“Amy,” sebuah suara berat memanggilnya dari pintu. Amethyst melepaskan pelukannya perlahan, lalu menoleh. Michael Callahan berdiri di sana, setelan jasnya rapi seperti biasa, dengan wajah tanpa emosi yang telah menjadi ciri khasnya.
“Kau masih di sini?” tanyanya, nada suaranya terdengar biasa saja, tapi tatapannya seperti menelanjangi semua perasaan Amethyst. “Kak Michael,” jawab Amethyst datar. “Aku hanya ingin melihat ibu.” Michael melangkah masuk, tangannya dimasukkan ke dalam saku jas. “Kau tahu dia tidak akan meresponmu, kan?” ucapnya, hampir tanpa perasaan. Amethyst mengepalkan tangannya di bawah meja, mencoba menahan rasa marah yang mulai muncul. “Aku tahu. Tapi aku tetap ingin berada di sini.” Michael mendengus kecil, lalu mendekati meja. “Kau terlalu banyak membuang waktu untuk sesuatu yang tidak ada hasilnya, Amethyst. Jika aku jadi kau, aku akan fokus pada masa depan.” “Masa depan?!” Amethyst mendongak tajam, matanya menyala dengan kemarahan yang terpendam. “Kau selalu mengatakan itu, kak. Tapi kau tidak pernah benar-benar peduli. Kau meninggalkan kami untuk hidupmu yang nyaman bersama nenek, sementara aku harus menghadapi semua ini sendirian!” Michael menatapnya, matanya menyipit. “Aku pergi untuk menyelamatkan diri, Amethyst. Apa kau tidak mengerti itu? Aku tidak bisa melindungimu kalau aku sendiri hancur.” “Dan sekarang kau kembali, hanya untuk menghakimi apa yang kulakukan?” Amethyst berdiri dari kursinya, menatap kakaknya dengan penuh kemarahan. “Kau selalu berkata aku lemah, tapi aku bertahan. Aku di sini, kak. Aku tetap mencintai ibu meskipun dia seperti ini. Sementara kau hanya datang, berdiri di sana, dan bicara tentang masa depan!” Michael tidak membalas, hanya menatap Amethyst dengan wajah datar. Setelah beberapa saat, ia berkata dengan nada dingin, “Kita berbeda, Amethyst. Dan aku tidak akan meminta maaf untuk itu.” Amethyst tertegun mendengar jawaban Michael. Matanya membelalak, lalu bergetar seolah mencari jawaban yang tidak kunjung ia temukan dalam tatapan dingin kakaknya. “Apa maksudmu, Michael?” tanyanya pelan, hampir berbisik, meskipun ia tahu jawabannya mungkin tidak akan menyenangkan. Michael mendesah, menyilangkan kedua lengannya di dada dengan sikap yang membuatnya tampak semakin jauh. “Aku tidak hidup dalam bayang-bayang keluarga seperti yang kau lakukan. Aku tidak memilih untuk memelihara luka atau terus-menerus menyalahkan keadaan.” Amethyst merasa tubuhnya menegang. Kata-kata itu menghantam seperti tamparan, tetapi ia mencoba untuk tetap tenang. “Aku tidak menyalahkan siapa pun, Michael. Aku hanya—” “Kau hanya apa? Mencoba mencari simpati?” potong Michael dengan nada tajam. “Ibu kita mungkin sakit, tapi itu bukan alasan untuk terus-terusan berputar dalam lingkaran ini. Aku sudah memilih jalanku, Amethyst, jauh dari semua ini. Dari kekacauan, dari... beban.” Amethyst menatap kakaknya dengan campuran terluka dan marah. “Beban? Jadi menurutmu aku dan ibu adalah beban bagimu?” suaranya bergetar, tetapi ia memaksa dirinya untuk tetap berdiri tegak. “Michael, kau mungkin merasa berhasil melarikan diri dari semuanya, tapi aku... aku yang tinggal di sini. Aku yang melihat semuanya. Dan aku—” “Kau yang memilih itu,” potong Michael lagi, lebih dingin dari sebelumnya. “Aku tidak pernah memintamu untuk mengambil peran itu, Amethyst. Kau bisa saja pergi, seperti aku. Tapi kau tetap tinggal, dan itu adalah keputusanmu