Ghazlan marah, jelas karena Anita berusaha menyembunyikan kenyataan bahwa Kiana sedang tidak baik-baik saja. Jika dia tidak berada di sekitar sana, mungkin dia tidak akan mendengar teriakan asisten rumah tangganya itu. "Panggil dokter!" titah Ghazlan. Dia membopong Kiana untuk berbaring di ranjangnya dan melingkupi tubuhnya dengan selimut. "Dokter yang mana, Tuan?"Ghazlan ingin mengumpat pada Anita karena tidak tahu apa-apa, tapi dia menahan diri karena Anita juga tidak mengerti siapa dokter kandungan Kiana. "Biar saya yang telepon! Kamu beresin kekacauan ini dan obati luka kamu!""Baik, Tuan," ucap Anita ketakutan. Ghazlan tidak pernah marah tapi kalau sekalinya marah bisa membuat orang rumah takut. Karakter orang diam jauh lebih menakutkan dari pada orang yang banyak bicara. Tanpa ingin bertanya lebih jauh lagi, Anita segera mengambil alat-alat kebersihannya. Setelah membereskan pecahan-pecahan mangkuk tersebut, dia baru akan mengobati lukanya. Dia melihat Ghazlan menghubungi se
"Lalu ... kamu ingin saya bagaimana?" tanya Ghazlan pelan. Kiana salah, pria itu tidak berusaha untuk melakukan lebih karena remasan tangan itu sudah beralih ke sisi yang lain. Washlap basah itu diletakkan ke dalam wadah, lalu Ghazlan menatap lurus ke arah Kiana. "Kamu berharap saya memberikan perhatian lebih? Maaf, Kiana! Saya tidak bisa!""Saya tidak menginginkan apapun, Pak. Saya hanya ingin mengakhiri perjanjian ini dengan tenang. Biarkan saya bertindak sesuai dengan keinginan saya," ucap Kiana akhirnya. Dia meyakinkan Ghazlan bahwa dia akan menjaga sikap.Sebelum Ghazlan menjawab, Saras datang dengan beberapa perlengkapan yang perlu dia lakukan pada Kiana, termasuk memasang selang infus. Ghazlan menyingkir dan memilih untuk menunggu Kiana di depan kamarnya. Setelah Saras keluar, barulah Ghazlan mengintip Kiana dari tempatnya."Kita bicara di depan, Dok," ucap Ghazlan sembari memandu Saras untuk keluar dari rumah itu. "Maaf karena saya mengganggu dokter Saras malam-malam begini."
"Saya tidak tahu pasti, Bu Kia. Masalah kehamilan tidak pernah dibicarakan oleh Nyonya. Saya pernah mendengar sekali bahwa kandungan Nyonya bermasalah. Hanya saja yang bermasalah yang mana saya juga tidak tahu," jelas Anita. Dia mulai bisa terbuka dengan Kiana karena mereka sudah seperti keluarga. Setiap hari bertemu mempersempit jarak di antara mereka.Kiana tersenyum simpul, "Terimakasih, Mbak.""Untuk apa, Bu Kia?""Mbak Anita jadi terbuka dengan saya. Padahal kalau dulu, Mbak Anita mana mungkin bicara jujur?" ucap Kiana mengakui. Dia senang dengan semua perubahan yang ada.Anita mengakuinya. "Jadi ... Bu Kia semakin suka sama saya?""Tentu saja. Siapa lagi di rumah ini yang bisa saya sukai?""Kalau dengan pak Ghazlan gimana?" canda Anita. Dia hanya bergurau, sungguh.Kiana mengangkat bahunya, "Suka ... sebagai teman?"Anita menyangkal, "Laki-laki dan wanita nggak pernah bisa jadi teman, Bu Kia.""Kalau begitu saya cabut deh ucapan saya. Saya nggak suka kalau begitu," kata Kiana de
"Ngapain teriak?""Saya kira bapak hantu," ucap Kiana dengan suara sumbang. Air matanya mengering dengan cepat karena angin menerpa wajahnya. Baguslah! Dia tidak perlu mendengar pertanyaan Ghazlan.Ghazlan setengah kesal menghampiri Kiana. "Hantu mana bisa menapak tanah?"Kiana menyunggingkan senyum tipis. "Memang.""Kalau takut hantu kenapa kamu bisa ada di sini malam-malam begini? Menangis lagi. Ada apa? Masih sakit?" tanya Ghazlan dengan curiga. Kiana spontan menggeleng. "Saya tidak sakit, Pak. Saya juga nggak menangis. Tadi itu ketiup angin makanya berair. Kalau saya bisa ada di sini karena saya tidak bisa tidur.""Duduklah!" Sebelum Kiana menolak, Ghazlan lebih dulu menarik wanita itu untuk mendaratkan pantatnya di atas ayunan yang sudah dia kembalikan ke tempatnya. Dia sendiri ikut duduk meskipun Kiana meliriknya dengan kening terlipat."Boleh duduk kan?" tanya Ghazlan, hanya iseng."Bapak sudah duduk kenapa masih bertanya?""Jangan sampai saya duduk kamu langsung berdiri!" Gha
