Amethyst duduk di sofa apartemennya, menatap secangkir teh di tangannya yang mulai mendingin. Matanya sembap, pipinya memerah akibat menangis terlalu lama. Di hadapannya, Dominic duduk dengan postur santai, tetapi mata gelapnya mengamati setiap gerak-gerik Amethyst seperti elang yang siap melindungi mangsanya.
“Apa yang dia katakan padamu?” suara Dominic tenang, tapi ada nada tajam yang tersembunyi di baliknya. Amethyst menggigit bibir, mencoba menahan tangis yang kembali mengancam. “Michael bilang... aku yang memilih tetap tinggal. Bahwa semua ini adalah tanggung jawabku sendiri. Dan dia... dia tidak peduli.” Dominic bersandar ke depan, menyentuh dagu Amethyst dengan lembut, memaksa gadis itu menatapnya. “Dia salah,” ujarnya pelan, tetapi penuh penekanan. “Semua keputusan yang kau buat itu menunjukkan bahwa kau jauh lebih kuat daripada yang dia sadari.” “Tapi Dominic...” Amethyst memalingkan wajah, suaranya bergetar. “Aku merasa gagal. Dia benar, aku tetap tinggal, tapi apa gunanya? Ibu masih di sana, dan aku masih terjebak dengan rasa sakit yang sama. Tidak ada yang berubah.” Dominic mendekat, tangannya melingkari pinggang Amethyst, menariknya ke dalam pelukan. “Amethyst,” bisiknya lembut di telinganya, “kau bukan gagal. Kau hanya terlalu keras pada dirimu sendiri. Kau menyalahkan dirimu untuk hal-hal yang berada di luar kendalimu. Itu bukan salahmu.” Amethyst terdiam dalam pelukan Dominic. Suara bariton pria itu selalu memiliki cara untuk meredakan kecemasannya. Dominic melepaskan pelukan mereka sedikit, tetapi tangannya tetap memegang pundak Amethyst. “Kau tahu apa yang aku lihat saat pertama kali bertemu denganmu?” Amethyst menggeleng pelan. “Aku melihat seseorang yang terluka tapi masih bertahan,” katanya, menatap langsung ke dalam mata Amethyst. “Aku melihat gadis yang memiliki keberanian untuk terus berjalan meskipun dunianya runtuh. Itu adalah kekuatan, Amethyst. Kekuatan yang bahkan Michael tidak bisa pahami.” Amethyst mengerutkan alis, kebingungan dengan kepastian dalam suara Dominic. “Tapi aku merasa lemah... dan sendirian.” Dominic menyentuh pipi Amethyst dengan lembut, ibu jarinya menghapus sisa air mata yang membasahi wajah gadis itu. “Kau tidak sendirian. Aku di sini untukmu, dan aku tidak akan pergi ke mana pun. Bahkan jika kau merasa semua orang telah meninggalkanmu, aku akan tetap di sini. Mengerti?” Amethyst mengangguk pelan, tetapi Dominic belum selesai. “Dengar,” lanjutnya, suaranya berubah menjadi nada yang lebih rendah dan menggoda, “aku tahu kau tidak akan menyerah. Karena itu bukan dirimu. Kau hanya butuh seseorang untuk mengingatkan bahwa kau pantas mendapatkan cinta dan kebahagiaan. Dan aku lebih dari bersedia menjadi orang itu.” Senyum kecil muncul di wajah Amethyst, meskipun matanya masih merah. “Kau selalu tahu apa yang harus dikatakan, Dominic.” “Karena aku mengenalmu,” jawab Dominic sambil tersenyum penuh arti. “Dan, Amethyst, aku juga tahu bagaimana cara membuatmu merasa lebih baik.” Dia mendekat, menangkup wajah Amethyst dengan kedua tangannya, lalu mengecup keningnya dengan lembut. “Berhenti memikirkan apa yang dikatakan Michael. Fokus pada apa yang kau