Amethyst berdiri di depan pintu apartemennya, merasa lelah setelah perjalanan panjang dan percakapan dengan Michael. Setelah mengucapkan terima kasih pada Dominic, ia mencoba tersenyum meskipun pikirannya sedang berkecamuk. Dominic memiringkan kepala, matanya menyipit sedikit seolah mencoba membaca apa yang ada di balik wajah tenangnya. “Kau yakin ingin sendiri? Aku bisa tinggal sebentar.” Amethyst menggeleng pelan. “Aku butuh waktu untuk berpikir. Aku baik-baik saja, Dominic. Terima kasih.” Dominic mendekat, jemarinya mengangkat dagu Amethyst. “Baiklah,” katanya sebelum mengecup bibirnya dengan lembut. “Tapi kalau kau butuh sesuatu, kau tahu harus menghubungi siapa.” Amethyst mengangguk, dan Dominic berbalik, melangkah menjauh. Namun, langkahnya tetap berat seolah enggan benar-benar pergi. Amethyst menutup pintu dan menghela napas panjang. Tapi sebelum ia bisa benar-benar masuk ke dalam apartemen, suara ketukan terdengar dari pintu. Amethyst membuka pintu dengan alis terangkat.
Dominic menatap Ethan tajam, menahan amarah yang sejak tadi mendidih di dadanya. Mereka berdua berada di ruang tamu rumah Marcus, tempat yang sering menjadi titik pertemuan kelompok kecil mereka. Ethan duduk di kursi dengan santai, kakinya disilangkan, tampak sama sekali tidak terganggu oleh tatapan Dominic. “Aku mendengar kau mengunjungi Amethyst tadi,” Dominic membuka percakapan dengan nada dingin. Ethan tidak langsung menjawab. Dia hanya menatap Dominic dengan ekspresi datar yang sulit ditebak, lalu mengangkat bahu. “Hanya mampir. Apa masalahnya?” Dominic mengepalkan tangannya di sisi tubuhnya, berusaha untuk tidak meledak. “Masalahnya adalah kau tidak punya alasan untuk mendekatinya.” Ethan menyeringai, senyum tipis yang lebih seperti ejekan daripada tanda keramahan. “Aku tidak ingat kau memiliki hak untuk melarangku bicara dengan siapa pun.” Ketegangan di ruangan itu meningkat seketika. Marcus, yang duduk di sofa dengan seember popcorn di pangkuannya, memutar matanya dan mel
Di tengah kesibukan kantor polisi, seorang pria berjalan santai di antara meja-meja penuh dokumen dan komputer. Dengan segelas ice americano di tangan, Aiden Hawthorne, detektif muda yang telah dikenal karena kepiawaiannya mengungkap kasus rumit, menyapa beberapa kolega dengan senyum ramah. Meskipun suasana santai, ada sesuatu dalam sorot matanya yang menunjukkan fokus dan ketelitian. Setibanya di mejanya, Aiden duduk dengan tenang. Meja kerjanya dipenuhi tumpukan berkas kasus yang sedang ia tangani, sebagian besar terkait kejahatan terorganisir dan kasus-kasus kriminal tingkat tinggi. Namun, satu berkas khusus menarik perhatiannya. Berkas yang sudah ia selidiki selama dua tahun terakhir, tetapi masih belum menghasilkan terobosan yang signifikan. "Dominic Blackwood," gumam Aiden sambil membuka berkas itu. Dominic bukanlah nama sembarangan. Laki-laki itu adalah pengusaha muda yang dikenal berpengaruh, dengan jaringan luas yang tersebar di banyak sektor. Tetapi Aiden tahu ada ses
