Naura menghempaskan tubuhnya ke kasur dan memejamkan matanya. Tubuhnya lelah, karena dia sudah mengelilingi mall besar tersebut sebanyak tiga kali. Di tengah kenyamanannya itu, dari saku mantelnya Naura merasakan ada sesuatu yang bergetar. Naura mengerutkan keningnya, kemudian dengan malas mengambil ponsel tersebut dan melihat siapa yang menelepon. Jantung Naura seolah berhenti kala mengetahui bahwa yang meneleponnya adalah ibu Zafir, Malini. Naura segera mengambil sikap duduk, raut wajahnya terlihat serius bercampur sedih. "Iya, ibu?" "Kamu sedang berbulan madu dengan Zafir? Astaga Naura, sudah berapa kali kamu melakukan hal yang sama?" Suara Malini yang nyaring dan seolah akan menelan Naura itu terdengar. Naura mengambil napas panjang sebelum akhirnya dia menjawab, "Kali ini aku dan Zafir akan berusaha lebih keras, bu." Selesai Naura berkata demikian, suasana di telepon mendadak hening. Tak lama kemudian, suara gelak tawa Malini terdengar, membuat Naura mengerutkan kenin
Di dalam lift tempat mereka terjebak, tangan kanan Naura tidak sengaja menyentuh tangan Arjuna, wanita itu sedikit terkejut karena mendapati tangan Arjuna yang tengah gemetar. Apakah pria itu takut kegelapan? Naura mendongak untuk melihat Arjuna. Namun, belum sempat dia mendongak sempurna, Naura baru sadar bahwa posisi mereka sangat dekat. Dengan cepat Naura melepaskan diri dari pelukan Arjuna. "Anda baik-baik saja?" tanya Naura dengan nada suara rendah, dia sedikit terkejut Arjuna benar-benar gemetar sekarang. "Diam." Arjuna menjawab singkat, kemudian menarik lengan Naura dan mencengkeramnya erat. Naura mengerutkan keningnya, itu lumayan keras dan sakit. Meski begitu, dia merasa ragu untuk menegurnya karena lengan pria itu masih gemetar. Arjuna lalu berusaha mengeluarkan ponsel dari sakunya untuk menelepon Damian. "Kau di mana?" suara Arjuna terdengar baik-baik saja, sangat berbanding terbalik dengan kondisi fisiknya yang sudah gemetar. "Lobby utama. Ada apa?" Suar
Tidak banyak perbincangan di dalam mobil antara Naura dan Kate, raut wajah Naura terlihat tetap tenang seolah tidak ada apa pun yang terjadi, sementara Kate masih dilanda keterkejutan yang berujung canggung. Begitu tiba di Villa, Naura bergegas menuju kamarnya tanpa menyapa atau memperhatikan Zafir dan Evelyn. Tetapi, ketika Naura baru saja masuk ke dalam kamarnya, dia sedikit terkejut saat melihat sosok Zafir di sana. "Dari mana saja?" tanya Zafir, nada bicaranya terdengar sangat dingin. Pria itu duduk di tepi ranjang Naura sambil menatap datar istrinya. Naura menghela napas tipis, wanita itu segera menutup pintu dan berjalan ke arah meja rias. Naura melepas antingnya dengan tenang, seolah raut wajah marah Zafir tidak ia pedulikan. "Aku bertanya, Naura." Zafir kembali berbicara, membuat Naura kembali berbalik dan menatap pria itu. "Aku melakukan riset merata ke seluruh kawasan pusat perbelanjaan Amsterdam, bukankah kamu tahu itu?" jawab Naura, kedua matanya terlihat telah
Keesokan paginya, mereka bertiga sarapan bersama. Tentu saja dengan suasana Naura dan Zafir yang sangat canggung, sementara Evelyn wanita itu selalu tersenyum dan tertawa sepanjang waktu. "Zafir! Aku mau itu!" Evelyn menunjuk buah mangga yang berada tidak jauh dari Naura. Zafir yang melihat buah tersebut pun dengan cepat menatap ke arah Naura. Sebab buah itu memang ada untuk disuguhkan kepada Naura. Naura tahu tetapi dia memilih untuk tidak peduli, wanita itu tetap tenang menghabiskan sarapannya dan menghiraukan tatapan Zafir. "Zafir, aku mau itu!" Evelyn kembali merengek, kali ini sambil mencubit pakaian pria itu manja. Zafir tersenyum, kemudian mengelus kepala Evelyn. "Buah itu milik Naura, Evelyn. Jika kamu mau, aku bisa meminta koki untuk mengupaskannya satu untukmu." Evelyn menggeleng. "Apa aku harus menunggu hanya untuk memakan mangga? Itu terlalu lama!" Kemudian dia menatap Naura dan tersenyum. "Kak Naura, bolehkah aku--" "Tidak boleh merengek di meja makan, Evely