inginkan, bukan pada ekspektasi orang lain.” Amethyst merasa dadanya menghangat mendengar kata-kata Dominic. “Terima kasih,” bisiknya lirih. Dominic tersenyum, menyeringai kecil yang selalu membuat Amethyst merasa tenang. “Kau tidak perlu berterima kasih. Kau milikku, Amethyst. Melindungimu adalah tugasku.” Amethyst menyandarkan kepalanya ke dada Dominic, mendengarkan detak jantung pria itu yang stabil. Untuk pertama kalinya setelah pertengkarannya dengan Michael, ia merasa tidak sendirian. Dominic menundukkan wajahnya, "Amethyst..." suaranya lembut, namun penuh kekuatan. "Aku ingin kamu tahu, aku akan selalu ada untukmu, tak peduli apapun yang terjadi." Amethyst menatapnya, merasa seluruh tubuhnya bergetar dengan kata-kata itu. Dengan perlahan, ia mengangkat wajahnya, ingin merasakan lebih dekat kehadiran pria itu, yang selama ini telah menjadi penopangnya. Dominic menundukkan kepalanya lebih jauh, tangannya mengelus pipi Amethyst dengan lembut, sebelum akhirnya menarik wajahnya lebih dekat. Lembut, tetapi penuh gairah, bibir Dominic menyentuh bibir Amethyst. Ciuman itu bukan hanya sekadar sentuhan, tapi seperti ada sesuatu yang dalam, penuh dengan emosi yang mereka simpan untuk satu sama lain. Ciuman itu semakin mendalam, seolah waktu berhenti sejenak. Dominic menggenggam belakang leher Amethyst, menariknya lebih dekat ke tubuhnya. Dalam pelukan itu, Amethyst merasakan ketenangan yang luar biasa. Semua kecemasannya, ketakutannya, seakan lenyap begitu saja di bawah sentuhan dan ciuman pria itu. Ketika mereka akhirnya melepaskan ciuman itu, Dominic menatap Amethyst dengan mata penuh hasrat. "Jangan pernah ragu, Amethyst. Aku di sini, dan aku tidak akan pergi." Amethyst mengangguk, matanya berkaca-kaca. "Aku tahu," bisiknya, suaranya penuh kepercayaan. "Terima kasih, Dominic. Terima kasih sudah ada untukku." Dominic tersenyum dengan lembut, kemudian menyentuh pipi Amethyst sekali lagi. "Kau lebih dari sekedar berharga, Amethyst. Ingat itu."Ruangan itu sunyi ketika Michelle kembali ke rumah. Amethyst, yang tengah duduk di sofa, mendongak, berharap ada sedikit kehangatan dari kakaknya yang sudah lama tak terlibat langsung dalam masalah keluarga mereka. Namun, Michelle hanya mengangguk sekilas, lalu mengalihkan pandangan, seperti biasa. Michelle memang selalu menghindar, seolah tak ingin terlibat atau bahkan mendengar tentang kejadian yang menghancurkan keluarga mereka.“Kak,” Amethyst mencoba memulai percakapan, nadanya penuh harap. "Sudah lama aku ingin bicara soal... soal Ibu."Michelle, yang tengah membuka jendela, berhenti sejenak, tetapi tidak berbalik. “Amy, aku tidak ingin membahas soal itu. Kau tahu, kan?” suaranya terdengar dingin, seolah menutup segala pintu bagi Amethyst untuk mendekat.Amethyst menelan ludah, merasakan emosi yang selama ini dipendamnya mulai menggelegak. “Kenapa selalu begitu, Kak? Kenapa kau selalu menghindar setiap kali kita bicara soal keluarga kita?”Michelle akhirnya menoleh, wajahnya dat
