"Mbak, Makan dulu ya." Si perawat menyodorkan sesuap nasi ke mulut Helena. Wanita itu menolak karena tak berselera sama sekali. Sudah tiga hari di pulang ke rumah, tapi tak sekalipun Andra datang menjenguk.Helena mencoba menelepon tapi lambat di respons. Pesan yang dia kirim juga hanya dibaca. Andra sepertinya tak berniat membalas."Nanti mbak sakit." Helena membuka mulut dengan terpaksa. Jika tidak makan maka tubuhnya lemas. Namun semua makanan terasa hambar. "Len."Alina menghampiri mereka yang sedang makan di taman belakang. Si perawat berinisiatif untuk membawa Helena keluar setelah setelah dua hari wanita itu terkurung di kamar dan tak mau keluar.Melihat hal itu, seisi rumah menjadi bingung dibuatnya. Setelah tak ada Andra, Helena seperti kehilangan semangat hidup."Kok nggak abis makannya?" Alina duduk di sebelah Helena. Melihat piring nasi yang masih banyak, bahkan setengahnya pun belum habis, membuatnya pusing tujuh keliling."Gue lagi males makan," jawab Helena lirih.
Andreas menutup panggilan dengan hati riang. Ketika salah satu perawat mengirim pesan mengenai kondisi Helena yang semakin menurun setelah kepulangan dari rumah sakit, dia segera bertindak.Jadwal operasi masih setengah jam lagi. Andreas sendiri sedang berada di ruang ganti, memakai pakaian kebesaran mereka, seragam hijau.Pikirnya, mungkin dengan menelepon, Helena mau menuruti perintah. Selain itu, mendengar suara sang pujaan hati juga dapat mengobati rindunya yang terpendam selama tiga hari ini."Lagi jatuh cinta ya, Dokter?" tanya salah seorang perawat anastesi yang akan mendampinginya nanti di ruang bedah. "Sok tahu kamu." Andreas memalingkan wajah, malu dengan kelakuannya yang sedari tadi tersenyum melihat layar ponsel. Di kontaknya juga beberapa akun media sosial, Helena sengaja memasang foto profile yang sangat cantik sebelum kecelakaan itu terjadi. Helena terlihat sedang berdiri di belakang sebuah bangunan megah ciri khas salah satu kota di sebuah negara di luar negeri. Tan
"Pagi, Sayang."Sebuah kecupan bersarang di pipi Reisa. Hari ini minggu, jadi Andra punya banyak waktu di rumah seharian. Reisa menggeliat karena merasa geli, lalu secara perlahan matanya terbuka. Andra tampak segar dengan balutan kaos putih dan celana jeans. Harum tubuhnya merasuk indera penciuman. Tiba-tiba saja Reisa menjadi mual. Harum tubuh Andra yang selalu disukainya, kini menjadi tak sedap baunya. Wanita itu menutup hidung dan membuang wajah ke samping. "Kenapa, gue bau asem?" Andra melirik ke arah lipatan lengannya sambil mengendus aromanya beberapa kali. "Emang gini kalau lagi hamil, Ndra. Kayak waktu Rendra dulu." Reisa duduk bersandar di ranjang sambil mengipas hidung. "Eh, kita belum periksa lagi, ya?"Tiba-tiba saja Andra teringat sesuatu. Semenjak dia sibuk mengurus Helena di rumah sakit, otomatis waktunya terbatas untuk keluarga.Saat ini, tanggung-jawab Andra sudah berkurang. Sehingga dia berjanji akan menghabiskan banyak waktu bersama mereka. "Nanti saja, Ndra
Ada yang berbeda pagi ini. Suara denting sendok dan garpu di meja makan masih seperti biasa, tapi entah mengapa terasa hambar.Andra beberapa kali melirik ke arah istrinya. Juga Inah yang sedari tadi terdiam menyiapkan sarapan pagi ini. Biasanya suara mereka riuh sekali, berisik saling bersahutan. Kali ini diam membisu, sibuk masing-masing dan tak saling menyapa. Andra tahu, ada sesuatu yang tak beres di rumah ini. Kemarin masih baik-baik saja. Hanya terasa berbeda saat malam ketik Reisa mendiamkannya. Andra juga tahu, hanya memilih untuk menunggu. Istrinya tak pernah marah terlalu lama. Biasanya hanya sebentar. Setelah itu mereka berbaikan."Bik Nah. Nasi goreng masih ada, nggak?"Andra bertanya. Setelah dia mengucapkan itu, tiba-tiba saja Reisa meletakkan sendok dan langsung berjalan ke dalam tanpa berucap kata.Aneh. Jika Reisa memang marah kepadanya, kenapa dia juga mendiamkan Inah. Andra memilih untuk tetap melanjutkan makan.Masakan Bik Inah sudah menjadi candu bagi Andra. Seh
