Dominic mengetuk permukaan meja dengan ritme yang sama, menghasilkan suara mengerikan bagi kelima bawahannya yang tengah berdiri menunduk dengan keringat dingin menetes di wajahnya.
Aura di sekeliling makin mencekam kala suara Amethyst terdengar dari tablet yang dipegangnya. Di rekaman CCTV itu terlihat jelas bagaimana obrolan sepasang saudara yang memanas. Saat melihat Amethyst mulai menangis, Dominic merasa darahnya mendidih. Bayangan semua orang yang pernah melukai Amethyst-ayahnya, kakaknya, bahkan orang-orang di kampus yang memandangnya rendah-berkelebat di pikirannya. Di dalam benaknya, ia membuat keputusan tegas. Dia akan melakukan apa pun untuk memastikan tak ada yang akan merusak hidup gadis itu lagi, bahkan jika harus menghancurkan siapa saja yang berani mendekat atau mengancam kedamaian Amethyst. Termasuk keluarganya sekalipun. "Bajingan itu memang perlu diberi sedikit pelajaran." --- Dominic memutar pena di jarinya, ekspresi keras menghiasi wajahnya saat menonton pemandangan menarik di depannya. Dari balik kaca dua arah, ia melihat Michael Callahan berlumuran darah berjuang mempertahankan kesadaran. Kedua tangan Michael memegang rantai besi yang menggantungnya, mencoba menopang tubuhnya yang penuh luka. Wajahnya bersih, tanpa cacat, tapi tubuhnya menceritakan kisah berbeda: luka menganga dari goresan hingga daging yang terkoyak. Dominic memang sengaja memerintahkan anak buahnya untuk tidak melukai wajah pria itu. Ia ingin menikmati raut kesakitan Michael sepenuhnya. Baginya, ekspresi itu lebih memuaskan daripada darah yang tumpah. Ruangan tempat Dominic berdiri bernuansa gelap, dengan kesan mewah di setiap sudutnya. Dia menggoyangkan gelas wine di tangannya dengan mata tertuju pada ruangan berlawanan: ruang kumuh, kotor, dan berbau tajam dari darah dan kotoran. Itu tempat di mana Dominic mengadili orang-orang yang telah berani menyentuh dunianya, sengaja maupun tidak. "Lepaskan... aku..." suara Michael terdengar lirih dari speaker. Serak, nyaris tak terdengar, pria itu hanya mampu menggumamkan permintaan samar. Dominic mencibir, ekspresi dinginnya tak berubah. Michael telah menyakiti Amethyst, membuat wanita itu menangis setelah pertengkaran hebat semalam. Sebagai kakak yang tak pernah peduli, Michael turut andil menjadi duri dalam kehidupan Amethyst. Namun, mengingat pria itu tetap mau membiayai kuliah Amethyst, Dominic memutuskan memberinya pelajaran yang ringan saja. "Lepaskan." ucap Dominic sebelum beranjak pergi. "Baik, tuan." Segera, Michael dibawa ke rumah sakit dan dirawat dengan penjagaan ketat. --- Amethyst melirik jam di dinding kafe, merasa lega karena jadwal kerjanya sudah mendekati akhir. Hari itu berjalan seperti biasa, meski hatinya tak sepenuhnya tenang. Setelah pertengkarannya dengan Michael semalam, ia merasa lelah secara emosional. Namun, ada sesuatu yang lebih mendominasi pikirannya: Dominic. Ia baru kembali dari perjalanan bisnis panjang, dan Amethyst tak sabar menunggunya menghubungi. Sambil menuangkan kopi pesanan pelanggan, Amethyst menghela napas dalam. Pekerjaannya sebagai barista sering kali menjadi pelarian dari kekacauan pikirannya, tapi kali ini, bayangan Dominic yang penuh perhatian sekaligus mendominasi terus menghantuinya. Ia adalah tempat perlindungannya sekaligus