Jari jemari Amethyst menari di atas keypad untuk meneruskan draft revisi skripsinya. Dia tak berniat lama-lama di kampus itu dan membuatnya harus bertemu dengan orang-orang yang membencinya semenjak ia dekat dengan Dominic.
Matanya berusaha fokus meskipun pikirannya berkelana kemana-mana. Menyerah, Amethyst menghela napas panjang, pandangannya jatuh pada secangkir kopi hitam yang sudah setengah kosong. Kehangatan kopi itu mengingatkannya pada sentuhan lembut Dominic di puncak kepalanya saat dia mencium keningnya sebelum pergi pagi ini. Dominic memang terlalu perhatian, bahkan sedikit cerewet, tapi ia tidak bisa memungkiri betapa nyamannya ia merasa dicintai seperti itu. Apartment beberapa hari ini sunyi tanpa Dominic yang biasa berkunjung. Pria itu berpamitan akan pergi ke luar negeri untuk kunjungan kerja. Entah mengapa, Amethyst mulai ketergantungan dengan kehadiran Dominic disekelilingnya. Hal abu-abu dalam hidupnya kini penuh warna. Hal yang ia idam-idamkan selama ini-dicintai oleh orang yang kau cintai. Sesuatu yang mustahil ia dapatkan dari keluarganya. Tiba-tiba, ia menjadi murung, pikirannya mulai mengembara ke tempat lain. Ke tempat yang dingin dan suram, di mana bayang-bayang masa lalunya terus menghantui. Hati Amethyst berdenyut perih saat ia memikirkan ibunya, yang saat ini berada di sel khusus dengan pengawasan ketat dan menerima perawatan kejiwaan. Sudah beberapa minggu sejak terakhir kali ia mengunjunginya, dan rasa bersalah itu semakin memberatkan dadanya. Sang kakak tak pernah terlihat barang hidungnya setelah pemakaman ayahnya. Membuatnya tak habis pikir dengan isi kepala si pengacara kondang itu. Amethyst berdiri di depan cermin, memeriksa penampilannya untuk terakhir kali. Ia memilih kaos berkerah tinggi berwarna krem lembut yang membingkai leher jenjangnya dengan anggun, dipadukan dengan rok midi berwarna cokelat tua yang mengalir hingga di bawah lutut. Mantel wol berwarna abu-abu muda melengkapi penampilannya, memberikan sentuhan klasik dan elegan. Rambutnya yang panjang dan bergelombang ia biarkan tergerai, membingkai wajahnya yang lembut namun menunjukkan ketegaran. Ia mengenakan sepatu boots kulit berwarna hitam, dengan tumit rendah yang nyaman namun tetap menambah kesan berkelas. Amethyst menarik mantel lebih erat di tubuhnya, memastikan semuanya sempurna. Ia mengambil tas jinjing sederhana berwarna senada dengan roknya, lalu melangkah keluar dengan langkah penuh keyakinan, meskipun hatinya terasa berat. --- Langkah Amethyst bergema pelan di lorong gedung itu. Aroma antiseptik bercampur dengan udara dingin membuatnya sedikit mual. Perasaan gelisah memenuhi dadanya, tapi ia menahannya. Hari ini, ia harus kuat. Amethyst memasuki ruangan kecil yang disediakan untuk pertemuan keluarga. Ibunya sudah ada di sana, duduk di kursi dengan tangan di pangkuan. Matanya kosong, seolah menatap sesuatu yang tidak bisa dilihat siapa pun. "Halo, Ibu," sapanya pelan, suaranya sedikit bergetar. Tidak ada respons. Tidak ada tanda-tanda kehidupan di balik wajah pucat itu. Amethyst menarik napas dalam, lalu duduk di kursi di hadapan ibunya. “Aku tahu, mungkin sulit bagimu untuk mendengarku. Tapi aku ingin kau tahu, aku ada di sini,” ucapnya, berusaha terdengar tegar. "Aku... aku baik-baik saja. Dominic sangat baik padaku. Dia... dia membuatku merasa dicintai, bu. Sesuatu yang dulu kupikir aku tidak pantas dapatkan.” Matanya mulai berkaca-kaca, tapi ia menahannya. Ia tidak ingin menangis sekarang. "Aku rindu kita, bu. Aku rindu saat kita masih punya momen-momen kecil di dapur, saat kau membuatkan aku teh hangat diam-diam saat ayah memukulku. Aku tahu kau melakukan semua ini untuk melindungiku. Tapi aku ingin kau tahu... aku akan terus bertahan. Untuk kita berdua.” Amethyst maju