Di rumah sakit, perawat mulai membenahi luka bakar Naura. Arjuna berada di ruangan terpisah dengannya, Kate berada di luar ruangan karena sedang sibuk menghubungi Zafir. "Baik, sudah selesai. Luka bakar anda tidak terlalu parah seperti suami anda, dalam kurun waktu dua minggu lukanya akan benar-benar kering." Perawat itu berdiri dan memberikan penjelasan, Naura tersenyum tipis mendengar sang perawat menyebut Arjuna sebagai suaminya. "Terima kasih, tetapi kebetulan pria itu adalah rekan bisnis saya. Dia bukan suami saya." Naura mengucapkan terima kasih sekaligus memberikan penjelasan. Perawat itu sedikit terkejut. "Oh... Maafkan saya, saya pikir beliau adalah suami anda. Rekan bisnis anda sangat baik, dia terus menerus mengingatkan pihak rumah sakit untuk mengobati anda dengan benar." Naura mengerutkan keningnya, pria itu masih memikirkannya di tengah luka bakar punggungnya? Jika dibandingkan dengan luka bakar Naura, miliknya bukan apa-apa. "Apa saya boleh mengunjungi rua
Naura berjalan keluar dari rumah sakit menuju mobil Arjuna karena Damian menawarkan tumpangan secara pribadi untuknya. Alhasil, wanita itu harus semobil lagi dengan Arjuna. Mobil kemudian melaju menuju Villa Wajendra dalam kondisi hening. Naura sudah tidak lagi menangis dan semuanya mulai berjalan normal seperti biasa. Ketika hendak memasuki pintu gerbang Villa, suara klakson mobil dari belakang terdengar, sehingga mobil Arjuna mau tidak mau harus berhenti. Kemudian, mobil di belakang mereka melaju masuk ke dalam lebih dulu. Itu mobil Zafir. Saat mobil Arjuna telah memasuki gerbang, Zafir segera keluar dari mobilnya bersama Evelyn, mereka berdua menatap mobil asing Arjuna. Naura dengan tenang keluar dari mobil dengan kaki tertatih, Arjuna pun ikut keluar dari mobil. Zafir yang melihat Naura dengan cepat menghampiri istrinya. "Kamu baik-baik saja?" tanya Zafir, ada banyak pertanyaan di wajahnya. Naura menepis tangan Zafir, lalu menampar pipi pria itu. PAA!! Semua orang ter
"Zafir, kamu masih memikirkan kak Naura?" Evelyn menyandarkan kepalanya dengan manja di dada bidang Zafir. Kini mereka berdua tengah duduk di sofa ruang tengah Villa. Tangan kanan Zafir memegang cangkir minum, tapi tatapannya tajam menatap lurus ke depan tanpa objek. Pikirannya sedang melalang buana soal Naura dan Arjuna, Zafir jelas sekali merasakan sesuatu dari Arjuna setiap kali pria itu memandang istrinya. "Menurutmu apa hubungan Naura dan pria itu?" tanya Zafir, dia tidak melirik sedikitpun ke arah Evelyn. Evelyn mengerjapkan kedua mata bulat manisnya. "Kak Naura dan Tuan Renjana? Hmm, mereka terlihat sangat dekat seperti sahabat! Sepertinya kak Naura sangat menyayangi temannya, Tuan Renjana." Kalimat polos itu cukup untuk membuat Zafir mengernyitkan keningnya penuh dengan kebencian. "Tuan Renjana sangat mempedulikan kak Naura seperti Zafir peduli padaku! Bukankah Tuan Renjana adalah orang baik, Zafir?" Wanita itu kembali berbicara, bibirnya tersenyum sangat manis,
Naura seperti orang gila di kamarnya, dia hanya berbaring dengan air mata yang sudah kering dan pandangan kosong. Rasanya dia ingin tertawa keras mengenai nasibnya, konyol sekali dikurung oleh suami sendiri. Perlahan ia bangkit dan berjalan ke arah jendela besar sudut kamarnya. Naura menyingkap tirai tersebut agar dapat melihat pemandangan halaman belakang Villa yang sangat indah, namun pemandangan itu tak cukup untuk membuat pikirannya tenang. Naura masih memikirkan Zafir dan Evelyn, perlahan air matanya pun jatuh. Di tengah kesunyian kamarnya, suara ketukan pintu terdengar. Naura menolak untuk menoleh, dia tahu yang mengetuk itu adalah Zafir. Zafir membuka pintu kamar Naura tanpa menunggu jawaban wanita itu, lalu menutupnya lagi dan mendapati istrinya tengah berdiri dengan tatapan kosong ke arah luar berlinang air mata. Pria itu membawa nampan yang berisi bubur hangat dan air putih, Zafir meletakkannya di atas meja dekat kasur Naura. Pria itu lanjut mendekati Naura dan berdiri d
