Museum yang terletak di dekat Istana Kerajaan Belanda terlihat sangat megah saat Naura tiba di sana. Cuaca yang cerah membuat senyum wanita itu mengembang. Rasanya sudah lama ia tidak berjalan-jalan tanpa perlu menjaga identitasnya seperti ini.Kali ini, ia merasa ‘bebas’.Naura lalu melangkahkan kaki untuk masuk ke museum melalui jalur VIP yang sudah disiapkan oleh Kate. Namun, tiba-tiba sebuah suara mengejutkan Naura dan membuat wanita itu berbalik.“Naura.”Di sana, Arjuna Renjana berdiri tegap dengan mantel hitam yang menyelimuti tubuhnya hingga ke lutut. Kemeja dan celana yang dikenakan pria itu juga berwarna hitam sehingga membuat aura pria itu semakin terasa dominan."Aku tidak menyangka kalau kamu tertarik dengan sejarah negara lain." ujar Arjuna sembari mendekati Naura.Naura tersenyum tipis sembari mengulurkan tangannya pada pria itu. "Suatu kehormatan karena bisa bertemu dengan Anda di sini, Tuan Renjana. Ya, saya senang menambah wawasan terkait sejarah negara lain." Arj
"Arjuna!" Damian berteriak kencang dan menatap ke sekeliling, tapi Arjuna tetap tidak ditemukan.Di sisi lain, Arjuna tidak mengindahkan teriakan Damian dan terus berjalan ke mobil pemadam kebakaran untuk meminta mereka membasahi mantelnya. Arjuna lalu berjalan cepat menuju pintu museum dan Damian sempat menghentikannya, tapi pria itu menepis kasar. Para petugas yang hendak menghentikan Arjuna juga tidak bisa bertindak apa pun, karena Arjuna tidak ragu untuk menyingkirkan siapapun yang menghalanginya dengan kekerasan fisik. Sedangkan Naura, wanita itu masih tidak mengetahui apa yang terjadi di luar. Keningnya sedikit terlipat bingung kala hidungnya mulai mencium aroma terbakar. "Ada apa ini?" ucap Naura sendiri, dia mulai merasakan ada sesuatu yang aneh, sebab suhu ruangan menjadi lebih panas. Namun, saat hendak menuruni tangga, langkahnya terhenti dan kedua matanya terbuka lebar karena pintu di bawahnya sudah termakan api!Kenapa tiba-tiba terbakar? Asap tebal mulai memenuhi r
Di sebelah bantalan udara, Kate sudah menunggu dengan khawatir. Wanita itu lalu berlari menghampiri Naura dan bersimpuh sambil menangis. "Kate, aku tidak apa-apa." Naura berusaha menenangkan Kate. "Sebaiknya kita ke rumah sakit sekarang." Suara Damian terdengar, pria itu sedang berbicara dengan Arjuna. Naura menoleh cepat, kemudian tertatih mendekati pria itu dibantu oleh Kate."Aku ikut." Naura tidak bisa meninggalkan Arjuna begitu saja, pria itu sudah sangat berjasa menolong hidupnya. Jika tidak ada Arjuna, Naura akan mati terbakar di dalam."Nyonya Wajendra juga membutuhkan pengobatan, silakan." Damian mempersilahkan, mereka akhirnya masuk ke dalam mobil bersama dan berangkat menuju ke rumah sakit milik Renjana.Di dalam mobil, Arjuna berusaha melepas pakaian atasnya. "Pelan-pelan..." ucap Naura begitu mendengar Arjuna meringis, wanita itu dengan sabar membantu Arjuna.Ketika pakaian atas pria itu terlepas sempurna, Naura melihat kondisi punggung Arjuna yang memerah dan terdap
