Sesampainya di bandara, Naura turun dari mobil dan melangkah masuk tanpa menunggu Zafir dan Evelyn. Tidak ada lautan wartawan atau kamera kali ini, sehingga dia bisa bergerak bebas. Naura mengenakan topi, kacamata, dan masker hitam. Mantel hitam panjang juga menutupi tubuhnya, orang-orang sekitar hanya akan tahu bahwa dia adalah seseorang yang misterius, bukan Nyonya Wajendra. Naura menaiki pesawat jet pribadi lebih awal, dia segera melepas atribut tertutupnya, kecuali kacamata hitam miliknya. Wanita itu memilih mengambil majalah dan membacanya, bahkan saat Zafir dan Evelyn tiba, wanita itu tidak menoleh sama sekali. Di tengah kenyamanannya, tiba-tiba Evelyn mendekat dan bertanya, "Kak Naura, Bolehkah kita bertukar tempat duduk? Aku ingin melihat pemandangan dari sisi sebelah sini." Suara Evelyn yang takut-takut berbicara dengannya terdengar, membuat Naura menatap datar wanita itu dari balik kacamata hitamnya. Kate yang juga ada di sana segera berdiri dari tempat duduknya da
"Nyonya, sepertinya pemilik mall ini sangat menyukai interior lama. Semuanya terlihat antik dan klasik, luar biasa." Kate berdecak kagum saat mereka melakukan penelusuran di salah satu mall terbesar kota Amsterdam. Naura hanya tersenyum, dia setuju dengan komentar Kate. Mereka sudah cukup lama mengelilingi mall, kaki Naura mulai terasa lelah. Wanita itu akhirnya memilih untuk duduk di kursi yang telah disediakan. "Apa ada sesuatu yang membuat anda tertarik, Nyonya?" tanya Kate, tangan kanannya menggenggam sebuah MacBook, dia mencatat dan menyimpan semua hal penting di situ untuk menggantikan laptop. Naura menggeleng pelan, keningnya sedikit terlipat. Diam-diam dia tidak terlalu fokus melakukan penelusuran, pikirannya masih tertahan di Villa. "Belum, tapi sepertinya jika dilihat dari luar mall, bisnis di industri pangan atau teknologi masih berada di barisan terdepan." "Apa? Maksud anda, anda batal untuk membangun bisnis baru di mall?" tanya Kate, karena memang hal yang dari
"Maafkan Tuan Renjana, beliau belakangan ini sedang berada di kondisi hati yang tidak baik." Damian tersenyum ramah seperti sebelumnya sambil menuangkan teh untuk Naura, sedangkan Arjuna di tengah perjalanan tadi memiliki beberapa urusan yang tidak bisa dia tunda. Naura hanya mengangguk singkat sambil tersenyum tipis. Kemudian sedikit menghela napas lega karena diam-diam dia memikirkan perilaku berbeda Arjuna. Ternyata, pria itu terlihat lebih acuh dan dingin meskipun perbedaannya tipis. "Apa ada masalah besar? Khususnya mungkin di usaha kerjasama antara Wajendra dan Renjana," tanya Naura untuk memastikan hubungan bisnis mereka. Damian terkekeh pelan, "Tidak, tentu saja tidak. Tuan Renjana pada dasarnya memang jarang bicara atau memberikan respon terkait hal-hal di sekitarnya jika bukan menyangkut pekerjaan." "Tetapi... Memang sebelumnya beliau sempat berubah." Sambung Damian. Naura mengerutkan keningnya. "Berubah?" Damian mengangguk. "Benar, tepatnya sejak...." Damian ber
Naura menghempaskan tubuhnya ke kasur dan memejamkan matanya. Tubuhnya lelah, karena dia sudah mengelilingi mall besar tersebut sebanyak tiga kali. Di tengah kenyamanannya itu, dari saku mantelnya Naura merasakan ada sesuatu yang bergetar. Naura mengerutkan keningnya, kemudian dengan malas mengambil ponsel tersebut dan melihat siapa yang menelepon. Jantung Naura seolah berhenti kala mengetahui bahwa yang meneleponnya adalah ibu Zafir, Malini. Naura segera mengambil sikap duduk, raut wajahnya terlihat serius bercampur sedih. "Iya, ibu?" "Kamu sedang berbulan madu dengan Zafir? Astaga Naura, sudah berapa kali kamu melakukan hal yang sama?" Suara Malini yang nyaring dan seolah akan menelan Naura itu terdengar. Naura mengambil napas panjang sebelum akhirnya dia menjawab, "Kali ini aku dan Zafir akan berusaha lebih keras, bu." Selesai Naura berkata demikian, suasana di telepon mendadak hening. Tak lama kemudian, suara gelak tawa Malini terdengar, membuat Naura mengerutkan kenin
