Meja makan melingkar yang memiliki hidangan berbagai macam makanan mahal khas barat dan timur benar-benar menggugah selera.
Zafir duduk tepat di samping Arjuna, sementara Evelyn berada di tengah-tengah Naura dan Zafir. Saat suasana kembali normal, Naura dan Zafir fokus berdiskusi dengan Arjuna, Evelyn adalah satu-satunya pihak yang tidak mengerti mengenai topik pembicaraan mereka. Wanita itu hanya mendengarkan sambil menyantap makan malamnya. Di tengah situasi itu, Evelyn hendak memotong daging steak pilihannya. Wanita itu mengerutkan keningnya bingung saat pelayan memberikannya garpu dan pisau, adegan ini disadari oleh Arjuna. Naura yang juga peka dengan ke mana Arjuna menatap, dengan cepat ikut memperhatikan Evelyn. Naura menghela napas tipis, sepertinya Evelyn kesulitan menggunakan pisau dan garpunya untuk memakan steak. Sederhana, namun bisa menjadi kejanggalan besar. Bagaimana mungkin sepupu dari seorang Nyonya Wajendra tidak bisa menggunakan garpu dan pisau untuk menyantap steak mereka? "Tuan Renjana, saya dengar perusahaan tambang yang sebelumnya anda pegang sukses besar dan berhasil membagikan dividen tinggi untuk para investor? Pertama kali mendengar kabar ini saya geleng kepala karena takjub!" Naura berusaha mengalihkan perhatian Arjuna, kemudian tangan kirinya dari bawah meja diam-diam memberikan kode pada Kate. Kate yang mengerti dengan sigap meminta garpu dan pisau Evelyn sopan, lalu membantu wanita itu memotong daging steak. "Bukankah tangan anda baru saja cedera beberapa hari lalu? Izinkan saya membantu anda untuk memotong steak," ucap Kate, interaksi ini berjalan sukses dan normal. Zafir yang baru menyadari hal ini tidak melakukan apa pun selain menahan tawa, pria itu menganggap Evelyn menggemaskan. Naura yang mengerti setiap raut wajah suaminya pun semakin kesal, karena malam ini Evelyn hampir menghancurkan makan malam bisnis mereka! Setelah Kate memotong steak Evelyn menjadi beberapa bagian kecil, dengan polosnya wanita itu tersenyum dan berkata,"Terima kasih banyak, nona Kate!" Nada yang tidak elegan dan sangat mengganggu. Meskipun tidak ada yang salah dengan kalimatnya, tetapi sekali lagi, peran Evelyn di sini sebagai sepupu Nyonya Wajendra. Sebagai keluarga elite negara, jangankan tertawa dan berbicara, bahkan cara mereka tersenyum juga memiliki ketenTuannya sendiri. Jadi, apa yang dilakukan Evelyn tadi adalah kesalahan yang cukup fatal. "Evelyn, tolong perhatikan gaya bicaramu." Naura menegurnya langsung, kemudian menatap Arjuna kembali. "Maafkan sepupu saya, dia memang sedikit bebas dari yang lainnya, benar-benar ceria." Arjuna hanya mengangguk dan tersenyum, sepertinya pria itu mulai merasakan sesuatu yang janggal. Sementara Evelyn, wanita itu menunduk dalam. Dia sejujurnya tidak mengerti kesalahan apa yang telah ia lakukan sehingga Naura memarahinya. Evelyn mengepalkan kedua tangannya erat di bawah meja diam-diam. Zafir memperhatikan raut lesu Evelyn, sepintas ada perasaan tidak setuju saat Naura bersikap terlalu frontal ke Evelyn di hadapan Arjuna. Zafir menyodorkan garpu steak milik wanita itu, membuat Evelyn mengangkat kepalanya dan menatap Zafir. Di momen ini, Naura tidak bisa berbuat apa pun selain menahan perasaannya sendiri dan tetap berusaha mengalihkan Arjuna agar tidak menyadari interaksi aneh mereka. Di luar dugaan Naura, setelah Zafir memberikan garpu tersebut kepada Evelyn, pria itu segera menatap Naura. "Malam ini tidak terlalu formal, bukan? Tidak perlu terlalu keras." Kedua mata pria itu memancarkan protes besar kepada Naura. Naura terkejut, sepertinya... suaminya sudah