, Amethyst sedikit bisa membaca sesuatu. Pria itu pasti sudah tau tentang berita yang beredar di kampus.

"Mereka bilang apa lagi?" tanyanya akhirnya, suaranya nyaris berbisik.

Sebuah headline berita kampus yang memuat tentang dirinya yang dengan tega membunuh ayah kandungnya dan menumbalkan sang ibu yang tengah depresi untuk di penjara. Banyak
Bab Terkunci
Lanjutkan Membaca di GoodNovel
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terkait

  • Bersandar pada Ketakutan   10. Pulang

    Langit di luar rumah sakit berwarna abu-abu pekat, hujan rintik-rintik membasahi kaca jendela kamar rawat Amethyst. Suara detak jarum jam terdengar jelas di ruangan itu, sementara Amethyst duduk di tepi ranjang, menggenggam erat selimut putih yang menutupi kakinya. Tubuhnya masih terasa lemah setelah serangan kecemasan hebat beberapa hari lalu.Pintu terbuka perlahan, dan Dominic masuk dengan langkah mantap. Setelan jasnya sempurna seperti biasa, tapi rambutnya sedikit acak, menunjukkan bahwa pria itu sudah melewati hari yang panjang. Tangannya membawa sekotak makanan dan sebuah jaket tebal.“Bagaimana perasaanmu?” tanyanya lembut, menaruh barang-barangnya di meja kecil dekat ranjang.Amethyst mengangkat bahu, mencoba tersenyum meski canggung. “Lebih baik. Aku akan menemui dokter Clara setelah ini. Kalau dia bilang aku bisa pulang, aku akan segera meninggalkan tempat ini.”Dominic mengangguk, lalu mendekat. Ia meraih tangan Amethyst, membelainya lembut. “Bagus. Rumah sakit ini tidak c

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-28
  • Bersandar pada Ketakutan   11. Bara dalam pelukan

    Malam semakin larut, tapi Dominic tetap duduk di sofa, menjaga Amethyst yang tertidur dengan gelisah. Setiap kali gadis itu mengerang dalam tidurnya, Dominic akan menggenggam tangannya, membisikkan kata-kata lembut untuk menenangkannya. Namun, di balik kelembutannya, ada bara amarah yang membakar dadanya.Pagi harinya, Dominic terbangun lebih dulu. Ia bergerak hati-hati agar tidak membangunkan Amethyst, lalu menuju dapur. Ia menyiapkan sarapan sederhana: roti panggang, telur orak-arik, dan secangkir kopi hitam kesukaan Amethyst.Saat Amethyst akhirnya terbangun, ia menemukan Dominic duduk di meja makan, menatap laptopnya dengan serius. Namun, begitu melihat Amethyst berdiri di ambang pintu dengan rambut kusut dan mata bengkak karena menangis di tengah tidurnya semalam, Dominic segera menutup laptopnya dan bangkit.“Kau sudah bangun,” katanya, menghampirinya dengan senyum kecil. “Aku membuatkan sarapan.”Amethyst menatapnya sejenak, lalu menunduk, merasa sedikit malu. “Terima kasih,” g

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-29
  • Bersandar pada Ketakutan   12. Bayangan dibalik singgasana

    Dominic Blackwood melangkah masuk ke ruang rapat lantai 45 gedung Blackwood Industries. Mata semua orang di ruangan itu, mulai dari para direktur hingga paman kandungnya, Presiden Direktur perusahaan, langsung tertuju padanya. Meski secara resmi hanya menjabat sebagai CEO, Dominic adalah pusat kekuatan sebenarnya di Blackwood Industries.“Selamat pagi, Dominic,” sapa pamannya, Charles Blackwood, dengan senyum yang dipaksakan.Dominic hanya memberi anggukan kecil, langkahnya tegas menuju kursi di ujung meja panjang. Posisinya tidak hanya simbolik, tetapi juga mutlak. Semua tahu, siapa pun yang mencoba melawan Dominic akan berakhir dalam situasi yang tidak menyenangkan, baik secara profesional maupun pribadi.Rapat berjalan dengan diskusi yang penuh ketegangan. Dominic mendengarkan laporan dengan ekspresi datar, tangannya mengetuk permukaan meja secara ritmis. Saat salah satu direktur menyampaikan pandangan yang bertentangan dengan rencananya, Dominic hanya menatap pria itu dengan senyu

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-30
  • Bersandar pada Ketakutan   13. Kunci dan Rahasia