sendiri.” Kata-katanya menusuk dalam. Amethyst merasakan perutnya melilit, rasa sakit yang ia coba kubur muncul kembali. Ia menggeleng perlahan, menatap kakaknya yang seolah tidak lagi ia kenal. “Michael,” katanya dengan suara serak, “aku tetap tinggal karena aku peduli. Aku tidak bisa meninggalkan ibu sendirian. Aku tidak bisa melarikan diri seperti kau.” Michael tertawa kecil, tetapi tanpa humor. “Kau pikir aku melarikan diri? Aku membuat pilihan yang rasional. Dan lihat di mana aku sekarang, Amethyst. Aku berhasil.” “Berhasil menjadi apa? Seorang pria tanpa hati?” balas Amethyst dengan tajam, emosinya akhirnya pecah. “Kau mungkin punya karir yang hebat, tapi kau kehilangan sesuatu yang jauh lebih penting, Michael. Keluarga.” Michael menatapnya dengan mata yang tidak menunjukkan emosi. Untuk sesaat, ia tampak ingin membalas, tetapi akhirnya hanya berbalik, mengambil langkah menjauh. Sebelum pergi, ia berkata tanpa menoleh, “Keluarga tidak selalu menjadi rumah, Amethyst. Kadang, keluarga adalah luka.” Kata-kata itu menggantung di udara, meninggalkan Amethyst sendirian di ruangan yang terasa semakin dingin. Ia menarik napas dalam, mencoba menahan air matanya, tetapi gagal. Dengan tangan gemetar, ia menyeka pipinya dan berbalik menuju pintu keluar. Mungkin Michael benar. Mungkin keluarga mereka adalah luka. Tapi bagi Amethyst, luka itu adalah bagian dari dirinya, dan ia tidak akan pernah meninggalkannya.Dominic mengetuk permukaan meja dengan ritme yang sama, menghasilkan suara mengerikan bagi kelima bawahannya yang tengah berdiri menunduk dengan keringat dingin menetes di wajahnya.Aura di sekeliling makin mencekam kala suara Amethyst terdengar dari tablet yang dipegangnya.Di rekaman CCTV itu terlihat jelas bagaimana obrolan sepasang saudara yang memanas.Saat melihat Amethyst mulai menangis, Dominic merasa darahnya mendidih. Bayangan semua orang yang pernah melukai Amethyst-ayahnya, kakaknya, bahkan orang-orang di kampus yang memandangnya rendah-berkelebat di pikirannya. Di dalam benaknya, ia membuat keputusan tegas. Dia akan melakukan apa pun untuk memastikan tak ada yang akan merusak hidup gadis itu lagi, bahkan jika harus menghancurkan siapa saja yang berani mendekat atau mengancam kedamaian Amethyst. Termasuk keluarganya sekalipun. "Bajingan itu memang perlu diberi sedikit pelajaran."---Dominic memutar pena di jarinya, ekspresi keras menghiasi wajahnya saat menonton pemandan
Amethyst duduk di sofa apartemennya, menatap secangkir teh di tangannya yang mulai mendingin. Matanya sembap, pipinya memerah akibat menangis terlalu lama. Di hadapannya, Dominic duduk dengan postur santai, tetapi mata gelapnya mengamati setiap gerak-gerik Amethyst seperti elang yang siap melindungi mangsanya.“Apa yang dia katakan padamu?” suara Dominic tenang, tapi ada nada tajam yang tersembunyi di baliknya.Amethyst menggigit bibir, mencoba menahan tangis yang kembali mengancam. “Michael bilang... aku yang memilih tetap tinggal. Bahwa semua ini adalah tanggung jawabku sendiri. Dan dia... dia tidak peduli.”Dominic bersandar ke depan, menyentuh dagu Amethyst dengan lembut, memaksa gadis itu menatapnya. “Dia salah,” ujarnya pelan, tetapi penuh penekanan. “Semua keputusan yang kau buat itu menunjukkan bahwa kau jauh lebih kuat daripada yang dia sadari.”“Tapi Dominic...” Amethyst memalingkan wajah, suaranya bergetar. “Aku merasa gagal. Dia benar, aku tetap tinggal, tapi apa gunanya?
