"Ngapain teriak?""Saya kira bapak hantu," ucap Kiana dengan suara sumbang. Air matanya mengering dengan cepat karena angin menerpa wajahnya. Baguslah! Dia tidak perlu mendengar pertanyaan Ghazlan.Ghazlan setengah kesal menghampiri Kiana. "Hantu mana bisa menapak tanah?"Kiana menyunggingkan senyum tipis. "Memang.""Kalau takut hantu kenapa kamu bisa ada di sini malam-malam begini? Menangis lagi. Ada apa? Masih sakit?" tanya Ghazlan dengan curiga. Kiana spontan menggeleng. "Saya tidak sakit, Pak. Saya juga nggak menangis. Tadi itu ketiup angin makanya berair. Kalau saya bisa ada di sini karena saya tidak bisa tidur.""Duduklah!" Sebelum Kiana menolak, Ghazlan lebih dulu menarik wanita itu untuk mendaratkan pantatnya di atas ayunan yang sudah dia kembalikan ke tempatnya. Dia sendiri ikut duduk meskipun Kiana meliriknya dengan kening terlipat."Boleh duduk kan?" tanya Ghazlan, hanya iseng."Bapak sudah duduk kenapa masih bertanya?""Jangan sampai saya duduk kamu langsung berdiri!" Gha
Tidak! Kiana yakin jantungnya masih baik-baik saja. Tolong, wanita itu tidak bisa bernapas dengan benar! Kecupan apa itu?"Hei," ucap Ghazlan sembari menggerakkan tangannya di depan mata Kiana. "Ngapain bengong?"Pria yang mencium Kiana meskipun hanya ujung telapak tangan tampaknya tidak merasa bersalah sama sekali. "Cinderella kan sering dicium begitu.""I-iya sih, Pak. Tapi kan..," Kiana gelagapan."Saya hanya bercanda," ucap Ghazlan. Dia menyeringai jahil. "Kelihatan sekali kalau kamu belum pernah pacaran atau dicium pasangan kamu."Kiana menggaruk kepalanya dengan setengah kesal. Padahal dia sudah kebawa perasaan. "Belum. Saya masih polos, Pak.""Saya tahu. Terlihat di muka kamu," tukas Ghazlan sembari menerawang. "Karena kamu saya jadi lupa kalau saya ada masalah dengan Glade."Kiana langsung menoleh, "Bapak dan mbak Glade bertengkar?""Begitulah.""Karena saya?"Ghazlan lagi-lagi tertawa. "Kamu kira kamu sepenting itu? Kami punya masalah lain selain kamu, Kiana. Jadi kamu nggak
"Aku masih waras, Mas. Aku hanya minta ijin sama kamu sebagai formalitas. Kalau kamu nggak ngijinin juga nggak masalah. Aku tetap akan pergi," tantang Glade. Ghazlan menekan kepalanya sekuat tenaga berharap dia bisa meredakan sakit kepalanya. "Pergilah!""Benarkah?" tanya Glade dengan ceria. Ghazlan membuang muka. "Bukannya kamu tetap akan pergi meskipun aku melarang?""Benar juga. Terimakasih ya, Mas. Aku janji nggak akan pulang pagi," tukas Glade dengan senyum merekah. Dia pergi begitu saja setelah mencium bibir suaminya.Ghazlan terduduk di ranjangnya. Setelah orangtuanya menekan Glade untuk bersikap baik dan menjauhi kegiatan yang tidak penting di luar rumah, Glade sudah sepenuhnya berubah. Tapi entah kenapa setelah Kiana datang dengan kabar baik, Glade malah bersikap semakin berani. Ghazlan tahu kalau Glade tidak lagi punya beban, tapi bukan berarti wanita itu bisa seenaknya.°°°Ghazlan baru memejamkan mata selama dua jam tapi ponselnya sudah berdering nyaring sekali. Pria it
"Mas!" tegur Glade. Dia lalu mendelik pada Kiana untuk menolak ajakan suaminya. Ghazlan mengacuhkan istrinya dan memilih untuk menunggu jawaban dari Kiana. "Tolong, jawab iya!"Kiana menoleh pada Glade lalu beralih pada Ghazlan. Dia bingung. "Saya..,""Kiana!" sentak Glade yang melihat tanda-tanda Kiana ingin mengiyakan."Ini nggak ada sangkut pautnya sama kamu, Glade. Aku hanya mengajak Kiana," ucap Ghazlan sengaja menekankan bahwa dia harus membuat Kiana nyaman. "Aku ikut!""Siapa yang mengajak kamu? Bukannya Kamu lebih suka bermain sama teman kamu di club? Kali ini aku nggak akan melarang! Pergilah!" tegas Ghazlan. Dia menghela napas panjang sebelum akhirnya menegaskan pada Kiana. "Saya tidak butuh jawaban kamu, Kiana! Cepatlah ganti baju!"Kiana tidak bisa mengatakan tidak pada Ghazlan. Dia akhirnya mengangguk dan kembali ke rumahnya. Niat hatinya untuk mencari kesibukan harus terkalahkan dengan permintaan Ghazlan. Lima belas kemudian, Kiana muncul dengan dress di bawah lutut y
