Suara pria dewasa terdengar, Naura dengan cepat berhenti dari isak tangisnya dan menoleh ke sana kemari untuk mencari sumber suara. Jika ada yang melihatnya menangis itu akan sangat merepotkan. "Angkat kepalamu." Suara itu kembali terdengar, membuat jantung Naura berdebar sangat kencang. Jadi... benar dia ketahuan menangis?! Naura mendongak cepat ke atas, kedua matanya terbuka lebar ketika melihat sosok Arjuna yang berdiri di balkon tepat di lantai atasnya. Seketika kedua mata mereka bertemu, mata hijau emerald yang dingin dan mata coklat musim gugur yang hangat. "Akhirnya kamu berhenti," ucap pria itu, membuat Naura mengerutkan keningnya. Akhirnya dirinya berhenti? Memangnya sudah berapa lama pria itu memperhatikannya menangis?! Naura dengan cepat berdiri, terburu-buru mengelap sisa air matanya. "Sejak kapan anda berada di situ?" Nada bicara Naura terkesan sedikit galak. Kening Arjuna sedikit terlipat. "Kamu menangis seperti orang bodoh." Bukannya menjawab, pria itu justru mele
"Aku bercanda," ucap Arjuna setelah sebelumnya membuat Naura terpaku pada sosok pria itu. Melihat raut wajah Naura yang datar, Arjuna mengerutkan keningnya. "Oh... Kau sungguh memiliki masalah dengannya?" Naura yang mendengar ini hanya menghela napas tipis, ternyata pria itu hanya asal menebak. Naura kemudian berjalan melewati Arjuna dan berhenti di dekat pembatas rooftop, kedua matanya memperhatikan hamparan bintang. Arjuna menyusul, pria itu kemudian berdiri tepat di samping Naura. "Kamu bisa membaca bintang?" "Panggil aku Nyonya Wajendra, Tuan Renjana," balas Naura acuh. Arjuna mengangkat kedua bahunya acuh. "Mengapa tidak kamu saja yang memanggilku Arjuna?" Naura mengerutkan keningnya kesal untuk menatap Arjuna. "Mengapa anda terus mengganggu saya? Saya tidak pernah memiliki interaksi apapun dengan anda sebelumnya." Arjuna menaikkan alis kirinya, kemudian memindahkan tatapannya ke arah langit. "Aku mengganggumu? Kamu lah yang menggangguku. Mata bengkak dan riasan
Arjuna bersandar di dinding marmer gedung yang saat ini mereka jejaki, posisinya berada di area lantai keluarga Wajendra. Setiap kali petugas lewat, mereka terkejut. Tidak ada yang bisa menebak mengapa seorang Arjuna Renjana berdiri bermenit-menit di lantai tersebut. Begitu pintu lift terbuka dan menampilkan sosok Naura yang keluar dengan mata sembab, pria itu mengembalikan postur berdiri dan menatap Naura. Sosok Arjuna berhasil memecah lamunan Naura, wanita itu menatap terkejut ke arah Arjuna seperti petugas lainnya. Mengapa ada Arjuna di area Wajendra? "Apa yang anda lakukan di sini?" tanya Naura, dia lupa bahwa kondisi wajahnya saat ini sedang sangat sembab. Tidak membalas pertanyaan Naura, Arjuna justru malah bertanya balik. "Apa yang kamu lakukan di sana? Aku menunggu lebih dari lima belas menit di sini seperti orang bodoh." Naura mengerutkan keningnya. "Menunggu saya? Untuk apa?" Arjuna terdiam sejenak saat pertanyaan itu terlontar ke arahnya. Benar juga, untuk apa? U
Naura berdiri tepat di samping Zafir. Hari ini adalah hari terakhir mereka di Kalimantan dan akan kembali ke Jakarta. Sebelum berangkat ke bandara, seperti biasa mereka harus menghadapi lautan wartawan. Arjuna dan Zafir saling berjabat tangan dan tersenyum ke arah kamera, sementara Naura berdiri tidak jauh dari Zafir, wanita itu seperti biasa akan selalu tersenyum dimanapun kamera wartawan menyorot. Saat adegan berjabat tangan kedua pria itu usai, Zafir dan Arjuna kembali ke posisi semula, sejajar dengan Naura. Zafir melingkarkan lengannya di pinggang Naura, mereka terlihat sangat mesra. Sementara Arjuna, pria itu hanya fokus menatap kamera. Saat Zafir dan Naura akhirnya akan masuk ke dalam mobil, adegan berjabat tangan terakhir pun dimulai. Zafir dan Arjuna kembali berjabat tangan, kemudian beralih ke Naura. Arjuna menatap wajah wanita itu yang terlihat sangat baik-baik saja, tidak seperti orang yang gemar menangis. Arjuna sedikit mencondongkan tubuhnya ke Naura untuk berbis