Ruangan itu sunyi ketika Michelle kembali ke rumah. Amethyst, yang tengah duduk di sofa, mendongak, berharap ada sedikit kehangatan dari kakaknya yang sudah lama tak terlibat langsung dalam masalah keluarga mereka. Namun, Michelle hanya mengangguk sekilas, lalu mengalihkan pandangan, seperti biasa. Michelle memang selalu menghindar, seolah tak ingin terlibat atau bahkan mendengar tentang kejadian yang menghancurkan keluarga mereka.“Kak,” Amethyst mencoba memulai percakapan, nadanya penuh harap. "Sudah lama aku ingin bicara soal... soal Ibu."Michelle, yang tengah membuka jendela, berhenti sejenak, tetapi tidak berbalik. “Amy, aku tidak ingin membahas soal itu. Kau tahu, kan?” suaranya terdengar dingin, seolah menutup segala pintu bagi Amethyst untuk mendekat.Amethyst menelan ludah, merasakan emosi yang selama ini dipendamnya mulai menggelegak. “Kenapa selalu begitu, Kak? Kenapa kau selalu menghindar setiap kali kita bicara soal keluarga kita?”Michelle akhirnya menoleh, wajahnya dat
Beberapa menit kemudian, suara ketukan pintu membuyarkan lamunannya. Ia membuka pintu dan mendapati Dominic berdiri di sana, mengenakan masker hitam dan topi yang menutupi sebagian wajahnya, membuatnya tetap misterius namun tegas. Dominic melangkah masuk tanpa banyak bicara, menutup pintu di belakangnya, lalu menatap Amethyst dengan tatapan yang penuh perhatian, seolah tahu bahwa gadis di hadapannya sedang dilanda kepedihan.Dominic mendekati Amethyst dan menariknya ke dalam pelukan, membiarkan gadis itu mencurahkan emosinya. Ia tak mengatakan apa-apa; kehadirannya saja sudah cukup bagi Amethyst. Perlahan, dengan kehangatan yang ia tawarkan, Dominic mengusap punggung Amethyst, memberi sentuhan yang membuat ketegangan di tubuhnya mereda."Amethyst, tenanglah," bisiknya lembut. "Aku di sini. Aku tidak akan membiarkanmu merasa sendirian."Dalam pelukan Dominic, Amethyst merasakan kecemasannya perlahan menghilang. Kehadiran pria itu bagai pelipur di tengah badai yang mengamuk. Ia merasa,
Langit di luar rumah sakit berwarna abu-abu pekat, hujan rintik-rintik membasahi kaca jendela kamar rawat Amethyst. Suara detak jarum jam terdengar jelas di ruangan itu, sementara Amethyst duduk di tepi ranjang, menggenggam erat selimut putih yang menutupi kakinya. Tubuhnya masih terasa lemah setelah serangan kecemasan hebat beberapa hari lalu.Pintu terbuka perlahan, dan Dominic masuk dengan langkah mantap. Setelan jasnya sempurna seperti biasa, tapi rambutnya sedikit acak, menunjukkan bahwa pria itu sudah melewati hari yang panjang. Tangannya membawa sekotak makanan dan sebuah jaket tebal.“Bagaimana perasaanmu?” tanyanya lembut, menaruh barang-barangnya di meja kecil dekat ranjang.Amethyst mengangkat bahu, mencoba tersenyum meski canggung. “Lebih baik. Aku akan menemui dokter Clara setelah ini. Kalau dia bilang aku bisa pulang, aku akan segera meninggalkan tempat ini.”Dominic mengangguk, lalu mendekat. Ia meraih tangan Amethyst, membelainya lembut. “Bagus. Rumah sakit ini tidak c
Hujan deras menghantam jendela apartemen Amethyst, irama derasnya terasa seperti ancaman, bukan kenyamanan. Petir menyambar dengan suara menggelegar, mengguncang seluruh ruangan yang gelap gulita. Amethyst duduk meringkuk di sudut sofa, tubuhnya gemetar hebat. Nafasnya pendek dan terputus-putus, hampir seperti dia mencoba mencari udara di ruang hampa.Amethyst menggigit bibir bawahnya, mencoba menahan isak yang mulai mendesak keluar. Namun, pikirannya mengkhianatinya, menariknya kembali ke kenangan yang berulang kali berusaha ia lupakan."Kau ini bodoh! Tak ada gunanya!" Bentakan ayahnya menggema di benaknya, seperti rekaman yang tak henti diputar. Ia teringat tatapan penuh amarah pria itu, tangannya yang selalu terangkat untuk menegaskan kekuasaan atas keluarganya. "Jangan berani-berani menjawab ku, Amethyst!"Saat itu ia hanya seorang anak kecil, tubuhnya terlalu kecil untuk melawan, terlalu lemah untuk melindungi dirinya sendiri. Dia akan meringkuk di sudut kamar, sama seperti seka
