Keesokan harinya, Naura sibuk bekerja di ruang kerja.
Setelah menandatangani semua dokumen, wanita itu menyandarkan punggungnya ke kursi dan menghela napas.
Dia masih terganggu dengan acara makan malam yang berakhir memalukan kemarin.
Sembari dipenuhi rasa canggung, Naura mulai melakukan panggilan ke nomor Arjuna yang baru saja ia minta dari Kate.
Tak kemudian, suara berat dari Arjuna terdengar di telinganya.
"Halo.”
Naura mengepalkan kedua tangannya. "Selamat sore, Tuan Renjana. Saya Naura Wajendra. Apakah telepon dari saya mengganggu waktu berharga Anda?".
"Nyonya Wajendra? Tidak. Apa ada hal yang ingin anda bicarakan?" tanya pria itu berterus terang.
"Ah ya. Sebenarnya, secara pribadi saya ingin meminta maaf terkait pengalaman tidak mengenakkan yang terjadi saat makan malam kemarin, Tuan Renjana. Saya harap Anda tidak menyimpannya dalam hati,” ujar Naura dengan lancar meski jantungnya sudah berdegup dengan tempo yang tidak nyaman.
“Mengenai masalah itu, tidak perlu dirisaukan, Nyonya Wajendra. Saya sama sekali tak mempermasalahkannya.” Arjuna menjawab tanpa menunjukkan ekspresi sama sekali.Hal itu membuat Naura kesulitan untuk menerka-nerka mengenai perasaan Arjuna yang sebenarnya.
Namun, Naura pikir tanggapannya sangat baik.
Itu berarti, rumor mengenai ketajaman lidah keluarga Renjana sama sekali tidak terbukti.
“Begitu. Saya sangat senang karena Anda berpikir demiki–”
“Namun, sebaiknya Anda tidak membawa orang lain ke pertemuan penting mana pun, Nyonya. Apalagi kalau orang itu tak punya tata krama”.
Naura tertohok. Ternyata rumor itu benar adanya.
"Saran Anda sangat saya hargai, Tuan Renjana. Terima kasih banyak. Kalau begitu, saya mohon izin untuk menutup–"
“Nyonya, kebetulan sekali..”
Arjuna lagi-lagi memotong perkataan Naura hingga membuat wanita itu menggeram dalam hati.
Tidak sopan!
“Berhubung tuan Zafir sulit dihubungi, sebaiknya saya menyampaikan ini pada Anda." suara Arjuna membuat Naura mengerutkan kening.
"Saat ini jumlah pelamar untuk pekerjaan kantor membludak, tetapi ternyata belum ada pelamar yang sesuai dengan standar kita." Arjuna dengan tenang menjelaskan situasi bisnis mereka.
"Benar, Tuan Renjana. Saya mengerti, karena kebetulan saya memang sedang membicarakan masalah ini dengan suami saya. Untuk solusinya sudah kami temukan dan akan saya pastikan Zafir akan menyampaikannya pada Anda sesegera mungkin."
Pandangan mata Naura mendingin kembali mengingat perlakuan Zafir kali ini.
Setelah makan malam yang gagal kemarin, bagaimana bisa dia mengabaikan project penting mereka dengan Arjuna? Apa alasannya karena Evelyn?
Setelah percakapannya dengan Arjuna terputus, Naura langsung meletakkan ponselnya sebelum memijat keningnya pelan.
"Kate, di mana Zafir?"
"Saya tidak yakin di mana beliau berada, Nyonya. Apa saya perlu mencarinya?” jawab Kate. Berkas di tangannya segera ditinggalkan dan mulai beranjak berdiri.
Namun, Naura menggeleng sebelum kemudian berjalan keluar dari ruangan kerjanya. "Tidak perlu, biar aku sendiri yang menemuinya."
Di tengah rasa malu dan kesal yang Naura rasakan, dia bertemu dengan Zafir dan Evelyn yang tengah berjalan ke arahnya di lorong mansion.
Wanita itu terlihat menggandeng manis lengan suaminya dengan senyum bahagia yang terlihat kekanakan, sedangkan kedua mata mereka saling bertemu.
