Bangunan itu tampak sederhana dibandingkan kemegahan mansion utama, namun ada sesuatu yang misterius tentangnya. Dominic mengambil kunci dari saku celananya, lalu membuka pintu paviliun dengan gerakan mantap. Ia menoleh ke arah Amethyst, matanya menatap dalam-dalam. “Ini ... adalah bagian dari diriku yang belum pernah kulihatkan pada siapa pun.” Amethyst merasa jantungnya berdegup kencang. Ia melangkah masuk mengikuti Dominic, dan langsung disambut oleh suasana yang berbeda. Paviliun itu terasa seperti dunia lain. Dinding-dindingnya dipenuhi rak buku yang tersusun rapi, namun ada juga foto-foto besar yang membingkai momen-momen tertentu. Beberapa foto tampak usang, sementara yang lain masih baru. Namun yang paling menarik perhatian Amethyst adalah sebuah meja besar di tengah ruangan, dipenuhi dokumen, peta, dan potret wajah-wajah yang tampak familiar. Amethyst mendekat dengan hati-hati, matanya menyapu ruangan dengan rasa ingin tahu. “Apa tempat ini, Dominic?” Dominic berd
Amethyst duduk di sofa empuk ruang tamu, jari-jarinya mengetik pelan di laptop. Udara di mansion terasa hening. Tidak ada suara selain denting samar perhiasan kristal yang berayun ringan karena angin dari jendela besar yang terbuka. Dominic pergi pagi-pagi sekali tanpa banyak kata, meninggalkannya di rumah besar ini seorang diri. Meski ia sudah terbiasa sendirian, berada di tengah kemewahan mansion Dominic membuatnya merasa sedikit… kikuk. Grup chat teman kampus yang biasanya penuh gosip dan cerita sehari-hari mendadak sepi. Amethyst melirik notifikasi di ponselnya, tapi tak ada yang menarik. Ia memilih untuk tidak mencari tahu, tenggelam dalam pekerjaannya. Namun, lamunannya pecah saat terdengar suara langkah berat mendekat dari koridor. “Permisi, Nona cantik. Apa kau pacarnya Dominic?” Amethyst mendongak dan melihat seorang pria besar dengan tubuh berotot, rambut cepak ala militer, dan senyum nakal berdiri di ambang pintu. Pakaiannya kasual, tetapi auranya mengintimidasi
Amethyst duduk di tepi tempat tidur Dominic, menggenggam kedua tangannya dengan gugup. Dominic berdiri di depannya, tatapannya tajam seperti elang yang memantau setiap gerakannya. Pintu ruangan telah dikunci, seolah membatasi dunia mereka hanya dalam satu ruang ini.“Kau akan menjelaskan semuanya sekarang, Amethyst,” ujar Dominic dengan suara rendah, dingin, namun penuh kendali.Amethyst menelan ludah, mencoba berbicara, tetapi merasa suaranya tercekat di tenggorokan. “Ethan hanya bicara padaku ... Dia khawatir, itu saja. Tidak ada yang lain.”Dominic menyipitkan mata, mendekat perlahan seperti pemangsa yang mendekati mangsanya. “Khawatir tentang apa? Apa dia mencoba menanamkan keraguan di kepalamu? Apa dia bilang aku tidak cukup baik untukmu?”“Tidak, Dominic. Dia tidak bilang begitu,” jawab Amethyst cepat, suaranya mulai bergetar.Dominic membungkuk sedikit, mendekatkan wajahnya ke wajah Amethyst. “Lalu mengapa kau mendengarkannya? Aku sudah bilang padamu untuk tidak mempercayai sia