sosok yang membuatnya merasa rapuh. "Amethyst, kamu kurang fokus hari ini, ya?" Viona, rekan kerjanya, menggodanya. "Sedang mikirin siapa, nih?" Amethyst hanya tersenyum kecil, tak berniat menjelaskan. "Aku cuma lelah, kok." Viona mengangkat bahu. "Kalau lelah, bilang saja ke bos. Kamu bisa istirahat sebentar." Amethyst mengangguk, tapi sebelum sempat menjawab, suara pintu kafe terbuka, diiringi bel yang berbunyi pelan. Ia secara refleks menoleh dan tertegun. Dominic berdiri di sana, mengenakan setelan kasual-kaus hitam dan jaket kulit -tapi tetap terlihat luar biasa mencolok. Aura pria itu begitu kuat hingga beberapa pelanggan berhenti sejenak untuk melirik. Dominic berjalan mendekat dengan senyum tipis, "selamat malam, sweetheart." sapanya lembut dengan suara bass nya yang menghanyutkan. Amethyst merasa pipinya memanas. "Dominic? Kenapa kamu ke sini?" bisiknya, berusaha menyembunyikan kegembiraannya. Dominic menarik kursi di meja sudut tanpa menjawab, hanya memberikan tatapan yang membuat Amethyst hampir lupa cara bernapas. "Aku ingin melihatmu, tentu saja. Perjalananku terlalu lama, dan aku tidak mau menunggu lebih lama lagi untuk bertemu." Amethyst merasa hatinya melunak. Dominic memang selalu tahu cara mengejutkannya, dan entah bagaimana, kehadirannya seperti oase di tengah semua kelelahan yang ia rasakan. Setelah mengambil kesempatan saat istirahat, Amethyst mendekati meja Dominic dengan secangkir kopi. "Ini untukmu," ujarnya sambil meletakkan cangkir di depannya. Dominic mengangkat alis, tersenyum kecil. "Terima kasih, tapi yang kuinginkan bukan hanya kopi." Amethyst duduk di depannya, menatapnya dengan bingung. "Apa maksudmu?" Dominic mencondongkan tubuh, suara rendahnya terdengar intim. "Sebuah ciuman di bibir?" ucapnya dengan nada menggoda. Telinga Amethyst memerah. Dia memukul lengan Dominic dengan keras, "ini tempat umum. Tidak tau malu." Dominic tersenyum dan kembali duduk dengan tenang. "Baiklah, setelah shift-mu selesai. Aku akan menagihnya." "Baiklah-baiklah..... Terserah kau saja." Tak tahan terus dijahili. Amethyst memilih kembali ke tempatnya bekerja dengan pandangan mata Dominic yang terus tertuju ke arahnya. "Wajah itu memang lebih cocok dihiasi senyuman manis," gumam Dominic sebelum menyesap kopinya perlahan.Amethyst duduk di sofa apartemennya, menatap secangkir teh di tangannya yang mulai mendingin. Matanya sembap, pipinya memerah akibat menangis terlalu lama. Di hadapannya, Dominic duduk dengan postur santai, tetapi mata gelapnya mengamati setiap gerak-gerik Amethyst seperti elang yang siap melindungi mangsanya.“Apa yang dia katakan padamu?” suara Dominic tenang, tapi ada nada tajam yang tersembunyi di baliknya.Amethyst menggigit bibir, mencoba menahan tangis yang kembali mengancam. “Michael bilang... aku yang memilih tetap tinggal. Bahwa semua ini adalah tanggung jawabku sendiri. Dan dia... dia tidak peduli.”Dominic bersandar ke depan, menyentuh dagu Amethyst dengan lembut, memaksa gadis itu menatapnya. “Dia salah,” ujarnya pelan, tetapi penuh penekanan. “Semua keputusan yang kau buat itu menunjukkan bahwa kau jauh lebih kuat daripada yang dia sadari.”“Tapi Dominic...” Amethyst memalingkan wajah, suaranya bergetar. “Aku merasa gagal. Dia benar, aku tetap tinggal, tapi apa gunanya?
