'Dikira aku mau apa dijadikan pajangan di rumah? Yang diberikan kasih sayang lebih hanya istri sah sementara aku? Aku hanya dapat peringatan ini dan itu. Memang untuk masalah finansial, aku nggak perlu cemas, tapi kalau untuk masalah ranjang? Apa Pak Ghazlan bisa menafkahiku?' batin Kiana.Memikirkan masalah ranjang membuat Kiana malu sendiri. Padahal belum jelas Ghazlan benar-benar serius dengan ucapannya atau hanya iseng belaka."Kiana? Kenapa diam? Kamu nggak suka ide saya?" tanya Ghazlan.Kiana mencoba untuk menyunggingkan senyum, "Hanya ide kan, Pak? Bisa ditolak atau diterima. Lagi pula kehamilan ini juga masih panjang. Siapa tahu di balik semua peristiwa ini, saya bisa mendapatkan suami yang benar-benar menerima saya apa adanya. Bukan bapak yang notabene adalah suami orang."Ghazlan terdiam cukup lama, lalu, "Kamu benar.""Tentu saja. Saya mungkin masih kecil tapi saya bisa melihat kalau bapak sangat mencintai Mbak Glade. Kalau tidak, mana mungkin jasa saya digunakan?""Jasa? K
"Kalau jalan bisa nggak pakai mata?" hardik Ghazlan setengah kesal. Tidak seperti sebelumnya, dia sama sekali tidak memeluk Kiana melainkan hanya menyentuh bagian lengan wanita itu. "Maaf, Pak," ucap Kiana. Dia menilik ada kemarahan dalam mata pria itu. "Bapak marah?""Tidak! Saya tidak pernah marah!""Kalau begitu kenapa bapak harus bicara keras-keras pada saya?""Siapa? Saya?" ucap Ghazlan geram. "Iya, siapa lagi? Sejak dari kampus, bapak tiba-tiba marah. Apa salah saya?" tanya Kiana to the point. Dia lebih suka Ghazlan memarahinya ketimbang menyimpan kemarahannya.Ghazlan membuang napas lumayan keras, "Sudahlah. Kamu sedang apa di sini?""Melihat kebun bunga yang dipindahkan ke belakang rumah saya," tukas Kiana. Ingatannya baru kembali ketika melihat sikap Ghazlan. "Terimakasih karena bapak memperhatikan saya.""Yang memperhatikan kamu siapa? Saya hanya memindahkan sesuatu yang terbuang percuma. Dari pada Glade membuangnya ke tempat sampah, ada baiknya saya pergunakan bunga-bunga
Glade hanya melihat Kiana dari satu arah, bersedekap dengan ekspresi datar yang lebih diartikan marah dalam diam. "Taman kamu?" ulangnya. Kiana langsung terdiam, "Bukan begitu, Mbak. Kata Pak Ghazlan, bunga-bunga ini boleh saya rawat."Glade mulai berjalan. Pekerja yang menghentikan pekerjaannya masih menunggu perintah darinya. "Lanjutkan!"Glade mengisyaratkan Kiana untuk mengikutinya. Mereka berhenti di teras depan rumah Kiana dengan Glade bersikap layaknya bos besar. "Taman kamu?" ulang Glade untuk ketiga kalinya."Mbak," ucapan Kiana terpotong karena Glade menggeleng padanya."Semua yang ada di rumah ini milik saya. Kamu tidak berhak memilikinya. Pakaian yang sekarang kamu pakai juga milik saya. Kenapa kamu semakin menginginkan sesuatu yang tidak seharusnya menjadi milik kamu?" sentak Glade. Kiana tidak berani menyangkal karena Glade selalu benar. "Maaf, Mbak. Saya bukannya ingin mengambil apa yang menjadi milik mbak tapi saya mengambil apa yang mbak Glade buang. Kalau memang m
Ghazlan meragukan alasan kenapa Kiana harus menyingkirkan ayunan yang dia tahu Kiana sangat menyukainya. "Maaf sebelumnya, Tuan. Kalau Tuan ingin bertemu dengan Bu Kia, Bu Kia sedang tidak ingin diganggu," ucap Anita mendahului Ghazlan. Ghazlan tidak mengatakan apa-apa. "Tolong kembalikan ini ke tempatnya!""Tapi, Tuan, Bu Kia bilang kalau..,""Ini milik siapa? Saya kan?"Kalau sudah ditanya milik siapa, Anita tidak bisa membalas lagi. "Baik, Tuan." Anita lalu meminta para pria itu untuk mengembalikan ayunan tersebut ke tempatnya. Apa yang harus dia katakan pada majikannya?°°°Ghazlan tidak bisa berkonsentrasi dengan benar sejak menyibukkan diri di ruangannya. Keinginannya untuk bertanya pada Kiana harus ditekan habis-habisan karena dia tidak mau membuat wanita itu dalam masalah. Ghazlan sempat melihat siluet tubuh wanita itu di dalam rumahnya tapi dia tidak berniat untuk menghampiri. Sekarang dia menyesal kenapa dia tidak bertanya tadi. Ghazlan memutar kursinya, lebih tepatnya d