Dominic membuka pintu ruang rahasia di ruang kerjanya dengan kasar, engselnya berderit nyaring. Wajahnya terlihat gelap, penuh emosi yang terpendam sejak percakapan terakhirnya dengan Ethan. Di dalam, Marcus sudah duduk santai di sofa kecil yang menghadap meja, seember popcorn di tangannya. Di sudut ruangan, Ethan berdiri dengan santai, seperti sudah menunggu kedatangan Dominic. Dominic melangkah masuk dengan langkah berat, menatap Ethan dengan pandangan tajam yang menusuk. “Kau pikir kau siapa, Ethan?” Dominic bertanya dengan suara rendah, tetapi penuh kemarahan yang terpendam. Ethan hanya menyeringai kecil, lipatan di sudut bibirnya memberi kesan ejekan. “Aku hanya seorang teman yang peduli, Dominic. Sepertinya itu membuatmu tidak nyaman.” Dominic tidak menjawab. Sebagai gantinya, tinjunya melayang cepat ke rahang Ethan, membuat laki-laki itu terdorong ke belakang. Ethan mengusap rahangnya yang mulai memerah, tetapi senyumnya tetap tidak pudar. “Kalau itu caramu memulai pembic
Pagi itu, Dominic dengan setelan jasnya yang rapi mengantar Amethyst ke kampus. Mereka berdua duduk dalam diam di dalam mobil, tetapi tidak ada ketegangan. Dominic mengemudi dengan tenang, sesekali melirik Amethyst yang menatap keluar jendela. “Aku akan ke rumah nenekku sore ini,” kata Amethyst tiba-tiba, memecah keheningan. Suaranya terdengar pelan, tapi jelas. Dominic meliriknya sekilas, ekspresinya tak terbaca. “Sendiri?” Amethyst mengangguk ragu. “Aku rasa itu lebih baik.” Tatapan Dominic mengeras, tapi ia tetap fokus pada jalan di depannya. “Tidak. Aku akan ikut. Aku tidak ingin kau pergi sendirian.” Amethyst ingin memprotes, tetapi tatapan tajam Dominic membuatnya menelan kata-katanya kembali. Ia mengangguk kecil, menyerah pada dominasi Dominic yang seolah tak bisa ditolak. Setibanya di kampus, Dominic menatapnya lama sebelum membiarkannya turun. “Aku akan menjemputmu nanti.” Amethyst hanya mengangguk lagi, lalu keluar dari mobil tanpa berkata apa-apa. --- Amethyst men
Amethyst berdiri ragu di depan rumah neneknya. Rumah besar dengan desain kuno yang asri, dihiasi bunga-bunga di taman depan, terlihat sama seperti terakhir kali ia berkunjung. Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan dirinya. Jemarinya menggenggam tangan Dominic yang berdiri di sampingnya, memberinya dorongan keberanian. Dominic menunduk, menatapnya sambil tersenyum tenang. “Santai saja. Aku ada di sini.” Amethyst hanya mengangguk kecil sebelum melangkah ke pintu, mengetuk dengan ringan. Pintu terbuka, memperlihatkan neneknya yang tersenyum lebar, meski tatapannya penuh ekspektasi. Amethyst menarik napas panjang sebelum melangkah masuk ke dalam rumah neneknya. Begitu pintu tertutup di belakangnya, ia langsung disambut oleh aroma khas teh melati dan kayu tua. Rumah ini selalu terasa seperti memori yang terjebak di masa lalu, dengan perabotan antik, foto-foto keluarga berbingkai kayu, dan suasana yang entah mengapa selalu membuatnya merasa... kecil. Neneknya berdiri di ruan
Amethyst duduk di kursi rotan di teras belakang, memandangi kebun kecil neneknya yang dipenuhi bunga mawar dan melati. Cahaya matahari sore menembus celah dedaunan, menciptakan bayangan lembut di wajahnya. Ia tahu Michael akan segera datang, seperti yang ia janjikan. Dan ketika kakaknya muncul dari pintu belakang, Amethyst menarik napas dalam-dalam, mencoba menguatkan dirinya. Michael berjalan perlahan, tangannya memegang secangkir kopi. Ia duduk di kursi di seberang Amethyst, diam selama beberapa detik sebelum akhirnya membuka suara. Michael mengaduk kopinya dengan perlahan, menatap cairan hitam itu seolah mencari jawaban di dalamnya. Setelah beberapa saat hening, ia akhirnya berkata, “Ibu masih belum ada perubahan.” Amethyst mengangkat pandangannya, wajahnya penuh kekhawatiran. “Apa dia masih... berteriak?” tanyanya ragu. Michael mengangguk, matanya terlihat lelah. “Ya. Dan semakin sering. Bahkan sekarang, kedua tangannya harus diikat.” Suaranya terdengar datar, tapi ada kekesa