"Jangan lupa makan siang." Dominic membelai rambut bergelombang Amethyst setelah melepaskan seatbelt. Amethyst tersenyum lebar, "siap,kapten!" Setelah turun, Amethyst melambai kecil hingga mobil mewah pria itu tak terlihat lagi. Disitulah senyuman Amethyst mulai luntur. Matanya memperhatikan sekitar menemukan semua orang memandang kearahnya terang-terangan. Namun, Amethyst segera berlalu bersikap seolah tak terpengaruh. Pagi itu, udara dingin masih menyelimuti kota ketika Amethyst berjalan di koridor kampus. Langkah kakinya tenang, namun pikirannya penuh dengan tugas yang menumpuk. Di tangannya, ada map biru berisi revisi skripsi yang harus ia serahkan kepada dosen pembimbing. Setelah minggu-minggu penuh tekanan, Amethyst akhirnya merasa sedikit lega. Hasil revisinya selesai tepat waktu, dan ini menjadi salah satu langkah terakhir sebelum ia benar-benar menyelesaikan perjalanan panjang di kampus ini. Namun, di tengah keramaian koridor, tidak ada satu pun teman yang menyapanya. Beb
Amethyst terbangun di ruang rawat rumah sakit dengan kepala berat dan tubuh lemas. Ada jarum infus yang tertancap di tangan dan selang oksigen di hidungnya. Dominic duduk di sisi tempat tidur, wajahnya tampak tegang tapi tetap lembut ketika menatapnya. "Kau sudah sadar," ucapnya, suaranya rendah tapi penuh kelegaan. Amethyst hanya mengangguk lemah, masih terlalu lelah untuk berbicara. Dominic membantunya duduk, menyodorkan segelas air. Saat tangan Amethyst menyentuh gelas, ia menyadari bahwa tubuhnya sedikit gemetar. Ia mulai mengingat kejadian yang terjadi sebelum ia tak sadarkan diri. Melihat Dominic yang tengah tegang melihat ponselnya, Amethyst sedikit bisa membaca sesuatu. Pria itu pasti sudah tau tentang berita yang beredar di kampus. "Mereka bilang apa lagi?" tanyanya akhirnya, suaranya nyaris berbisik. Sebuah headline berita kampus yang memuat tentang dirinya yang dengan tega membunuh ayah kandungnya dan menumbalkan sang ibu yang tengah depresi untuk di penjara. Banyak
Langit di luar rumah sakit berwarna abu-abu pekat, hujan rintik-rintik membasahi kaca jendela kamar rawat Amethyst. Suara detak jarum jam terdengar jelas di ruangan itu, sementara Amethyst duduk di tepi ranjang, menggenggam erat selimut putih yang menutupi kakinya. Tubuhnya masih terasa lemah setelah serangan kecemasan hebat beberapa hari lalu.Pintu terbuka perlahan, dan Dominic masuk dengan langkah mantap. Setelan jasnya sempurna seperti biasa, tapi rambutnya sedikit acak, menunjukkan bahwa pria itu sudah melewati hari yang panjang. Tangannya membawa sekotak makanan dan sebuah jaket tebal.“Bagaimana perasaanmu?” tanyanya lembut, menaruh barang-barangnya di meja kecil dekat ranjang.Amethyst mengangkat bahu, mencoba tersenyum meski canggung. “Lebih baik. Aku akan menemui dokter Clara setelah ini. Kalau dia bilang aku bisa pulang, aku akan segera meninggalkan tempat ini.”Dominic mengangguk, lalu mendekat. Ia meraih tangan Amethyst, membelainya lembut. “Bagus. Rumah sakit ini tidak c
