“Benar begitu, Tuan Wajendra?”Suara berat itu memaksa Zafir yang awalnya menatap lurus ke depan untuk mendongak ke arah hakim yang kini memandangnya. Zafir lalu kembali menatap ke arah samping hingga pandangannya dan Naura kembali bertemu. Saat ini, Naura sudah sangat siap apabila Zafir melontarkan kalimat penuh duri untuknya seperti Malini. Namun, alih-alih mengikuti tindakan ibunya, pengakuan Zafir membuatnya terkejut.“Benar, Yang Mulia. Rumor mengenai perselingkuhannya dengan Tuan Renjana itu memang tidak benar. Alasan sesungguhnya kami bercerai memang hanya hubungan yang tidak lagi selaras dan faktor keturunan."Pria itu justru bertindak sebaliknya. Bahkan Zafir sama sekali tak menatap ke arah Malini yang mulai menampilkan wajah masam.Setelah berbagai macam saksi dan pengakuan dari terduga, sidang pun ditutup. Zafir dan Naura, mereka resmi bercerai. "Kamu seharusnya membahas Arjuna, Zafir. Wanita itu harus diberi pelajaran untuk hancur!" Suara Malini yang berkata marah ke
"Aku sudah katakan untuk tidak meninggalkan Mansion, bukan? Kenapa tiba-tiba muncul di hadapan banyak wartawan?" ujar Zafir terlihat sangat kesal. Mereka sekarang sudah berada di dalam mobil menuju Mansion. Evelyn mengerutkan keningnya, raut wajahnya mengatakan bahwa dia tidak mengerti mengapa Zafir sangat marah padanya. "Aku hanya ingin menjemputmu, Zafir. Aku–"Zafir menghela napas gusar dan berkata dengan suara kencang, "Tapi itu tidak perlu, Evelyn!! Tidak bisakah kamu mengerti situasi?" "Tindakanmu yang muncul tiba-tiba dengan perut besar setelah perceraianku telah menghancurkan citra yang berusaha kupertahankan!" lanjutnya pria itu lagi.Kedua mata Evelyn berkaca-kaca. Bukan itu niatnya. "Namun, bukankah kamu yang mengatakan bahwa aku adalah calon Nyonya Wajendra? Sebagai Nyonya Wajendra, harus percaya diri dan tidak perlu takut pada apa pun. Jadi aku hanya ingin mendampingi–""Sekarang bukan waktu yang tepat! Paham tidak?!" Zafir memotong keras kalimat Evelyn dan membuat wa
Dua minggu setelah perceraian Naura dan Zafir, publik masih membahas tentang mereka meski intensitas pemberitaan media sudah menghilang sepenuhnya.Ini mengapa Naura tidak ingin begitu peduli. Sebab, dia yakin kalau pihak internal Wajendra pasti akan menggelontorkan dana yang tidak sedikit untuk membungkam media yang terus bersuara.Bahkan, humas Wajendra juga pasti telah menyewa buzzer untuk memancing opini sebaliknya yang lebih netral. Sebab, beberapa kali Naura ataupun Kate menemukan komentar seperti itu di sosial media.Setelah mematikan ponsel yang dia gunakan untuk mengecek berita, Naura bangun dengan nyaman dan segera ia menyiapkan diri untuk melaksanakan aktivitas barunya. Di luar, Kate sudah sibuk di dapur menyiapkan sarapan atasannya dengan selalu tersenyum dan menyapa hangat. Tidak pernah berubah, yang berubah hanya panggilan yang ia gunakan."Selamat pagi, Nona."Wanita itu memang turut mengundurkan diri dari Wajendra untuk terus mengabdi pada Naura. Sebab, Kate merasa,