Naura langsung merasa menjadi orang asing yang masuk ke hubungan orang lain, meskipun ia tahu Zafir adalah suaminya.
"Zafir."
Panggilan Naura membuat Zafir dan Evelyn tersadar dan berhenti berjalan untuk menatap ke arah Naura.
Diam-diam Naura berdecak melihat sorot mata Evelyn yang langsung berubah menjadi ketakutan saat melihatnya.
Bahkan wanita itu mundur selangkah dan menggenggam lengan Zafir lebih erat.
Naura merasa terganggu karena suaminya malah asyik menempel pada wanita lain dan mengabaikan telepon dari klien penting mereka.
Terlebih, saat mata Naura dan Zafir bertemu, Naura sama sekali tidak dapat merasakan kehangatan dan rasa cinta yang selalu pria itu tunjukkan selama hampir tujuh tahun belakangan.
Zafir seakan bertransformasi menjadi orang lain.
"Ada apa?" Suara Zafir terdengar dingin.
Naura benar-benar dapat merasakan jarak yang sangat jauh dengan suaminya sekarang.
"Tuan Renjana baru saja menyampaikan pesannya padaku untukmu," ucap Naura dengan wajah yang tak kalah dingin.
Di luar dugaan siapapun, kalimat ini sukses membuat raut wajah Zafir berubah sedikit tidak bersahabat.
"Untuk apa pria itu menyampaikannya lebih dulu padamu? Bukankah seharusnya dia langsung menghubungiku?" tanya Zafir lagi dengan alis-alis yang mulai menyatu.
"Itu karena kamu tidak bisa dihubungi. Dia mengeluh soal rekrutmen pekerja bagian kantor," jawab Naura. Emosinya kembali tersulut saat mengatakan hal ini.
Kedua sudut alis Zafir yang tadi merapat kini mulai kembali normal, wajah pria itu sedikit melunak dan menoleh ke arah Evelyn.
“Zafir.”
"Kamu bisa kembali lebih dulu, aku masih memiliki beberapa urusan penting dengan Naura."
Naura kembali terganggu, untuk apa Zafir meminta izin dan menjelaskan urusannya kepada wanita itu yang notabene adalah orang asing? Terlebih urusan itu adalah dengan dirinya dan bisnis keluarga mereka.
Namun, Naura menolak untuk memperpanjang masalah di tengah situasi yang menyebalkan ini. Oleh karena itu, dia hanya diam dan memperhatikan interaksi memuakkan mereka.
Evelyn mengangguk lemah, kemudian wanita itu pergi tanpa menyapa Naura sama sekali. Perilaku Evelyn yang bagai boneka porselen tanpa didikan tampaknya membuat Kate merasa kesal dan hendak menegur.
Namun, Naura telah lebih dulu melempar kode kepada Kate untuk tidak berbuat apa-apa.
"Ayo ke ruang kerjaku," ujar Zafir setelah Evelyn pergi.
Mereka pun akhirnya berjalan beriringan dalam diam menuju ruang kerja Zafir. Di sepanjang jalan, Naura tak hentinya melamuni adegan Zafir dan Evelyn yang terlihat sangat bahagia sebelumnya.
Mengapa rasanya kini dialah orang asing di mansion ini?