Amethyst berdiri di depan pintu apartemennya, merasa lelah setelah perjalanan panjang dan percakapan dengan Michael. Setelah mengucapkan terima kasih pada Dominic, ia mencoba tersenyum meskipun pikirannya sedang berkecamuk. Dominic memiringkan kepala, matanya menyipit sedikit seolah mencoba membaca apa yang ada di balik wajah tenangnya. “Kau yakin ingin sendiri? Aku bisa tinggal sebentar.” Amethyst menggeleng pelan. “Aku butuh waktu untuk berpikir. Aku baik-baik saja, Dominic. Terima kasih.” Dominic mendekat, jemarinya mengangkat dagu Amethyst. “Baiklah,” katanya sebelum mengecup bibirnya dengan lembut. “Tapi kalau kau butuh sesuatu, kau tahu harus menghubungi siapa.” Amethyst mengangguk, dan Dominic berbalik, melangkah menjauh. Namun, langkahnya tetap berat seolah enggan benar-benar pergi. Amethyst menutup pintu dan menghela napas panjang. Tapi sebelum ia bisa benar-benar masuk ke dalam apartemen, suara ketukan terdengar dari pintu. Amethyst membuka pintu dengan alis terangkat.
Seperti hari-hari sebelumnya, Dominic kembali datang dengan membawa seikat bunga mawar di tangannya. Dia tetap datang, mengabaikan omelan Michael yang sangat terganggu dengan kehadiannya. Michael melipat tangannya di dada dengan ekspresi muak melihat Dominic yang sudah datang pagi ini. "Kau berhasil membuat mood-ku jelek sepanjang hari dengan tampangmu yang sok keren itu," ocehnya kesal. Namun, Dominic hanya tersenyum, makin memperdalam kerutan di dahi Michael. "Kau hanya perlu menutup mata." Ucapan Dominic bak bensin yang mengguyur amarah Michael hingga berkobar. "Sialan! Jika bukan karena adikku, aku juga tidak sudi melihat tampang jelekmu. Apa ini salah satu pembuktianmu? dengan melakukan hal menggelikan ini setiap hari?" Michael menatap sinis pria yang duduk di depannya ini. Daominic menunduk untuk menyembunyikan seringainya. "Jika hal menggelikan ini bisa membuktikan keseriusanku, maka aku akan terus melakukannya." Iamengangkat wajahnya untuk menatap ekspresi sebal Michael.
Dominic bukanlah tipe orang yang mudah menyerah. Jika dulu ia akan melakukan apapun walaupun harus merusak, kini ia akan membuktikan kalau ia pun bisa mendapatkan apa yang ia mau dengan cara yang benar, tanpa menyakiti siapapun. Dan itu dimulai dari hal-hal kecil. Hari ini, Amethyst pulang berbelanja dikejutkan dengan keberadaan Dominic di depan pagar rumahnya. Pria itu berpenampilan rapi, mengenakan setelan jas navy, duduk di atas kapal mobilnya dengan keren. "Apa yang kau lakukan di sini?" tanya Amethyst curiga. Dominic berdiri menghampirinya dengan senyum santai. "Menunggumu, tentu saja." Ia berinisiatif mengambil alih belanjaan Amethyst yang nampak berat. Amethyst menghela napas. "Sejak kapan?" Dominic melirik arlojinya. "Dua jam yang lalu. Pulang dari kantor aku langsung kesini." Matanya membelalak. "Kau gila? Kenapa tidak menghubungiku dulu jika mau mampir?" Dominic terkekeh. "Sebenarnya, aku ingin memberi kejutan untukmu, tapi dengan begini juga kau bisa melihat bet
