"Di mana calon menantuku?" Helena bertanya lagi di tengah kesadarannya yang belum terkumpul sempurna. Naura yang mendengar itu tersentak kaget di dalam hatinya. Apakah yang disebut Diandra itu adalah wanita yang diceritakan Damian? Mantan kekasih Arjuna?Naura melirik Arjuna, raut wajah pria itu mengeras dan terlihat enggan untuk menjawab ibunya.Namun, kemudian pria itu dengan lembut mengelus kepala ibunya, "Diandra sudah tidak bersamaku, Bu."Helena mengerutkan kening lalu memejamkan matanya lagi. Dia belum bisa mencerna keadaan terbaru dari Arjuna."Damian," Arjuna memecah keheningan."Ya?"Damian melangkah maju, bibirnya tersenyum tipis saat matanya bertemu dengan mata Helena."Apa dokter masih–"Belum selesai Arjuna bicara, suara derap langkah yang terburu-buru terdengar. Semua orang menoleh dan langsung memberikan akses masuk, termasuk Arjuna.Seoran dokter pria paruh baya masuk tanpa ragu. Sepertinya dia sudah lama berada di sekitar Renjana, karena tidak ada wajah khawatir at
Sebelum kembali ke apartemennya, Naura memutuskan untuk menemui Helena terlebih dahulu dan memperkenalkan diri dengan lebih baik.Sebab, menurut Naura, sangat tak sopan apabila ia kembali begitu saja tanpa memperdulikan sang Nyonya Rumah. Lagipula, Arjuna pun berencana untuk mengenalkan Naura sekaligus menjelaskan apa yang telah terjadi selama tiga tahun belakangan ini kepada Helena."Begitu. Aku pasti telah menyinggung perasaanmu." Helena bersuara setelah mendengar penjelasan dari putranya.Naura menggeleng. "Saya mengerti. Nonya Renjana tidak perlu khawatir."Raut wajah Helena berubah menjadi senyum kaku. "Tidak perlu memanggilku sekaku itu. Untuk ke depannya, panggil saja aku Ibu. Sama seperti Arjuna."Naura melirik Arjuna untuk meminta persetujuan.Setelah mendapat anggukan dari pria itu, Naura kembali menatap Helena dan ikut mengangguk. "Baiklah, Ibu." Senyuman tulusnya kembali muncul."Arjuna memang sulit untuk diajak berkomunikasi. Jika kamu mengalami kesulitan, tidak perlu r
"Aku Diandra." wanita itu tersenyum pongah sambil mengulurkan tangannya ke arah Naura. Melihat itu, ekspresi Naura terlihat tenang. Bahkan hampir tidak menampilkan ekspresi apa pun. Namun, saat dia hendak membalas uluran Diandra, Arjuna tiba-tiba menahan tangannya dan menyeretnya pergi."Ayo masuk," ucap Arjuna tanpa mengucapkan sepatah kata pun pada Diandra.Sebelum benar-benar berpisah, Naura dan Diandra sempat saling tatap. Bibir Diandra terus tersenyum sinis, sementara Naura hanya diam dan mengikuti langkah Arjuna.Dari belakang, Naura bisa mendengar suara Damian yang berusaha untuk membawa Diandra menjauh dari Mansion."Nona, mohon jangan buat saya bersikap kasar. Tuan Renjana–""Ternyata Aran sama sekali tidak berubah ya," potong Diandra.Naura yang mendengar nama itu mengernyitkan dahinya diam-diam. Aran? Apa itu panggilan Arjuna dari Diandra?Saat mata Naura kembali menatap Arjuna, raut wajah pria itu terlihat keras. Kondisi pria itu membuat Naura yang ingin meminta penjelasa
"Nona, apa Anda baik-baik saja?" Kate menyentuh bahu Naura, keningnya sedikit terlipat karena sudah tiga kali ia memanggil wanita itu namun tidak mendapatkan jawaban. "Iya?" jawab Naura cepat, wajahnya sedikit terkejut. "Bahan khusus yang Anda pesan dari China baru saja tiba, Anda ingin melihatnya sekarang?" tanya Kate. Naura menggeleng singkat. "Tidak perlu, aku percayakan padamu." Kate tersenyum, mengangguk mengerti. Naura menghela napas tipis dan kembali menatap tumpukkan kertas di hadapannya, sejak kejadian kemarin tanpa sadar dia jadi sering melamun. Diandra, Naura belum sempat menanyakan alasan wanita itu tiba-tiba muncul di kediaman Renjana. Ekspresi Arjuna langsung berubah buruk tiap kali nama wanita itu disebut, membuat Naura selalu segera mengurungkan niatnya. Bagaimana hubungan mereka sekarang? Apakah masih ada sesuatu yang belum selesai dan tidak Naura ketahui? Naura memijit keningnya, dia tidak pernah menduga kejadian kemarin benar-benar menghantui pikiran