Beberapa menit kemudian, suara ketukan pintu membuyarkan lamunannya. Ia membuka pintu dan mendapati Dominic berdiri di sana, mengenakan masker hitam dan topi yang menutupi sebagian wajahnya, membuatnya tetap misterius namun tegas. Dominic melangkah masuk tanpa banyak bicara, menutup pintu di belakangnya, lalu menatap Amethyst dengan tatapan yang penuh perhatian, seolah tahu bahwa gadis di hadapannya sedang dilanda kepedihan.Dominic mendekati Amethyst dan menariknya ke dalam pelukan, membiarkan gadis itu mencurahkan emosinya. Ia tak mengatakan apa-apa; kehadirannya saja sudah cukup bagi Amethyst. Perlahan, dengan kehangatan yang ia tawarkan, Dominic mengusap punggung Amethyst, memberi sentuhan yang membuat ketegangan di tubuhnya mereda."Amethyst, tenanglah," bisiknya lembut. "Aku di sini. Aku tidak akan membiarkanmu merasa sendirian."Dalam pelukan Dominic, Amethyst merasakan kecemasannya perlahan menghilang. Kehadiran pria itu bagai pelipur di tengah badai yang mengamuk. Ia merasa,
Langit di luar rumah sakit berwarna abu-abu pekat, hujan rintik-rintik membasahi kaca jendela kamar rawat Amethyst. Suara detak jarum jam terdengar jelas di ruangan itu, sementara Amethyst duduk di tepi ranjang, menggenggam erat selimut putih yang menutupi kakinya. Tubuhnya masih terasa lemah setelah serangan kecemasan hebat beberapa hari lalu.Pintu terbuka perlahan, dan Dominic masuk dengan langkah mantap. Setelan jasnya sempurna seperti biasa, tapi rambutnya sedikit acak, menunjukkan bahwa pria itu sudah melewati hari yang panjang. Tangannya membawa sekotak makanan dan sebuah jaket tebal.“Bagaimana perasaanmu?” tanyanya lembut, menaruh barang-barangnya di meja kecil dekat ranjang.Amethyst mengangkat bahu, mencoba tersenyum meski canggung. “Lebih baik. Aku akan menemui dokter Clara setelah ini. Kalau dia bilang aku bisa pulang, aku akan segera meninggalkan tempat ini.”Dominic mengangguk, lalu mendekat. Ia meraih tangan Amethyst, membelainya lembut. “Bagus. Rumah sakit ini tidak c
Hujan deras menghantam jendela apartemen Amethyst, irama derasnya terasa seperti ancaman, bukan kenyamanan. Petir menyambar dengan suara menggelegar, mengguncang seluruh ruangan yang gelap gulita. Amethyst duduk meringkuk di sudut sofa, tubuhnya gemetar hebat. Nafasnya pendek dan terputus-putus, hampir seperti dia mencoba mencari udara di ruang hampa.Amethyst menggigit bibir bawahnya, mencoba menahan isak yang mulai mendesak keluar. Namun, pikirannya mengkhianatinya, menariknya kembali ke kenangan yang berulang kali berusaha ia lupakan."Kau ini bodoh! Tak ada gunanya!" Bentakan ayahnya menggema di benaknya, seperti rekaman yang tak henti diputar. Ia teringat tatapan penuh amarah pria itu, tangannya yang selalu terangkat untuk menegaskan kekuasaan atas keluarganya. "Jangan berani-berani menjawab ku, Amethyst!"Saat itu ia hanya seorang anak kecil, tubuhnya terlalu kecil untuk melawan, terlalu lemah untuk melindungi dirinya sendiri. Dia akan meringkuk di sudut kamar, sama seperti seka