gila. Bagaimana bisa pria itu membela wanita lain di hadapan tamu penting? Situasi canggung itu bertambah panas saat Evelyn mulai ikut membalas kalimatnya. "Zafir, jangan salahkan kakak sepupuku seperti itu. Aku memang salah," ucap Evelyn, lalu menatap ke arah Arjuna. "Aku minta maaf kalau membuat suasana makan malam ini menjadi buruk untukmu." Kedua mata wanita itu sedikit berkaca-kaca sehingga membuat siapapun yang melihatnya sekarang pasti akan merasa iba. Naura memejamkan matanya sambil menarik napas tipis. Wanita itu melakukan kesalahan lagi. Dia tidak bisa berbicara dengan sangat santai seperti itu dengan Arjuna. Namun, di luar dugaan siapapun, Arjuna dengan raut wajahnya yang dingin itu menatap Evelyn datar. "Sejujurnya saya ingin bertanya, apa keluarga Tirta tidak pernah mengajari Nona Evelyn sopan santun?" Suasana menjadi hening seketika, Zafir dan Naura terdiam karena tidak menyangka Arjuna sama sekali tidak memasang basa-basi palsu dan berterus terang menyatakan apa yang ia rasakan. Wajah Evelyn pun memerah, kedua matanya sedikit terbelalak, dia... tidak tahu harus menjawab apa. Momen ini tentu membuat Zafir segera angkat bicara meskipun sebelumnya ia sempat terdiam. "Evelyn adalah anak yang jarang bergabung dengan perkumpulan resmi atau pun semi-resmi seperti ini. Dia terbiasa menerima pembelajaran privat dan jarang menampakkan wajahnya ke media, mohon pengertiannya Tuan Renjana." Bibir Zafir tersenyum, sedangkan tatapan mata Arjuna belum berubah. Arjuna mengangguk singkat, lalu matanya melirik Naura. "Bagaimana dengan anda, Nyonya Wajendra? Bukankah sikapnya yang seperti ini adalah tanggung jawab anda?" Naura yang tadinya fokus menatap makanan selama Zafir dan Arjuna berbincang, akhirnya mengangkat pandangannya untuk menatap Arjuna. Kedua tatapan penuh rasa acuh dan dingin itu kembali bertemu. Naura tersenyum tipis. "Setiap anggota keluarga Tirta akan memikul tanggung jawab hidupnya masing-masing setelah beranjak dewasa. Mohon maaf, Tuan Renjana. Sepertinya kalimat anda keliru." Arjuna menatap Naura sedikit lebih intens, jawaban menarik Naura membuat ekspresi keras Arjuna sedikit berubah menjadi ekspresi yang sulit untuk dijelaskan. Di tengah situasi ini, Evelyn tiba-tiba kembali berbicara, membuat seluruh mata jatuh padanya. "Tuan Renjana, tolong jangan menekan sepupu saya seperti itu. Kak Naura... Dia... Tidak bersalah." Evelyn mengerutkan keningnya, kedua matanya sedikit berkaca-kaca, raut wajahnya sangat menggambarkan penyesalan. "Menekan?" tanya Arjuna, alis kirinya sedikit terangkat. Naura yang melihat ini menghela napas tipis diam-diam, sepertinya... Evelyn kembali menginjak langkah yang salah lagi dalam berbicara. Naura diam-diam sedikit merasa gelisah, bagaimana jika Arjuna tersinggung dan membatalkan kerjasama mereka? Oh... Tuhan.... "Evelyn, lanjutkan makanmu. Tidak baik berbicara terlalu banyak saat sedang menyantap hidangan." Naura segera mengambil langkah pencegahan agar wanita itu tidak terlalu banyak berbicara. Kemudian dia menatap Arjuna untuk kembali tersenyum dan berkata, "Maaf telah mengganggu anda makan, silahkan lanjutkan. Sepupu saya memang masih berjiwa muda, dia belum terlalu mengerti." Zafir melirik ke arah Evelyn untuk memastikan raut wajah wanita itu, saat mengetahui bahwa Evelyn memasang raut wajah sedih, Zafir segera menatap Naura dan diam-diam melempar kode untuk berkomunikasi tanpa Arjuna sadari. Zafir terlihat tidak terima dengan apa yang Naura katakan, oleh karena itu dia melempar kode yang mengatakan bahwa sebaiknya Naura tidak terlalu berlebihan pada Evelyn. Naura hanya menatap