    Pagi menyapa dengan sinar matahari yang hangat, menerobos tirai apartemen Amethyst. Suara burung berkicau di kejauhan membuat suasana terasa lebih damai. Amethyst mengerjapkan mata, menggeliat pelan di tempat tidur, menyadari bahwa ia tertidur lebih lama dari biasanya. Matanya tiba-tiba tertumbuk pada sebuah kotak kecil yang ada di atas nakas. Alisnya mengernyit heran. "Apa ini?" gumamnya. Ia bangkit, duduk di tepi tempat tidur, dan meraih kotak itu dengan hati-hati. Kotaknya sederhana, dengan desain hitam mengilap dan pita emas yang mengikatnya rapi. Amethyst mengangkat kotak itu, membalik-baliknya sejenak, sebelum menarik pita emas yang terikat. Di dalamnya, terdapat sebuah kalung indah dengan bandul kunci kecil berlapis emas putih. Cahaya matahari membuat kalung itu berkilauan, seperti menyimpan rahasia di balik keindahannya. Di bawah kalung, terdapat sebuah catatan kecil bertuliskan: "Setiap kunci memiliki pintunya. Tunggu dan lihat." Amethyst menggigit bibir bawahnya, perasa

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-01
  • Bersandar pada Ketakutan   14. Dibelai Rasa Percaya

    Lampu temaram di apartemen terasa menenangkan, tetapi hati Amethyst justru penuh dengan kecemasan. Ia duduk di sofa, memeluk bantal, sambil menunggu Dominic kembali. Pesan singkatnya sebelumnya membuat pikiran Amethyst terus berputar, menimbang-nimbang apa yang sebenarnya terjadi.Pintu terbuka, dan Dominic melangkah masuk dengan langkah tenang namun tegas. Jasnya tersampir di lengan, dan dasinya sudah longgar. Tatapannya langsung tertuju pada Amethyst, yang menoleh dengan ragu.“Kau terlihat cemas,” ujar Dominic dengan suara rendah, menghampirinya. Ia meletakkan jas dan tas kerja di kursi, lalu duduk di sebelah Amethyst.“Aku hanya… bingung,” jawab Amethyst pelan. “Mia bilang sesuatu tentangmu dan ayahnya.”Dominic menghela napas panjang, seolah sudah menduga. “Aku tahu Mia mendekatimu. Dan aku tahu apa yang dia katakan.”Amethyst mengangkat alis, terkejut. “Kau tahu?”Dominic menatapnya dengan mata gelap yang tajam, namun ada kelembutan di sudutnya. “Tentu saja. Aku selalu tahu apa

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-02
  • Bersandar pada Ketakutan   15. Awal Yang Baru

    Cahaya matahari pagi menyelinap melalui tirai kamar apartemen Amethyst, membangunkannya perlahan. Aroma harum dari dapur segera menarik perhatiannya. Ia melangkah keluar kamar, masih dengan pakaian tidurnya, dan menemukan Dominic berdiri di dapur dengan celemek.“Pagi,” sapa Dominic tanpa menoleh, sibuk menuangkan adonan pancake ke wajan.Amethyst tersenyum kecil. “Sejak kapan kau ahli memasak?”Dominic hanya mengangkat bahu, lalu memutar tubuh untuk menatapnya. “Sejak aku tahu kau perlu sarapan yang layak.”Meja makan sudah tertata rapi dengan pancake, buah-buahan segar, dan secangkir cokelat panas kesukaannya. Dominic menuntunnya duduk, menarik kursi dengan lembut. “Sarapan dulu, sayang.”Mereka menikmati sarapan dengan suasana yang jauh lebih hangat dibanding kemarin. Dominic mendengarkan Amethyst bercerita tentang bagaimana ia mencoba menyingkirkan keraguannya. “Aku tahu kau punya banyak rahasia,” katanya pelan, “tapi aku ingin percaya bahwa kau tidak akan menyakitiku.”Dominic me

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-03
  • Bersandar pada Ketakutan   16. Sebuah Rahasia