Tidak! Kiana yakin jantungnya masih baik-baik saja. Tolong, wanita itu tidak bisa bernapas dengan benar! Kecupan apa itu?"Hei," ucap Ghazlan sembari menggerakkan tangannya di depan mata Kiana. "Ngapain bengong?"Pria yang mencium Kiana meskipun hanya ujung telapak tangan tampaknya tidak merasa bersalah sama sekali. "Cinderella kan sering dicium begitu.""I-iya sih, Pak. Tapi kan..," Kiana gelagapan."Saya hanya bercanda," ucap Ghazlan. Dia menyeringai jahil. "Kelihatan sekali kalau kamu belum pernah pacaran atau dicium pasangan kamu."Kiana menggaruk kepalanya dengan setengah kesal. Padahal dia sudah kebawa perasaan. "Belum. Saya masih polos, Pak.""Saya tahu. Terlihat di muka kamu," tukas Ghazlan sembari menerawang. "Karena kamu saya jadi lupa kalau saya ada masalah dengan Glade."Kiana langsung menoleh, "Bapak dan mbak Glade bertengkar?""Begitulah.""Karena saya?"Ghazlan lagi-lagi tertawa. "Kamu kira kamu sepenting itu? Kami punya masalah lain selain kamu, Kiana. Jadi kamu nggak
"Aku masih waras, Mas. Aku hanya minta ijin sama kamu sebagai formalitas. Kalau kamu nggak ngijinin juga nggak masalah. Aku tetap akan pergi," tantang Glade. Ghazlan menekan kepalanya sekuat tenaga berharap dia bisa meredakan sakit kepalanya. "Pergilah!""Benarkah?" tanya Glade dengan ceria. Ghazlan membuang muka. "Bukannya kamu tetap akan pergi meskipun aku melarang?""Benar juga. Terimakasih ya, Mas. Aku janji nggak akan pulang pagi," tukas Glade dengan senyum merekah. Dia pergi begitu saja setelah mencium bibir suaminya.Ghazlan terduduk di ranjangnya. Setelah orangtuanya menekan Glade untuk bersikap baik dan menjauhi kegiatan yang tidak penting di luar rumah, Glade sudah sepenuhnya berubah. Tapi entah kenapa setelah Kiana datang dengan kabar baik, Glade malah bersikap semakin berani. Ghazlan tahu kalau Glade tidak lagi punya beban, tapi bukan berarti wanita itu bisa seenaknya.°°°Ghazlan baru memejamkan mata selama dua jam tapi ponselnya sudah berdering nyaring sekali. Pria it
"Mas!" tegur Glade. Dia lalu mendelik pada Kiana untuk menolak ajakan suaminya. Ghazlan mengacuhkan istrinya dan memilih untuk menunggu jawaban dari Kiana. "Tolong, jawab iya!"Kiana menoleh pada Glade lalu beralih pada Ghazlan. Dia bingung. "Saya..,""Kiana!" sentak Glade yang melihat tanda-tanda Kiana ingin mengiyakan."Ini nggak ada sangkut pautnya sama kamu, Glade. Aku hanya mengajak Kiana," ucap Ghazlan sengaja menekankan bahwa dia harus membuat Kiana nyaman. "Aku ikut!""Siapa yang mengajak kamu? Bukannya Kamu lebih suka bermain sama teman kamu di club? Kali ini aku nggak akan melarang! Pergilah!" tegas Ghazlan. Dia menghela napas panjang sebelum akhirnya menegaskan pada Kiana. "Saya tidak butuh jawaban kamu, Kiana! Cepatlah ganti baju!"Kiana tidak bisa mengatakan tidak pada Ghazlan. Dia akhirnya mengangguk dan kembali ke rumahnya. Niat hatinya untuk mencari kesibukan harus terkalahkan dengan permintaan Ghazlan. Lima belas kemudian, Kiana muncul dengan dress di bawah lutut y
"Tere?" jawab Kiana disertai helaan napas lega. Dia pikir orang lain yang melihatnya tadi. Mendengar nama yang tidak asing, Ghazlan mengedipkan matanya. "Saya sepertinya pernah mendengar nama itu.""Teman saya, Pak. Teman yang datang waktu awal-awal saya menginap di rumah bapak. Perkenalkan, Tere, teman sekaligus sahabat saya waktu kuliah," ucap Kiana sembari memperkenalkan sahabatnya pada Ghazlan. Tere menjabat tangan Ghazlan lalu menyebutkan namanya. "Apa saya tidak sopan kalau bertanya kenapa kamu ke sini?" tanya Ghazlan dengan nada bergurau.Tere menggeleng, "Bayi saya ingin menginap di hotel, Pak.""Mengidam?" tebak Ghazlan.Tere mengangguk malu, "Benar. Em, kalau saya boleh bertanya, kenapa pak Ghazlan sama Kiana ke hotel? Em, maksudnya bukan saya berpikir yang bukan-bukan tapi hanya ingin tahu.""Saya mau mengajar tapi Kiana tidak mau pulang jadi saya minta tunggu di sini dulu. Kalau kamu tidak keberatan, boleh temani Kiana sampai saya pulang?" tanya Ghazlan. Pria itu masih b