Dominic berdiri di depan pintu apartemen Amethyst, mengatur napasnya sebelum mengetuk. Namun, begitu pintu terbuka dan ia melihat Amethyst berdiri di sana- dengan pakaian rumah sederhana, rambutnya yang disanggul berantakan, dan wajahnya yang polos tanpa riasan- Dominic kehilangan kendali. Dia langsung meraih wajah Amethyst, menciumnya dengan rakus, penuh gairah yang memancar dari tatapan mata obsesi dan kemarahan yang membara. Amethyst sempat terkejut, namun tubuhnya membeku di bawah tekanan Dominic. "Dominic," gumamnya tertahan ketika bibir Dominic terlepas, hanya untuk beralih mengecup pipi dan lehernya sebentar. "Jangan pakai wajah itu untuk orang lain," Dominic bergumam dengan suara rendah dan tajam. "Hanya aku yang boleh melihatmu seperti ini." Amethyst menelan ludah, bingung harus merespons seperti apa. Namun, Dominic tidak memberinya waktu untuk berpikir lebih jauh. Dia langsung menariknya ke dalam apartemen dan menutup pintu dengan bunyi yang cukup keras. Mereka duduk d
Amethyst berjalan perlahan di sepanjang jalan kecil yang menuju kafe favoritnya. Ia membawa tas selempang kecil dan mengenakan dress sederhana yang membuatnya tampak lebih tenang, meskipun pikirannya masih berkecamuk. Dominic sedang sibuk, dan itu memberinya sedikit ruang untuk bernapas. Saat tiba di kafe, ia membuka pintu dan disambut aroma kopi yang menenangkan. Langkahnya terhenti ketika ia melihat seorang pria duduk di meja pojok, melambaikan tangan ke arahnya dengan senyum ramah. Amethyst tidak mengenali pria itu. Namun, ada sesuatu dalam cara dia memandangnya yang terasa… hangat, tapi sekaligus penuh pengamatan. Membuatnya sedikit waspada. “Amethyst, kan?” Aiden berdiri, menyodorkan tangan. “Aku Aiden. Kita belum pernah bertemu, tapi aku teman lama Dominic.” Amethyst mengangguk ragu, berjabat tangan dengannya. “Oh, teman Dominic? Dia tidak pernah menyebut namamu.” Aiden tertawa kecil, seolah mencoba meredakan ketegangannya. “Mungkin karena aku lebih sering bekerja di lua
Dominic sedang sibuk membaca laporan keuangan di layar laptopnya ketika pintu kantornya diketuk. Tanpa menoleh, ia menjawab dengan nada santai, "Masuk." Paman Dominic, William Blackwood, masuk dengan langkah ragu. Meski pria itu adalah paman dari Dominic, ada sesuatu dalam diri Dominic yang membuatnya segan. Dominic, dengan postur tegap dan tatapan tajam, memiliki aura dingin dan tegas yang tak dapat diabaikan. “Dominic,” William membuka percakapan. “Aku ingin membicarakan proyek pengembangan di cabang forthland.” Dominic mengangkat pandangannya, menyandarkan tubuh di kursi kulit hitamnya yang mewah. "Duduklah, Paman," katanya sambil memberikan senyum tipis. Tapi senyum itu tidak menawarkan kehangatan, melainkan peringatan. William duduk di kursi berhadapan dengan Dominic, berusaha menenangkan dirinya sebelum melanjutkan, "Aku ingin mengusulkan sesuatu. Kurasa, sudah waktunya anak sulungku, Andrew, mengambil peran di perusahaan inti. Dia punya pengalaman di lapangan, dan aku yak
Dominic berdiri di tengah ring, napasnya terengah-engah sementara tinjunya mengepal erat. Ia baru saja menghantamkan pukulan terakhirnya ke Marcus, yang kini terhuyung ke belakang. Marcus memaki, menyeka darah yang keluar dari sudut bibirnya. "Dominic! Ini sparring, bukan pembantaian!" seru Marcus, nadanya kesal. Dominic tidak menanggapi. Matanya masih penuh amarah, rahangnya mengatup kuat, dan keringat mengalir deras dari pelipisnya. Ia mengayunkan pukulannya lagi ke udara, seolah berusaha melampiaskan sesuatu yang jauh lebih dalam daripada sekadar kemarahan sesaat. Di sudut ruangan, Lucas duduk di sofa bersama Olivia. Tangannya melingkari bahu wanita itu sementara mereka tampak asyik berbisik dan bercumbu, sama sekali tidak peduli dengan kekacauan di ring. Sementara itu, Ethan duduk di kursi ruang tunggu, menatap layar laptopnya dengan tenang. Ia memeriksa e-mail yang baru masuk, wajahnya tanpa ekspresi. Namun, matanya bergerak cepat membaca setiap kata, menyimpan informasi p