Dominic melirik ponselnya yang terus bergetar di atas meja, menampilkan nama Michael Callahan yang terus menghubunginya akhir-akhir ini. "Angkat saja," celetuk Amethyst merasa gerah karena bunyinya getarannya sangat mengganggu. "Padahal kau yang melarang ku selama ini untuk berbicara dengan Michael."Amethyst mencebik, memilih fokus dengan tayangan televisi yang lebih menarik. Dominic mengacak singkat rambut Amethyst sebelum bangkit menuju balkon dengan ponsel yang masih bergetar di tangannya. “Ada apa?” tanya Dominic santai. “Aku ingin bertemu,” jawab Michael tanpa basa-basi. “Empat mata," sambungnya. Dominic mendesah pelan. “Apa kau ingin berdebat denganku seperti kemarin-kemarin? Atau kau ingin mengancam ku?"“Temui aku di cafe depan kantor kejaksaan. Aku tidak suka berbicara lewat telepon."Panggilan itu terputus begitu saja sebelum Dominic bisa membalas. Dominic menatap layar ponselnya yang menggelap. Ia merasa ada hal penting yang ingin Michael bicarakan dengannya, tapi a
"Bagaimana keadaan Ibu?" Amethyst meremas tangan Ibunya pelan. Ia merindukannya, lama tak bertemu membuatnya menyadari kalau sang Ibu kini makin berisi. "Kabar Ibu baik." Nyonya Callahan mengelus pipi Amethyst sayang. "Ibu lihat, wajahmu makin bersinar. Apa kau sedang dekat dengan seseorang?" Melihat pipi Amethyst yang merona, membuktikan kalau tebakannya pasti benar. "Kami hanya teman, bu ... untuk saat ini," ungkapnya malu-malu. Nyonya Callahan mengangkat alis, lalu tersenyum penuh arti. “Untuk saat ini, ya?” gumamnya, menatap putrinya dengan tatapan penuh rasa ingin tahu. Amethyst mengalihkan pandangannya, mencoba menyembunyikan kegugupan yang perlahan merayapinya. “Aku ingin melihat usahanya ... dan memantapkan hatiku untuk itu. Ibu pasti sudah mendengarnya dari kak Michael ya?” Sang ibu mengangguk pelan mengiyakan. "Apa ibu keberatan jika aku kembali dekat dengannya?" tanyanya ragu. Alasan ia belum berani bercerita tentang Dominic pada ibunya adalah takut dengan tanggapa
Dominic kembali terus menjalani terapinya dengan rutin. Kehadiran Amethyst memang sangat berefek untuk hidupnya. Sudah beberapa minggu Amethyst terus memantau perkembangannya. Menemaninya olahraga, memasak hidangan lezat dan sehat, mengajaknya mengobrol, dan semakin berani menegurnya jika ia kembali keterlaluan. "KAu terlihat semakin membaik," kata Dr. Eleanor memecah keheningan. Dominic mengangkat kepalanya untuk menatapnya. "Ya, aku punya mentor yang hebat," sahutnya dengan senyum tipis, membayangkan wajah galak Amethyst. Dr. Eleanor tersenyum kecil. “Aku bisa melihatnya. Kurasa kau sudah bisa meregulasi emosimu. Aku harap kau akan selalu seperti ini." "Tapi ingat ... kau harus menanamkan pada pemikiranmu kalau kau berubah bukan semata untuk menyenangkan pasanganmu, tapi kau berubah karena kau ingin menjadi pribadi yang lebih baik," lanjutnya tenang, memandang Dominic penuh apresiasi. Dominic menghela napas pelan. “Aku mencoba menahan diriku. Aku tidak lagi memaksanya melaku
Dominic menatap pintu ruangan di depannya dengan malas. Jika tak ada Amethyst, tentu saja Ia tak akan mau datang untuk melakukan sesi terapi. Dr. Eleanor menatapnya dengan senyum ramah saat Dominic masuk dan duduk di depannya. "Kau akhirnya mau datang kesini lagi ... setelah sekian lama. Permulaan yang bagus." Dominic mendengus. "Aku datang karena Amethyst memintaku." Dr. Eleanor mengangkat alisnya. "Dia masih punya pengaruh besar terhadapmu, ya?" Tangannya bergerak menulis sesuatu di jurnalnya. "Apa kalian kembali bersama?" tanyanya berbasa-basi. Dominic mengalihkan pandangannya. "Tidak bisa disebut seperti itu juga," ucapnya ambigu. Dr Eleanor menghela napas panjang. Memahami apa yang terjadi diantara mereka. Karena ia juga yang membantu Amethyst bangkit dari keterpurukan. "Jadi ... apa yang ingin kau ceritakan hari ini?" Dominic bersandar di kursinya dengan tatapan kosong mengarah ke langit-langit. "Aku tidak tahu harus mulai dari mana. Beberapa hari terakhir … terasa