Pagi itu, sinar matahari masuk melalui tirai tipis apartemen Amethyst, menerangi ruangan dengan lembut. Udara masih dingin setelah hujan deras semalam. Dominic terbangun lebih dulu. Dengan hati-hati, dia melepaskan pelukan dari tubuh Amethyst yang masih tertidur lelap di sebelahnya. Wajahnya yang tenang setelah malam penuh kecemasan membuat Dominic merasa lega. Dia menatapnya sejenak, membelai rambut Amethyst dengan penuh kasih sebelum akhirnya bangkit dari tempat tidur.Dominic mengenakan kaus polos dan celana pendek sederhana, tampak berbeda dari sosok pria formal dan berkarisma yang biasa dikenali orang lain. Dia menuju dapur, memutuskan untuk menyiapkan sarapan sederhana: roti panggang dengan telur orak-arik dan kopi untuk dirinya sendiri, sementara secangkir teh hangat untuk Amethyst.Saat aroma teh dan roti panggang memenuhi apartemen, Amethyst mulai terbangun. Matanya terbuka perlahan, dan untuk beberapa detik ia hanya menatap langit-langit, mengingat sisa-sisa malam sebelumnya
Dominic memeluk Amethyst erat, tangannya mengelus punggungnya dengan lembut. Setelah beberapa saat dalam keheningan, ia melepaskan pelukan itu perlahan, menatap wajah Amethyst yang masih sembab. “Tangismu membuatku ingin mencium bibir itu, Amethyst,” gumam Dominic dengan suara rendah, nadanya setengah menggoda tapi penuh otoritas.Amethyst terhenyak. Matanya melebar, dan pipinya langsung memerah. “Dominic!” serunya setengah tertawa, mencoba menutupi rasa malunya. “Kau selalu tahu cara membuatku salah tingkah!”Dominic tersenyum, senyum yang sangat khas dirinya—memiliki sentuhan misteri dan dominasi. “Kalau aku tidak tahu caranya, aku sudah kehilanganmu sejak awal,” balasnya, satu alis terangkat penuh percaya diri.Amethyst tertawa kecil, suasana hatinya perlahan mencair. “Kau terlalu percaya diri, Tuan Blackwood. Apa kau pikir aku begitu mudah terpesona padamu?” katanya mencoba terdengar galak, meskipun bibirnya melengkung membentuk senyum.Dominic mengulurkan tangan, menarik Amethys
Langit di luar rumah sakit berwarna abu-abu pekat, hujan rintik-rintik membasahi kaca jendela kamar rawat Amethyst. Suara detak jarum jam terdengar jelas di ruangan itu, sementara Amethyst duduk di tepi ranjang, menggenggam erat selimut putih yang menutupi kakinya. Tubuhnya masih terasa lemah setelah serangan kecemasan hebat beberapa hari lalu.Pintu terbuka perlahan, dan Dominic masuk dengan langkah mantap. Setelan jasnya sempurna seperti biasa, tapi rambutnya sedikit acak, menunjukkan bahwa pria itu sudah melewati hari yang panjang. Tangannya membawa sekotak makanan dan sebuah jaket tebal.“Bagaimana perasaanmu?” tanyanya lembut, menaruh barang-barangnya di meja kecil dekat ranjang.Amethyst mengangkat bahu, mencoba tersenyum meski canggung. “Lebih baik. Aku akan menemui dokter Clara setelah ini. Kalau dia bilang aku bisa pulang, aku akan segera meninggalkan tempat ini.”Dominic mengangguk, lalu mendekat. Ia meraih tangan Amethyst, membelainya lembut. “Bagus. Rumah sakit ini tidak c