"Tere?" jawab Kiana disertai helaan napas lega. Dia pikir orang lain yang melihatnya tadi. Mendengar nama yang tidak asing, Ghazlan mengedipkan matanya. "Saya sepertinya pernah mendengar nama itu.""Teman saya, Pak. Teman yang datang waktu awal-awal saya menginap di rumah bapak. Perkenalkan, Tere, teman sekaligus sahabat saya waktu kuliah," ucap Kiana sembari memperkenalkan sahabatnya pada Ghazlan. Tere menjabat tangan Ghazlan lalu menyebutkan namanya. "Apa saya tidak sopan kalau bertanya kenapa kamu ke sini?" tanya Ghazlan dengan nada bergurau.Tere menggeleng, "Bayi saya ingin menginap di hotel, Pak.""Mengidam?" tebak Ghazlan.Tere mengangguk malu, "Benar. Em, kalau saya boleh bertanya, kenapa pak Ghazlan sama Kiana ke hotel? Em, maksudnya bukan saya berpikir yang bukan-bukan tapi hanya ingin tahu.""Saya mau mengajar tapi Kiana tidak mau pulang jadi saya minta tunggu di sini dulu. Kalau kamu tidak keberatan, boleh temani Kiana sampai saya pulang?" tanya Ghazlan. Pria itu masih b
"Suaminya?" ulang Glade dengan nada khawatir. Siapa yang harus dia bawa untuk jadi suami pura-pura Kiana? Kalaupun sembarang orang dibawa dan diminta untuk berperan menjadi suami Kiana, dia takut malah terjadi missed komunikasi. Bagaimana ini?"Iya. Nanti biar mama minta supir mama untuk jemput. Kamu nggak apa-apa kan kalau kita gabungkan empat bulanan kamu dan Kiana?" tanya Silvina mengkonfirmasi perasaan menantunya.Glade sama sekali tidak mempermasalahkan karena sejak awal dia memang ingin membuat Kiana ikut dalam prosesi empat bulanan mereka. Tapi masalah suami?"Sama sekali tidak masalah, Ma. Kiana juga bukan orang lain untukku. Tapi untuk suaminya ... kayaknya mustahil kalau kita ajak ikut serta. Suaminya nggak bisa jalan, udah gitu pasti malu kalau harus gabung dengan keluarga kita, Ma. Lebih baik..,""Nanti mama yang akan membujuknya," tegas Silvina. Asisten rumah tangga sudah membawa kebayanya masuk ke dalam kamar Glade dan pergi setelah tidak dibutuhkan."Ma, sebaiknya janga
Itu bukan suara asisten rumah tangga ataupun Kiana. Tapi suara itu berasal dari Silvina yang tiba-tiba muncul karena mendengar perdebatan dari kamar Glade. Wanita itu menatap bingung pada Viona yang sedang membelakangi Glade sementara Glade sedang terburu-buru merapikan kebayanya. "Oh, ini loh, Mbak. Kebaya Glade terlalu miring jadi saya benerin dulu," jelas Viona mengalihkan perhatian Silvina. Tapi bukan Silvina namanya kalau dia hanya menurut pada keinginan besannya. Wanita itu justru semakin melangkah maju untuk melihat dengan mata kepalanya sendiri.Silvina menghentikan langkahnya di hadapan Glade. "Kenapa nggak bilang sama MUAnya? Katanya juga kamu nggak mau dibantu untuk ganti baju?"Glade menarik napas pelan tanpa sepengetahuan Silvina. Semoga kebaya yang dia pakai kembali tidak memperlihatkan sesuatu yang salah. "Aku ... malu, Ma. Mungkin bawaan bayi, Ma."Viona segera menimpali, "Iya, Mbak. Aku juga dulu begitu waktu hamil. Risih aja dipegang orang asing."Silvina mengarahka
"BRENGSEK! Siapa suruh kamu lari?" Umpatan kasar itu terdengar dari jauh. Wanita yang mengenakan dress sangat ketat berwarna merah cerah itu berlari sekuat tenaga menghindari tangkapan yang mengarah padanya. Nafasnya mulai tidak stabil, keringat membanjiri tubuhnya seolah dia bisa saja mati karena kelelahan. Tapi wanita itu tidak mau menyerah. Dia mengambil langkah ke kanan ketika berada di perempatan jalan. Entah kenapa hari ini tidak ada satupun orang yang melewati jalan tersebut. Padahal hari biasanya pasti ada beberapa kendaraan yang lewat. Apakah sudah nasibnya kalau dia harus ditangkap di tempat sunyi tersebut? Tidak! Wanita itu tidak akan mau menjadi tempat pelampiasan para lelaki hidung belang meskipun dia dibayar mahal. Tangisan yang terendam oleh nafas yang memburu tidak lagi terdengar. Entah berapa usapan yang dia lakukan pada wajahnya. "WOI! JANGAN KABUR! BAPAK KAMU SUDAH MENERIMA UNTUNG DARI MENJUAL KAMU! HEI!" teriakan itu semakin terdengar jelas. Dua orang pria yan