Malam semakin larut, tapi Dominic tetap duduk di sofa, menjaga Amethyst yang tertidur dengan gelisah. Setiap kali gadis itu mengerang dalam tidurnya, Dominic akan menggenggam tangannya, membisikkan kata-kata lembut untuk menenangkannya. Namun, di balik kelembutannya, ada bara amarah yang membakar dadanya.Pagi harinya, Dominic terbangun lebih dulu. Ia bergerak hati-hati agar tidak membangunkan Amethyst, lalu menuju dapur. Ia menyiapkan sarapan sederhana: roti panggang, telur orak-arik, dan secangkir kopi hitam kesukaan Amethyst.Saat Amethyst akhirnya terbangun, ia menemukan Dominic duduk di meja makan, menatap laptopnya dengan serius. Namun, begitu melihat Amethyst berdiri di ambang pintu dengan rambut kusut dan mata bengkak karena menangis di tengah tidurnya semalam, Dominic segera menutup laptopnya dan bangkit.“Kau sudah bangun,” katanya, menghampirinya dengan senyum kecil. “Aku membuatkan sarapan.”Amethyst menatapnya sejenak, lalu menunduk, merasa sedikit malu. “Terima kasih,” g
Dominic Blackwood melangkah masuk ke ruang rapat lantai 45 gedung Blackwood Industries. Mata semua orang di ruangan itu, mulai dari para direktur hingga paman kandungnya, Presiden Direktur perusahaan, langsung tertuju padanya. Meski secara resmi hanya menjabat sebagai CEO, Dominic adalah pusat kekuatan sebenarnya di Blackwood Industries.“Selamat pagi, Dominic,” sapa pamannya, Charles Blackwood, dengan senyum yang dipaksakan.Dominic hanya memberi anggukan kecil, langkahnya tegas menuju kursi di ujung meja panjang. Posisinya tidak hanya simbolik, tetapi juga mutlak. Semua tahu, siapa pun yang mencoba melawan Dominic akan berakhir dalam situasi yang tidak menyenangkan, baik secara profesional maupun pribadi.Rapat berjalan dengan diskusi yang penuh ketegangan. Dominic mendengarkan laporan dengan ekspresi datar, tangannya mengetuk permukaan meja secara ritmis. Saat salah satu direktur menyampaikan pandangan yang bertentangan dengan rencananya, Dominic hanya menatap pria itu dengan senyu
Pagi menyapa dengan sinar matahari yang hangat, menerobos tirai apartemen Amethyst. Suara burung berkicau di kejauhan membuat suasana terasa lebih damai. Amethyst mengerjapkan mata, menggeliat pelan di tempat tidur, menyadari bahwa ia tertidur lebih lama dari biasanya. Matanya tiba-tiba tertumbuk pada sebuah kotak kecil yang ada di atas nakas. Alisnya mengernyit heran. "Apa ini?" gumamnya. Ia bangkit, duduk di tepi tempat tidur, dan meraih kotak itu dengan hati-hati. Kotaknya sederhana, dengan desain hitam mengilap dan pita emas yang mengikatnya rapi. Amethyst mengangkat kotak itu, membalik-baliknya sejenak, sebelum menarik pita emas yang terikat. Di dalamnya, terdapat sebuah kalung indah dengan bandul kunci kecil berlapis emas putih. Cahaya matahari membuat kalung itu berkilauan, seperti menyimpan rahasia di balik keindahannya. Di bawah kalung, terdapat sebuah catatan kecil bertuliskan: "Setiap kunci memiliki pintunya. Tunggu dan lihat." Amethyst menggigit bibir bawahnya, perasa