"Jika seperti itu masalahnya, maka lebih baik menggunakan langkah yang kamu usulkan. Namun, sejujurnya aku sedikit terkejut karena pihak Renjana akan menyerahkan masalah ini pada kita." kata Zafir sambil duduk di kursi kerjanya. Raut wajahnya menunjukkan bahwa ia sedang berpikir serius. Naura mengangguk setuju. "Benar, aku juga berpikir demikian. Aku berpikir mereka akan serakah dan mengisi posisi kosong itu dengan orang-orang dari pihak mereka." Zafir tersenyum tipis. "Itu bagus, berarti kita tidak salah dalam memilih partner bisnis." Naura mengangguk lagi. Di tengah perbincangan mereka, tiba-tiba Zafir terdiam beberapa saat dan memperhatikan wajah Naura. Saat pandangan mereka bertemu, suasana tiba-tiba menjadi canggung. Zafir terbatuk pelan, kemudian tangan kanannya bergerak menarik laci kerjanya dan mengeluarkan kotak perhiasan kecil berwarna merah. Pria itu kemudian berdiri dan berjalan ke arah Naura. "Soal kemarin... Aku minta maaf, itu... Sepertinya aku memang terlalu be
"Hati-hati, Evelyn!!" Suara itu membuat Naura memandang ke luar jendela mobil.Di sana, Zafir terlihat sedang membantu Evelyn untuk berjalan masuk ke mobilnya karena wanita itu terlihat lemah dan rapuh. Naura lalu mengalihkan pandangannya ke arah iPad dan berusaha untuk fokus ke laporan keuangan yang sedang ia analisis.Tak lama setelahnya, Zafir menyusul ke dalam mobil dan duduk tepat di samping Naura. "Sebaiknya Evelyn tetap beristirahat di mansion kalau kesehatannya memburuk" ucap Naura dengan mata yang masih terpaku pada iPad.Zafir menggeleng pelan, "Wanita itu menolak untuk ditinggal. Aku juga khawatir kalau dia ditinggal begitu saja bersama para pelayan."“Begitu? Aku tidak tahu kalau sekarang kamu merangkap tugas sebagai pengasuh ibu hamil”.Zafir menghela napas tanpa mau memperpanjang masalah, "Anggap saja ini menjadi bagian dari menyenangkan perasaannya agar janin impian kita ikut sehat."Naura mengangguk-angguk kecil sambil bergumam rendah, "Entah janin atau wanita itu y
“Bawa Evelyn ke belakang dan lepas kalung yang dikenakan wanita itu”.Kening Naura sedikit terlipat dan perasaan marah kembali bergejolak di dalam dirinya. Bagaimana bisa Evelyn mengenakan kalung yang sama persis dengan yang ia kenakan? Tidak hanya bentuknya yang sama, tapi momen yang dipilih juga sama.Kemunculan Evelyn yang sudah anomali bisa berkembang menjadi skandal besar. Terlebih, kalung yang mereka kenakan juga merupakan kalung seharga miliaran rupiah yang dipesan secara khusus oleh Zafir.Kate lalu bergerak dengan cepat dan membawa Evelyn untuk keluar dari kerumunan. Sosoknya yang tak dikenal oleh wartawan membuat pergerakan mereka menjadi lebih mudah. Kepergian Evelyn dengan Kate membuat segalanya menjadi lebih mudah. Naura tak lagi perlu mengawasi Evelyn dan dapat fokus menjawab pertanyaan para kolega bersama Zafir.Sesampainya di ruang utama, Naura dan Zafir berjalan menyusul Arjuna yang sudah lebih dulu sampai dan menyerahkan gunting pada Naura.Mereka hendak memotong