Senyum Evelyn menghilang saat Arjuna menanyakan apa yang bisa ia lakukan untuk Renjana, kemudian dia menoleh ke arah Zafir untuk meminta bantuan. Naura hanya tersenyum tipis tanpa berkomentar apa pun. "Evelyn memang sangat pengertian," ucap Zafir, kemudian mengetuk kepala Evelyn pelan. "Sebaiknya kamu mencontoh kakak sepupu perempuanmu, hati-hati dalam bertindak." Arjuna memperhatikan interaksi Evelyn dan Zafir, kemudian melihat ke arah perut Evelyn yang terlihat sedikit membesar dari sebelumnya. Setelah itu, dia menggeser tatapannya menuju Naura. Naura tidak banyak bicara, wanita itu hanya diam dan mendengarkan perbincangan mereka. Raut wajahnya terlihat tidak begitu baik, tatapan matanya juga sedikit dingin dan kosong. Arjuna menyesap kopinya, kemudian menatap Naura lagi dan bertanya, "Bagaimana kabar anda, Nyonya Wajendra? Sepertinya ini pertemuan pertama kita setelah di Kalimantan kemarin." Naura tersadar dari lamunannya, dia terkejut karena tiba-tiba Arjuna mengajaknya b
"Hentikan mobil." Naura memberi perintah singkat, tapi nada bicaranya terdengar sedang marah. Kate melirik ke arah Naura setelah supir mobil berhenti, mengapa majikannya marah? Apakah surat itu berisi sesuatu yang menyinggungnya? "Apa anda masih memiliki urusan lain, Nyonya?" tanya Kate. Naura mengangguk, kemudian bergerak membuka mobilnya sendiri sambil berkata. "Ya, masih ada." Kate yang melihat ini terkejut, wanita itu bergegas turun dari mobil dan mengikuti langkah cepat Naura. Naura terus berjalan dan menatap ke depan, dia menuju ruangan Arjuna yang sebelumnya sambil menenteng amplop coklat. Sebelum memasuki ruangan Arjuna, Naura melirik sekilas ke arah Kate menggunakan ujung matanya. "Tunggu di luar, Kate." Naura memberi perintah, Kate tidak bisa melawan, akhirnya dia dengan patuh menunggu di luar. Naura berjalan masuk, Damian dan Arjuna menatap secara seksama ke arahnya. Damian hanya tersenyum dan kemudian berjalan keluar, sepertinya pria itu tahu alasan Naura
"Terima kasih banyak, Tuan Renjana." Naura menatap Arjuna, mereka berdua berdiri berhadapan. Setelah Arjuna mengangguk, Naura dan Kate bergegas masuk lebih dulu ke dalam museum. Sementara Arjuna dan Damian menyusul namun mereka memiliki urusan lain di sini. Naura mulai menikmati suasana dan berbagai macam hal yang dipajang di museum ini, sesekali ia berhenti untuk membaca teks penjelasan dari tiap barang atau lukisan. Saat dia mulai masuk ke jejeran koleksi lukisan raja dan ratu Belanda, kedua mata Naura semakin berbinar, bibirnya tersenyum sempurna. "Nona, ada telepon dari Indonesia." Kate membubarkan fokus Naura, jika dia sudah berkata seperti itu tandanya ada urusan pekerjaan yang ingin menghubungi Naura. Naura mengangguk. "Gantikan aku." Naura tidak ingin diganggu, kepalanya sudah hampir meledak karena urusan rumah tangganya. Kate balas mengangguk. "Saya izin ke ruangan lain dan menunggu di luar." Setelah Kate pergi, Naura melanjutkan kembali kesibukannya. Wanita
Arjuna menggendong erat tubuh Naura meskipun punggung pria itu mengalami luka bakar dan cedera akibat plafon berapi sebelumnya. Kakinya melangkah ke lantai atas karena mustahil untuk menerobos keluar melalui lantai bawah lagi. "Aku baik-baik saja, turunkan aku. Punggungmu terluka." Naura khawatir dengan punggung Arjuna, dia tidak ingin merepotkan Arjuna sangat jauh. Tetapi, Arjuna tidak mendengarkannya dan terus mencari jalur keluar di lantai atas. "Kamu akan berjalan dengan langkah terseok, percuma saja." Arjuna akhirnya menjawab setelah Naura mencoba memberontak turun, apa yang dikatakan pria itu juga masuk akal. Kaki Naura terasa lemas dan luka bakarnya pun cukup parah. Naura mulai menutup mulutnya rapat dan mencari kesibukan baru, yaitu membantu Arjuna menemukan akses keluar dari lantai atas. Kening Naura terlipat bingung, tidak ada akses keluar sama sekali. Tetapi tiba-tiba Arjuna berjalan ke arah kaca besar yang tidak jauh dari tangga. Di saat ini Arjuna berdiri di h