Aiden mengusak wajahnya frustasi. Sudah banyak umpatan yang keluar dari mulutnya melihat tumpukan kasus yang menggunung di meja. Disaat krisis ini, tak ada lagi Aiden yang baik hati dan ramah. Yang terlihat hanya iblis dengan aura mencekam yang mengelilinginya. Mata Aiden menyorot tajam potret Dominic yang tertempel di papan dengan garis-garis merah. "Kau ingin bermain rupanya," gumamnya dengan mata memerah. Bajingan itu mungkin berpikir, semua ini akan menghentikan semua kerja kerasnya. Tapi, lagi-lagi kali ini ia tak akan berhenti. Apalagi dengan Amethyst yang menjadi kunci keberhasilan misi besar ini. Mengingat gadis itu, Aiden dilanda dilema yang cukup besar. Ia sadar akan ketertarikannya, tapi hanya Amethyst bisa memuluskan rencananya. Aiden mengusap wajahnya berharap bayang-bayang Amethyst menghilang dari pikirannya. Namun, semakin ia berusaha maka semakin kuat pula memori singkat pertemuan itu mengakar di kepalanya. Suara Aiden yang berteriak kencang menakuti salah
Seperti hari-hari sebelumnya, Dominic kembali datang dengan membawa seikat bunga mawar di tangannya. Dia tetap datang, mengabaikan omelan Michael yang sangat terganggu dengan kehadiannya. Michael melipat tangannya di dada dengan ekspresi muak melihat Dominic yang sudah datang pagi ini. "Kau berhasil membuat mood-ku jelek sepanjang hari dengan tampangmu yang sok keren itu," ocehnya kesal. Namun, Dominic hanya tersenyum, makin memperdalam kerutan di dahi Michael. "Kau hanya perlu menutup mata." Ucapan Dominic bak bensin yang mengguyur amarah Michael hingga berkobar. "Sialan! Jika bukan karena adikku, aku juga tidak sudi melihat tampang jelekmu. Apa ini salah satu pembuktianmu? dengan melakukan hal menggelikan ini setiap hari?" Michael menatap sinis pria yang duduk di depannya ini. Daominic menunduk untuk menyembunyikan seringainya. "Jika hal menggelikan ini bisa membuktikan keseriusanku, maka aku akan terus melakukannya." Iamengangkat wajahnya untuk menatap ekspresi sebal Michael.
Dominic bukanlah tipe orang yang mudah menyerah. Jika dulu ia akan melakukan apapun walaupun harus merusak, kini ia akan membuktikan kalau ia pun bisa mendapatkan apa yang ia mau dengan cara yang benar, tanpa menyakiti siapapun. Dan itu dimulai dari hal-hal kecil. Hari ini, Amethyst pulang berbelanja dikejutkan dengan keberadaan Dominic di depan pagar rumahnya. Pria itu berpenampilan rapi, mengenakan setelan jas navy, duduk di atas kapal mobilnya dengan keren. "Apa yang kau lakukan di sini?" tanya Amethyst curiga. Dominic berdiri menghampirinya dengan senyum santai. "Menunggumu, tentu saja." Ia berinisiatif mengambil alih belanjaan Amethyst yang nampak berat. Amethyst menghela napas. "Sejak kapan?" Dominic melirik arlojinya. "Dua jam yang lalu. Pulang dari kantor aku langsung kesini." Matanya membelalak. "Kau gila? Kenapa tidak menghubungiku dulu jika mau mampir?" Dominic terkekeh. "Sebenarnya, aku ingin memberi kejutan untukmu, tapi dengan begini juga kau bisa melihat bet