Beberapa menit kemudian, suara ketukan pintu membuyarkan lamunannya. Ia membuka pintu dan mendapati Dominic berdiri di sana, mengenakan masker hitam dan topi yang menutupi sebagian wajahnya, membuatnya tetap misterius namun tegas. Dominic melangkah masuk tanpa banyak bicara, menutup pintu di belakangnya, lalu menatap Amethyst dengan tatapan yang penuh perhatian, seolah tahu bahwa gadis di hadapannya sedang dilanda kepedihan.Dominic mendekati Amethyst dan menariknya ke dalam pelukan, membiarkan gadis itu mencurahkan emosinya. Ia tak mengatakan apa-apa; kehadirannya saja sudah cukup bagi Amethyst. Perlahan, dengan kehangatan yang ia tawarkan, Dominic mengusap punggung Amethyst, memberi sentuhan yang membuat ketegangan di tubuhnya mereda."Amethyst, tenanglah," bisiknya lembut. "Aku di sini. Aku tidak akan membiarkanmu merasa sendirian."Dalam pelukan Dominic, Amethyst merasakan kecemasannya perlahan menghilang. Kehadiran pria itu bagai pelipur di tengah badai yang mengamuk. Ia merasa,
Ruangan itu sunyi ketika Michelle kembali ke rumah. Amethyst, yang tengah duduk di sofa, mendongak, berharap ada sedikit kehangatan dari kakaknya yang sudah lama tak terlibat langsung dalam masalah keluarga mereka. Namun, Michelle hanya mengangguk sekilas, lalu mengalihkan pandangan, seperti biasa. Michelle memang selalu menghindar, seolah tak ingin terlibat atau bahkan mendengar tentang kejadian yang menghancurkan keluarga mereka.“Kak,” Amethyst mencoba memulai percakapan, nadanya penuh harap. "Sudah lama aku ingin bicara soal... soal Ibu."Michelle, yang tengah membuka jendela, berhenti sejenak, tetapi tidak berbalik. “Amy, aku tidak ingin membahas soal itu. Kau tahu, kan?” suaranya terdengar dingin, seolah menutup segala pintu bagi Amethyst untuk mendekat.Amethyst menelan ludah, merasakan emosi yang selama ini dipendamnya mulai menggelegak. “Kenapa selalu begitu, Kak? Kenapa kau selalu menghindar setiap kali kita bicara soal keluarga kita?”Michelle akhirnya menoleh, wajahnya dat
Amethyst duduk di sofa apartemennya, menatap secangkir teh di tangannya yang mulai mendingin. Matanya sembap, pipinya memerah akibat menangis terlalu lama. Di hadapannya, Dominic duduk dengan postur santai, tetapi mata gelapnya mengamati setiap gerak-gerik Amethyst seperti elang yang siap melindungi mangsanya.“Apa yang dia katakan padamu?” suara Dominic tenang, tapi ada nada tajam yang tersembunyi di baliknya.Amethyst menggigit bibir, mencoba menahan tangis yang kembali mengancam. “Michael bilang... aku yang memilih tetap tinggal. Bahwa semua ini adalah tanggung jawabku sendiri. Dan dia... dia tidak peduli.”Dominic bersandar ke depan, menyentuh dagu Amethyst dengan lembut, memaksa gadis itu menatapnya. “Dia salah,” ujarnya pelan, tetapi penuh penekanan. “Semua keputusan yang kau buat itu menunjukkan bahwa kau jauh lebih kuat daripada yang dia sadari.”“Tapi Dominic...” Amethyst memalingkan wajah, suaranya bergetar. “Aku merasa gagal. Dia benar, aku tetap tinggal, tapi apa gunanya?
Dominic mengetuk permukaan meja dengan ritme yang sama, menghasilkan suara mengerikan bagi kelima bawahannya yang tengah berdiri menunduk dengan keringat dingin menetes di wajahnya.Aura di sekeliling makin mencekam kala suara Amethyst terdengar dari tablet yang dipegangnya.Di rekaman CCTV itu terlihat jelas bagaimana obrolan sepasang saudara yang memanas.Saat melihat Amethyst mulai menangis, Dominic merasa darahnya mendidih. Bayangan semua orang yang pernah melukai Amethyst-ayahnya, kakaknya, bahkan orang-orang di kampus yang memandangnya rendah-berkelebat di pikirannya. Di dalam benaknya, ia membuat keputusan tegas. Dia akan melakukan apa pun untuk memastikan tak ada yang akan merusak hidup gadis itu lagi, bahkan jika harus menghancurkan siapa saja yang berani mendekat atau mengancam kedamaian Amethyst. Termasuk keluarganya sekalipun. "Bajingan itu memang perlu diberi sedikit pelajaran."---Dominic memutar pena di jarinya, ekspresi keras menghiasi wajahnya saat menonton pemandan