Hari-hari terus berlanjut, sudah dua minggu sejak kejadian awal mula Zafir membatasi pergerakannya. Saat ini Naura tengah duduk di batu besar yang ada di tepi danau dekat dengan Villa mereka, danau ini masih termasuk wilayah Villa Wajendra. Naura mengenakan dress piyama berwarna putih dan cardigan untuk melindunginya dari udara dingin. Rambut cokelat panjang wanita itu tergerai bebas, tapi raut wajahnya kosong seolah tidak ada semangat sedikitpun. Mata yang selalu hangat itu mulai membeku, musim dingin di Amsterdam pun sebentar lagi tiba. Naura merindukan Kate dan ibunya yang berada di Indonesia, sudah lama sekali Naura tidak bertemu dengan ibunya. Kini Naura bak tahanan di Istana sendiri, menyedihkan. Saat ini matanya menatap kosong ke bayangan dirinya di permukaan danau, tapi tiba-tiba Evelyn muncul dari belakangnya. Naura tidak menoleh sama sekali, seolah dia tidak melihat Evelyn. "Apa yang sedang kak Naura lakukan di sini?" tanya Evelyn. Naura tidak menjawab, wanita itu
Naura bergerak seperti zombie, dia tidak memiliki tenaga untuk berpikir lagi. Air matanya sudah mengering lama, matanya kini semakin bengkak karena sudah menangis cukup lama. Di tengah kehampaan dirinya, dering telepon Villa terdengar. Naura tersadar dari lamunannya dan dengan malas mengangkat panggilan tersebut. Tak lama setelah dia mengangkat panggilan, suara Zafir terdengar. Suara yang sangat dingin dan seolah penuh ancaman pada Naura. "Cepat kemari, Kate dan supir akan menjemputmu. Evelyn membutuhkan izin dari pihak keluarga, karena sesuai data dia adalah sepupumu." Kalimat penuh perintah itu melayang di kepala Naura, apakah sekarang dia harus menolong wanita itu? Konyol sekali! Padahal dia sendiri yang menceburkan dirinya ke dalam kolam. Naura menutup telepon itu tanpa menjawab Zafir, tetapi tidak lama kemudian telepon Villa mereka kembali berdering. Naura mengangkatnya lagi dan suara Zafir kembali terdengar. "Kamu mendengarku, bukan? Tolong cepat dan jangan lupa, pastika
Arjuna melepas mantel hitamnya dengan satu tangan, kemudian mengenakannya dengan cepat ke tubuh Naura. Raut wajah pria itu sangat dingin dan keras, tapi Naura bisa melihat ada rasa kekhawatiran yang sangat besar sekarang. "Arjuna?" Naura memanggil Arjuna lagi setelah pria itu selesai mengenakannya mantel dan kini hanya diam menatap penampilan Naura yang berantakan. "Ikut aku." Arjuna menarik tangan Naura tiba-tiba, Naura tentu saja sangat terkejut dan menolak ajakan pria itu. "Apa yang kau lakukan?" Naura menepis tangan Arjuna, membuat jarak di antara mereka. Naura kembali kehujanan, Arjuna pun dengan cepat mengarahkan payungnya lagi ke Naura dan memperdekat jarak mereka. "Kamu terluka." Hanya kalimat pendek itu yang keluar, tapi berhasil membuat Naura tertegun. Wanita itu menatap bola mata emerald Arjuna yang selalu bersinar, matanya seolah dapat menghantarkan semacam energi yang membuat dirinya 'tersetrum'. Naura mengedipkan matanya dua kali, kemudian dia mengalihkan
Naura duduk dengan pandangan kosong setelah dokter selesai mengurus lukanya, Arjuna dan Damian sekarang sedang mendengarkan penjelasan dokter mengenai lukanya secara seksama. Mereka bertingkah seperti orangtua untuk Naura, padahal dirinya sendiri pun tidak terlalu peduli pada lukanya. Sebab, ada yang jauh lebih sakit dari ini. "Pastikan lukamu selalu bersih." Arjuna tiba-tiba berbicara padanya, pria itu kini berjalan ke arahnya sambil menenteng paper bag cokelat yang entah dari mana, sedangkan Damian pergi ke luar ruangan untuk mengurus biaya administrasi. Naura menoleh dan menatap sosok Arjuna, pria itu kemudian duduk di kursi yang berada di dekat ranjang pasien. Naura tersenyum tipis, tapi sangat tulus. "Terima kasih, maaf... Aku sudah sangat banyak merepotkanmu." Seperti biasa, pria itu lagi-lagi tidak menjawab ucapan terima kasih Naura. Arjuna saat ini justru secara tiba-tiba mengeluarkan sandal empuk berbulu putih dari dalam paper bag yang ia bawa. Sebelum kemudian den