Pagi itu, sinar matahari masuk melalui tirai tipis apartemen Amethyst, menerangi ruangan dengan lembut. Udara masih dingin setelah hujan deras semalam. Dominic terbangun lebih dulu. Dengan hati-hati, dia melepaskan pelukan dari tubuh Amethyst yang masih tertidur lelap di sebelahnya. Wajahnya yang tenang setelah malam penuh kecemasan membuat Dominic merasa lega. Dia menatapnya sejenak, membelai rambut Amethyst dengan penuh kasih sebelum akhirnya bangkit dari tempat tidur.Dominic mengenakan kaus polos dan celana pendek sederhana, tampak berbeda dari sosok pria formal dan berkarisma yang biasa dikenali orang lain. Dia menuju dapur, memutuskan untuk menyiapkan sarapan sederhana: roti panggang dengan telur orak-arik dan kopi untuk dirinya sendiri, sementara secangkir teh hangat untuk Amethyst.Saat aroma teh dan roti panggang memenuhi apartemen, Amethyst mulai terbangun. Matanya terbuka perlahan, dan untuk beberapa detik ia hanya menatap langit-langit, mengingat sisa-sisa malam sebelumnya
Dominic memeluk Amethyst erat, tangannya mengelus punggungnya dengan lembut. Setelah beberapa saat dalam keheningan, ia melepaskan pelukan itu perlahan, menatap wajah Amethyst yang masih sembab. “Tangismu membuatku ingin mencium bibir itu, Amethyst,” gumam Dominic dengan suara rendah, nadanya setengah menggoda tapi penuh otoritas.Amethyst terhenyak. Matanya melebar, dan pipinya langsung memerah. “Dominic!” serunya setengah tertawa, mencoba menutupi rasa malunya. “Kau selalu tahu cara membuatku salah tingkah!”Dominic tersenyum, senyum yang sangat khas dirinya—memiliki sentuhan misteri dan dominasi. “Kalau aku tidak tahu caranya, aku sudah kehilanganmu sejak awal,” balasnya, satu alis terangkat penuh percaya diri.Amethyst tertawa kecil, suasana hatinya perlahan mencair. “Kau terlalu percaya diri, Tuan Blackwood. Apa kau pikir aku begitu mudah terpesona padamu?” katanya mencoba terdengar galak, meskipun bibirnya melengkung membentuk senyum.Dominic mengulurkan tangan, menarik Amethys
Jari jemari Amethyst menari di atas keypad untuk meneruskan draft revisi skripsinya. Dia tak berniat lama-lama di kampus itu dan membuatnya harus bertemu dengan orang-orang yang membencinya semenjak ia dekat dengan Dominic. Matanya berusaha fokus meskipun pikirannya berkelana kemana-mana. Menyerah, Amethyst menghela napas panjang, pandangannya jatuh pada secangkir kopi hitam yang sudah setengah kosong. Kehangatan kopi itu mengingatkannya pada sentuhan lembut Dominic di puncak kepalanya saat dia mencium keningnya sebelum pergi pagi ini. Dominic memang terlalu perhatian, bahkan sedikit cerewet, tapi ia tidak bisa memungkiri betapa nyamannya ia merasa dicintai seperti itu.Apartment beberapa hari ini sunyi tanpa Dominic yang biasa berkunjung. Pria itu berpamitan akan pergi ke luar negeri untuk kunjungan kerja. Entah mengapa, Amethyst mulai ketergantungan dengan kehadiran Dominic disekelilingnya. Hal abu-abu dalam hidupnya kini penuh warna. Hal yang ia idam-idamkan selama ini-dicintai
“Amy,” sebuah suara berat memanggilnya dari pintu. Amethyst melepaskan pelukannya perlahan, lalu menoleh. Michael Callahan berdiri di sana, setelan jasnya rapi seperti biasa, dengan wajah tanpa emosi yang telah menjadi ciri khasnya.“Kau masih di sini?” tanyanya, nada suaranya terdengar biasa saja, tapi tatapannya seperti menelanjangi semua perasaan Amethyst.