"Hentikan mobil." Naura memberi perintah singkat, tapi nada bicaranya terdengar sedang marah. Kate melirik ke arah Naura setelah supir mobil berhenti, mengapa majikannya marah? Apakah surat itu berisi sesuatu yang menyinggungnya? "Apa anda masih memiliki urusan lain, Nyonya?" tanya Kate. Naura mengangguk, kemudian bergerak membuka mobilnya sendiri sambil berkata. "Ya, masih ada." Kate yang melihat ini terkejut, wanita itu bergegas turun dari mobil dan mengikuti langkah cepat Naura. Naura terus berjalan dan menatap ke depan, dia menuju ruangan Arjuna yang sebelumnya sambil menenteng amplop coklat. Sebelum memasuki ruangan Arjuna, Naura melirik sekilas ke arah Kate menggunakan ujung matanya. "Tunggu di luar, Kate." Naura memberi perintah, Kate tidak bisa melawan, akhirnya dia dengan patuh menunggu di luar. Naura berjalan masuk, Damian dan Arjuna menatap secara seksama ke arahnya. Damian hanya tersenyum dan kemudian berjalan keluar, sepertinya pria itu tahu alasan Naura
"Terima kasih banyak, Tuan Renjana." Naura menatap Arjuna, mereka berdua berdiri berhadapan. Setelah Arjuna mengangguk, Naura dan Kate bergegas masuk lebih dulu ke dalam museum. Sementara Arjuna dan Damian menyusul namun mereka memiliki urusan lain di sini. Naura mulai menikmati suasana dan berbagai macam hal yang dipajang di museum ini, sesekali ia berhenti untuk membaca teks penjelasan dari tiap barang atau lukisan. Saat dia mulai masuk ke jejeran koleksi lukisan raja dan ratu Belanda, kedua mata Naura semakin berbinar, bibirnya tersenyum sempurna. "Nona, ada telepon dari Indonesia." Kate membubarkan fokus Naura, jika dia sudah berkata seperti itu tandanya ada urusan pekerjaan yang ingin menghubungi Naura. Naura mengangguk. "Gantikan aku." Naura tidak ingin diganggu, kepalanya sudah hampir meledak karena urusan rumah tangganya. Kate balas mengangguk. "Saya izin ke ruangan lain dan menunggu di luar." Setelah Kate pergi, Naura melanjutkan kembali kesibukannya. Wanita
Arjuna menggendong erat tubuh Naura meskipun punggung pria itu mengalami luka bakar dan cedera akibat plafon berapi sebelumnya. Kakinya melangkah ke lantai atas karena mustahil untuk menerobos keluar melalui lantai bawah lagi. "Aku baik-baik saja, turunkan aku. Punggungmu terluka." Naura khawatir dengan punggung Arjuna, dia tidak ingin merepotkan Arjuna sangat jauh. Tetapi, Arjuna tidak mendengarkannya dan terus mencari jalur keluar di lantai atas. "Kamu akan berjalan dengan langkah terseok, percuma saja." Arjuna akhirnya menjawab setelah Naura mencoba memberontak turun, apa yang dikatakan pria itu juga masuk akal. Kaki Naura terasa lemas dan luka bakarnya pun cukup parah. Naura mulai menutup mulutnya rapat dan mencari kesibukan baru, yaitu membantu Arjuna menemukan akses keluar dari lantai atas. Kening Naura terlipat bingung, tidak ada akses keluar sama sekali. Tetapi tiba-tiba Arjuna berjalan ke arah kaca besar yang tidak jauh dari tangga. Di saat ini Arjuna berdiri di h
Di rumah sakit, perawat mulai membenahi luka bakar Naura. Arjuna berada di ruangan terpisah dengannya, Kate berada di luar ruangan karena sedang sibuk menghubungi Zafir. "Baik, sudah selesai. Luka bakar anda tidak terlalu parah seperti suami anda, dalam kurun waktu dua minggu lukanya akan benar-benar kering." Perawat itu berdiri dan memberikan penjelasan, Naura tersenyum tipis mendengar sang perawat menyebut Arjuna sebagai suaminya. "Terima kasih, tetapi kebetulan pria itu adalah rekan bisnis saya. Dia bukan suami saya." Naura mengucapkan terima kasih sekaligus memberikan penjelasan. Perawat itu sedikit terkejut. "Oh... Maafkan saya, saya pikir beliau adalah suami anda. Rekan bisnis anda sangat baik, dia terus menerus mengingatkan pihak rumah sakit untuk mengobati anda dengan benar." Naura mengerutkan keningnya, pria itu masih memikirkannya di tengah luka bakar punggungnya? Jika dibandingkan dengan luka bakar Naura, miliknya bukan apa-apa. "Apa saya boleh mengunjungi rua