Ghazlan marah, jelas karena Anita berusaha menyembunyikan kenyataan bahwa Kiana sedang tidak baik-baik saja. Jika dia tidak berada di sekitar sana, mungkin dia tidak akan mendengar teriakan asisten rumah tangganya itu. "Panggil dokter!" titah Ghazlan. Dia membopong Kiana untuk berbaring di ranjangnya dan melingkupi tubuhnya dengan selimut. "Dokter yang mana, Tuan?"Ghazlan ingin mengumpat pada Anita karena tidak tahu apa-apa, tapi dia menahan diri karena Anita juga tidak mengerti siapa dokter kandungan Kiana. "Biar saya yang telepon! Kamu beresin kekacauan ini dan obati luka kamu!""Baik, Tuan," ucap Anita ketakutan. Ghazlan tidak pernah marah tapi kalau sekalinya marah bisa membuat orang rumah takut. Karakter orang diam jauh lebih menakutkan dari pada orang yang banyak bicara. Tanpa ingin bertanya lebih jauh lagi, Anita segera mengambil alat-alat kebersihannya. Setelah membereskan pecahan-pecahan mangkuk tersebut, dia baru akan mengobati lukanya. Dia melihat Ghazlan menghubungi se
"Lalu ... kamu ingin saya bagaimana?" tanya Ghazlan pelan. Kiana salah, pria itu tidak berusaha untuk melakukan lebih karena remasan tangan itu sudah beralih ke sisi yang lain. Washlap basah itu diletakkan ke dalam wadah, lalu Ghazlan menatap lurus ke arah Kiana. "Kamu berharap saya memberikan perhatian lebih? Maaf, Kiana! Saya tidak bisa!""Saya tidak menginginkan apapun, Pak. Saya hanya ingin mengakhiri perjanjian ini dengan tenang. Biarkan saya bertindak sesuai dengan keinginan saya," ucap Kiana akhirnya. Dia meyakinkan Ghazlan bahwa dia akan menjaga sikap.Sebelum Ghazlan menjawab, Saras datang dengan beberapa perlengkapan yang perlu dia lakukan pada Kiana, termasuk memasang selang infus. Ghazlan menyingkir dan memilih untuk menunggu Kiana di depan kamarnya. Setelah Saras keluar, barulah Ghazlan mengintip Kiana dari tempatnya."Kita bicara di depan, Dok," ucap Ghazlan sembari memandu Saras untuk keluar dari rumah itu. "Maaf karena saya mengganggu dokter Saras malam-malam begini."
"Saya tidak tahu pasti, Bu Kia. Masalah kehamilan tidak pernah dibicarakan oleh Nyonya. Saya pernah mendengar sekali bahwa kandungan Nyonya bermasalah. Hanya saja yang bermasalah yang mana saya juga tidak tahu," jelas Anita. Dia mulai bisa terbuka dengan Kiana karena mereka sudah seperti keluarga. Setiap hari bertemu mempersempit jarak di antara mereka.Kiana tersenyum simpul, "Terimakasih, Mbak.""Untuk apa, Bu Kia?""Mbak Anita jadi terbuka dengan saya. Padahal kalau dulu, Mbak Anita mana mungkin bicara jujur?" ucap Kiana mengakui. Dia senang dengan semua perubahan yang ada.Anita mengakuinya. "Jadi ... Bu Kia semakin suka sama saya?""Tentu saja. Siapa lagi di rumah ini yang bisa saya sukai?""Kalau dengan pak Ghazlan gimana?" canda Anita. Dia hanya bergurau, sungguh.Kiana mengangkat bahunya, "Suka ... sebagai teman?"Anita menyangkal, "Laki-laki dan wanita nggak pernah bisa jadi teman, Bu Kia.""Kalau begitu saya cabut deh ucapan saya. Saya nggak suka kalau begitu," kata Kiana de
"Ngapain teriak?""Saya kira bapak hantu," ucap Kiana dengan suara sumbang. Air matanya mengering dengan cepat karena angin menerpa wajahnya. Baguslah! Dia tidak perlu mendengar pertanyaan Ghazlan.Ghazlan setengah kesal menghampiri Kiana. "Hantu mana bisa menapak tanah?"Kiana menyunggingkan senyum tipis. "Memang.""Kalau takut hantu kenapa kamu bisa ada di sini malam-malam begini? Menangis lagi. Ada apa? Masih sakit?" tanya Ghazlan dengan curiga. Kiana spontan menggeleng. "Saya tidak sakit, Pak. Saya juga nggak menangis. Tadi itu ketiup angin makanya berair. Kalau saya bisa ada di sini karena saya tidak bisa tidur.""Duduklah!" Sebelum Kiana menolak, Ghazlan lebih dulu menarik wanita itu untuk mendaratkan pantatnya di atas ayunan yang sudah dia kembalikan ke tempatnya. Dia sendiri ikut duduk meskipun Kiana meliriknya dengan kening terlipat."Boleh duduk kan?" tanya Ghazlan, hanya iseng."Bapak sudah duduk kenapa masih bertanya?""Jangan sampai saya duduk kamu langsung berdiri!" Gha