“Kak Michael,” jawab Amethyst datar. “Aku hanya ingin melihat ibu.”Michael melangkah masuk, tangannya dimasukkan ke dalam saku jas. “Kau tahu dia tidak akan meresponmu, kan?” ucapnya, hampir tanpa perasaan.Amethyst mengepalkan tangannya di bawah meja, mencoba menahan rasa marah yang mulai muncul. “Aku tahu. Tapi aku tetap ingin berada di sini.”Michael mendengus kecil, lalu mendekati meja. “Kau terlalu banyak membuang waktu untuk sesuatu yang tidak ada hasilnya, Amethyst. Jika aku jadi kau, aku akan fokus pada masa depan.”“Masa depan?!” Amethyst mendongak tajam, matanya menyala dengan kemarahan yang terpendam. “Kau selalu meng
Langit di luar rumah sakit berwarna abu-abu pekat, hujan rintik-rintik membasahi kaca jendela kamar rawat Amethyst. Suara detak jarum jam terdengar jelas di ruangan itu, sementara Amethyst duduk di tepi ranjang, menggenggam erat selimut putih yang menutupi kakinya. Tubuhnya masih terasa lemah setelah serangan kecemasan hebat beberapa hari lalu.Pintu terbuka perlahan, dan Dominic masuk dengan langkah mantap. Setelan jasnya sempurna seperti biasa, tapi rambutnya sedikit acak, menunjukkan bahwa pria itu sudah melewati hari yang panjang. Tangannya membawa sekotak makanan dan sebuah jaket tebal.“Bagaimana perasaanmu?” tanyanya lembut, menaruh barang-barangnya di meja kecil dekat ranjang.Amethyst mengangkat bahu, mencoba tersenyum meski canggung. “Lebih baik. Aku akan menemui dokter Clara setelah ini. Kalau dia bilang aku bisa pulang, aku akan segera meninggalkan tempat ini.”Dominic mengangguk, lalu mendekat. Ia meraih tangan Amethyst, membelainya lembut. “Bagus. Rumah sakit ini tidak c
Beberapa menit kemudian, suara ketukan pintu membuyarkan lamunannya. Ia membuka pintu dan mendapati Dominic berdiri di sana, mengenakan masker hitam dan topi yang menutupi sebagian wajahnya, membuatnya tetap misterius namun tegas. Dominic melangkah masuk tanpa banyak bicara, menutup pintu di belakangnya, lalu menatap Amethyst dengan tatapan yang penuh perhatian, seolah tahu bahwa gadis di hadapannya sedang dilanda kepedihan.Dominic mendekati Amethyst dan menariknya ke dalam pelukan, membiarkan gadis itu mencurahkan emosinya. Ia tak mengatakan apa-apa; kehadirannya saja sudah cukup bagi Amethyst. Perlahan, dengan kehangatan yang ia tawarkan, Dominic mengusap punggung Amethyst, memberi sentuhan yang membuat ketegangan di tubuhnya mereda."Amethyst, tenanglah," bisiknya lembut. "Aku di sini. Aku tidak akan membiarkanmu merasa sendirian."Dalam pelukan Dominic, Amethyst merasakan kecemasannya perlahan menghilang. Kehadiran pria itu bagai pelipur di tengah badai yang mengamuk. Ia merasa,
Ruangan itu sunyi ketika Michelle kembali ke rumah. Amethyst, yang tengah duduk di sofa, mendongak, berharap ada sedikit kehangatan dari kakaknya yang sudah lama tak terlibat langsung dalam masalah keluarga mereka. Namun, Michelle hanya mengangguk sekilas, lalu mengalihkan pandangan, seperti biasa. Michelle memang selalu menghindar, seolah tak ingin terlibat atau bahkan mendengar tentang kejadian yang menghancurkan keluarga mereka.“Kak,” Amethyst mencoba memulai percakapan, nadanya penuh harap. "Sudah lama aku ingin bicara soal... soal Ibu."Michelle, yang tengah membuka jendela, berhenti sejenak, tetapi tidak berbalik. “Amy, aku tidak ingin membahas soal itu. Kau tahu, kan?” suaranya terdengar dingin, seolah menutup segala pintu bagi Amethyst untuk mendekat.Amethyst menelan ludah, merasakan emosi yang selama ini dipendamnya mulai menggelegak. “Kenapa selalu begitu, Kak? Kenapa kau selalu menghindar setiap kali kita bicara soal keluarga kita?”Michelle akhirnya menoleh, wajahnya dat