Dua hari setelah Naura mendapatkan tawaran lamaran dari Arjuna, pria itu kembali menghubunginya mengenai pernikahan sepupunya yang berada di Belanda. Sebab, Arjuna meminta Naura untuk menjadi pendampingnya dan tidak ada alasan untuk Naura menolak.Setibanya di Royal Palace Amsterdam, kedatangan mereka segera menjadi pusat perhatian. Dengan dress elegan yang melekat di tubuhnya, Naura melangkah di samping Arjuna dengan raut wajah tenang."Selamat atas pernikahan kalian." Arjuna menjabat tangan sepupu laki-lakinya, William. “Selamat juga untukmu, Tuan Putri.” kali ini Naura yang bersuara sambil memeluk singkat Catharina, Putri Mahkota Kerajaan Belanda yang menjadi istri dari William.Mendengar itu, William tersenyum dan menggenggam erat tangan Arjuna. Dia adalah putra dari paman Arjuna, sang Perdana Menteri Belanda. "Jadi ini wanita yang membuatmu gila saat itu?" tanya William dengan suara rendah, sedangkan yang ditanyai mendelik tajam."Aku hanya bercanda! Tidak perlu serius seperti
"Naura Tirta, hati-hati karena dia bukan orang yang mudah lengah. Di sekitarnya juga banyak orang besar, salah langkah maka semuanya gugur.""Baik, dimengerti."Panggilan penuh perintah itu terputus seketika setelah dijawab. Pria dengan rambut coklat dan memiliki brewok tipis menyimpan kembali ponselnya ke dalam saku.Dia berjalan di tengah ramainya lalu lalang penduduk sekitar dengan jaket dan wajah tertutup menuju Istana. Melewati pintu belakang, beberapa pasang mata yang melihatnya menyapa seperti biasa."Hei, kemana saja? Cepat, acara sebentar lagi dimulai!""Hai, Jhon! Kau baru datang?"Dia hanya menjawabnya dengan senyum tipis singkat dan melanjutkan langkahnya dengan cepat menuju bagian dalam belakang Istana, tempat para pelayan menyibukkan diri mereka.Setelah mengganti pakaian, dengan cepat Jhon menemui kepala pelayan yang sibuk memberikan perintah."Tuan Karl, setelah menyiapkan kamar tamu apa saya boleh diizinkan membantu pekerjaan pelayan lain di aula pesta?"Kepala pelaya
Suasana menjadi chaos, Arjuna berusaha menutupi tubuh Naura menggunakan selimut. Pria itu berdiri dengan telanjang dada melindungi Naura, sementara Naura masih berbaring di belakang Arjuna dengan tubuh yang bergerak gelisah.Mereka tidak mengerti mengapa 'kegiatan' mereka diketahui oleh pihak luar, tapi Arjuna berusaha tenang dan melindungi Naura."Oh Tuhan! Tuan Renjana yang terhormat, bisa-bisanya Anda melakukan hal seperti ini?!" Seru salah satu bangsawan senior."Siapa yang mengizinkan kalian masuk?" tanya Arjuna datar, menatap tajam semuanya.Tak lama, kerumunan bangsawan itu terbelah, muncul William, Catharina, dan Helena."Yang Mulia! Lihat perilaku menyimpang sepupu Anda ini! Sangat memalukan!""Benar, Yang Mulia! Istana harus mengambil tindakan tegas karena mereka bisa menjatuhkan martabat kerajaan!"William menghiraukan seruan para bangsawan, matanya menatap penuh tanya ke arah Arjuna.Arjuna mengangguk tipis, tatapannya seolah mengatakan dia akan menjelaskan semuanya nanti.