Naura membuka pintu balkon hotel dah melihat matahari yang sebentar lagi akan terbenam. Saat angin berhembus, bibir Naura tersenyum dengan getir karena dulu Zafir merupakan sosok pria yang sangat manis dan hangat. Dia tidak pernah sedikitpun membiarkan Naura merasa kesepian.Perlahan, air mata mulai keluar tak terkendali sehingga berkali-kali juga Naura menghapus air matanya dengan kasar. "Kamu menangis?”Naura mendongak cepat ke atas, kedua matanya terbuka lebar ketika melihat sosok Arjuna yang berdiri di balkon tepat di lantai atasnya. "Akhirnya tangisanmu berhenti," Ucapan Arjuna membuat Naura mengerutkan kening, memangnya sudah berapa lama pria itu memperhatikannya menangis?!"Sejak kapan Anda berada di situ?" Nada bicara Naura terkesan sedikit galak.Kening Arjuna sedikit terlipat. "Dari tadi. Aku mendengar kamu menangis seperti orang bodoh." Bukannya menjawab, pria itu justru melemparkan kalimat pedas."Siapa yang Anda bilang bodoh?" tanya Naura lagi, dia mulai kesal. Lagi
"Aku bercanda," Arjuna berkata santai setelah sebelumnya berhasil membuat Naura terpaku seperti orang bodoh. Naura yang mendengar ini hanya menghela napas tipis, ternyata pria itu hanya asal menebak sedangkan ia sudah berpikir terlalu jauh."Oh, itu berarti kau sungguh memiliki masalah dengannya?" kini Arjuna menaikkan alis kirinya dan bibirnya menunjukkan seringai tipis. Tampaknya ia senang menggoda wanita itu.Naura mendengus sebelum kemudian berkata lagi dengan nada datar. "Panggil saya Nyonya Wajendra, Tuan Renjana," balas Naura acuh. “Karena kita tidak seakrab itu”.Arjuna mengangkat kedua bahunya acuh. "Mengapa tidak kamu saja yang memanggilku Arjuna? Kita bisa menjadi akrab".Naura mengerutkan keningnya kesal untuk menatap Arjuna. "Mengapa Anda terus mengganggu saya? Saya tidak ingat pernah memiliki interaksi kasual apapun dengan Anda sebelumnya."Arjuna menyatukan kedua alisnya lagi, “Kamu lah yang menggangguku, Nyonya Wajendra. Mata bengkak dan riasan berantakan milikmu itu
Di hari terakhir mereka di Kalimantan, Arjuna dan Zafir berjabat tangan sebagai tanda kerja sama.Setelah itu, mereka kembali ke posisi semula dengan Naura berdiri di tengah.Arjuna lalu mencondongkan tubuhnya ke arah Naura dan berbisik, "Ganti sepuluh kali lipat kalau sapu tanganku hilang."Naura mengerutkan alis sekilas sebelum mengangguk tanpa mengubah ekspresi wajahnya sama sekali–masih tersenyum.Baru kemudian, setelah tiba gilirannya untuk berjabat tangan dengan Arjuna, Naura menggenggam erat tangan pria itu hingga membuat si empunya tangan mengerutkan dahi.Namun, tanpa diduga, Arjuna membalas perlakuan Naura dengan menggenggam tangan Naura sama eratnya!Zafir yang sadar langsung menampilkan raut wajah yang tak senang. Oleh karena itu, dengan segera dia mengulurkan tangannya ke arah Naura hingga membuat wanita itu menoleh."Sayang?"Naura lantas melepaskan tangan Arjuna dan membalas uluran tangan Zafir yang langsung merangkul pinggang Naura sambil menatap dingin ke arah Arjuna
“Apa?”“Kamu tidak salah dengar, Naura. Aku akan menyetujui permintaan perceraianmu itu, tapi kamu harus pergi bersama kami ke Amsterdam lusa.” kata Zafir.“Kamu gila!” Naura mundur beberapa langkah sebelum kemudian memegangi kepalanya yang kini berdenyut dengan satu tangan.“Ya. Akun memang gila setelah mendengar keputusanmu yang hendak bercerai dariku, Naura. Selain menjadi sarana pemulihan yang baik untuk Evelyn, kepergian kita ke sana juga akan membuatku membuktikan kalau posisimu tak tergantikan untukku”.Setelah percakapannya dengan Zafir, Naura kembali ke ruangannya untuk kembali bekerja. Namun, pikirannya sama sekali tidak fokus. Naura malah kembali memikirkan syarat perceraiannya dengan Zafir yang membuatnya sakit kepala.Pria itu sepertinya memang sudah gila karena Evelyn.Sambil menghela napas, Naura teringat dengan kalung kembar yang diberikan oleh Zafir untuk dirinya dan Evelyn yang saat ini masih ia kenakan. Dengan kesal Naura melepas kalung itu dari lehernya dan menyi