Amethyst duduk di sofa apartemennya, menatap secangkir teh di tangannya yang mulai mendingin. Matanya sembap, pipinya memerah akibat menangis terlalu lama. Di hadapannya, Dominic duduk dengan postur santai, tetapi mata gelapnya mengamati setiap gerak-gerik Amethyst seperti elang yang siap melindungi mangsanya.“Apa yang dia katakan padamu?” suara Dominic tenang, tapi ada nada tajam yang tersembunyi di baliknya.Amethyst menggigit bibir, mencoba menahan tangis yang kembali mengancam. “Michael bilang... aku yang memilih tetap tinggal. Bahwa semua ini adalah tanggung jawabku sendiri. Dan dia... dia tidak peduli.”Dominic bersandar ke depan, menyentuh dagu Amethyst dengan lembut, memaksa gadis itu menatapnya. “Dia salah,” ujarnya pelan, tetapi penuh penekanan. “Semua keputusan yang kau buat itu menunjukkan bahwa kau jauh lebih kuat daripada yang dia sadari.”“Tapi Dominic...” Amethyst memalingkan wajah, suaranya bergetar. “Aku merasa gagal. Dia benar, aku tetap tinggal, tapi apa gunanya?
Dominic mengetuk permukaan meja dengan ritme yang sama, menghasilkan suara mengerikan bagi kelima bawahannya yang tengah berdiri menunduk dengan keringat dingin menetes di wajahnya.Aura di sekeliling makin mencekam kala suara Amethyst terdengar dari tablet yang dipegangnya.Di rekaman CCTV itu terlihat jelas bagaimana obrolan sepasang saudara yang memanas.Saat melihat Amethyst mulai menangis, Dominic merasa darahnya mendidih. Bayangan semua orang yang pernah melukai Amethyst-ayahnya, kakaknya, bahkan orang-orang di kampus yang memandangnya rendah-berkelebat di pikirannya. Di dalam benaknya, ia membuat keputusan tegas. Dia akan melakukan apa pun untuk memastikan tak ada yang akan merusak hidup gadis itu lagi, bahkan jika harus menghancurkan siapa saja yang berani mendekat atau mengancam kedamaian Amethyst. Termasuk keluarganya sekalipun. "Bajingan itu memang perlu diberi sedikit pelajaran."---Dominic memutar pena di jarinya, ekspresi keras menghiasi wajahnya saat menonton pemandan
“Amy,” sebuah suara berat memanggilnya dari pintu. Amethyst melepaskan pelukannya perlahan, lalu menoleh. Michael Callahan berdiri di sana, setelan jasnya rapi seperti biasa, dengan wajah tanpa emosi yang telah menjadi ciri khasnya.“Kau masih di sini?” tanyanya, nada suaranya terdengar biasa saja, tapi tatapannya seperti menelanjangi semua perasaan Amethyst.“Kak Michael,” jawab Amethyst datar. “Aku hanya ingin melihat ibu.”Michael melangkah masuk, tangannya dimasukkan ke dalam saku jas. “Kau tahu dia tidak akan meresponmu, kan?” ucapnya, hampir tanpa perasaan.Amethyst mengepalkan tangannya di bawah meja, mencoba menahan rasa marah yang mulai muncul. “Aku tahu. Tapi aku tetap ingin berada di sini.”Michael mendengus kecil, lalu mendekati meja. “Kau terlalu banyak membuang waktu untuk sesuatu yang tidak ada hasilnya, Amethyst. Jika aku jadi kau, aku akan fokus pada masa depan.”“Masa depan?!” Amethyst mendongak tajam, matanya menyala dengan kemarahan yang terpendam. “Kau selalu meng