Lampu temaram di apartemen terasa menenangkan, tetapi hati Amethyst justru penuh dengan kecemasan. Ia duduk di sofa, memeluk bantal, sambil menunggu Dominic kembali. Pesan singkatnya sebelumnya membuat pikiran Amethyst terus berputar, menimbang-nimbang apa yang sebenarnya terjadi.Pintu terbuka, dan Dominic melangkah masuk dengan langkah tenang namun tegas. Jasnya tersampir di lengan, dan dasinya sudah longgar. Tatapannya langsung tertuju pada Amethyst, yang menoleh dengan ragu.“Kau terlihat cemas,” ujar Dominic dengan suara rendah, menghampirinya. Ia meletakkan jas dan tas kerja di kursi, lalu duduk di sebelah Amethyst.“Aku hanya… bingung,” jawab Amethyst pelan. “Mia bilang sesuatu tentangmu dan ayahnya.”Dominic menghela napas panjang, seolah sudah menduga. “Aku tahu Mia mendekatimu. Dan aku tahu apa yang dia katakan.”Amethyst mengangkat alis, terkejut. “Kau tahu?”Dominic menatapnya dengan mata gelap yang tajam, namun ada kelembutan di sudutnya. “Tentu saja. Aku selalu tahu apa
Rumah megah Dominic kini bagai penjara bagi Amethyst. Semua gerakannya selalu diawasi. Bahkan, balkon dan jendela kamar Dominic kini ditambahi teralis besi, semakin membuatnya terpenjara sepenuhnya. Sejak keluar dari rumah sakit, ia tahu... semua telah berubah. Ia tak bisa lagi menatap Dominic seperti sebelumnya. Kini hanya ada rasa takut dan ketidakberdayaan ketika bersamanya. Dokter Eleanor telah memberinya banyak petuah agar Ia tetap bertahan untuk dirinya sendiri. Dan Ia akan berusaha untuk tidak kalah pada keadaan seperti dulu. Ia duduk di kursi membaca buku mencoba mengusir rasa jenuh yang mulai menghampiri. Pintu kamar itu telah dikunci rapat dan dijaga ketat oleh dua bodyguard. Pintu kamar tiba-tiba terbuka, Dominic datang dengan langkah penuh intimidasi, memindai keadaan Amethyst dengan tajam. "Kau tidak tidur," ucap Dominic memecah keheningan. Amethyst menutup bukunya dengan kasar. Matanya dipenuhi kebencian ketika menatap pria itu. "Apa kau kehilangan kosa kata
Di ruang konsultasi rumah sakit, Dominic duduk menyilangkan kaki merasa dingin di hatinya menunggu penjelasan tentang keadaan Amethyst.Di hadapannya, dokter Eleanor, spesialis kejiwaan memaparkan kondisi Amethyst secara profesional dan juga simpati."Tuan Blackwood," ujar dokter Eleanor pelan. Ia membuka hasil evaluasi yang ia pegang sedikit gentar dibawah tatapan Dominic yang menusuk."Setelah observasi yang kami lakukan terhadap keadaan nona Amethyst, kita bisa melihat kalau beliau mengalami depresi berat dan beberapa tingkahnya mengarah ke bipolar. Kondisi itu bisa muncul ke permukaan jika beliau berada pada tingkat stress yang cukup tinggi."Dominic terdiam mendengar penjelasan yang terasa menusuk. Rasa bersalah mulai menggelayutinya. Namun, egonya mengatakan hal lain. "Dengan ini, Amethyst pasti akan bergantung padaku sepenuhnya," pikirnya. "Apa penyebabnya?" tanya Dominic sedikit tegang, walau ia sudah tahu jawabannya. Dokter Eleanor menghela napas, meletakkan kedua tanganny
Ruangan minimalis bergaya etnik itu diisi oleh Dominic dan Ayah besar yang tengah duduk santai dengan kopi hitam di meja. "Bagaimana dengan proyek terbaru yang kuserahkan padamu?" Suara berat itu bertanya santai. Dominic memutar pena yang ia pegang dengan pandangan kosong. "Semua berjalan lancar." Nada bicaranya bahkan terdengar datar tanpa emosi. Mata tua Fernaldi tentu tak melewatkan detail kecil ini. "Gadis itu membuat suasana hatimu jelek rupanya." Mata Dominic berkilat mendengarnya. Ia menegakkan tubuh untuk menatap Fernaldi yang tampak menyeringai. "Itu urusanku," tekannya. "Kalau kau membuat keributan karena dia...," Fernaldi bangkit, memberikan sedikit tekanan untuk Dominic. "Kau tau kalau aku bukan orang yang berbelas kasih, Dominic." Dia menepuk bahu Dominic sebelum meninggalkan ruangan. Tatapan Dominic menggelap. Pena yang semula ia mainkan kini telah menjadi dua bagian akibat amarahnya. Ketika akan pergi, Ethan sudah menunggunya sambil bersandar di pintu, bersi