Masalah terkait tanah lapak semakin runyam karena pihak Wajendra tidak mau mengalah, sedangkan Naura masih ingin terus bertahan. Sebab, bagaimanapun juga dia adalah orang yang membayar uang muka lebih dulu. Naura berusaha menghubungi Stave bahkan Zafir, tapi tidak ada jawaban sedikitpun. Bahkan pesan dan telepon pribadinya kepada kedua orang itu sama sekali tidak dibalas.Namun, setelah berhari-hari, sebuah email masuk ke pesannya. Ternyata, pihak Wajendra mengundang dirinya untuk bertemu dan membahas masalah ini lebih lanjut secara resmi.Tanpa pikir panjang, Naura langsung menyetujuinya dan menyetujui jadwal temu. Hingga kemudian, dia sudah berada di ruangan yang sama dengan Zafir. Mereka duduk berhadapan dalam hening. Pertemuan ini mengatasnamakan bisnis, tapi Naura tak melihat siapapun di ruangan itu kecuali mereka. Bahkan Stave tak terlihat di mana pun, padahal seharusnya pria itu harus selalu bersama-sama dengan Zafir."Di mana bawahan Anda yang lain, Tuan Wajendra?" tanya Na
Mata Naura melebar saat melihat Evelyn berdiri di depannya. Ia terkejut, apalagi saat melihat sosok bayi mungil yang ada di pelukan wanita itu. Ternyata, waktu sudah berjalan begitu cepat hingga Naura tak sadar kalau sudah waktunya bagi Evelyn untuk melahirkan."Oh, ada Kak Naura di sini? Maaf, aku baru saja tiba. Kalau tahu, aku–""Sudah berapa lama kamu berdiri di situ, Evelyn?"Perkataan Zafir memotong pembicaraan Evelyn dengan Naura. Membuat wanita itu tersenyum, tapi kemudian memasang wajah bingung yang polos."Baru saja. Ada apa, Sayang?" Mendengar jawaban Evelyn, Zafir terlihat lega. Sedangkan Naura hanya diam dan tidak mengatakan apapun, tersenyum pun tidak. Bahkan ia sudah melangkah pergi saat Evelyn menggapai lengannya dan menariknya kembali. "Ayo masuk dulu!" "Lain kali saja. Aku memiliki urusan penting yang menunggu," jawab Naura. Ia kembali ingin melangkah, tapi Evelyn kembali menahan lengannya. "Ayolah, Kak Naura. Hanya sebentar, Kok. Bagaimanapun juga kita pernah t
Setelah pertemuannya dengan Zafir dan Evelyn, Naura tersenyum puas. Sebab, ternyata Zafir benar-benar mengalah mengenai tanah lapak yang sebelumnya entah karena alasana apa, diperebutkan oleh Wajendra. Kemudian, segala persiapan berjalan lancar tanpa kendala yang berarti. Naura berhasil mendapat karyawan dengan kualitas bagus dan mempersiapkan grand opening butiknya dengan sangat baik.Hingga hari di mana butik Naura debut, banyak selebritis besar dan beberapa pejabat tinggi yang menghadiri acaranya. Meskipun tidak sebanyak dulu, tetapi setidaknya masih ada media yang datang untuk meliput acaranya. Ternyata, tak semua media mau menurut pada ancaman boikot milik Wajendra.Selagi Naura memberikan kata sambutan, Arjuna duduk dengan wajah datar yang dilengkapi oleh sunggingan senyum tipis di meja paling depan. Pria itu duduk bersama deretan investor besar di butik Naura dan bertepuk tangan paling meriah muncul begitu Naura selesai berbicara. "Nona Naura selalu membuat sesuatu yang lu
"Sudah berapa lama beliau seperti ini?" "Tiga tahun." Saat ini, Naura dan Arjuna berdiri di kamar Nyonya Renjana sebelumnya, ibu kandung Arjuna, Nyonya Helena, yang terbaring dengan berbagai alat yang terpasang di tubuhnya.Helena didiagnosa memiliki penyakit kronis di bagian otak serta jantungnya, sehingga menyebabkan wanita konglomerat itu tidak sadarkan diri selama bertahun-tahun. Tepatnya, setelah kepergian suaminya, ayah Arjuna, entah ke mana."Lalu, di mana keluargamu yang lain?" tanya Naura tanpa berusaha menyembunyikan raut penasaran di wajahnya.Setelah bertekad untuk mengenal pria itu lebih dalam, Naura berjanji untuk lebih sering bertanya.Kini, kedua matanya yang dihiasi bulu mata lentik memperhatikan Arjuna yang masih memandangi ibunya dalam diam."Ayahku sudah lama pergi, kini tersisa ibuku saja." Naura mengangguk mengerti, hatinya diam-diam merasa simpati. Tangan kanan Naura pun bergerak lembut mengelus punggung Arjuna untuk menenangkan pria itu.Namun, tindakan itu