Naura duduk dalam diam di mobil Arjuna karena kedua pria itu bersikeras untuk menawarkan tumpangan secara pribadi untuknya. Ketika mobil mereka memasuki pintu gerbang villa Wajendra, Naura dapat melihat sosok Zafir yang segera keluar dari pintu bersama dengan Evelyn.Kedua orang itu menunggu di depan sambil menatap mobil asing Arjuna yang perlahan terbuka. Setelah keluar dari mobil dengan tenang, Naura berjalan dengan kaki terpincang sembari dipapah oleh Kate.Apa yang terjadi membuat Zafir dengan cepat menghampiri istrinya dan memegangi wanita itu dari kepala hingga pundaknya."Kamu baik-baik saja?" tanya Zafir.Wajah pria itu terlihat cemas, tapi Naura telah lebih dulu muak dan menepis tangan Zafir dari pipinya.“Jangan sentuh aku, Zafir”. Perbuatan Naura membuat Evelyn yang melihat itu segera maju dan mendorong Naura dengan kencang. Namun, untungnya Kate berdiri di belakang wanita itu sehingga Naura tak terjatuh di depan villa. "Lancang!!" Kate menatap Evelyn dengan tetapan me
Hari-hari terus berlanjut dan tak terasa sudah dua hari sejak kejadian awal mula Zafir menampar Naura. Pria itu semakin sibuk menghabiskan waktu bersama Evelyn dan menemani wanita itu, karena Evelyn yang tak sedikitpun melepaskan Zafir bepergian sendirian.Saat berpapasan dengan Naura pagi tadi pun, pria itu hanya bisa menatap Naura dengan sendu, tanpa bisa lepas dari celotehan Evelyn mengenai bunga-bunga di pekarangan Wajendra atau istal yang penuh kuda.Apa yang mereka berdua lakukan saat ini benar-benar persis dengan yang ia dan Zafir lakukan saat berbulan madu ke villa ini beberapa tahun silam.Ingatan-ingatan itu membuat Naura menghela napas dan kemudian duduk di batu besar yang ada di tepi danau buatan milik Wajendra. Wanita itu mengenakan dress piyama berwarna putih dan cardigan untuk melindunginya dari udara dingin.Saat matanya sibuk menatap ke arah bayangan dirinya di permukaan danau, tiba-tiba suara langkah kaki muncul dari belakangnya dan lambat-laun terasa mendekat."Ap
Naura merasa tidak memiliki hak apa pun lagi setelah Zafir mutlak akan menceraikannya. Entah sebelum atau sesudah pria itu kembali dari rumah sakit, semuanya akan sama saja.Bahkan sejak kepergian Zafir itu ke rumah sakit, segala pesan dan telepon yang Naura kirim tidak pernah dibalas. Tampaknya, Zafir benar-benar sibuk sibuk mengurus Evelyn atas tindakan nekatnya kemarin. Atau mungkin, Evelyn benar-benar terluka? Saat mengingat apa yang terjadi, Naura tersenyum miris. Ternyata membiarkan wanita seperti Evelyn datang ke dalam rumah tangganya adalah sebuah keputusan yang sangat salah.Sebab, pernikahan bertahun-tahun lamanya belum tentu menjamin tumbuhnya kepercayaan dan kesetiaan. Naura menghela napas dan menatap ke sekeliling kamar yang belum sempat ia tempati."Bantu aku mengemasi barang, Kate." Naura berkata pada Kate yang menatapnya dari ambang pintu dengan wajah sendu. Berbeda dari Kate, Naura tampak tegar meski matanya cukup sembab dan rambutnya tak tertata serapi biasanya.S
Guncangan kasar dari lift membuat Arjuna berusaha lumayan keras untuk mengeluarkan ponsel dari sakunya. Naura merasakan itu dari gerakannya yang bergetar dan patah-patah. "Kau di mana?" Suara Arjuna terdengar tenang. Dari suara dan nada bicaranya, Naura tahu kalau Arjuna sedang mengubungi Damian. Sebab, hanya dengan pria itu Naura bisa melihat ekspresi natural dari Arjuna yang jarang pria itu perlihatkan."Lobby utama. Ada apa?" suara Damian terdengar di balik telepon. "Lift rusak dan aku terjebak di dalam. Jika dalam tiga puluh menit masalah ini tidak teratasi, gajimu akan kupotong sampai tahun depan," jawab Arjuna cepat. "Apa?! Astaga! Sungguh? Jangan mati dulu Arjuna, aku masih tidak bisa hidup tanpamu!" suara Damian yang terkejut terdengar kencang membuat Naura mengernyitkan dahi.Sepertinya pria itu tahu bahwa Arjuna takut kegelapan. Sebab, sedetik kemudian sambungan telepon dengan cepat mati dan Arjuna kembali menyimpan ponselnya ke dalam saku. Sementara itu, tangan kiri