Setelah selesai makan siang, Ethan membimbing Amethyst untuk kembali ke ruangan Dominic tanpa mengatakan apapun. Amethyst berjalan diam disampingnya dalam keheningan. Kemudian ia teringat dengan perkataan ambigu yang sering diucapkan padanya. “Ethan,” panggilnya pelan. Namun, Ethan yang peka langsung menoleh tanpa menghentikan langkahnya. “Ya?” Amethyst merasa ragu sejenak. “Kau pernah bilang … aku bisa menghubungimu kalau butuh bantuan. Apa alasan kau mengatakan itu padaku?” Hening sejenak, kala Ethan mulai melambatkan langkahnya. “Kau terlihat mandiri dan kuat walau keadaan memaksamu untuk menggila." Amethyst mengerutkan kening. “Jadi, kau merasa kasihan padaku begitu?” "Anggap saja seperti itu." ucap Ethan cuek mendahului Amethyst. Seolah tak ingin memberitahu lebih. Langkah Amethyst terhenti. Ia tertegun menatap punggung Ethan yang makin menjauh. Namun, ia mulai mengejar Ethan dan memberanikan diri untuk bertanya hal lain yang sejak dulu mengganggu pikirannya. “Ethan
Dominic menggenggam tangan Amethyst erat setelah sampai di pelataran kantor Onyx Horizon yang terlihat menjulang. Amethyst merasa sedikit tak nyaman dengan pandangan para pegawai yang memandang keduanya penasaran. Sesekali, ia melihat baju yang ia pakai. Memastikan pakaiannya sopan dan rapi ketika mereka berjalan di lobi ditemani seorang asisten laki-laki yang berjalan dibelakangnya. Dominic menuntun Amethyst masuk ke lift dan menekan tombol ke ruangannya. “Seharusnya kau tidak perlu sejauh ini," gerutu Amethyst pelan sedikit merajuk. Ia tersenyum sungkan pada asisten Dominic yang nampak sopan dan menundukkan pandangan. Dominic menatapnya sekilas. “Kau ingin bekerja bukan? Jadi, inilah pekerjaan mu. Menemaniku kemanapun aku pergi," ucapnya dengan enteng. Amethyst berdecak, merasa kesal dengan keputusan Dominic. Lift berdenting ketika sampai di pantai tujuan. Amethyst terkagum melihat interior kantor yang modern dan khas anak muda. Sama seperti di bawah, para pegawai di sini jug
Ketika Dominic memasuki kamar, ia melihat Amethyst yang tidur meringkuk membelakanginya. Dia langsung melenggang ke kamar mandi meski tau kalau Amethyst hanya berpura-pura tidur. Setelah beberapa saat, Dominic keluar dengan keadaan segar dan hanya mengenakan celana pendek. Merebahkan diri di ranjang dan memeluk Amethyst dari belakang. "Aku tau kau menguping, sayang," ucap Dominic berbisik. Namun, mengejutkan Amethyst. Dominic semakin memeluk Amethyst erat seolah mencari kekuatan. "Kau ingat sedikit cerita tentang kematian ibuku, bukan?" Perlahan, nafas Dominic semakin memberat. "Kecelakaan itu adalah konspirasi yang dibuat ayahku untuk memanipulasi publik. Ia tak ingin perusahaan terganggu dengan insiden bunuh diri yang dilakukan istrinya." "Sejak aku kecil, aku selalu melihat ibuku yang diperlakukan tidak adil. Semua jenis kekerasan fisik dan verbal ia terima. Hingga akhirnya memilih menyerah." Dominic mengelus rambut Amethyst yang mulai terisak. "Itu belum seberapa dibandi