Di dalam lift tempat mereka terjebak, tangan kanan Naura tidak sengaja menyentuh tangan Arjuna, wanita itu sedikit terkejut karena mendapati tangan Arjuna yang tengah gemetar. Apakah pria itu takut kegelapan? Naura mendongak untuk melihat Arjuna. Namun, belum sempat dia mendongak sempurna, Naura baru sadar bahwa posisi mereka sangat dekat. Dengan cepat Naura melepaskan diri dari pelukan Arjuna. "Anda baik-baik saja?" tanya Naura dengan nada suara rendah, dia sedikit terkejut Arjuna benar-benar gemetar sekarang. "Diam." Arjuna menjawab singkat, kemudian menarik lengan Naura dan mencengkeramnya erat. Naura mengerutkan keningnya, itu lumayan keras dan sakit. Meski begitu, dia merasa ragu untuk menegurnya karena lengan pria itu masih gemetar. Arjuna lalu berusaha mengeluarkan ponsel dari sakunya untuk menelepon Damian. "Kau di mana?" suara Arjuna terdengar baik-baik saja, sangat berbanding terbalik dengan kondisi fisiknya yang sudah gemetar. "Lobby utama. Ada apa?" Suar
Tidak banyak perbincangan di dalam mobil antara Naura dan Kate, raut wajah Naura terlihat tetap tenang seolah tidak ada apa pun yang terjadi, sementara Kate masih dilanda keterkejutan yang berujung canggung. Begitu tiba di Villa, Naura bergegas menuju kamarnya tanpa menyapa atau memperhatikan Zafir dan Evelyn. Tetapi, ketika Naura baru saja masuk ke dalam kamarnya, dia sedikit terkejut saat melihat sosok Zafir di sana. "Dari mana saja?" tanya Zafir, nada bicaranya terdengar sangat dingin. Pria itu duduk di tepi ranjang Naura sambil menatap datar istrinya. Naura menghela napas tipis, wanita itu segera menutup pintu dan berjalan ke arah meja rias. Naura melepas antingnya dengan tenang, seolah raut wajah marah Zafir tidak ia pedulikan. "Aku bertanya, Naura." Zafir kembali berbicara, membuat Naura kembali berbalik dan menatap pria itu. "Aku melakukan riset merata ke seluruh kawasan pusat perbelanjaan Amsterdam, bukankah kamu tahu itu?" jawab Naura, kedua matanya terlihat telah
Keesokan paginya, mereka bertiga sarapan bersama. Tentu saja dengan suasana Naura dan Zafir yang sangat canggung, sementara Evelyn wanita itu selalu tersenyum dan tertawa sepanjang waktu. "Zafir! Aku mau itu!" Evelyn menunjuk buah mangga yang berada tidak jauh dari Naura. Zafir yang melihat buah tersebut pun dengan cepat menatap ke arah Naura. Sebab buah itu memang ada untuk disuguhkan kepada Naura. Naura tahu tetapi dia memilih untuk tidak peduli, wanita itu tetap tenang menghabiskan sarapannya dan menghiraukan tatapan Zafir. "Zafir, aku mau itu!" Evelyn kembali merengek, kali ini sambil mencubit pakaian pria itu manja. Zafir tersenyum, kemudian mengelus kepala Evelyn. "Buah itu milik Naura, Evelyn. Jika kamu mau, aku bisa meminta koki untuk mengupaskannya satu untukmu." Evelyn menggeleng. "Apa aku harus menunggu hanya untuk memakan mangga? Itu terlalu lama!" Kemudian dia menatap Naura dan tersenyum. "Kak Naura, bolehkah aku--" "Tidak boleh merengek di meja makan, Evely
Senyum Evelyn menghilang saat Arjuna menanyakan apa yang bisa ia lakukan untuk Renjana, kemudian dia menoleh ke arah Zafir untuk meminta bantuan. Naura hanya tersenyum tipis tanpa berkomentar apa pun. "Evelyn memang sangat pengertian," ucap Zafir, kemudian mengetuk kepala Evelyn pelan. "Sebaiknya kamu mencontoh kakak sepupu perempuanmu, hati-hati dalam bertindak." Arjuna memperhatikan interaksi Evelyn dan Zafir, kemudian melihat ke arah perut Evelyn yang terlihat sedikit membesar dari sebelumnya. Setelah itu, dia menggeser tatapannya menuju Naura. Naura tidak banyak bicara, wanita itu hanya diam dan mendengarkan perbincangan mereka. Raut wajahnya terlihat tidak begitu baik, tatapan matanya juga sedikit dingin dan kosong. Arjuna menyesap kopinya, kemudian menatap Naura lagi dan bertanya, "Bagaimana kabar anda, Nyonya Wajendra? Sepertinya ini pertemuan pertama kita setelah di Kalimantan kemarin." Naura tersadar dari lamunannya, dia terkejut karena tiba-tiba Arjuna mengajaknya b