"Naura."Suara mangkuk sup yang diletakkan di atas meja membuat Naura tersadar dan segera mengangkat pandangannya. "Ibu?" Kening Naura terlipat dalam dan matanya membelalak, karena ibu mertuanya, Malini, tiba-tiba duduk di depannya. Tanpa mempedulikan ekspresi bingung Naura, Malini duduk dengan tenang di kursinya. "Astaga, kamu terlihat kurus sekali sekarang. Menantu Wajendra tidak bisa dibiarkan seperti ini. Aku–""Ibu sudah tahu apa yang terjadi pada pernikahan kami, bukan?" Naura memotong kalimat Malini, membuat ekspresi khawatir wanita itu menghilang. "Pertengkaran di sebuah rumah tangga adalah hal yang biasa, Naura. Dulu aku juga sering merasakannya. Kalian juga sudah saling mengenal lama, apa susahnya kembali berdiskusi tanpa melibatkan perceraian?" Naura tersenyum tipis. “Aku tidak bisa, Bu. Kehadiran Evelyn dan perubahan sikap Zafir membuatku tak mampu menerimanya."Malini menghela napas tipis, "Tetapi bukankah kamu sudah terbiasa dengan pernikahan yang memiliki lebih dari
Di hari yang berbeda, sebelumnya Naura sempat menerima panggilan dari Helena. Wanita itu menanyakan kabarnya sampai akhirnya mereka menjadwalkan pertemuan. Setelah selesai bersiap, wanita itu bergegas pergi mengunjungi Mansion Renjana setelah beberapa minggu tak menginjakkan kaki di sana. Sampai di Mansion Renjana, Naura turun dan langsung melihat sosok Helena yang menunggunya di pintu masuk utama. Seperti biasa, Naura akan tersenyum dan memeluk Helena. Kemudian menyerahkan bingkisan yang ia bawa. "Bagaimana kabar ibu?" tanya Naura hangat. Helena tersenyum lembut. "Tentu saja sangat baik." Mata mereka bertemu, Naura diam-diam mencari sesuatu di tatapan Helena. Helena memang menatap dan tersenyum padanya dengan lembut, namun Naura masih dapat dengan mudah siluet kesedihan. "Ayo, masuk sayang." Ajak Helena, kemudian mereka masuk beriringan. Tetapi sebelum itu, Naura sempat menoleh dan melihat mobil asing terparkir di halaman depan Mansion. "Apa ada tamu, bu?" tanya Naura. Se
Arjuna turun dari mobilnya begitu tiba di penjara yang dihuni Ronald, Damian dan Aimee mengikutinya dari belakang. Seorang petugas segera mengarahkannya ke dalam sel Ronald, sesuai permintaan Ronald sendiri. Begitu pintu sel dibuka, sosok Ronald yang tengah duduk santai di atas kursi lipat sambil menonton televisi pun menoleh. "Kau, ya?" ucap Ronald, lalu berdiri dan memutar kursi lipatnya menghadap mereka."Duduklah di mana saja karena tidak ada kursi lain di sini," ujar Ronald, membuat tiga orang dewasa itu akhirnya duduk di lantai seperti anak kecil yang akan memulai pelajaran bersama sang guru. "Bagaimana kabar Anda?" tanya Arjuna, mengulurkan tangan kanannya. Saat matanya bertemu dengan mata cokelat Ronald, pria itu tidak bisa menahan ingatannya tentang Naura. Meskipun berbeda ibu, mata mereka benar-benar memiliki bentuk dan keindahan yang sama. "Seperti yang kau lihat," jawab Ronald acuh, lalu membalas uluran tangan Arjuna. Arjuna mengangguk singkat, lalu matanya tidak s