Aiden menyusuri jalan sempit diantara gedung tua yang terbengkalai. Dengan bantuan cahaya bulan yang remang-remang, dia berjalan waspada. Setelah beberapa lama, ia sampai di sebuah rumah tradisional yang tampak kumuh diterangi lampu pijar. Satu tangannya meraih handgun yang ia sembunyikan dibalik jaket hitamnya sementara ia mengetuk pintu pelan. Menunggu sejenak, ia kemudian masuk ke dalam disambut seorang wanita muda yang duduk dibalik meja resepsionis. "Tuan Aiden?" tanya wanita itu memastikan. Dibalas anggukan oleh Aiden. "Mari ... Ibu sudah menunggu di dalam."Aiden dibimbing masuk ke sebuah pintu yang terhubung ke lorong panjang dengan banyak pintu yang terlihat dihuni. Hingga akhirnya, mereka berhenti di sebuah pintu besar tepat di ujung. "Ibu, Tuan Aiden sudah datang," katanya setelah mengetuk pintu. Tak lama terdengar sahutan dari dalam dan wanita itu menunduk pamit pada Aiden mempersilakannya masuk. Ketika Aiden masuk, aroma bunga yang menyengat bercampur asap rokok lan
Pagi itu, setelah sarapan Dominic membawa seorang wanita yang dikenal sebagai dr. Eleanor datang ke rumah untuk sesi konseling seperti yang ia janjikan pada Amethyst. "Kenalkan, aku Eleanor. Panggil saja begitu," ucap dr Eleanor dengan senyum ramah dan hangat. "Ah, ya ... Aku Amethyst. Mohon bantuannya." Walau merasa sedikit canggung, tapi ia lega melihat senyum yang dipancarkan wanita paruh baya itu. Dominic merangkul pundak Amethyst dan mencium keningnya tanpa ragu di depan dr Eleanor. "Aku akan berada di ruang kerja. Beri tahu aku kalau kau merasa tak nyaman."Amethyst tersenyum malu melirik keberadaan dr Eleanor yang terlihat biasa saja. "Oke ... pergilah." bisiknya.Dia mengusir Dominic pelan mencoba menyembunyikan wajahnya yang bersemu. Bisa-bisanya pria itu menciumnya dihadapan orang lain. "Sepertinya, hubungan kalian cukup harmonis," kata dr Eleanor tertawa pelan. "Seperti itulah," Jawab Amethyst sekenanya. "Mari, silakan kita ke ruangan baca saja.""Tentu."---Dominic
Hari ini Amethyst bangun lebih pagi disaat suasana di luar masih gelap. Ia mencoba bergerak melepaskan belitan tangan Dominic."Domi, aku butuh ke kamar mandi," katanya pelan"Baiklah, sebentar saja." Dominic mengalah dan melepaskannya. Amethyst mengunci pintu kamar mandi sambil menghela nafas panjang. Pikirannya yang bercabang membuatnya sulit untuk tidur lelap. Ia duduk di kloset yang tertutup, menatap ubin yang dingin. "Apakah ini sudah tepat?"Amethyst menggumamkan kalimat itu berulang-ulang di kepalanya. Ia merasa, kembali bersama Dominic adalah keputusan salah dan yang terbaik disaat yang bersamaan. Amethyst terlonjak ketika mendengar suara Dominic dari balik pintu. "Sayang, kau baik-baik saja?" tanya Dominic terdengar dengan sedikit tekanan. "I-ini ... aku akan segera keluar." Gegas, Amethyst mencuci wajahnya untuk menutupi jejak kegelisahan. Ia mengatur nafas sebelum membuka pintu secara natural. Dominic berdiri tegak dibalik pintu kamar mandi bertelanjang dada. Meskipun