sedikit, memeluk ibunya. Pelukan itu dingin, tanpa balasan, tapi ia tidak peduli. Ia hanya ingin ibunya tahu ia masih di sini, masih mencintainya. "Kembalilah menjadi ibu yang dulu. Yang ceria, suka membuat kue kering, dan menemaniku tidur dengan cerita dongeng yang ibu bacakan," Amethyst sedikit mengeratkan pelukannya menahan air mata yang mulai berjatuhan. "Aku tidak membenci ibu, sungguh." “Amy,” sebuah suara berat memanggilnya dari pintu. Amethyst melepaskan pelukannya perlahan sembari mengusap air matanya, lalu menoleh. Pemandangan yang membuatnya terperangah untuk sesaat. Michael Callahan berdiri di sana, setelan jasnya rapi seperti biasa, dengan wajah tanpa emosi yang telah menjadi ciri khasnya. Setelah sekian lama, laki-laki itu akhirnya datang menemuinya.“Amy,” sebuah suara berat memanggilnya dari pintu. Amethyst melepaskan pelukannya perlahan, lalu menoleh. Michael Callahan berdiri di sana, setelan jasnya rapi seperti biasa, dengan wajah tanpa emosi yang telah menjadi ciri khasnya.“Kau masih di sini?” tanyanya, nada suaranya terdengar biasa saja, tapi tatapannya seperti menelanjangi semua perasaan Amethyst.“Kak Michael,” jawab Amethyst datar. “Aku hanya ingin melihat ibu.”Michael melangkah masuk, tangannya dimasukkan ke dalam saku jas. “Kau tahu dia tidak akan meresponmu, kan?” ucapnya, hampir tanpa perasaan.Amethyst mengepalkan tangannya di bawah meja, mencoba menahan rasa marah yang mulai muncul. “Aku tahu. Tapi aku tetap ingin berada di sini.”Michael mendengus kecil, lalu mendekati meja. “Kau terlalu banyak membuang waktu untuk sesuatu yang tidak ada hasilnya, Amethyst. Jika aku jadi kau, aku akan fokus pada masa depan.”“Masa depan?!” Amethyst mendongak tajam, matanya menyala dengan kemarahan yang terpendam. “Kau selalu meng
Dominic mengetuk permukaan meja dengan ritme yang sama, menghasilkan suara mengerikan bagi kelima bawahannya yang tengah berdiri menunduk dengan keringat dingin menetes di wajahnya.Aura di sekeliling makin mencekam kala suara Amethyst terdengar dari tablet yang dipegangnya.Di rekaman CCTV itu terlihat jelas bagaimana obrolan sepasang saudara yang memanas.Saat melihat Amethyst mulai menangis, Dominic merasa darahnya mendidih. Bayangan semua orang yang pernah melukai Amethyst-ayahnya, kakaknya, bahkan orang-orang di kampus yang memandangnya rendah-berkelebat di pikirannya. Di dalam benaknya, ia membuat keputusan tegas. Dia akan melakukan apa pun untuk memastikan tak ada yang akan merusak hidup gadis itu lagi, bahkan jika harus menghancurkan siapa saja yang berani mendekat atau mengancam kedamaian Amethyst. Termasuk keluarganya sekalipun. "Bajingan itu memang perlu diberi sedikit pelajaran."---Dominic memutar pena di jarinya, ekspresi keras menghiasi wajahnya saat menonton pemandan
Amethyst duduk di sofa apartemennya, menatap secangkir teh di tangannya yang mulai mendingin. Matanya sembap, pipinya memerah akibat menangis terlalu lama. Di hadapannya, Dominic duduk dengan postur santai, tetapi mata gelapnya mengamati setiap gerak-gerik Amethyst seperti elang yang siap melindungi mangsanya.“Apa yang dia katakan padamu?” suara Dominic tenang, tapi ada nada tajam yang tersembunyi di baliknya.Amethyst menggigit bibir, mencoba menahan tangis yang kembali mengancam. “Michael bilang... aku yang memilih tetap tinggal. Bahwa semua ini adalah tanggung jawabku sendiri. Dan dia... dia tidak peduli.”Dominic bersandar ke depan, menyentuh dagu Amethyst dengan lembut, memaksa gadis itu menatapnya. “Dia salah,” ujarnya pelan, tetapi penuh penekanan. “Semua keputusan yang kau buat itu menunjukkan bahwa kau jauh lebih kuat daripada yang dia sadari.”“Tapi Dominic...” Amethyst memalingkan wajah, suaranya bergetar. “Aku merasa gagal. Dia benar, aku tetap tinggal, tapi apa gunanya?