Suasana serius menyelimuti ruang kerja Arjuna. Pria itu duduk di kursinya, menatap datar Damian dan Aimee bergantian. "Waktu kita tidak banyak, mereka pasti menunggumu keputusanmu," ucap Aimee sambil bersandar di meja kerja Damian. Damian mengangguk setuju. "Jika dalam kurun waktu yang telah mereka tentukan kita masih belum membuat keputusan, aku yakin sang putra mahkota itu benar-benar akan turun tangan langsung."Tidak langsung menjawab, Arjuna hanya menatap rekan serta sepupunya dengan tatapan yang sama seperti sebelumnya."Bagaimana kabar dari putri tuan Bara?" tanya Arjuna, memilih untuk fokus pada jalan keluar dibanding kekhawatiran. "Tidak ada jawaban apa pun, sepertinya beberapa petinggi di sana yang telah mengetahui masalah ini mulai merasa waspada," jawab Damian. Aimee mengangguk setuju. "Mereka berusaha menghindari masalah besar yang jelas sangat berbahaya seperti Phantom.""Lalu apa ada kemungkinan lain dari hasil penyelidikan?" tanya Arjuna lagi, kali ini melirik Aime
Seperti biasa, pagi ini Naura sudah sibuk di meja kerjanya. Namun berbeda dari biasanya yang sibuk menatap layar monitor dengan tangan yang mengetik kesana kemari, Naura kini hanya termenung di meja kerjanya. Matanya sesekali memperhatikan halaman yang sama sejak awal dirinya duduk di kursi kerja, email Phantom. Setelah merenung cukup lama, akhirnya Naura membetulkan kembali posisi duduknya dan membalas email tersebut. Dia setuju untuk bertemu. Tak perlu waktu lama, bahkan kurang dari satu menit, email-nya sudah dibalas. Naura spontan berdiri, lalu meneruskan link lokasi yang dikirim oleh email tersebut pada Kate. "Bersiap, kita pergi sekarang." Kemudian dia melirik ke arah Kate. "Lacak lokasi itu."Kate mengangguk cepat, tangannya pun dengan gesit melaksanakan perintah Naura. Tak butuh waktu lama, Kate pun membalas,"Sudah, nyonya."Mereka bertiga masuk ke dalam mobil, kali ini Althaf yang menyetir. "Anda menerima tawaran pertemuan itu?" tanya Kate dari kursi depan. Naura men
Naura beranjak bangun dari duduknya, bibirnya masih tersenyum tipis ke arah Ronald meski tatapannya sudah sangat lelah. "Kalau begitu aku kembali dulu, jaga kesehatanmu, kak," ucap Naura. Ronald hanya mengangguk singkat, namun saat Naura berjalan melewatinya, pria itu menoleh dan berbicara. "Pastikan tidak ada kursi penguasa yang bergeser, Naura."Naura berhenti dan ikut menoleh, kemudian dia mengangguk. "Aku mengerti."Saat dirinya hendak melanjutkan langkah, suara Ronald lagi-lagi menghentikan gerakannya. "Dan...."Naura hanya menatap Ronald yang kini telah memunggunginya, menunggu pria itu melanjutkan kalimatnya. "Jaga kesehatanmu juga." Naura tersenyum tipis, lalu menatap lurus lagi ke depan. "Iya, terima kasih banyak." Setelahnya ia benar-benar melangkah keluar dari ruang pertemuan tertutup. "Sudah?" tanya Althaf yang sejak awal menunggu di luar. Naura mengangguk. "Ya, ayo kembali.""Bagaimana?" tanya Althaf sembari keduanya berjalan beriringan. "Ini tentang hutang Tirta
"Mereka mengirim pesan apa?" tanya Ronald, raut wajahnya berkali-kali lipat lebih serius. Melihat sosok Ronald yang memegang, Naura pun ikut terbawa suasana. "Mereka menawarkan kerjasama dan mengungkit hutang. Hutang apa, kak?" tanya Naura. Ronald menarik tatapannya dari Naura untuk mengingat-ingat, lalu kedua matanya menyipit seolah baru mengingat sesuatu. "Ayah." Naura mengerutkan keningnya tak mengerti. "Ayah?" "Kamu adalah hutang mereka, Naura," jawab Ronald, membuat Naura semakin menatapnya bingung. "Aku hutang mereka? Maksudmu aku adalah...?" Ronald mengangguk. "Iya, ayah menjadikanmu salah satu 'alat' transaksi pada Phantom."Naura terdiam. Ayahnya? Ayah yang sangat dia kagumi? "Sejak kapan?" tanya Naura, matanya menatap kosong penuh emosi ke arah meja. "Bahkan sebelum kamu lahir, pernikahan ayah dan ibumu memang diatur untuk hal ini," jawab Ronald, matanya menatap dalam wajah adiknya yang terlihat syok. "Kenapa tidak ada yang memberitahuku mengenai hal ini?" tanya