"Yang Mulia."Petugas keamanan Istana segera menyingkir dari layar monitor CCTV begitu William dan Arjuna datang. Rekaman CCTV dipusatkan pada pergerakan Arjuna-Naura sejak awal kedatangan mereka, tidak ada yang berbicara atau mengalihkan pandangan dari layar."Berhenti." Pinta Arjuna begitu melihat sesuatu yang mencurigakan."Seorang pelayan?" William melirik sepupunya bingung."Dia mencurigakan," balas Arjuna singkat.William mengerutkan keningnya. "Tapi, jelas bahwa kalian semua meminum wine yang dia berikan, bukan?"Arjuna berdecak kesal. "Mundur beberapa detik." Dia menghiraukan William untuk memberikan perintah pada petugas keamanan yang memegang kendali monitor.Tak!Saat pergerakan layar kembali dihentikan, mereka semua melihat pelayan itu dengan gesit diam-diam memasukkan sesuatu ke dalam gelas yang akan diberikan pada Naura.Raut wajah William menjadi lebih serius. "Simpan rekaman itu, ganti ke tempat lain."Petugas keamanan menurut, dengan gesit ia mengganti lokasi CCTV.W
"Nyonya, bukankah itu tuan Renjana?" ucap Kate dari kursi depan, membuat Naura membuka matanya dan mencoba melihat ke depan. "Benar, itu beliau. Sepertinya tuan Renjana menunggu kepulangan Anda cukup lama, nyonya," balas tuan Benjamin yang menyetir mobil. Dari dalam mobil Naura melihat sosok Arjuna telah berdiri menunggunya di depan pintu masuk. "Sudah berapa lama ia di situ?" tanya Mela yang juga ikut terkejut. Setelah mobilnya berhenti, Naura dengan cepat turun dan melangkah mendekati Arjuna. "Kamu di sini?" tanyanya bingung. "Astaga, apa kamu sudah menunggu kami lama, nak?" tanya Mela khawatir. Arjuna tersenyum tipis, lalu menggeleng. "Tidak, aku juga baru saja tiba." Naura menaikkan alis kirinya, lalu menggeser tatapannya ke arah Damian yang seolah tertekuk rapat. Sepertinya Arjuna berbohong agar tidak membuat ibunya khawatir. "Kamu baru pulang bekerja?" tanya Mela lagi, menatap Arjuna penuh perhatian. Arjuna mengangguk. "Benar, aku kemari karena ada beberapa hal y
Zafir masuk ke dalam ruangan kerja Evelyn dengan raut wajah datar, pandangan matanya mendingin. Saat tatapan mereka bertemu, dengan cepat pria itu bertanya,"Itu ulahmu?"Evelyn dengan mata sembabnya berusaha tenang, meskipun air matanya tidak lagi mengalir deras seperti sebelumnya. "Kamu bicara soal apa, Zafir?" tanya Evelyn, pandangan matanya mulai sedikit kosong tiap kali menatap Zafir. Zafir mengepalkan tangannya. "Tidak perlu bertingkah polos! Itu ulahmu, bukan? Kamu yang sengaja mengatakannya pada Naura?!"Evelyn mengerutkan keningnya, lalu tak lama ia kembali membalas dengan tatapan datar. "Oh? Soal kamu ingin menikah lagi dengannya?" tanya Evelyn. Zafir menggertak kan giginya marah, lalu melangkah mendekati Evelyn dan menggebrak meja kerja wanita itu. BRAK!"Jadi benar? Kamu yang membuat Naura berpaling dariku?!" tanya Zafir, dia marah total karena Evelyn mengacaukan rencananya. Evelyn masih menatap Zafir dengan tenang meskipun kedua tangannya diam-diam gemetar di bawah