    Bangunan itu tampak sederhana dibandingkan kemegahan mansion utama, namun ada sesuatu yang misterius tentangnya. Dominic mengambil kunci dari saku celananya, lalu membuka pintu paviliun dengan gerakan mantap. Ia menoleh ke arah Amethyst, matanya menatap dalam-dalam. “Ini ... adalah bagian dari diriku yang belum pernah kulihatkan pada siapa pun.” Amethyst merasa jantungnya berdegup kencang. Ia melangkah masuk mengikuti Dominic, dan langsung disambut oleh suasana yang berbeda. Paviliun itu terasa seperti dunia lain. Dinding-dindingnya dipenuhi rak buku yang tersusun rapi, namun ada juga foto-foto besar yang membingkai momen-momen tertentu. Beberapa foto tampak usang, sementara yang lain masih baru. Namun yang paling menarik perhatian Amethyst adalah sebuah meja besar di tengah ruangan, dipenuhi dokumen, peta, dan potret wajah-wajah yang tampak familiar. Amethyst mendekat dengan hati-hati, matanya menyapu ruangan dengan rasa ingin tahu. “Apa tempat ini, Dominic?” Dominic berd

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-04
  • Bersandar pada Ketakutan   17. Tamu Tak Diundang

    Amethyst duduk di sofa empuk ruang tamu, jari-jarinya mengetik pelan di laptop. Udara di mansion terasa hening. Tidak ada suara selain denting samar perhiasan kristal yang berayun ringan karena angin dari jendela besar yang terbuka. Dominic pergi pagi-pagi sekali tanpa banyak kata, meninggalkannya di rumah besar ini seorang diri. Meski ia sudah terbiasa sendirian, berada di tengah kemewahan mansion Dominic membuatnya merasa sedikit… kikuk. Grup chat teman kampus yang biasanya penuh gosip dan cerita sehari-hari mendadak sepi. Amethyst melirik notifikasi di ponselnya, tapi tak ada yang menarik. Ia memilih untuk tidak mencari tahu, tenggelam dalam pekerjaannya. Namun, lamunannya pecah saat terdengar suara langkah berat mendekat dari koridor. “Permisi, Nona cantik. Apa kau pacarnya Dominic?” Amethyst mendongak dan melihat seorang pria besar dengan tubuh berotot, rambut cepak ala militer, dan senyum nakal berdiri di ambang pintu. Pakaiannya kasual, tetapi auranya mengintimidasi

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-05

Bab terbaru

  • Bersandar pada Ketakutan   75. Jerat Tak Terlihat

    Seperti hari-hari sebelumnya, Dominic kembali datang dengan membawa seikat bunga mawar di tangannya. Dia tetap datang, mengabaikan omelan Michael yang sangat terganggu dengan kehadiannya. Michael melipat tangannya di dada dengan ekspresi muak melihat Dominic yang sudah datang pagi ini. "Kau berhasil membuat mood-ku jelek sepanjang hari dengan tampangmu yang sok keren itu," ocehnya kesal. Namun, Dominic hanya tersenyum, makin memperdalam kerutan di dahi Michael. "Kau hanya perlu menutup mata." Ucapan Dominic bak bensin yang mengguyur amarah Michael hingga berkobar. "Sialan! Jika bukan karena adikku, aku juga tidak sudi melihat tampang jelekmu. Apa ini salah satu pembuktianmu? dengan melakukan hal menggelikan ini setiap hari?" Michael menatap sinis pria yang duduk di depannya ini. Daominic menunduk untuk menyembunyikan seringainya. "Jika hal menggelikan ini bisa membuktikan keseriusanku, maka aku akan terus melakukannya." Iamengangkat wajahnya untuk menatap ekspresi sebal Michael.

  • Bersandar pada Ketakutan   74. Pembuktian

    Dominic bukanlah tipe orang yang mudah menyerah. Jika dulu ia akan melakukan apapun walaupun harus merusak, kini ia akan membuktikan kalau ia pun bisa mendapatkan apa yang ia mau dengan cara yang benar, tanpa menyakiti siapapun. Dan itu dimulai dari hal-hal kecil. Hari ini, Amethyst pulang berbelanja dikejutkan dengan keberadaan Dominic di depan pagar rumahnya. Pria itu berpenampilan rapi, mengenakan setelan jas navy, duduk di atas kapal mobilnya dengan keren. "Apa yang kau lakukan di sini?" tanya Amethyst curiga. Dominic berdiri menghampirinya dengan senyum santai. "Menunggumu, tentu saja." Ia berinisiatif mengambil alih belanjaan Amethyst yang nampak berat. Amethyst menghela napas. "Sejak kapan?" Dominic melirik arlojinya. "Dua jam yang lalu. Pulang dari kantor aku langsung kesini." Matanya membelalak. "Kau gila? Kenapa tidak menghubungiku dulu jika mau mampir?" Dominic terkekeh. "Sebenarnya, aku ingin memberi kejutan untukmu, tapi dengan begini juga kau bisa melihat bet

