Naura bergerak seperti zombie, dia tidak memiliki tenaga untuk berpikir lagi. Air matanya sudah mengering lama, matanya kini semakin bengkak karena sudah menangis cukup lama. Di tengah kehampaan dirinya, dering telepon Villa terdengar. Naura tersadar dari lamunannya dan dengan malas mengangkat panggilan tersebut. Tak lama setelah dia mengangkat panggilan, suara Zafir terdengar. Suara yang sangat dingin dan seolah penuh ancaman pada Naura. "Cepat kemari, Kate dan supir akan menjemputmu. Evelyn membutuhkan izin dari pihak keluarga, karena sesuai data dia adalah sepupumu." Kalimat penuh perintah itu melayang di kepala Naura, apakah sekarang dia harus menolong wanita itu? Konyol sekali! Padahal dia sendiri yang menceburkan dirinya ke dalam kolam. Naura menutup telepon itu tanpa menjawab Zafir, tetapi tidak lama kemudian telepon Villa mereka kembali berdering. Naura mengangkatnya lagi dan suara Zafir kembali terdengar. "Kamu mendengarku, bukan? Tolong cepat dan jangan lupa, pastika
Arjuna melepas mantel hitamnya dengan satu tangan, kemudian mengenakannya dengan cepat ke tubuh Naura. Raut wajah pria itu sangat dingin dan keras, tapi Naura bisa melihat ada rasa kekhawatiran yang sangat besar sekarang. "Arjuna?" Naura memanggil Arjuna lagi setelah pria itu selesai mengenakannya mantel dan kini hanya diam menatap penampilan Naura yang berantakan. "Ikut aku." Arjuna menarik tangan Naura tiba-tiba, Naura tentu saja sangat terkejut dan menolak ajakan pria itu. "Apa yang kau lakukan?" Naura menepis tangan Arjuna, membuat jarak di antara mereka. Naura kembali kehujanan, Arjuna pun dengan cepat mengarahkan payungnya lagi ke Naura dan memperdekat jarak mereka. "Kamu terluka." Hanya kalimat pendek itu yang keluar, tapi berhasil membuat Naura tertegun. Wanita itu menatap bola mata emerald Arjuna yang selalu bersinar, matanya seolah dapat menghantarkan semacam energi yang membuat dirinya 'tersetrum'. Naura mengedipkan matanya dua kali, kemudian dia mengalihkan
Naura duduk dengan pandangan kosong setelah dokter selesai mengurus lukanya, Arjuna dan Damian sekarang sedang mendengarkan penjelasan dokter mengenai lukanya secara seksama. Mereka bertingkah seperti orangtua untuk Naura, padahal dirinya sendiri pun tidak terlalu peduli pada lukanya. Sebab, ada yang jauh lebih sakit dari ini. "Pastikan lukamu selalu bersih." Arjuna tiba-tiba berbicara padanya, pria itu kini berjalan ke arahnya sambil menenteng paper bag cokelat yang entah dari mana, sedangkan Damian pergi ke luar ruangan untuk mengurus biaya administrasi. Naura menoleh dan menatap sosok Arjuna, pria itu kemudian duduk di kursi yang berada di dekat ranjang pasien. Naura tersenyum tipis, tapi sangat tulus. "Terima kasih, maaf... Aku sudah sangat banyak merepotkanmu." Seperti biasa, pria itu lagi-lagi tidak menjawab ucapan terima kasih Naura. Arjuna saat ini justru secara tiba-tiba mengeluarkan sandal empuk berbulu putih dari dalam paper bag yang ia bawa. Sebelum kemudian den
"Yang kamu katakan pada Nyonya Wajendra itu sungguhan?" tanya Damian, matanya melirik sekilas pada pantulan sosok Arjuna dari kaca spion atas mobil. Mereka benar-benar baru pergi setelah memastikan Naura dijemput Kate dengan aman. Arjuna yang tadinya sedang sibuk mengotak-atik laptopnya segera berhenti dan menatap Damian yang berada di kursi kemudian singkat. "Iya." Damian mengerutkan keningnya. "Kamu menyerah?" Arjuna menatap Damian lagi, raut wajahnya menunjukkan penolakan. "Memang kapan aku memulai?" Damian ikut mengerutkan keningnya. "Luar biasa, kalian berdua sama-sama bodoh dan tidak peka." Arjuna tidak membalas lagi, pria itu hanya menembakkan tatapan tajam dan kemudian fokus lagi pada laptopnya. Damian tak lama terkekeh dan kembali berbicara. "Bagaimana jika Nyonya Wajendra terus-terusan tersiksa dan berada di posisi seperti yang saat ini kamu temui?" Arjuna kembali berhenti dari fokusnya, namun kali ini tidak langsung menatap Damian dan hanya membeku menatap l