"Selamat atas pernikahan kalian, Tuan dan Nyonya Wajendra." Naura tersenyum ke arah Zafir dan Evelyn yang kini berdiri di pelaminan. Raut wajah Naura terlihat senang, seolah tidak pernah memiliki hubungan buruk apapun dengan keduanya. Naura tampak cantik dengan floor length dress-nya yang berwarna biru tua. Sementara kedua pengantin terlihat elegan dalam balutan jas dan gaun putih. Tak jauh dari mereka, seorang wanita tampak kerepotan menimang bayi laki-laki yang telah berumur enam bulan, Zevan. Bayi itu terlihat aktif melihat ke langit-langit gedung yang dilapisi kristal-kristal putih. Keberadaan Zevanmembuat Naura salah fokus, karena ternyata butuh waktu lama bagi Zafir untuk resmi menikahi Evelyn. Apa pria itu sengaja menunggu baby blues istrinya mereda?"Anda tidak kemari dengan tuan Renjana?" tanya Evelyn. Suara Evelyn membuat Naura memalingkan wajahnya dari Zevan dan kembali menghadap Evelyn.Wanita itu terlihat sangat bangga dengan mahkota pengantinnya yang bersinar sehi
Naura mengerjapkan matanya pelan, hanya ada atap putih khas rumah sakit di pengelihatannya. Belum ada lebih dari tiga detik, otak wanita itu secara otomatis mengingat Arjuna lalu menyusul pada pekerjaannya. Tubuh Naura mendadak menegang. Saat berusaha mengambil posisi duduk, ia tersadar bahwa sekarang dirinya berada di rumah sakit dengan selang infus di tangan. Menoleh ke samping, ia melihat sosok Althaf yang duduk tertidur di kursi dekat ranjangnya. Pria itu terlihat sangat lelah dan tenang, hingga tak lama kedua mata Althaf tiba-tiba terbuka, membuat pandangan mereka jatuh bersama di satu titik. "Kamu sudah sadar?" ucap Althaf sambil mengambil posisi tegak, wajahnya menatap penuh khawatir ke arah Naura. Naura mengangguk. "Iya. Apa aku sebelumnya pingsan?"Hening sejenak, sampai akhirnya Althaf mendengus tipis dan menatap Naura seolah marah. "Kamu bertanya padaku? Astaga! Ini semua karena pola makanmu yang berantakan, aku curiga sebenarnya sejak dulu pola makanmu seperti ini, y
"Selamat datang, nyonya Tirta. Mohon maaf karena kami tidak sempat menyambut Anda--""Tidak masalah, wakil manajer." Potong Kate mewakili Naura, membuat sang wakil manajer itu terdiam. "Di mana manajer Frank?" tanya Naura, matanya memperhatikan satu persatu wajah yang menyambutnya. "Ah... Beliau sedang memiliki urusan penting di luar, nyonya. Setelah mendengar kabar bahwa Anda akan datang beliau bergegas menuju kemari, mohon pengertiannya karena belakangan ini perusahaan sedang sibuk-sibuknya," jawab sang wakil manajer. Naura ataupun Kate tidak ada lagi yang membalas, sementara Althaf sejak awal hanya diam dan mengamati di belakang Naura. Mereka pun akhirnya dipersilahkan masuk menuju ruang utama manajer Frank, di sana Naura duduk dengan tenang di sofa tengah ruangan mereka. "Berikan aku laporan terkini," pinta Naura secara tiba-tiba. Sang wakil manajer dengan cepat melipat keningnya bingung. "Laporan mengenai apa, nyonya?"Naura menaikkan alis kirinya, pertanyaan macam apa itu?