"Jangan lupa makan siang." Dominic membelai rambut bergelombang Amethyst setelah melepaskan seatbelt. Amethyst tersenyum lebar, "siap,kapten!" Setelah turun, Amethyst melambai kecil hingga mobil mewah pria itu tak terlihat lagi. Disitulah senyuman Amethyst mulai luntur. Matanya memperhatikan sekitar menemukan semua orang memandang kearahnya terang-terangan. Namun, Amethyst segera berlalu bersikap seolah tak terpengaruh. Pagi itu, udara dingin masih menyelimuti kota ketika Amethyst berjalan di koridor kampus. Langkah kakinya tenang, namun pikirannya penuh dengan tugas yang menumpuk. Di tangannya, ada map biru berisi revisi skripsi yang harus ia serahkan kepada dosen pembimbing. Setelah minggu-minggu penuh tekanan, Amethyst akhirnya merasa sedikit lega. Hasil revisinya selesai tepat waktu, dan ini menjadi salah satu langkah terakhir sebelum ia benar-benar menyelesaikan perjalanan panjang di kampus ini. Namun, di tengah keramaian koridor, tidak ada satu pun teman yang menyapanya. Beb
Amethyst terbangun di ruang rawat rumah sakit dengan kepala berat dan tubuh lemas. Ada jarum infus yang tertancap di tangan dan selang oksigen di hidungnya. Dominic duduk di sisi tempat tidur, wajahnya tampak tegang tapi tetap lembut ketika menatapnya. "Kau sudah sadar," ucapnya, suaranya rendah tapi penuh kelegaan. Amethyst hanya mengangguk lemah, masih terlalu lelah untuk berbicara. Dominic membantunya duduk, menyodorkan segelas air. Saat tangan Amethyst menyentuh gelas, ia menyadari bahwa tubuhnya sedikit gemetar. Ia mulai mengingat kejadian yang terjadi sebelum ia tak sadarkan diri. Melihat Dominic yang tengah tegang melihat ponselnya, Amethyst sedikit bisa membaca sesuatu. Pria itu pasti sudah tau tentang berita yang beredar di kampus. "Mereka bilang apa lagi?" tanyanya akhirnya, suaranya nyaris berbisik. Sebuah headline berita kampus yang memuat tentang dirinya yang dengan tega membunuh ayah kandungnya dan menumbalkan sang ibu yang tengah depresi untuk di penjara. Banyak
Langit di luar rumah sakit berwarna abu-abu pekat, hujan rintik-rintik membasahi kaca jendela kamar rawat Amethyst. Suara detak jarum jam terdengar jelas di ruangan itu, sementara Amethyst duduk di tepi ranjang, menggenggam erat selimut putih yang menutupi kakinya. Tubuhnya masih terasa lemah setelah serangan kecemasan hebat beberapa hari lalu.Pintu terbuka perlahan, dan Dominic masuk dengan langkah mantap. Setelan jasnya sempurna seperti biasa, tapi rambutnya sedikit acak, menunjukkan bahwa pria itu sudah melewati hari yang panjang. Tangannya membawa sekotak makanan dan sebuah jaket tebal.“Bagaimana perasaanmu?” tanyanya lembut, menaruh barang-barangnya di meja kecil dekat ranjang.Amethyst mengangkat bahu, mencoba tersenyum meski canggung. “Lebih baik. Aku akan menemui dokter Clara setelah ini. Kalau dia bilang aku bisa pulang, aku akan segera meninggalkan tempat ini.”Dominic mengangguk, lalu mendekat. Ia meraih tangan Amethyst, membelainya lembut. “Bagus. Rumah sakit ini tidak c