Naura melangkah menuju lokasi pesta kembali, suasana hatinya terasa kosong sekarang. Pembicaraannya dengan Evelyn sangat menguras energi. Dia sengaja berhenti di bibir tangga, memperhatikan para tamu yang sibuk bercengkerama. Tak lama suara pria yang tak asing terdengar dari arah belakangnya, begitu menoleh Naura mendapati sosok Zafir sedang tersenyum ke arahnya. "Ada apa?" tanya Zafir begitu mendapati Naura berdiam diri di bibir tangga. Naura memperhatikan pria itu sejenak, ia kembali teringat dengan cerita Evelyn. Diam-diam hatinya bertanya, bagaimana bisa wajah setenang ini yang dulu sangat ia cintai berubah jadi sosok yang bahkan sulit untuk Naura kenali kembali?"Naura, kamu baik-baik saja?" tanya Zafir bingung setelah melihat Naura hanya diam menatapnya. Naura tersadar, dia dengan cepat menarik pandangannya dari Zafir dan tersenyum formal. "Iya, maafkan saya.""Kamu sedang tidak enak badan?" tanya Zafir khawatir, lalu mencoba untuk menyentuh kening Naura. Naura dengan ce
Evelyn terisak hebat saat menceritakan apa yang terjadi di rumah tangganya, sementara Naura hanya diam menyimak. Pandangan matanya mendingin setelah mendengar Zafir dan Malini ingin menjadikan dirinya nyonya Wajendra kembali setelah mereka menggantikannya dengan Evelyn. Bahkan mereka menekankan posisi 'nyonya' dan 'ibu'? Itu menjijikan. Melihat Evelyn yang lemas karena terlalu lama menangis membuat hati Naura sedikit terenyuh, dia dapat memahami rasa sakitnya. Tetapi haruskah ia peduli? Mereka lah yang menginginkan takdir seperti ini, semua rasa sakit mereka timbul karena pilihan sendiri. "Jadi, aku mohon... Bantu aku untuk menjadi sepertimu, aku hanya ingin mempertahankan posisiku," ucap Evelyn, wanita itu kembali memohon. Naura mengerutkan keningnya samar, kondisi terisak wanita itu sukses membuat Naura teringat dengan dirinya sendiri. Dulu dia juga menangis seperti itu, menyalahkan dirinya sendiri atas kekurangannya. Padahal mereka lah yang menginjak-injak dirinya. "Apa yan
Pesta berlangsung meriah meskipun ada kedinginan yang diam-diam menyelimuti mereka. Naura menikmati suasana pesta meskipun Malini terus menerus 'mengusiknya'. Dia masih belum mengetahui alasan Malini melakukan hal itu. Naura mencoba untuk menyingkir dari pusat pesta, dia menepi sejenak untuk kemudian melangkah mencari kamar kecil. Mansion ini dulu adalah miliknya, dia tidak memerlukan bantuan siapapun untuk mencari sesuatu di sini. Sebelum benar-benar pergi ke kamar kecil, Naura sempat memperhatikan Zafir. Pria itu tersenyum seperti biasa, menyapa para tamu mendampingi Malini. Tetapi entah bagaimana Naura merasa ada yang aneh di sini, entah itu situasi ataupun perilaku mereka.Lagi-lagi, Naura mencoba mengabaikannya. Meskipun Evelyn telah mengatakan hal tidak masuk akal saat di Solo kemarin, Naura masih tetap tidak bisa mempercayainya. Untuk apa pria itu menginginkannya lagi? Mereka lah yang membuang Naura. Tidak ada alasan untuk menyesal. Naura meninggalkan area pesta untuk
Hari ulang tahun nyonya besar Wajendra itu akhirnya tiba, acara dilaksanakan di Mansion utama Wajendra. Naura ikut hadir untuk mendampingi ibunya, kedatangan mereka pun segera menjadi pusat perhatian. Naura menatap sekitaran Mansion, tidak banyak yang berubah sejak terakhir kali ia kemari untuk mendatangi ulang tahun Zevan. Malini yang melihat kehadiran Naura dan Mela pun segera menghampirinya, tindakan ini pun langsung menjadi pusat perhatian lebih luas. Pasalnya, semua tamu undangan yang hadir tidak ada yang disambut secara langsung seperti Naura dan Mela. "Astaga, kalian sudah datang? Bagaimana kabarmu, nak?" tanya Malini, lalu memeluk Naura. Naura mengerutkan keningnya tidak nyaman, apa-apaan wanita itu?Tak lama Malini menatap Mela, bibirnya tersenyum lebih dalam. "Ini pertemuan pertama kita, benar?"Mela mengangguk. "Benar, selamat ulang tahun, nyonya besar Wajendra."Malini terkekeh tipis. "Aku sudah terlalu tua untuk mendapatkan ucapan seperti itu, terima kasih banyak, n