datar suaminya, dia memilih untuk melanjutkan menyantap makanannya. Tetapi, belum sempat ia memasukkan suapan baru, suara Evelyn kembali terdengar. "Apa... Aku benar-benar melakukan kesalahan yang besar sebelumnya?" tanya wanita itu, membuat semuanya kembali menatap Evelyn. Naura mengerutkan keningnya sekilas, apa yang ingin wanita itu katakan dengan nada bicara serta raut wajah seperti itu? "Evelyn, ada apa?" tanya Zafir, hati pria itu tidak bisa tidak merasa iba tiap kali wajah manis Evelyn menampilkan kerutan. Evelyn yang sebelumnya menunduk dalam segera mengangkat pandangannya ke arah Naura, semua orang terkejut saat melihat air mata sudah mengalir deras dari mata Evelyn. "Kakak memang tidak pernah menyukaiku, tetapi... Tidak bisakah untuk berpura-pura di hadapan tamu penting? Kakak selalu memojokkan dan menyalahkanku, aku... Aku selalu salah di mata kak Naura. Aku hanya khawatir dan ingin menjadi saudari yang baik dengan mendukung kak Naura, tetapi... Kakak justru malah memarahiku dan bahkan memojokkan ku?" Evelyn meremas pakaiannya sekeras mungkin, air matanya terus mengalir keluar. Naura terkejut, apa-apaan situasi ini? Mengapa wanita itu tiba-tiba menangis dan menyalahkannya? Naura benar-benar terganggu, dia segera melirik Zafir, tetapi... Pria itu justru terlihat lebih mempercayai wanita itu daripada dirinya. Situasi canggung ini sangat berbahaya, baik untuk bisnis Wajendra atau reputasinya. Tetapi terlambat untuk menghindar, wanita itu sudah menariknya untuk tercebur bersama. Naura menatap dingin Evelyn, dia muak melihat tingkah Evelyn. "Siapa yang mengizinkanmu menangis?" Evelyn tertegun, dia segera menoleh ke arah Zafir untuk meminta pertolongan. Tetapi, mata wanita itu secara tidak sengaja lebih dulu menatap sosok Arjuna. Kegugupan wanita itu bertambah, tatapan Arjuna dan Naura sepertinya cukup untuk menekan perasaannya. "Sudah cukup, Naura. Apa kalian benar-benar akan bertengkar di sini? Naura, kamu adalah Nyonya Wajendra." Di akhir kalimat, Zafir menatap tajam Naura, tak lama kemudian dia beralih menatap Evelyn. "Tidak apa-apa, maafkan Naura, ya..." Zafir mengerutkan keningnya prihatin dan dibalas anggukan kecil oleh Evelyn. Naura menggertakkan giginya diam-diam, Zafir sama sekali tidak memihak padanya, pria itu hanya peduli dengan Evelyn. Naura menggenggam erat pisau dan garpu makannya, dia berusaha menahan emosinya setengah mati. Pandangan matanya menjadi lebih dingin dan jauh tiap kali menatap sosok Zafir yang berusaha menenangkan Evelyn. Tak lama kemudian Naura berusaha mengalihkan pandangannya dari mereka berdua, lalu tak sengaja jatuh di sosok Arjuna. Tanpa diduga, pria itu juga menatap ke arahnya. Kedua mata mereka untuk yang kesekian kalinya bertemu, Naura segera menarik pandangannya dan memilih melanjutkan makannya, suasana makan malam pun berlangsung canggung hingga akhir.Brak!! Naura menutup kasar pintu kamarnya, kali ini ia tidak bisa membendung emosinya. Dia melepas seluruh perhiasannya dengan kasar, membantingnya ke meja rias, tidak peduli apakah akan hancur atau tidak. "Naura!" Zafir mengikutinya ke kamar, pria itu tidak mengerti mengapa istrinya menjadi sangat marah setelah kepergian Arjuna. Ia membuka pintu cepat dan menutupnya kembali, lalu menatap heran Naura dari ambang pintu. "Apa yang membuatmu menjadi semarah ini?" tanya Zafir, wajahnya menunjukkan perasaan frustasi. Pria itu merasa lelah sekarang. Naura menatap tajam suaminya, kemudian menunjuk Zafir dengan jari telunjuknya. "Wanita itu, apa yang--!" "Jangan salahkan Evelyn! Wanita itu tidak bersalah, aku lah yang mengajaknya untuk ikut!" Zafir memotong kalimat penuh amarah Naura, membuat Naura mengerutkan keningnya semakin kesal. "Aku juga tidak bermaksud untuk menyalahkan wanita itu, hanya--!" Saat Naura mencoba kembali bicara, Zafir sekali lagi memotong kalimatnya. "Ben