"Nyonya, perlengkapan anda menuju Amsterdam sudah siap. Apakah Anda ingin membatalkan janji rapat dengan--""Batalkan." Naura memotong kalimat Kate.Sepeninggal Zafir dan perdebatan mereka yang kesekian kali, Naura benar-benar tidak memiliki semangat apa pun untuk bekerja atau melakukan rapat, karena mood-nya menurun drastis dan tenaganya terkuras habis."Tolong susun saja jadwalku selama di Amsterdam. Aku tidak mau hanya berdiam diri di villa," jawab Naura sambil sibuk memilih gaun yang akan ia kenakan. "Namun, tidak ada pekerjaan penting yang harus dikerjakan di sana, Nyonya. Anda bisa menikmati waktu Anda di–""Apapun, Kate. Aku akan bersiap sendiri selama kamu sibuk menyusunnya." Naura memotong lagi sambil berjalan ke depan cermin."Baik, Nyonya." ujar Kate dengan pasrah.Wanita itu mengalah karena ia tak akan pernah bisa membantah Naura yang sudah masuk ke dalam mode ngeyel.Satu jam kemudian, Naura sudah selesai bersiap dan telah dijemput oleh Kate untuk bergegas masuk ke dalam
Pagi hari Naura tidak bersiap ke kantor atau butik seperti biasanya, wanita itu kini tengah sibuk mengaduk adonan cheesecake di dapur. Mengingat janjinya pada Ana kemarin, dia dengan senang hati mengabulkan permintaan anak manis yang selalu bergelayut manja padanya. Menunggu kue benar-benar matang sempurna di dalam oven, Naura mencuci tangannya dan meraih ponsel di atas meja. Naura membuatkan kue untuk beberapa orang, tidak hanya Ana. Tetapi untuk itu ia ingin memberi Arjuna sebagai orang pertama yang menerima masakannya. Dua hingga empat panggilan, tak ada satupun yang terjawab. Naura mengerutkan keningnya tipis, tidak biasanya Arjuna mengabaikan panggilannya. "Nyonya, apa... Sisa kue ini bisa saya bagikan ke tuan Damian?" tanya Kate yang juga ikut membantu Naura di dapur. Naura menoleh dan tersenyum. "Tentu saja." Lalu ia teringat kejadian di pantai saat dirinya tengah prewedding. "Kate.""Ya, nyonya?" balas Kate cepat sambil merapikan barang-barang dapur. "Apa hubunganmu de
Naura dan Helena kembali masuk ke dalam, Arjuna masih sibuk menutup mulut Ana yang terus protes. Naura terkekeh, lalu membuka kedua tangannya ke arah Ana. Arjuna yang melihat itu segera melepas Ana, anak itu langsung berlarian ke arah Naura. Naura menggendong Ana kecil yang sangat menggemaskan, lalu kembali duduk di sofa ruang tengah dengan Helena. Tetapi karena dasarnya Ana adalah anak kecil yang sangat aktif, gerakan sembrono anak itu tidak sengaja menjatuhkan tas kerja Naura. Buku resep baking pun terlihat jelas, membuat Helena dan Arjuna merasa tertarik. "Kamu sedang belajar memasak?" tanya Arjuna. Naura menyimpan cepat buku itu ke dalam tas-nya kembali, lalu mengangguk. "Iya, tepatnya baking."Helena tersenyum senang. "Ah... Aku semakin tenang menitipkan putra sulung ku padamu, sayang. Benar-benar calon istri yang sangat perhatian." Wajah Naura sedikit memerah mendengar pujian Helena, lalu dia menjawab,"Ini juga ada keperluan bisnis, bu. Aku tertarik membangun bisnis di b