Raut wajah Ronald semakin buruk, rahang pria itu mengeras karena menahan emosi. Naura duduk tegang di sofa, kepalanya tertunduk, wanita itu siap untuk menerima kemarahan kakaknya. "Aku mengetahui kesalahanku, maafkan aku." Nada bicara Naura terdengar pasrah, kedua tangannya diam-diam mengepal erat. Ronald adalah kakak tiri Naura, mereka berdua memiliki ibu yang berbeda. Ronald terkenal dengan sifatnya yang tegas dan keras, persis seperti almarhum ayah mereka. "Apa maafmu akan membuat jutaan surat kabar dan siaran media lainnya lenyap?" balas Ronald cepat, matanya menatap dingin Naura. Naura menarik napas dalam, kemudian mengerutkan keningnya, tatapannya menunjukkan ketidakberdayaan. "Lalu apa yang harus aku lakukan, kak? Aku bukan hanya bagian dari Tirta, tetapi juga Wajendra." "Lalu kamu mengorbankan keluarga yang telah membesarkanmu untuk menjadi Nyonya konglomerat teratas satu Indonesia?" balas Ronald lagi, nada bicaranya penuh dengan kebencian. Naura pribadi tidak me
Naura membuka matanya perlahan, wanita itu pergi ke ruang kerja dan melakukan kegiatan hariannya hingga tertidur setelah kembali dari kamar Evelyn. Hal pertama yang ia lihat adalah dua buah sapu tangan Arjuna, kemudian matanya menyapu ruangan untuk menemukan sosok Kate. Kate masih terlihat fokus di meja kerja wanita itu yang berjarak tidak terlalu jauh dari Naura, saat sadar bahwa majikannya telah bangun, Kate berhenti dari aktivitasnya untuk menatap Naura. "Apa anda ingin diseduhkan teh lagi?" tanya Kate sambil melepas kacamata yang selalu ia gunakan ketika bekerja. Naura menggeleng, kemudian mengambil posisi duduk tegak dan baru menyadari bahwa Kate telah menyelimutinya saat tidak sengaja tertidur. Naura menyingkirkan selimut tersebut dengan lembut dan kembali menatap sapu tangan Arjuna. "Bukankah ini sapu tangan Tuan Renjana?" tanya Naura, jari-jari tangannya pun bergerak untuk menyentuh sapu tangan tersebut. Kate mengangguk cepat. "Benar, Nyonya. Apakah setelah ini saya pe
Naura membuka matanya perlahan, cahaya matahari yang masuk melalui jendela besar kamarnya membuat tidur wanita itu terganggu. Dengan malas ia berusaha bangkit dari tidur dan mengambil posisi duduk. Saat kedua matanya telah dapat melihat dengan jelas, dia sedikit terkejut karena melihat sosok Zafir di kamarnya. "Zafir?" tanya Naura, kesadarannya kini mulai terkumpul sempurna karena rasa terkejut. Zafir yang tengah duduk di sofa tidak jauh dari kasur Naura segera menatap istrinya yang baru saja terbangun. "Kamu sudah bangun?" Naura mengangguk, raut wajahnya menunjukkan keheranan. Zafir sudah lama sekali tidak mengunjungi kamar mereka. "Tidak biasanya kamu bangun telat, Kate yang mengabariku sebelumnya. Kamu sakit, sayang?" tanya Zafir, kemudian berdiri dan berjalan ke arah Naura untuk duduk di samping wanita itu. Naura menggeleng. "Tidak, mungkin efek dari perjalanan panjang kemarin. Aku tidak langsung istirahat, tetapi justru melanjutkan pekerjaan yang sempat tertunda." Zafi
Di luar rencananya, Naura justru menghabiskan waktunya di dalam kamar. Setelah Zafir pergi setelah pertengkaran hebat mereka, Naura tidak memiliki hasrat untuk melakukan kegiatan lain. Tidak seperti biasanya dia masih sanggup bekerja, kali ini tubuh dan batinnya terasa hancur. Naura hanya duduk melamun di balkon kamarnya, tatapannya kosong, sesekali mengeluarkan air mata dan dia akan segera menghapusnya dengan kasar. Tak lama, suara Kate dari dalam kamarnya terdengar. "Nyonya, perlengkapan anda menuju Amsterdam sudah siap. Apakah... Anda ingin membatalkan janji rapat dengan--" "Batalkan." Naura memotong kalimat Kate, dia benar-benar tidak memiliki semangat hari ini. "Baik..." Kate sedikit terkejut, namun wanita itu memilih untuk tidak berkomentar banyak. Dia tidak tahu apa yang terjadi di pertengkaran majikannya kali ini, kewajibannya hanya melayani dan menuruti perintah. "Nyonya, sarapan anda sudah siap sejak setengah jam yang lalu. Haruskah saya membawanya kemari? Tuan Zafir