Dominic melirik ponselnya yang terus bergetar di atas meja, menampilkan nama Michael Callahan yang terus menghubunginya akhir-akhir ini. "Angkat saja," celetuk Amethyst merasa gerah karena bunyinya getarannya sangat mengganggu. "Padahal kau yang melarang ku selama ini untuk berbicara dengan Michael."Amethyst mencebik, memilih fokus dengan tayangan televisi yang lebih menarik. Dominic mengacak singkat rambut Amethyst sebelum bangkit menuju balkon dengan ponsel yang masih bergetar di tangannya. “Ada apa?” tanya Dominic santai. “Aku ingin bertemu,” jawab Michael tanpa basa-basi. “Empat mata," sambungnya. Dominic mendesah pelan. “Apa kau ingin berdebat denganku seperti kemarin-kemarin? Atau kau ingin mengancam ku?"“Temui aku di cafe depan kantor kejaksaan. Aku tidak suka berbicara lewat telepon."Panggilan itu terputus begitu saja sebelum Dominic bisa membalas. Dominic menatap layar ponselnya yang menggelap. Ia merasa ada hal penting yang ingin Michael bicarakan dengannya, tapi a
"Bagaimana keadaan Ibu?" Amethyst meremas tangan Ibunya pelan. Ia merindukannya, lama tak bertemu membuatnya menyadari kalau sang Ibu kini makin berisi. "Kabar Ibu baik." Nyonya Callahan mengelus pipi Amethyst sayang. "Ibu lihat, wajahmu makin bersinar. Apa kau sedang dekat dengan seseorang?" Melihat pipi Amethyst yang merona, membuktikan kalau tebakannya pasti benar. "Kami hanya teman, bu ... untuk saat ini," ungkapnya malu-malu. Nyonya Callahan mengangkat alis, lalu tersenyum penuh arti. “Untuk saat ini, ya?” gumamnya, menatap putrinya dengan tatapan penuh rasa ingin tahu. Amethyst mengalihkan pandangannya, mencoba menyembunyikan kegugupan yang perlahan merayapinya. “Aku ingin melihat usahanya ... dan memantapkan hatiku untuk itu. Ibu pasti sudah mendengarnya dari kak Michael ya?” Sang ibu mengangguk pelan mengiyakan. "Apa ibu keberatan jika aku kembali dekat dengannya?" tanyanya ragu. Alasan ia belum berani bercerita tentang Dominic pada ibunya adalah takut dengan tanggapa
Dominic kembali terus menjalani terapinya dengan rutin. Kehadiran Amethyst memang sangat berefek untuk hidupnya. Sudah beberapa minggu Amethyst terus memantau perkembangannya. Menemaninya olahraga, memasak hidangan lezat dan sehat, mengajaknya mengobrol, dan semakin berani menegurnya jika ia kembali keterlaluan. "KAu terlihat semakin membaik," kata Dr. Eleanor memecah keheningan. Dominic mengangkat kepalanya untuk menatapnya. "Ya, aku punya mentor yang hebat," sahutnya dengan senyum tipis, membayangkan wajah galak Amethyst. Dr. Eleanor tersenyum kecil. “Aku bisa melihatnya. Kurasa kau sudah bisa meregulasi emosimu. Aku harap kau akan selalu seperti ini." "Tapi ingat ... kau harus menanamkan pada pemikiranmu kalau kau berubah bukan semata untuk menyenangkan pasanganmu, tapi kau berubah karena kau ingin menjadi pribadi yang lebih baik," lanjutnya tenang, memandang Dominic penuh apresiasi. Dominic menghela napas pelan. “Aku mencoba menahan diriku. Aku tidak lagi memaksanya melaku
Dominic menatap pintu ruangan di depannya dengan malas. Jika tak ada Amethyst, tentu saja Ia tak akan mau datang untuk melakukan sesi terapi. Dr. Eleanor menatapnya dengan senyum ramah saat Dominic masuk dan duduk di depannya. "Kau akhirnya mau datang kesini lagi ... setelah sekian lama. Permulaan yang bagus." Dominic mendengus. "Aku datang karena Amethyst memintaku." Dr. Eleanor mengangkat alisnya. "Dia masih punya pengaruh besar terhadapmu, ya?" Tangannya bergerak menulis sesuatu di jurnalnya. "Apa kalian kembali bersama?" tanyanya berbasa-basi. Dominic mengalihkan pandangannya. "Tidak bisa disebut seperti itu juga," ucapnya ambigu. Dr Eleanor menghela napas panjang. Memahami apa yang terjadi diantara mereka. Karena ia juga yang membantu Amethyst bangkit dari keterpurukan. "Jadi ... apa yang ingin kau ceritakan hari ini?" Dominic bersandar di kursinya dengan tatapan kosong mengarah ke langit-langit. "Aku tidak tahu harus mulai dari mana. Beberapa hari terakhir … terasa