Naura berjalan keluar dari rumah sakit menuju mobil Arjuna karena Damian menawarkan tumpangan secara pribadi untuknya. Alhasil, wanita itu harus semobil lagi dengan Arjuna. Mobil kemudian melaju menuju Villa Wajendra dalam kondisi hening. Naura sudah tidak lagi menangis dan semuanya mulai berjalan normal seperti biasa. Ketika hendak memasuki pintu gerbang Villa, suara klakson mobil dari belakang terdengar, sehingga mobil Arjuna mau tidak mau harus berhenti. Kemudian, mobil di belakang mereka melaju masuk ke dalam lebih dulu. Itu mobil Zafir. Saat mobil Arjuna telah memasuki gerbang, Zafir segera keluar dari mobilnya bersama Evelyn, mereka berdua menatap mobil asing Arjuna. Naura dengan tenang keluar dari mobil dengan kaki tertatih, Arjuna pun ikut keluar dari mobil. Zafir yang melihat Naura dengan cepat menghampiri istrinya. "Kamu baik-baik saja?" tanya Zafir, ada banyak pertanyaan di wajahnya. Naura menepis tangan Zafir, lalu menampar pipi pria itu. PAA!! Semua orang ter
"Zafir, kamu masih memikirkan kak Naura?" Evelyn menyandarkan kepalanya dengan manja di dada bidang Zafir. Kini mereka berdua tengah duduk di sofa ruang tengah Villa. Tangan kanan Zafir memegang cangkir minum, tapi tatapannya tajam menatap lurus ke depan tanpa objek. Pikirannya sedang melalang buana soal Naura dan Arjuna, Zafir jelas sekali merasakan sesuatu dari Arjuna setiap kali pria itu memandang istrinya. "Menurutmu apa hubungan Naura dan pria itu?" tanya Zafir, dia tidak melirik sedikitpun ke arah Evelyn. Evelyn mengerjapkan kedua mata bulat manisnya. "Kak Naura dan Tuan Renjana? Hmm, mereka terlihat sangat dekat seperti sahabat! Sepertinya kak Naura sangat menyayangi temannya, Tuan Renjana." Kalimat polos itu cukup untuk membuat Zafir mengernyitkan keningnya penuh dengan kebencian. "Tuan Renjana sangat mempedulikan kak Naura seperti Zafir peduli padaku! Bukankah Tuan Renjana adalah orang baik, Zafir?" Wanita itu kembali berbicara, bibirnya tersenyum sangat manis,
Naura seperti orang gila di kamarnya, dia hanya berbaring dengan air mata yang sudah kering dan pandangan kosong. Rasanya dia ingin tertawa keras mengenai nasibnya, konyol sekali dikurung oleh suami sendiri. Perlahan ia bangkit dan berjalan ke arah jendela besar sudut kamarnya. Naura menyingkap tirai tersebut agar dapat melihat pemandangan halaman belakang Villa yang sangat indah, namun pemandangan itu tak cukup untuk membuat pikirannya tenang. Naura masih memikirkan Zafir dan Evelyn, perlahan air matanya pun jatuh. Di tengah kesunyian kamarnya, suara ketukan pintu terdengar. Naura menolak untuk menoleh, dia tahu yang mengetuk itu adalah Zafir. Zafir membuka pintu kamar Naura tanpa menunggu jawaban wanita itu, lalu menutupnya lagi dan mendapati istrinya tengah berdiri dengan tatapan kosong ke arah luar berlinang air mata. Pria itu membawa nampan yang berisi bubur hangat dan air putih, Zafir meletakkannya di atas meja dekat kasur Naura. Pria itu lanjut mendekati Naura dan berdiri d
Hari-hari terus berlanjut, sudah dua minggu sejak kejadian awal mula Zafir membatasi pergerakannya. Saat ini Naura tengah duduk di batu besar yang ada di tepi danau dekat dengan Villa mereka, danau ini masih termasuk wilayah Villa Wajendra. Naura mengenakan dress piyama berwarna putih dan cardigan untuk melindunginya dari udara dingin. Rambut cokelat panjang wanita itu tergerai bebas, tapi raut wajahnya kosong seolah tidak ada semangat sedikitpun. Mata yang selalu hangat itu mulai membeku, musim dingin di Amsterdam pun sebentar lagi tiba. Naura merindukan Kate dan ibunya yang berada di Indonesia, sudah lama sekali Naura tidak bertemu dengan ibunya. Kini Naura bak tahanan di Istana sendiri, menyedihkan. Saat ini matanya menatap kosong ke bayangan dirinya di permukaan danau, tapi tiba-tiba Evelyn muncul dari belakangnya. Naura tidak menoleh sama sekali, seolah dia tidak melihat Evelyn. "Apa yang sedang kak Naura lakukan di sini?" tanya Evelyn. Naura tidak menjawab, wanita itu