Malam semakin larut, tapi Dominic tetap duduk di sofa, menjaga Amethyst yang tertidur dengan gelisah. Setiap kali gadis itu mengerang dalam tidurnya, Dominic akan menggenggam tangannya, membisikkan kata-kata lembut untuk menenangkannya. Namun, di balik kelembutannya, ada bara amarah yang membakar dadanya.Pagi harinya, Dominic terbangun lebih dulu. Ia bergerak hati-hati agar tidak membangunkan Amethyst, lalu menuju dapur. Ia menyiapkan sarapan sederhana: roti panggang, telur orak-arik, dan secangkir kopi hitam kesukaan Amethyst.Saat Amethyst akhirnya terbangun, ia menemukan Dominic duduk di meja makan, menatap laptopnya dengan serius. Namun, begitu melihat Amethyst berdiri di ambang pintu dengan rambut kusut dan mata bengkak karena menangis di tengah tidurnya semalam, Dominic segera menutup laptopnya dan bangkit.“Kau sudah bangun,” katanya, menghampirinya dengan senyum kecil. “Aku membuatkan sarapan.”Amethyst menatapnya sejenak, lalu menunduk, merasa sedikit malu. “Terima kasih,” g
Dominic Blackwood melangkah masuk ke ruang rapat lantai 45 gedung Blackwood Industries. Mata semua orang di ruangan itu, mulai dari para direktur hingga paman kandungnya, Presiden Direktur perusahaan, langsung tertuju padanya. Meski secara resmi hanya menjabat sebagai CEO, Dominic adalah pusat kekuatan sebenarnya di Blackwood Industries.“Selamat pagi, Dominic,” sapa pamannya, Charles Blackwood, dengan senyum yang dipaksakan.Dominic hanya memberi anggukan kecil, langkahnya tegas menuju kursi di ujung meja panjang. Posisinya tidak hanya simbolik, tetapi juga mutlak. Semua tahu, siapa pun yang mencoba melawan Dominic akan berakhir dalam situasi yang tidak menyenangkan, baik secara profesional maupun pribadi.Rapat berjalan dengan diskusi yang penuh ketegangan. Dominic mendengarkan laporan dengan ekspresi datar, tangannya mengetuk permukaan meja secara ritmis. Saat salah satu direktur menyampaikan pandangan yang bertentangan dengan rencananya, Dominic hanya menatap pria itu dengan senyu
Rumah megah Dominic kini bagai penjara bagi Amethyst. Semua gerakannya selalu diawasi. Bahkan, balkon dan jendela kamar Dominic kini ditambahi teralis besi, semakin membuatnya terpenjara sepenuhnya. Sejak keluar dari rumah sakit, ia tahu... semua telah berubah. Ia tak bisa lagi menatap Dominic seperti sebelumnya. Kini hanya ada rasa takut dan ketidakberdayaan ketika bersamanya. Dokter Eleanor telah memberinya banyak petuah agar Ia tetap bertahan untuk dirinya sendiri. Dan Ia akan berusaha untuk tidak kalah pada keadaan seperti dulu. Ia duduk di kursi membaca buku mencoba mengusir rasa jenuh yang mulai menghampiri. Pintu kamar itu telah dikunci rapat dan dijaga ketat oleh dua bodyguard. Pintu kamar tiba-tiba terbuka, Dominic datang dengan langkah penuh intimidasi, memindai keadaan Amethyst dengan tajam. "Kau tidak tidur," ucap Dominic memecah keheningan. Amethyst menutup bukunya dengan kasar. Matanya dipenuhi kebencian ketika menatap pria itu. "Apa kau kehilangan kosa kata
Di ruang konsultasi rumah sakit, Dominic duduk menyilangkan kaki merasa dingin di hatinya menunggu penjelasan tentang keadaan Amethyst.Di hadapannya, dokter Eleanor, spesialis kejiwaan memaparkan kondisi Amethyst secara profesional dan juga simpati."Tuan Blackwood," ujar dokter Eleanor pelan. Ia membuka hasil evaluasi yang ia pegang sedikit gentar dibawah tatapan Dominic yang menusuk."Setelah observasi yang kami lakukan terhadap keadaan nona Amethyst, kita bisa melihat kalau beliau mengalami depresi berat dan beberapa tingkahnya mengarah ke bipolar. Kondisi itu bisa muncul ke permukaan jika beliau berada pada tingkat stress yang cukup tinggi."Dominic terdiam mendengar penjelasan yang terasa menusuk. Rasa bersalah mulai menggelayutinya. Namun, egonya mengatakan hal lain. "Dengan ini, Amethyst pasti akan bergantung padaku sepenuhnya," pikirnya. "Apa penyebabnya?" tanya Dominic sedikit tegang, walau ia sudah tahu jawabannya. Dokter Eleanor menghela napas, meletakkan kedua tanganny