"Kamu sudah pulang?" tanya Naura, tersenyum ke arah Arjuna. Arjuna balas tersenyum kaku, tidak ada yang menyadari 'suasana aneh' Arjuna kecuali Damian dan Kate. Mereka berdua menahan tawa di dekat pintu, kemudian melangkah keluar untuk melarikan diri dari situasi 'berbahaya'.Arjuna mendekat ke arah Naura dan Rangga, membelah jarak mereka. "Iya, bagaimana pekerjaanmu?" balas Arjuna setelah terbebas dari senyum kakunya. Rangga jadi sedikit menepi, pria itu pun memutuskan untuk kembali duduk. Naura mengangguk tipis. "Baik, bagaimana denganmu?"Arjuna menyentuh pundak Naura lembut, lalu membawanya untuk duduk kembali di sofa ruang tengah. "Aku juga baik," jawab Arjuna. "Bagaimana kondisi Anda, tuan Rangga?" tanya Arjuna, beralih menatap Rangga. Rangga balas tersenyum. "Berkat bantuan Renjana saya baik-baik saja, namun memang tulang kering kaki saya belum begitu sembuh sempurna. Jalan saya masih sangat perlu berhati-hati.""Ke mana tujuanmu saat itu? Kecelakaan seperti kemarin san
Suasana di mobil Naura dan Arjuna hening, wanita itu sibuk menggeser layar iPad-nya untuk memeriksa laporan kantor. Hingga tak lama keheningan itu pecah karena pertanyaan Arjuna. "Jadi pria bernama Rangga itu teman masa SMA milikmu?" Naura menoleh, mengangguk. "Iya, ada apa?""Oh, apa kalian berteman sangat baik?" tanya Arjuna lagi. Naura mengangguk lagi. "Iya, kami berteman sangat baik." Arjuna sekali lagi mengangguk. "Sangat baik sekali, ya?"Naura mulai merasa aneh, bibirnya tersenyum heran. "Iya... Ada apa?"Arjuna menggeleng pelan, lalu kembali fokus menyetir. Naura yang memperhatikan raut wajah Arjuna yang mulai keras pun hanya bisa terkekeh tipis. Ada apa? Apa Arjuna cemburu? Tetapi bukankah pria itu tidak tahu apapun soal Rangga?Naura menyentuh lembut lengan Arjuna. "Kamu baik-baik saja?"Arjuna melirik Naura, mengangguk. "Tentu saja."Naura mengerutkan keningnya, tidak, pria itu berbohong. Jika iya Arjuna terbiasa akan menatap matanya lama. Apa pria itu telah mengeta
Keesokan harinya, Naura bersiap untuk bekerja seperti biasa. Rama bersedia dibantu pelayan lain untuk mandi dan lainnya setelah Naura membujuk lembut anak itu. Sebelum pergi ke kantor atau butik seperti biasa, Naura mengantar Rama terlebih dahulu ke rumah sakit untuk menemui Ayahnya. Naura tidak mungkin membawa Rama ke kantor atau meninggalkan anak yang takut orang baru itu di Mansion. Keputusan paling tepat adalah mengantarkan Rama kembali ke Rangga. Sampai di rumah sakit, Naura menggandeng tangan imut Rama. Anak kecil itu menggenggam erat tangan Naura, bagi orang yang tidak mengetahui kondisinya mungkin akan mengira bahwa mereka adalah ibu dan anak. Saat hendak masuk ke loby utama rumah sakit, dari arah yang berlawanan muncul Arjuna dan Damian. Tetapi ada satu hal yang membuat Naura melipat dalam keningnya, Arjuna menggendong Ana? "Ana?" "Bibi!" Pekik Ana, lalu tak sabaran melepaskan diri dari Arjuna. Ana berlarian ke pelukan Naura, membuat Naura melepas genggamannya pada R
Saat waktu semakin sore, Naura dan yang lain pun memutuskan untuk pulang. Karena Rama kecil tidak mungkin menetap di rumah sakit bersama ayahnya, Naura pun dengan senang hati menawarkan bantuan. Wanita itu akhirnya membawa Rama ke rumahnya. "Mau aku antar?" tawar Arjuna saat mereka melangkah keluar gedung rumah sakit bersama. Naura menggeleng pelan. "Tidak perlu, tidak masalah. Aku bisa bersama Kate, ibu juga pasti lelah dan butuh teman."Arjuna mengangguk mengerti, kemudian mengelus kepala Naura lembut sebelum akhirnya mereka berpisah untuk masuk ke mobil masing-masing. Di dalam mobil Arjuna seperti biasa tak banyak bicara, Helena pun langsung memejamkan matanya untuk beristirahat dan Damian fokus menyetir. Berbeda dengan Naura yang sibuk mengajak Rama bermain dan mengobrol, wanita itu terlihat sangat bahagia saat berinteraksi dengan Rama. Kate berulang kali melirik ke kaca spion untuk melihat ekspresi nyonya-nya yang bahagia, dia harap setelah pernikahan mereka atasannya ini l