Jari jemari Amethyst menari di atas keypad untuk meneruskan draft revisi skripsinya. Dia tak berniat lama-lama di kampus itu dan membuatnya harus bertemu dengan orang-orang yang membencinya semenjak ia dekat dengan Dominic. Matanya berusaha fokus meskipun pikirannya berkelana kemana-mana. Menyerah, Amethyst menghela napas panjang, pandangannya jatuh pada secangkir kopi hitam yang sudah setengah kosong. Kehangatan kopi itu mengingatkannya pada sentuhan lembut Dominic di puncak kepalanya saat dia mencium keningnya sebelum pergi pagi ini. Dominic memang terlalu perhatian, bahkan sedikit cerewet, tapi ia tidak bisa memungkiri betapa nyamannya ia merasa dicintai seperti itu.Apartment beberapa hari ini sunyi tanpa Dominic yang biasa berkunjung. Pria itu berpamitan akan pergi ke luar negeri untuk kunjungan kerja. Entah mengapa, Amethyst mulai ketergantungan dengan kehadiran Dominic disekelilingnya. Hal abu-abu dalam hidupnya kini penuh warna. Hal yang ia idam-idamkan selama ini-dicintai
Dominic memeluk Amethyst erat, tangannya mengelus punggungnya dengan lembut. Setelah beberapa saat dalam keheningan, ia melepaskan pelukan itu perlahan, menatap wajah Amethyst yang masih sembab. “Tangismu membuatku ingin mencium bibir itu, Amethyst,” gumam Dominic dengan suara rendah, nadanya setengah menggoda tapi penuh otoritas.Amethyst terhenyak. Matanya melebar, dan pipinya langsung memerah. “Dominic!” serunya setengah tertawa, mencoba menutupi rasa malunya. “Kau selalu tahu cara membuatku salah tingkah!”Dominic tersenyum, senyum yang sangat khas dirinya—memiliki sentuhan misteri dan dominasi. “Kalau aku tidak tahu caranya, aku sudah kehilanganmu sejak awal,” balasnya, satu alis terangkat penuh percaya diri.Amethyst tertawa kecil, suasana hatinya perlahan mencair. “Kau terlalu percaya diri, Tuan Blackwood. Apa kau pikir aku begitu mudah terpesona padamu?” katanya mencoba terdengar galak, meskipun bibirnya melengkung membentuk senyum.Dominic mengulurkan tangan, menarik Amethys
Pagi itu, sinar matahari masuk melalui tirai tipis apartemen Amethyst, menerangi ruangan dengan lembut. Udara masih dingin setelah hujan deras semalam. Dominic terbangun lebih dulu. Dengan hati-hati, dia melepaskan pelukan dari tubuh Amethyst yang masih tertidur lelap di sebelahnya. Wajahnya yang tenang setelah malam penuh kecemasan membuat Dominic merasa lega. Dia menatapnya sejenak, membelai rambut Amethyst dengan penuh kasih sebelum akhirnya bangkit dari tempat tidur.Dominic mengenakan kaus polos dan celana pendek sederhana, tampak berbeda dari sosok pria formal dan berkarisma yang biasa dikenali orang lain. Dia menuju dapur, memutuskan untuk menyiapkan sarapan sederhana: roti panggang dengan telur orak-arik dan kopi untuk dirinya sendiri, sementara secangkir teh hangat untuk Amethyst.Saat aroma teh dan roti panggang memenuhi apartemen, Amethyst mulai terbangun. Matanya terbuka perlahan, dan untuk beberapa detik ia hanya menatap langit-langit, mengingat sisa-sisa malam sebelumnya