Ruangan minimalis bergaya etnik itu diisi oleh Dominic dan Ayah besar yang tengah duduk santai dengan kopi hitam di meja. "Bagaimana dengan proyek terbaru yang kuserahkan padamu?" Suara berat itu bertanya santai. Dominic memutar pena yang ia pegang dengan pandangan kosong. "Semua berjalan lancar." Nada bicaranya bahkan terdengar datar tanpa emosi. Mata tua Fernaldi tentu tak melewatkan detail kecil ini. "Gadis itu membuat suasana hatimu jelek rupanya." Mata Dominic berkilat mendengarnya. Ia menegakkan tubuh untuk menatap Fernaldi yang tampak menyeringai. "Itu urusanku," tekannya. "Kalau kau membuat keributan karena dia...," Fernaldi bangkit, memberikan sedikit tekanan untuk Dominic. "Kau tau kalau aku bukan orang yang berbelas kasih, Dominic." Dia menepuk bahu Dominic sebelum meninggalkan ruangan. Tatapan Dominic menggelap. Pena yang semula ia mainkan kini telah menjadi dua bagian akibat amarahnya. Ketika akan pergi, Ethan sudah menunggunya sambil bersandar di pintu, bersi
Setelah selesai makan siang, Ethan membimbing Amethyst untuk kembali ke ruangan Dominic tanpa mengatakan apapun. Amethyst berjalan diam disampingnya dalam keheningan. Kemudian ia teringat dengan perkataan ambigu yang sering diucapkan padanya. “Ethan,” panggilnya pelan. Namun, Ethan yang peka langsung menoleh tanpa menghentikan langkahnya. “Ya?” Amethyst merasa ragu sejenak. “Kau pernah bilang … aku bisa menghubungimu kalau butuh bantuan. Apa alasan kau mengatakan itu padaku?” Hening sejenak, kala Ethan mulai melambatkan langkahnya. “Kau terlihat mandiri dan kuat walau keadaan memaksamu untuk menggila." Amethyst mengerutkan kening. “Jadi, kau merasa kasihan padaku begitu?” "Anggap saja seperti itu." ucap Ethan cuek mendahului Amethyst. Seolah tak ingin memberitahu lebih. Langkah Amethyst terhenti. Ia tertegun menatap punggung Ethan yang makin menjauh. Namun, ia mulai mengejar Ethan dan memberanikan diri untuk bertanya hal lain yang sejak dulu mengganggu pikirannya. “Ethan
Dominic menggenggam tangan Amethyst erat setelah sampai di pelataran kantor Onyx Horizon yang terlihat menjulang. Amethyst merasa sedikit tak nyaman dengan pandangan para pegawai yang memandang keduanya penasaran. Sesekali, ia melihat baju yang ia pakai. Memastikan pakaiannya sopan dan rapi ketika mereka berjalan di lobi ditemani seorang asisten laki-laki yang berjalan dibelakangnya. Dominic menuntun Amethyst masuk ke lift dan menekan tombol ke ruangannya. “Seharusnya kau tidak perlu sejauh ini," gerutu Amethyst pelan sedikit merajuk. Ia tersenyum sungkan pada asisten Dominic yang nampak sopan dan menundukkan pandangan. Dominic menatapnya sekilas. “Kau ingin bekerja bukan? Jadi, inilah pekerjaan mu. Menemaniku kemanapun aku pergi," ucapnya dengan enteng. Amethyst berdecak, merasa kesal dengan keputusan Dominic. Lift berdenting ketika sampai di pantai tujuan. Amethyst terkagum melihat interior kantor yang modern dan khas anak muda. Sama seperti di bawah, para pegawai di sini jug