Naura tiba di Sulawesi dengan selamat bersama Kate dan Althaf. Menunggu pagi, ketiganya pun singgah di salah satu hotel kota setempat. Tidak memungkinkan untuk langsung bergerak di tengah malam menuju pagi ini. Keesokan harinya begitu siang, mereka berkumpul di ruang tengah hotel Naura untuk membahas urusan hari ini. "Nyonya, apa tidur Anda nyaman?" tanya Kate khawatir karena menyadari raut wajah Naura yang tidak begitu baik. Naura mengangguk singkat. "Aku baik-baik saja." Lalu matanya melirik Althaf. "Apa hal yang kamu tunda sampaikan semalam?" Althaf tersenyum tipis sambil menyesap kopi hitamnya, kedua matanya membalas tatapan Naura seperti biasa. "Aku memiliki rekan yang berpengaruh, dia Gubernur di kota ini. Dia bisa menekan pergerakan media atau hukum yang sekiranya dikendalikan pelaku. Pion kuda juga sudah dikerahkan sejak pagi."Kate yang mendengar ini pun merasa penasaran. "Pion kuda?"Althaf mengangguk cepat. "Hal yang paling digilai pria itu selain uang adalah wanita,
Naura tertegun menatap Althaf, apa-apaan jawaban pria itu? Sementara Althaf tak lama kemudian tertawa, lalu ia menggeleng pelan. "Aku bercanda." Naura pun akhirnya perlahan ikut tertawa tipis meskipun perasaannya sudah terlanjur canggung. "Jadi siapa dia?" tanya Naura lagi, berusaha mengalihkan suasana canggung mereka. Althaf perlahan berhenti dari tawanya, lalu bersandar pada sofa sambil memejamkan mata. "Entahlah, terlalu menyakitkan untuk disebut," jawab pria itu seolah kejadian menyakitkan itu baru terjadi kemarin. Naura menaikkan alis kirinya. "Dia rekan kerjamu atau kerabat jauh mungkin?" Althaf membuka sebelah matanya sekilas untuk menatap Naura. "Sudah aku katakan, dia terlalu sakit untuk disebutkan." Naura terkekeh tipis. "Mengapa mendadak dramatis?" Althaf ikut tertawa. "Aku tidak dramatis, tetapi memang kenyataannya sangat menyakitkan!" Naura hanya menggeleng pelan melihat kelakuan pria itu, lalu lanjut memasukkan sesendok makanan ke mulutnya. "Tapi." Althaf
"Maaf, aku harus segera kembali ke kantor," ucap Naura setelah menyimpan kembali ponselnya. Althaf mengangguk ringan. "Tentu saja, tidak masalah. Aku juga memiliki beberapa pekerjaan lain." Naura balas tersenyum, lalu saat ia hendak mengucapkan kalimat perpisahan, Althaf tiba-tiba kembali bicara. "Apa aku boleh menemuimu kapanpun sebagai teman kecil setelah ini?" Naura menaikkan alis kirinya, lalu tanpa keberatan mengangguk. "Iya, mengapa tidak?" Althaf terkekeh. "Baiklah, terima kasih banyak. Aku hanya takut mengganggu waktu nyonya besar Tirta." Naura ikut terkekeh tipis. "Jangan mengolokku, Althaf." Berikutnya ia melirik ke jam analog di tangan kirinya. "Maaf, aku harus segera ke kantor." Althaf yang masih memiliki senyum lembut mengangguk. "Iya, hati-hati di jalan. Segera kabari aku jika terjadi sesuatu." Naura balas mengangguk juga, kemudian mereka akhirnya berpisah setelah dua hingga tiga kalimat pamit. Sampai di kantor Tirta, Naura dengan cepat menyerahkan seluruh
Selesai mendonorkan darahnya, Althaf meminta izin pada Naura untuk melihat kondisi Arjuna. Tidak merasa keberatan, Naura pun mengizinkannya. Mereka melangkah bersama menuju ruangan Arjuna. Begitu pintu dibuka, hanya ada hening yang diiringi suara mesin pendeteksi detak jantung. Pandangan Naura otomatis melembut saat melihat sosok Arjuna yang masih tebaring memejamkan matanya. Tanpa Naura ketahui, Althaf menyadari tatapannya beberapa saat. Lalu ia pun beralih ikut menatap Arjuna. Naura duduk di kursi tidak jauh dari ranjang Arjuna, sementara Althaf berdiri di belakangnya. "Sudah berapa lama beliau tidak sadarkan diri?" tanya Althaf. Naura memandangi Arjuna semakin dalam, lalu meraih tangan hangat pria itu. "Tiga hari.""Sebuah keajaiban beliau masih dapat bertahan di tengah kondisinya yang kekurangan darah," balas Althaf takjub. Naura tersenyum tipis, tidak menjawab. Tetapi dia setuju mengenai keajaiban yang disebutkan Althaf, karena Arjuna memang selalu membuatnya terkejut. "A