Sore itu, Dominic duduk di ruang tamu dengan sebuah majalah di tangannya. Harinya semakin ringan setelah Amethyst kembali datang ke hidupnya."Dia selalu mengusirku kalau aku mengikutinya memasak," keluhnya sedikit kesal.Matanya dengan resah melirik ke arah dapur. Berharap Amethyst segera selesai.Saat itulah, bel pintu berbunyi. Ini sedikit janggal. Karena semua orang yang ia percaya biasanya langsung masuk setelah ia beri akses kunci biometrik di pintunya."Siapa itu?" tanyanya dalam hati.Ia beranjak membuka pintu dan menemukan seorang pria yang berdiri tegang di pintu rumahnya.Dominic memandang datar tamu yang sangat mengejutkan untuknya. "Mau apa kau kemari, Hawthorn?"Aiden Hawthorn yang biasanya percaya diri, kini nampak gugup saat berhadapan dengan Dominic. Tapi, dia harus merasa harus meluruskan semuanya."KIta perlu bicara, Dominic," ucapnya tanpa basa-basi.Dominic menaikkan sebelah alisnya penasaran. "Masuk," katanya dingin.Mata Aiden berpendar ke seluruh penjuru ruanga
Dominic duduk diam di ruang tamu terapis datang. Sejak tadi tangannya terus menggenggam Amethyst. Rasa takut, gugup, dan cemas membuatnya gusar. Amethyst memberikan senyuman untuk menguatkannya. "Kau tidak sendiri, Dominic." Dominic hanya mengangguk kecil. Kalimat Amethyst tak berhasil meredakan kegugupannya. "Apa ini akan berhasil?" tanyanya skeptis. “Tidak ada yang tahu,” jawab Amethyst jujur. “Tapi kau harus mencobanya, Dominic. Ini bukan hanya tentangmu ... ini juga tentang kita. ” "Kau tidak akan meninggalkanku, kan?" tanya Dominic memastikan. Dia tak bisa melalui proses ini jika tanpa Amethyst di sampingnya. Melihat ekspresi Dominic yang seperti anak kecil sedikit menimbulkan geli di hatinya. “Selalu," katanya dengan senyum lembut. --- "Selamat siang, Tuan Dominic." Dokter Eleanor tersenyum melihat keduanya tampak akur. "Lama tidak bertemu, Amethyst," sapanya ramah. "Siang, dok. Saya di sini menemani Dominic." Amethyst merasa sungkan. "Tidak apa, kulihat Tuan Do
Amethyst berdiri di depan Villa Dominic dengan napas tertahan. Ia berkali-kali meyakinkan dirinya untuk tetap datang ke sini dan mengesampingkan masa lalu. Ketika ia membuka pintu, Dominic telah berdiri menyambutnya dengan senyum diwajahnya. Pria itu masih terlihat rapuh, tapi sorot matanya terlihat bersinar kali ini. “Kau datang lagi,” gumam Dominic dengan senang. Amethyst tersenyum tipis menghampiri Dominic perlahan. “Aku sudah bilang padamu kalau aku akan membantumu. Tidak mungkin aku ingkar.” Dominic tersenyum saat lengannya digandeng. Mereka masuk ke ruang keluarga yang sepi, namu terasa hangat bagi Dominic karena kedatangan Amethyst. “Kau sudah makan?” tanya Amethyst sambil melirik secangkir kopi hitam yang sudah tandas setengahnya. Dominic menggeleng pelan. “Belum terlalu lapar.” Amethyst mendesah. “Dominic ... kau harus menjaga dirimu. jangan biasakan untuk minum kafein sebelum makan," omelnya. "Apa butuh aku untuk mengatur segala urusanmu?" tanya Amethyst sebal. Dom