Ketika Dominic memasuki kamar, ia melihat Amethyst yang tidur meringkuk membelakanginya. Dia langsung melenggang ke kamar mandi meski tau kalau Amethyst hanya berpura-pura tidur. Setelah beberapa saat, Dominic keluar dengan keadaan segar dan hanya mengenakan celana pendek. Merebahkan diri di ranjang dan memeluk Amethyst dari belakang. "Aku tau kau menguping, sayang," ucap Dominic berbisik. Namun, mengejutkan Amethyst. Dominic semakin memeluk Amethyst erat seolah mencari kekuatan. "Kau ingat sedikit cerita tentang kematian ibuku, bukan?" Perlahan, nafas Dominic semakin memberat. "Kecelakaan itu adalah konspirasi yang dibuat ayahku untuk memanipulasi publik. Ia tak ingin perusahaan terganggu dengan insiden bunuh diri yang dilakukan istrinya." "Sejak aku kecil, aku selalu melihat ibuku yang diperlakukan tidak adil. Semua jenis kekerasan fisik dan verbal ia terima. Hingga akhirnya memilih menyerah." Dominic mengelus rambut Amethyst yang mulai terisak. "Itu belum seberapa dibandi
Aiden menyusuri jalan sempit diantara gedung tua yang terbengkalai. Dengan bantuan cahaya bulan yang remang-remang, dia berjalan waspada. Setelah beberapa lama, ia sampai di sebuah rumah tradisional yang tampak kumuh diterangi lampu pijar. Satu tangannya meraih handgun yang ia sembunyikan dibalik jaket hitamnya sementara ia mengetuk pintu pelan. Menunggu sejenak, ia kemudian masuk ke dalam disambut seorang wanita muda yang duduk dibalik meja resepsionis. "Tuan Aiden?" tanya wanita itu memastikan. Dibalas anggukan oleh Aiden. "Mari ... Ibu sudah menunggu di dalam."Aiden dibimbing masuk ke sebuah pintu yang terhubung ke lorong panjang dengan banyak pintu yang terlihat dihuni. Hingga akhirnya, mereka berhenti di sebuah pintu besar tepat di ujung. "Ibu, Tuan Aiden sudah datang," katanya setelah mengetuk pintu. Tak lama terdengar sahutan dari dalam dan wanita itu menunduk pamit pada Aiden mempersilakannya masuk. Ketika Aiden masuk, aroma bunga yang menyengat bercampur asap rokok lan
Pagi itu, setelah sarapan Dominic membawa seorang wanita yang dikenal sebagai dr. Eleanor datang ke rumah untuk sesi konseling seperti yang ia janjikan pada Amethyst. "Kenalkan, aku Eleanor. Panggil saja begitu," ucap dr Eleanor dengan senyum ramah dan hangat. "Ah, ya ... Aku Amethyst. Mohon bantuannya." Walau merasa sedikit canggung, tapi ia lega melihat senyum yang dipancarkan wanita paruh baya itu. Dominic merangkul pundak Amethyst dan mencium keningnya tanpa ragu di depan dr Eleanor. "Aku akan berada di ruang kerja. Beri tahu aku kalau kau merasa tak nyaman."Amethyst tersenyum malu melirik keberadaan dr Eleanor yang terlihat biasa saja. "Oke ... pergilah." bisiknya.Dia mengusir Dominic pelan mencoba menyembunyikan wajahnya yang bersemu. Bisa-bisanya pria itu menciumnya dihadapan orang lain. "Sepertinya, hubungan kalian cukup harmonis," kata dr Eleanor tertawa pelan. "Seperti itulah," Jawab Amethyst sekenanya. "Mari, silakan kita ke ruangan baca saja.""Tentu."---Dominic
Hari ini Amethyst bangun lebih pagi disaat suasana di luar masih gelap. Ia mencoba bergerak melepaskan belitan tangan Dominic."Domi, aku butuh ke kamar mandi," katanya pelan"Baiklah, sebentar saja." Dominic mengalah dan melepaskannya. Amethyst mengunci pintu kamar mandi sambil menghela nafas panjang. Pikirannya yang bercabang membuatnya sulit untuk tidur lelap. Ia duduk di kloset yang tertutup, menatap ubin yang dingin. "Apakah ini sudah tepat?"Amethyst menggumamkan kalimat itu berulang-ulang di kepalanya. Ia merasa, kembali bersama Dominic adalah keputusan salah dan yang terbaik disaat yang bersamaan. Amethyst terlonjak ketika mendengar suara Dominic dari balik pintu. "Sayang, kau baik-baik saja?" tanya Dominic terdengar dengan sedikit tekanan. "I-ini ... aku akan segera keluar." Gegas, Amethyst mencuci wajahnya untuk menutupi jejak kegelisahan. Ia mengatur nafas sebelum membuka pintu secara natural. Dominic berdiri tegak dibalik pintu kamar mandi bertelanjang dada. Meskipun