Sore itu, Dominic duduk di ruang tamu dengan sebuah majalah di tangannya. Harinya semakin ringan setelah Amethyst kembali datang ke hidupnya."Dia selalu mengusirku kalau aku mengikutinya memasak," keluhnya sedikit kesal.Matanya dengan resah melirik ke arah dapur. Berharap Amethyst segera selesai.Saat itulah, bel pintu berbunyi. Ini sedikit janggal. Karena semua orang yang ia percaya biasanya langsung masuk setelah ia beri akses kunci biometrik di pintunya."Siapa itu?" tanyanya dalam hati.Ia beranjak membuka pintu dan menemukan seorang pria yang berdiri tegang di pintu rumahnya.Dominic memandang datar tamu yang sangat mengejutkan untuknya. "Mau apa kau kemari, Hawthorn?"Aiden Hawthorn yang biasanya percaya diri, kini nampak gugup saat berhadapan dengan Dominic. Tapi, dia harus merasa harus meluruskan semuanya."KIta perlu bicara, Dominic," ucapnya tanpa basa-basi.Dominic menaikkan sebelah alisnya penasaran. "Masuk," katanya dingin.Mata Aiden berpendar ke seluruh penjuru ruanga
Dominic duduk diam di ruang tamu terapis datang. Sejak tadi tangannya terus menggenggam Amethyst. Rasa takut, gugup, dan cemas membuatnya gusar. Amethyst memberikan senyuman untuk menguatkannya. "Kau tidak sendiri, Dominic." Dominic hanya mengangguk kecil. Kalimat Amethyst tak berhasil meredakan kegugupannya. "Apa ini akan berhasil?" tanyanya skeptis. “Tidak ada yang tahu,” jawab Amethyst jujur. “Tapi kau harus mencobanya, Dominic. Ini bukan hanya tentangmu ... ini juga tentang kita. ” "Kau tidak akan meninggalkanku, kan?" tanya Dominic memastikan. Dia tak bisa melalui proses ini jika tanpa Amethyst di sampingnya. Melihat ekspresi Dominic yang seperti anak kecil sedikit menimbulkan geli di hatinya. “Selalu," katanya dengan senyum lembut. --- "Selamat siang, Tuan Dominic." Dokter Eleanor tersenyum melihat keduanya tampak akur. "Lama tidak bertemu, Amethyst," sapanya ramah. "Siang, dok. Saya di sini menemani Dominic." Amethyst merasa sungkan. "Tidak apa, kulihat Tuan Do
Amethyst berdiri di depan Villa Dominic dengan napas tertahan. Ia berkali-kali meyakinkan dirinya untuk tetap datang ke sini dan mengesampingkan masa lalu. Ketika ia membuka pintu, Dominic telah berdiri menyambutnya dengan senyum diwajahnya. Pria itu masih terlihat rapuh, tapi sorot matanya terlihat bersinar kali ini. “Kau datang lagi,” gumam Dominic dengan senang. Amethyst tersenyum tipis menghampiri Dominic perlahan. “Aku sudah bilang padamu kalau aku akan membantumu. Tidak mungkin aku ingkar.” Dominic tersenyum saat lengannya digandeng. Mereka masuk ke ruang keluarga yang sepi, namu terasa hangat bagi Dominic karena kedatangan Amethyst. “Kau sudah makan?” tanya Amethyst sambil melirik secangkir kopi hitam yang sudah tandas setengahnya. Dominic menggeleng pelan. “Belum terlalu lapar.” Amethyst mendesah. “Dominic ... kau harus menjaga dirimu. jangan biasakan untuk minum kafein sebelum makan," omelnya. "Apa butuh aku untuk mengatur segala urusanmu?" tanya Amethyst sebal. Dom