  • Bersandar pada Ketakutan   73. Janji Seorang Pria

    Dominic melirik ponselnya yang terus bergetar di atas meja, menampilkan nama Michael Callahan yang terus menghubunginya akhir-akhir ini. "Angkat saja," celetuk Amethyst merasa gerah karena bunyinya getarannya sangat mengganggu. "Padahal kau yang melarang ku selama ini untuk berbicara dengan Michael."Amethyst mencebik, memilih fokus dengan tayangan televisi yang lebih menarik. Dominic mengacak singkat rambut Amethyst sebelum bangkit menuju balkon dengan ponsel yang masih bergetar di tangannya. “Ada apa?” tanya Dominic santai. “Aku ingin bertemu,” jawab Michael tanpa basa-basi. “Empat mata," sambungnya. Dominic mendesah pelan. “Apa kau ingin berdebat denganku seperti kemarin-kemarin? Atau kau ingin mengancam ku?"“Temui aku di cafe depan kantor kejaksaan. Aku tidak suka berbicara lewat telepon."Panggilan itu terputus begitu saja sebelum Dominic bisa membalas. Dominic menatap layar ponselnya yang menggelap. Ia merasa ada hal penting yang ingin Michael bicarakan dengannya, tapi a

  • Bersandar pada Ketakutan   72. Kekacauan

    "Bagaimana keadaan Ibu?" Amethyst meremas tangan Ibunya pelan. Ia merindukannya, lama tak bertemu membuatnya menyadari kalau sang Ibu kini makin berisi. "Kabar Ibu baik." Nyonya Callahan mengelus pipi Amethyst sayang. "Ibu lihat, wajahmu makin bersinar. Apa kau sedang dekat dengan seseorang?" Melihat pipi Amethyst yang merona, membuktikan kalau tebakannya pasti benar. "Kami hanya teman, bu ... untuk saat ini," ungkapnya malu-malu. Nyonya Callahan mengangkat alis, lalu tersenyum penuh arti. “Untuk saat ini, ya?” gumamnya, menatap putrinya dengan tatapan penuh rasa ingin tahu. Amethyst mengalihkan pandangannya, mencoba menyembunyikan kegugupan yang perlahan merayapinya. “Aku ingin melihat usahanya ... dan memantapkan hatiku untuk itu. Ibu pasti sudah mendengarnya dari kak Michael ya?” Sang ibu mengangguk pelan mengiyakan. "Apa ibu keberatan jika aku kembali dekat dengannya?" tanyanya ragu. Alasan ia belum berani bercerita tentang Dominic pada ibunya adalah takut dengan tanggapa

  • Bersandar pada Ketakutan   71. Mengendalikan Diri

    Dominic kembali terus menjalani terapinya dengan rutin. Kehadiran Amethyst memang sangat berefek untuk hidupnya. Sudah beberapa minggu Amethyst terus memantau perkembangannya. Menemaninya olahraga, memasak hidangan lezat dan sehat, mengajaknya mengobrol, dan semakin berani menegurnya jika ia kembali keterlaluan. "KAu terlihat semakin membaik," kata Dr. Eleanor memecah keheningan. Dominic mengangkat kepalanya untuk menatapnya. "Ya, aku punya mentor yang hebat," sahutnya dengan senyum tipis, membayangkan wajah galak Amethyst. Dr. Eleanor tersenyum kecil. “Aku bisa melihatnya. Kurasa kau sudah bisa meregulasi emosimu. Aku harap kau akan selalu seperti ini." "Tapi ingat ... kau harus menanamkan pada pemikiranmu kalau kau berubah bukan semata untuk menyenangkan pasanganmu, tapi kau berubah karena kau ingin menjadi pribadi yang lebih baik," lanjutnya tenang, memandang Dominic penuh apresiasi. Dominic menghela napas pelan. “Aku mencoba menahan diriku. Aku tidak lagi memaksanya melaku

  • Bersandar pada Ketakutan   70. Reset

    Dominic menatap pintu ruangan di depannya dengan malas. Jika tak ada Amethyst, tentu saja Ia tak akan mau datang untuk melakukan sesi terapi. Dr. Eleanor menatapnya dengan senyum ramah saat Dominic masuk dan duduk di depannya. "Kau akhirnya mau datang kesini lagi ... setelah sekian lama. Permulaan yang bagus." Dominic mendengus. "Aku datang karena Amethyst memintaku." Dr. Eleanor mengangkat alisnya. "Dia masih punya pengaruh besar terhadapmu, ya?" Tangannya bergerak menulis sesuatu di jurnalnya. "Apa kalian kembali bersama?" tanyanya berbasa-basi. Dominic mengalihkan pandangannya. "Tidak bisa disebut seperti itu juga," ucapnya ambigu. Dr Eleanor menghela napas panjang. Memahami apa yang terjadi diantara mereka. Karena ia juga yang membantu Amethyst bangkit dari keterpurukan. "Jadi ... apa yang ingin kau ceritakan hari ini?" Dominic bersandar di kursinya dengan tatapan kosong mengarah ke langit-langit. "Aku tidak tahu harus mulai dari mana. Beberapa hari terakhir … terasa