Naura menghela napasnya lega kala mengetahui bahwa Zafir belum tiba lebih dulu di Villa. Wanita itu segera masuk ke dalam kamarnya dan mengganti pakaiannya, Kate juga langsung berpamitan untuk pergi dari kawasan Villa sesuai perintah Zafir. Naura kini sibuk menggeser beranda sosial media untuk mencari inspirasi riasan yang akan ia gunakan untuk acara besok lusa di Istana. Di tengah kesibukannya, Naura mendengar suara pintu masuk utama Villa yang dibuka kasar. BLAM! Naura mengerutkan keningnya, wanita itu segera meletakkan ponselnya dan berjalan keluar. Naura melihat Zafir berjalan sangat cepat dengan raut wajah keras, bahkan setelah Naura mencoba berjalan mendekat, Zafir melewatinya dan tidak berbicara apa pun. Naura menarik napas dalam, dia berusaha menahan perasaannya saat ini dan segera berbalik untuk mengikuti langkah cepat pria itu. Zafir masuk ke dalam kamarnya dan membuka lemari yang berisi berkas-berkas penting. "Ada apa? Bagaimana kondisi Evelyn?" Naura bertanya de
Naura berjalan dengan kaki tertatih karena tubuhnya yang sangat lemas, wajahnya saat ini terlihat sangat pucat. Wanita itu sesekali berhenti karena tidak kuasa menahan perasaan sesak di hatinya, Naura berteriak berkali-kali untuk menyerukan rasa sakitnya. Tangannya gemetar menahan keseimbangan tubuhnya di dinding, tidak jarang pula dia terjatuh ke lantai. Perkataan Zafir kali ini sangat menghancurkan hatinya, suaminya benar-benar memilih wanita itu. Sekarang... Jika mengingat apa yang dikatakan Evelyn tadi pagi, sepertinya yang menang adalah wanita itu. Naura kalah telak. Naura berhenti di hadapan foto besar Naura dan Zafir enam tahun lalu saat pertama kali mereka berbulan madu dan menginjakkan kaki di Villa ini. Zafir memeluknya dengan hangat dari belakang, mereka berdua tersenyum hangat bersama. Naura tertawa keras, air matanya masih mengalir deras. Tetapi, tawanya perlahan berubah menjadi isak tangis. Naura memukul keras bingkai foto raksasa itu, perlahan tubuhnya meroso
Naura turun dari mobilnya begitu petugas Istana membukakan pintu untuknya. Kate dengan cepat berdiri di belakang Naura seperti biasa, beberapa bodyguard yang sebelumnya sudah Kate sewa. Naura tersenyum ke arah kamera sementara kakinya terus berjalan masuk. Sesekali dia mengerutkan keningnya saat merasakan sakit di pergelangan kakinya, kain pita yang ia gunakan terasa sangat tidak nyaman untuk lukanya. Ketika Naura mulai memasuki aula acara utama, seluruh mata memperhatikannya. Ada yang mengenalnya dan tidak, sebagian yang mengenali Naura hanya pejabat atau bangsawan tinggi, karena mereka mengikuti perkembangan politik di seluruh negara, khususnya Indonesia, mengingat Belanda dan Indonesia memiliki keterkaitan sejarah yang sangat kental. Naura sudah terbiasa dengan situasi ini, wanita itu tetap mempertahankan senyumnya dan mulai menyapa beberapa bangsawan yang memang dia kenal. "Sudah lama sekali kita tidak bertemu, Nyonya Wajendra." kata Istri dari Perdana Menteri Belanda, Nyonya
"Arjuna, kamu tidak perlu melakukan ini. Aku bisa memanggil pelayan dan membayar mereka agar mau tutup mulut." Naura merasa tidak enak karena Arjuna lah yang secara langsung membersihkan pergelangan kakinya. Arjuna tidak menjawab, pria itu terus fokus membersihkan luka Naura. Setelah selesai, dia mengangkat pandangannya untuk menatap Naura yang duduk di kursi. "Tidak ada cara lain selain menahan rasa sakitnya, kecuali jika kamu bersedia terekspos menggunakan perban di pergelangan kaki," ucap pria itu. Naura menggeleng. "Tidak bisa, aku tidak ingin menambah banyak masalah pada media." "Untuk suamimu kan?" tanya Arjuna cepat. Naura terdiam sejenak, kemudian dia mengangguk. "Iya, aku tidak ingin membuat dia kesulitan...." Arjuna tidak menjawab lagi, pria itu hanya diam dan menatap Naura yang memasang raut wajah sedih seketika dengan diam. Tak lama pria itu berdiri, dan mengulurkan tangan ke arah Naura untuk membantu wanita itu berdiri. Naura membalas uluran tangan Arjuna, di