Niat awal Evelyn mendatangi suami dan ibu mertuanya adalah untuk meminta maaf.Tetapi... Mendengar percakapan mereka membuat Evelyn mengurungkan niatnya. Dengan lemas wanita itu melangkah mundur, tangan kanannya menutup mulutnya agar tidak mengeluarkan suara tangis sedikitpun. Air matanya mengalir deras, perlahan ia menjauh dari ruang kerja Zafir hingga akhirnya benar-benar berlari. Evelyn terus berlari, ia tidak memiliki tujuan pasti. Para pelayan yang melihat sosoknya pun bingung dan segera bertanya-tanya, apa yang sekiranya baru saja terjadi lagi?Evelyn berhenti secara tidak sengaja di pintu yang selalu dilarang Zafir untuk dimasuki siapapun. Evelyn menatap dingin pintu itu, air matanya masih terus mengalir. Sebenarnya apa yang ada di balik pintu ini hingga suaminya bahkan melarang dirinya untuk masuk?Tak lama Evelyn teringat dengan Naura. Apa yang sekiranya akan Naura lakukan di posisi ini? Apa dia akan mentolerir rahasia seperti ini?Setelah dipikirkan, jawabannya adalah
Berbeda suasananya dengan Mansion Wajendra, Mansion Tirta justru terlihat sangat tenang dan ceria. Naura hari ini tidak pergi ke kantor, dia memutuskan ingin menghabiskan waktu di rumah bersama ibunya. Naura dan Mela mengenakan pakaian berkebun, mereka sibuk menanam tanaman bersama di halaman depan dan belakang Wajendra. Tak lama sosok Arjuna muncul, pria itu seperti biasa mengenakan setelan jas formal berwarna hitam."Kamu tidak ke kantor?" tanya Naura saat melihat pria itu tiba-tiba muncul. Arjuna mengangguk. "Tidak ada jadwal penting hari ini, jadi aku memutuskan untuk mampir kemari setelah mengetahui kamu juga tidak pergi ke kantor."Naura mengangguk mengerti, lalu tersenyum tipis. "Mau bergabung?"Arjuna mengangguk. "Tentu saja, kenapa tidak?""Kamu bisa berkebun?" tanya Mela, dia jarang melihat pria dengan status tinggi menyukai kegiatan seperti ini. Arjuna mengangguk ragu. "Kita bisa mencobanya bersama."Naura terkekeh. "Dari jawabannya itu berarti tidak bisa, bu."Arjuna
Keesokan harinya semua kesibukan berjalan seperti biasa. Zafir kembali fokus pada pekerjaannya dan Evelyn pada jadwal belajar serta putranya. Wanita itu tengah duduk di halaman belakang Mansion sambil mengajak Zevan bermain. Tak lama, suara wanita paruh baya terdengar dari belakangnya. "Astaga, cucuku tersayang!" Evelyn dengan cepat menoleh, dia dengan cepat berdiri untuk menyambut Malini. "Ibu? Kapan ibu tiba di sini?" tanya Evelyn. Malini menjawabnya sambil menggendong Zevan. "Apa itu penting? Yang terpenting adalah bertemu cucuku sekarang."Evelyn hanya tersenyum, dia tidak lagi menjawab dan kembali duduk. "Ibu mau dibuatkan minuman? Aku akan meminta pelayan untuk--""Tidak perlu, aku bisa memintanya sendiri nanti." Potong Malini, lalu duduk tidak jauh dari posisi Evelyn sambil memangku Zevan. "Aku dengar akhir-akhir ini kamu sering bertengkar dengan Zafir, ada apa?" tanya Malini. Senyum Evelyn berubah menjadi sedikit kaku, di momen ini Malini juga menyadari ada sesuatu ya