"Apa ada kotak P3K di sini?" tanya Damian, melirik ibu Kate. Ibu Kate mengerutkan keningnya. "Untuk ap--""Ada." Kate menyela, membuat Damian kembali menatapnya. "Bisa berdiri?" tanya Damian. Kate mengangguk kecil dan berdiri, lalu membawa Damian ke dalam kamarnya diikuti sang ibu. "Apa perlu diobati segitunya? Itu hanya luka kecil," ucap sang ibu, lalu melanjutkan,"Maafkan ya, nak Damian. Kate merepotkan."Kate hanya diam dan duduk selagi Damian sibuk memilih obat di kotak P3K-nya. Damian tersenyum. "Tidak masalah, tante. Sekecil apa pun lukanya jika dibiarkan maka akan berisiko menjadi parah." Ibu Kate tersenyum dalam mendengarnya. "Baiklah, kalau begitu aku memeriksa makan malam di dapur dulu, ya." Kemudian matanya melirik Kate. "Jika sudah selesai cepat turun."Kate mengangguk kecil. "Iya."Sepeninggalan ibu Kate, Damian perlahan tersenyum dan tertawa tipis. "Apa kamu mengalami ini setiap hari? Ah--maaf, maksudku--""Iya, jangan meledekku!" Potong Kate sambil melototinya ke
Satu hari setelah pertemuan canggung penuh perasaan yang tak pernah Kate kenali dengan Damian, wanita itu mulai terlihat lebih gelisah. Seperti sekarang, ini pertama kalinya dia meminta izin kembali lebih cepat dengan raut wajah gelisah. "Nyonya, seluruh berkas sudah saya letakkan di atas meja dan file yang Anda butuhkan telah saya kirim ke email Anda," ucap Kate, wanita itu berdiri seperti patung di depan Naura. Naura mengangguk tanpa menoleh sedikitpun dari layar monitor. "Baiklah, terima kasih banyak Kate."Kate mengangguk, kemudian kepalanya sedikit menunduk, jari-jarinya bermain gelisah. "Nyonya...."Naura hanya mengangkat kedua alisnya sebagai respon, kedua tangannya masih sibuk mengetik sesuatu di keyboard. Setelah menunggu beberapa detik, Naura masih belum juga mendengar apa yang ingin disampaikan Kate. Matanya melirik bingung ke arah Kate, saat mendapati wanita itu berdiri kaku seperti patung, Naura mulai menaruh perhatian penuh pada Kate. "Ada apa?" tanya Naura bingun
Suasana Mansion Tirta kembali lengang saat langit menggelap. Kate meninggalkan Mansion tersebut setelah Naura benar-benar beristirahat. Sepanjang perjalanan menuju tempat pertemuannya dengan Damian, wanita itu hanya diam dengan tatapan yang lelah. Kate khawatir masalah ini akan merepotkan Damian, dia tidak ingin menyeret orang lain ke dalam kesulitan hidupnya. Sampai di restoran bintang empat Jakarta, Kate bergegas turun dari mobilnya dan melangkah masuk. Matanya menyapu seluruh bagian restoran ke kanan dan kiri untuk mencari sosok Damian. Hingga tak lama dari arah depan ada satu tangan yang melambai untuknya, pria itu tersenyum ramah ke arahnya, menunggu dengan tenang. Kate mendekat ke meja tersebut dan tersenyum simpul. "Mohon maaf jika Anda menunggu lama."Damian mengangguk singkat. "Aku juga baru datang." Mendengar hal itu Kate tahu Damian berbohong, karena di atas meja mereka sekarang sudah ada dua gelas kosong. "Jadi... Ada apa, nona Kate?" tanya Damian, tatapan mereka b