  • Bersandar pada Ketakutan   69. Kedatangan Aiden

    Sore itu, Dominic duduk di ruang tamu dengan sebuah majalah di tangannya. Harinya semakin ringan setelah Amethyst kembali datang ke hidupnya."Dia selalu mengusirku kalau aku mengikutinya memasak," keluhnya sedikit kesal.Matanya dengan resah melirik ke arah dapur. Berharap Amethyst segera selesai.Saat itulah, bel pintu berbunyi. Ini sedikit janggal. Karena semua orang yang ia percaya biasanya langsung masuk setelah ia beri akses kunci biometrik di pintunya."Siapa itu?" tanyanya dalam hati.Ia beranjak membuka pintu dan menemukan seorang pria yang berdiri tegang di pintu rumahnya.Dominic memandang datar tamu yang sangat mengejutkan untuknya. "Mau apa kau kemari, Hawthorn?"Aiden Hawthorn yang biasanya percaya diri, kini nampak gugup saat berhadapan dengan Dominic. Tapi, dia harus merasa harus meluruskan semuanya."KIta perlu bicara, Dominic," ucapnya tanpa basa-basi.Dominic menaikkan sebelah alisnya penasaran. "Masuk," katanya dingin.Mata Aiden berpendar ke seluruh penjuru ruanga

  • Bersandar pada Ketakutan   68. Langkah Pertama

    Dominic duduk diam di ruang tamu terapis datang. Sejak tadi tangannya terus menggenggam Amethyst. Rasa takut, gugup, dan cemas membuatnya gusar. Amethyst memberikan senyuman untuk menguatkannya. "Kau tidak sendiri, Dominic." Dominic hanya mengangguk kecil. Kalimat Amethyst tak berhasil meredakan kegugupannya. "Apa ini akan berhasil?" tanyanya skeptis. “Tidak ada yang tahu,” jawab Amethyst jujur. “Tapi kau harus mencobanya, Dominic. Ini bukan hanya tentangmu ... ini juga tentang kita. ” "Kau tidak akan meninggalkanku, kan?" tanya Dominic memastikan. Dia tak bisa melalui proses ini jika tanpa Amethyst di sampingnya. Melihat ekspresi Dominic yang seperti anak kecil sedikit menimbulkan geli di hatinya. “Selalu," katanya dengan senyum lembut. --- "Selamat siang, Tuan Dominic." Dokter Eleanor tersenyum melihat keduanya tampak akur. "Lama tidak bertemu, Amethyst," sapanya ramah. "Siang, dok. Saya di sini menemani Dominic." Amethyst merasa sungkan. "Tidak apa, kulihat Tuan Do

  • Bersandar pada Ketakutan   67. Ketakutan Yang Nyata

    Amethyst berdiri di depan Villa Dominic dengan napas tertahan. Ia berkali-kali meyakinkan dirinya untuk tetap datang ke sini dan mengesampingkan masa lalu. Ketika ia membuka pintu, Dominic telah berdiri menyambutnya dengan senyum diwajahnya. Pria itu masih terlihat rapuh, tapi sorot matanya terlihat bersinar kali ini. “Kau datang lagi,” gumam Dominic dengan senang. Amethyst tersenyum tipis menghampiri Dominic perlahan. “Aku sudah bilang padamu kalau aku akan membantumu. Tidak mungkin aku ingkar.” Dominic tersenyum saat lengannya digandeng. Mereka masuk ke ruang keluarga yang sepi, namu terasa hangat bagi Dominic karena kedatangan Amethyst. “Kau sudah makan?” tanya Amethyst sambil melirik secangkir kopi hitam yang sudah tandas setengahnya. Dominic menggeleng pelan. “Belum terlalu lapar.” Amethyst mendesah. “Dominic ... kau harus menjaga dirimu. jangan biasakan untuk minum kafein sebelum makan," omelnya. "Apa butuh aku untuk mengatur segala urusanmu?" tanya Amethyst sebal. Dom

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status