"Kalian saling mengenal?" tanya Helena yang langsung menyadari tatapan keduanya. Naura dengan cepat mengangguk dan menarik tatapannya dari pria itu. "Iya, dia teman SMA ku, Rangga. Kami pernah satu kelas dan satu tempat les," jawab Naura. Helena mengangguk mengerti, kemudian duduk di sofa yang menghadap ke ranjang pasien. Naura menyusul dan duduk dengan tenang di samping Helena. "Apa kamu yang menyelamatkan ku?" tanya Rangga, menatap Naura. Naura menggeleng. "Bukan, tapi ibuku. Aku kemari hanya untuk menemaninya."Rangga dengan cepat menatap Helena dan tersenyum canggung. "Maafkan saya, nyonya. Terima kasih banyak telah menolong saya dan putra saya." Helan tersenyum tipis. "Bukan masalah besar, nak Rangga. Jadi benar kalian teman SMA? Ini sebuah kejutan, bukan?"Rangga mengangguk. "Benar, nyonya. Saya teman Naura semasa SMA, kami cukup akrab."Tatapan Rangga berubah sedikit berbeda saat mengatakan ini, kemudian dia melihat Naura lagi yang memangku putranya. "Rama pasti merepot
Naura melangkah masuk ke butiknya, saat pintu dibuka wanita itu telah menyadari satu hal yang berbeda. Tidak ada Hans. "Apa Hans mengambil cuti hari ini?" Naura melirik Kate. Kate menggeleng pelan. "Tidak, nyonya."Naura mengangguk singkat, lalu mempercepat langkahnya menuju ruangannya. Sampai di sana, matanya langsung tertuju pada amplop putih yang tergeletak di atas meja kerjanya. Naura duduk dengan tenang seperti biasa di kursinya, lalu membuka amplop tersebut. Saat melihat pengirimnya adalah Hans, Naura semakin tertarik dan tidak sabaran membacanya. Naura menatap dingin selama membaca isi surat Hans, begitu selesai ia melipat kembali surat tersebut sambil tersenyum tipis. Pria itu mengundurkan diri dan mengakui statusnya yang ternyata adik laki-laki Evelyn. Ternyata kecurigaan Felizia dan prasangkanya kemarin benar. Pria itu meminta maaf atas perbuatan Evelyn padanya di masa lalu, serta dirinya yang tidak segera jujur pada Naura.Hans bersyukur dapat diterima kerja dengan
Setelah tangis Evelyn mereda, Zafir mengajaknya duduk di sofa. Mereka mulai berbincang-bincang ringan. Evelyn menceritakan kondisinya, dia bekerja untuk mendapatkan uang. Tetapi dia tidak menceritakan keluarganya, wanita itu menyebut dirinya sebatang kara. Zafir mendengarkan cerita Evelyn sampai habis, simpati mulai menumpuk di hatinya. "Itu pasti berat untukmu," ucap Zafir. Evelyn mengangguk ringan, bibirnya tersenyum hambar seolah memiliki jutaan luka. "Tetapi... Inilah hidup saya, tuan. Saya--""Panggil saja Zafir jika sedang seperti ini, anggap aku teman ceritamu." Potong Zafir ramah, membuat Evelyn tersenyum dalam. "Kalau begitu Anda juga bisa menyebut saya, Evelyn," balas Evelyn. Zafir mengangguk. "Baiklah, Evelyn."Evelyn terkekeh mendengarkan Zafir menyebut namanya. "Iya, Zafir."Setelah beberapa detik hening, Evelyn pun kembali berbicara. "Sekarang giliran Zafir yang menceritakan hidupnya! Tidak adil jika hanya aku!"Zafir tertawa ringan. "Baiklah... Baiklah...."Evelyn