Keesokan harinya, seperti biasa Naura sudah berkutat sibuk di meja kerjanya. Meskipun pikirannya berulang kali kehilangan fokus, Naura selalu mencoba lebih keras untuk tidak memikirkan kejadian kemarin agar tidak mengganggu aktivitas bekerjanya. Setelah semua laporan telah ia baca, serta surat atau dokumen penting lainnya telah dia tandatangani, wanita itu segera menyandarkan punggungnya ke kursi kerja. Perlahan... dia mulai mengingat Arjuna. Naura menghela napas tipis, ada perasaan tidak enak tiap kali dia mengingat Arjuna. Pria itu pasti sama sekali tidak menikmati makan malamnya. Belum lagi saat melihat Evelyn tiba-tiba menangis, astaga... Apakah Zafir masih tidak mengerti juga betapa memalukannya kejadian ini? Naura melirik Kate, lalu berkata, "Kirim nomor Tuan Renjana padaku. ada yang ingin aku bicarakan dengan pria itu." Kate yang sedang duduk di sofa sambil memilah-milah dokumen segera mengangguk dan mencari ponselnya. "Baik, Nyonya." Tak butuh waktu lama untuk me
"Jika seperti itu masalahnya, maka lebih baik menggunakan langkah yang kamu usulkan. Namun, sejujurnya aku sedikit terkejut karena pihak Renjana akan menyerahkan masalah ini pada kita." kata Zafir sambil duduk di kursi kerjanya. Raut wajahnya menunjukkan bahwa ia sedang berpikir serius. Naura mengangguk setuju. "Benar, aku juga berpikir demikian. Aku berpikir mereka akan serakah dan mengisi posisi kosong itu dengan orang-orang dari pihak mereka." Zafir tersenyum tipis. "Itu bagus, berarti kita tidak salah dalam memilih partner bisnis." Naura mengangguk lagi. Di tengah perbincangan mereka, tiba-tiba Zafir terdiam beberapa saat dan memperhatikan wajah Naura. Saat pandangan mereka bertemu, suasana tiba-tiba menjadi canggung. Zafir terbatuk pelan, kemudian tangan kanannya bergerak menarik laci kerjanya dan mengeluarkan kotak perhiasan kecil berwarna merah. Pria itu kemudian berdiri dan berjalan ke arah Naura. "Soal kemarin... Aku minta maaf, itu... Sepertinya aku memang terlalu be
"Evelyn, hati-hati!!" Zafir membantu Evelyn berjalan, wanita itu terlihat sangat lemah dan rapuh. Naura melihat mereka sekilas dari dalam mobil, kemudian mengalihkan pandangannya ke arah iPad yang saat ini ia pegang. Dia mencoba untuk tidak peduli. Tak lama setelahnya, Zafir menyusul ke dalam mobil mereka dan duduk tepat di samping Naura, sementara Evelyn berada di mobil yang berbeda. "Jika kesehatannya benar-benar buruk lebih baik biarkan Evelyn beristirahat di mansion," ucap Naura, kedua matanya masih terpaku pada iPad-nya. Zafir menggeleng pelan. "Wanita itu menolak untuk ditinggal, dan lagi... terlalu mengkhawatirkan jika dia kita tinggal begitu saja." Naura tersenyum tipis dengan dingin. "Kamu mengkhawatirkannya terlalu berlebihan. Wajendra tidak pernah kekurangan pekerja." Zafir menghela napas, "Anggap saja ini menjadi bagian dari menyenangkan perasaannya agar janin-nya ikut sehat." Naura mengangguk-angguk kecil sambil bergumam rendah, "Entah janin atau wanita itu yang