Sehari setelahnya, Naura seperti biasa sibuk mengurus berbagai macam pekerjaan. Masalah internal Tirta sudah mereda berkat dana investasi yang diberikan Althaf. Perusahaan pun dapat kembali berjalan seperti sedia kala.Damian pun secara rutin selalu mengirimkan laporan mengenai perkembangan Renjana, pria itu mengabarkan bahwa Renjana menggelar rapat tertutup. Helena meminta Naura untuk hadir, namun dengan hati-hati ia menolaknya. Meskipun Helena sendiri yang mengundangnya, rapat itu tetaplah bersifat internal. Naura segan untuk bergabung, dia belum menjadi istri sah Arjuna. Helena sepertinya telah memantapkan hatinya, wanita itu berhasil bangkit dari keterpurukannya untuk berdiri melindungi Arjuna. Situasi anak dan ibu itu memang sedang berada di ujung tanduk. Di tengah kesibukannya, ponsel Naura lagi-lagi berdering. Naura hanya melirik sekilas, keningnya terlipat bingung karena penghubungnya adalah nomor tak tak dikenal. "Tolong angkat untukku, Kate," pinta Naura sambil kembal
Senyum Jordan yang semula ramah kini berubah sama dinginnya dengan Naura, kilatan kebencian muncul selintas di matanya. "Nyonya Tirta, alangkah baiknya jika Anda tidak ikut campur lebih dalam. Internal Renjana adalah sesuatu yang tidak bisa diusik pihak manapun, saya peringat--""Tuan Jordan, apa kalimat saya yang sebelumnya kurang jelas untuk Anda?" potong Naura, tidak takut pada penekanan Jordan. "Aku adalah bibi Arjuna, berani-beraninya kamu memperlakukanku seperti ini?! Aku sungguh tidak akan rela jika ternyata keponakanku menikahi wanita angkuh sepertimu!" balas Lina sambil terus menatap tajam Naura. Naura tersenyum tipis. "Tidak ada maksud sedikitpun untuk dianggap angkuh. Tetapi amanah tetaplah amanah, saya hanya ingin menjaga kepercayaan calon ibu mertua saya." Jordan mengerutkan keningnya. "Apa kami menurutmu adalah kekonyolan Renjana? Saya adalah sepupu yang jelas memiliki darah kental Renjana seperti Arjuna, di mana etika Anda--""Tuan Jordan, jika itu yang memang Anda
Naura menatap Zafir dingin, saat pandangan mata mereka bertemu perasaan jauh yang membeku semakin terasa. Pria itu benar-benar memutuskan untuk mengakhiri kerjasama Wajendra dan Tirta hanya karena darah untuk Arjuna? Jika kerjasama dibatalkan maka kemungkinan besar kedua belah pihak akan rugi puluhan miliar dalam sekejap, Naura tidak mengerti jalan pikiran Zafir saat ini. Naura kemudian menarik kasar tangannya dari Zafir, membuat kembali jarak di antara mereka. "Itu keputusanmu?" tanya Naura. Zafir tidak menjawab, matanya hanya menatap tajam Naura. Naura tersenyum tipis. "Kalau begitu terima kasih banyak atas waktu yang telah Anda sisihkan untuk saya. Mohon maaf jika mengganggu--""Justru harusnya aku yang bertanya. Apa ini keputusan yang kamu ambil? Pria itu sedang berada di ambang kehancuran dan--""Saya permisi, tuan Wajendra. Masalah pembatalan kerjasama, mari kita bicarakan setelah ini. Saya masih memiliki keperluan lain, terima kasih." Potong Naura balik, lalu melangkah ke