“Amy,” sebuah suara berat memanggilnya dari pintu. Amethyst melepaskan pelukannya perlahan, lalu menoleh. Michael Callahan berdiri di sana, setelan jasnya rapi seperti biasa, dengan wajah tanpa emosi yang telah menjadi ciri khasnya.“Kau masih di sini?” tanyanya, nada suaranya terdengar biasa saja, tapi tatapannya seperti menelanjangi semua perasaan Amethyst.“Kak Michael,” jawab Amethyst datar. “Aku hanya ingin melihat ibu.”Michael melangkah masuk, tangannya dimasukkan ke dalam saku jas. “Kau tahu dia tidak akan meresponmu, kan?” ucapnya, hampir tanpa perasaan.Amethyst mengepalkan tangannya di bawah meja, mencoba menahan rasa marah yang mulai muncul. “Aku tahu. Tapi aku tetap ingin berada di sini.”Michael mendengus kecil, lalu mendekati meja. “Kau terlalu banyak membuang waktu untuk sesuatu yang tidak ada hasilnya, Amethyst. Jika aku jadi kau, aku akan fokus pada masa depan.”“Masa depan?!” Amethyst mendongak tajam, matanya menyala dengan kemarahan yang terpendam. “Kau selalu meng
Jari jemari Amethyst menari di atas keypad untuk meneruskan draft revisi skripsinya. Dia tak berniat lama-lama di kampus itu dan membuatnya harus bertemu dengan orang-orang yang membencinya semenjak ia dekat dengan Dominic. Matanya berusaha fokus meskipun pikirannya berkelana kemana-mana. Menyerah, Amethyst menghela napas panjang, pandangannya jatuh pada secangkir kopi hitam yang sudah setengah kosong. Kehangatan kopi itu mengingatkannya pada sentuhan lembut Dominic di puncak kepalanya saat dia mencium keningnya sebelum pergi pagi ini. Dominic memang terlalu perhatian, bahkan sedikit cerewet, tapi ia tidak bisa memungkiri betapa nyamannya ia merasa dicintai seperti itu.Apartment beberapa hari ini sunyi tanpa Dominic yang biasa berkunjung. Pria itu berpamitan akan pergi ke luar negeri untuk kunjungan kerja. Entah mengapa, Amethyst mulai ketergantungan dengan kehadiran Dominic disekelilingnya. Hal abu-abu dalam hidupnya kini penuh warna. Hal yang ia idam-idamkan selama ini-dicintai
Dominic memeluk Amethyst erat, tangannya mengelus punggungnya dengan lembut. Setelah beberapa saat dalam keheningan, ia melepaskan pelukan itu perlahan, menatap wajah Amethyst yang masih sembab. “Tangismu membuatku ingin mencium bibir itu, Amethyst,” gumam Dominic dengan suara rendah, nadanya setengah menggoda tapi penuh otoritas.Amethyst terhenyak. Matanya melebar, dan pipinya langsung memerah. “Dominic!” serunya setengah tertawa, mencoba menutupi rasa malunya. “Kau selalu tahu cara membuatku salah tingkah!”Dominic tersenyum, senyum yang sangat khas dirinya—memiliki sentuhan misteri dan dominasi. “Kalau aku tidak tahu caranya, aku sudah kehilanganmu sejak awal,” balasnya, satu alis terangkat penuh percaya diri.Amethyst tertawa kecil, suasana hatinya perlahan mencair. “Kau terlalu percaya diri, Tuan Blackwood. Apa kau pikir aku begitu mudah terpesona padamu?” katanya mencoba terdengar galak, meskipun bibirnya melengkung membentuk senyum.Dominic mengulurkan tangan, menarik Amethys
Pagi itu, sinar matahari masuk melalui tirai tipis apartemen Amethyst, menerangi ruangan dengan lembut. Udara masih dingin setelah hujan deras semalam. Dominic terbangun lebih dulu. Dengan hati-hati, dia melepaskan pelukan dari tubuh Amethyst yang masih tertidur lelap di sebelahnya. Wajahnya yang tenang setelah malam penuh kecemasan membuat Dominic merasa lega. Dia menatapnya sejenak, membelai rambut Amethyst dengan penuh kasih sebelum akhirnya bangkit dari tempat tidur.Dominic mengenakan kaus polos dan celana pendek sederhana, tampak berbeda dari sosok pria formal dan berkarisma yang biasa dikenali orang lain. Dia menuju dapur, memutuskan untuk menyiapkan sarapan sederhana: roti panggang dengan telur orak-arik dan kopi untuk dirinya sendiri, sementara secangkir teh hangat untuk Amethyst.Saat aroma teh dan roti panggang memenuhi apartemen, Amethyst mulai terbangun. Matanya terbuka perlahan, dan untuk beberapa detik ia hanya menatap langit-langit, mengingat sisa-sisa malam sebelumnya