Selama perjalanan menuju tempat peresmian, Naura bersikap normal untuk menanggapi perbincangan para kolega bisnis. Itu dilakukan untuk menjaga profesionalitas, meskipun sejujurnya dia tidak memiliki lebih banyak tenaga lagi setelah bertengkar dengan Zafir. Dari lirikan yang tidak disengaja, Naura menatap Evelyn dan fokus dengan kalung yang dikenakan wanita itu. Keningnya sedikit terlipat, perasaan marah kembali bergejolak di dalam diri Naura. Bagaimana tidak? Wanita itu mengenakan kalung yang sama persis seperti yang ia kenakan? Apa Zafir sungguh membiarkan hal ini terjadi? Naura tidak mempermasalahkan kenyataan bahwa Zafir membelikan kalung Evelyn yang serupa dengannya, tetapi... Bagaimana bisa Evelyn menggunakannya juga di acara ini? Kalung yang mereka kenakan bukanlah kalung berlian dengan harga ratusan juta, tetapi menyentuh miliaran dan tidak banyak orang Indonesia yang memilikinya. Jika Evelyn mengenakannya di depan media itu pasti akan sangat menarik perhatian, akan ada
"Zafir... Sudah cukup, kak Naura sudah menangis." Evelyn beranjak dari tempat tidurnya dan melingkarkan tangannya di lengan pria itu, kedua wajahnya yang sangat manis berusaha menenangkan Zafir. Naura menggertakkan giginya, menjijikan. Bagaimana bisa dirinya dikasihani oleh Evelyn? Lagi pula, Naura belum meneteskan air matanya satu titik pun. "Kamu mencintainya?" Kedua mata dingin Naura menatap Evelyn datar. Evelyn terlihat sedikit terkejut dengan pertanyaan Naura, wanita itu segera menundukkan kepalanya dalam dan melingkarkan tangannya lebih kuat di lengan Zafir. "Iya... Aku... Mencintai Zafir." Dia memberi jeda sedikit untuk kemudian menambahkan,"Tetapi bukankah Zafir juga mencintaiku?" Kepalanya mendongak untuk menatap Zafir. Naura mengepalkan kedua tangannya lebih erat, matanya langsung tertuju pada Zafir. Zafir terlihat rumit sekarang, pria itu menatap Naura dengan tatapan yang tidak biasa, seolah ada beban berat di pundaknya. "Bagaimana denganmu? Kamu mencintai E
Suara pria dewasa terdengar, Naura dengan cepat berhenti dari isak tangisnya dan menoleh ke sana kemari untuk mencari sumber suara. Jika ada yang melihatnya menangis itu akan sangat merepotkan. "Angkat kepalamu." Suara itu kembali terdengar, membuat jantung Naura berdebar sangat kencang. Jadi... benar dia ketahuan menangis?! Naura mendongak cepat ke atas, kedua matanya terbuka lebar ketika melihat sosok Arjuna yang berdiri di balkon tepat di lantai atasnya. Seketika kedua mata mereka bertemu, mata hijau emerald yang dingin dan mata coklat musim gugur yang hangat. "Akhirnya kamu berhenti," ucap pria itu, membuat Naura mengerutkan keningnya. Akhirnya dirinya berhenti? Memangnya sudah berapa lama pria itu memperhatikannya menangis?! Naura dengan cepat berdiri, terburu-buru mengelap sisa air matanya. "Sejak kapan anda berada di situ?" Nada bicara Naura terkesan sedikit galak. Kening Arjuna sedikit terlipat. "Kamu menangis seperti orang bodoh." Bukannya menjawab, pria itu justru mele
"Aku bercanda," ucap Arjuna setelah sebelumnya membuat Naura terpaku pada sosok pria itu. Melihat raut wajah Naura yang datar, Arjuna mengerutkan keningnya. "Oh... Kau sungguh memiliki masalah dengannya?" Naura yang mendengar ini hanya menghela napas tipis, ternyata pria itu hanya asal menebak. Naura kemudian berjalan melewati Arjuna dan berhenti di dekat pembatas rooftop, kedua matanya memperhatikan hamparan bintang. Arjuna menyusul, pria itu kemudian berdiri tepat di samping Naura. "Kamu bisa membaca bintang?" "Panggil aku Nyonya Wajendra, Tuan Renjana," balas Naura acuh. Arjuna mengangkat kedua bahunya acuh. "Mengapa tidak kamu saja yang memanggilku Arjuna?" Naura mengerutkan keningnya kesal untuk menatap Arjuna. "Mengapa anda terus mengganggu saya? Saya tidak pernah memiliki interaksi apapun dengan anda sebelumnya." Arjuna menaikkan alis kirinya, kemudian memindahkan tatapannya ke arah langit. "Aku mengganggumu? Kamu lah yang menggangguku. Mata bengkak dan riasan