"Den. Non Rei pergi."Andra tersentak saat Inah mengatakan itu di telepon, disertai dengan isak tangis. Hari ini ada rapat penting di hotel, jadi dia tidak mungkin meninggalkannya.Berbagai macam prasangka sempat terlintas di benak Andra. Hanya saja, dia berusaha tetap tenang dan mengendalikan diri. Istrinya tidak mungkin melakukan hal aneh di luar sana."Tadi bibik ke pasar sama si Nok. Pas pulang Non Reisa udah nggak ada. Rendra juga dibawa."Kali ini, Andra berusaha menenangkan Inah dengan mengucapkan kata-kata penghiburan. Dia meminta wanita paruh baya itu untuk tetap tenang karena sejak tadi terdengar panik.Setelah Inah tenang, Andra menutup telepon dan menarik napas panjang. Lalu dia menghubungi beberapa nomor untuk memastikan dimana keberadaan istri dan anaknya."Reisa ada di rumah papa, Ndra. Katanya mau di sini dulu sementara waktu." Andra bernapas lega saat mendengar jawaban Wisnu. Dia meminta disambungkan dengan Reisa, tetapi mertunya menolak. "Reisa belum mau ngomong sa
Reisa terbangun saat mendengar suara tangis putranya. Rendra tengah duduk sambil menarik bajunya. Matanya melihat sekeliling, ternyata hari sudah siang.Jarum jam di dinding menunjukkan angka sembilan. Cahaya matahari pun sudah mulai menyusup dari balik jendela. Reisa benar-benar kelelahan. Tidurnya nyenyak semalaman. "Sayang mama." Reisa menggendong Rendra dan memeriksa penyebab dia menangis. Ternyata diapers-nya penuh. Dengan cekatan wanita itu membawa putranya ke kamar mandi, lalu menggantikan popok. Reisa memencet tombol air hangat lalu memandikan putranya. Sekalipun ada yang membantu, tetap saja dia harus turun tangan langsung.Setelah selesai menyabuni dan memakaikan handuk, Reisa meletakkan Reindra di ranjang. Ritual pun dimulai. Dari memberikan sunscreen anak, minyak rambut juga lotion supaya kulit putranya tidak kering. Reisa membawa Rendra keluar dan menuju dapur. Mereka kelaparan. Begitu masuk, aroma harum masakan langsung terhirup. Bau omlet yang baru diangkat dari waj
Wisnu mendengarkan dengan seksama apa yang baru saja diungkapkan oleh putrinya. Mereka duduk di taman belakang. Nita memilih untuk membawa Rendra jalan-jalan, membiarkan ayah dan anak itu saling bertukar cerita."Lalu, kenapa kamu malah sedih?" tanya Wisnu sambil mengusap kepala Reisa. Wanita itu masih terisak lalu mengambil beberapa helai tissue untuk menghapus air mata. "Kenapa Bik Nah nggak ngomong dari awal, Pa?" Matanya sayunya menatap wajah tua yang sedang menghela napas panjang. "Kamu waktu itu depresi. Mau gugurkan kandungan. Kalau Inah ngomong saat itu juga, mungkin kamu bisa lakuin hal-hal yang nggak semestinya," jawab Wisnu tenang."Tapi, Pa--""Kamu berharap apa, Nak? Inah ngehalangin malam itu terus kamu tetap nikah sama Dimas?" Pertanyaan Wisnu menusuk hatinya. Reisa kembali terisak. Hal itu sempat terlintas di benaknya beberapa hari ini. Andaikan malam itu semua perbuatan Andra bisa dicegah, mungkin dia akan hidup bahagia bersama sang kekasih hati."Astagfirullah." B
Wajah Helena tersenyum saat mendapati siapa yang datang berkunjung hari ini. Setelah berhari-hari menunggu, akhirnya Andra datang juga. Sang pangeran impian kini muncul di hadapannya. "Lu sehat?' tanya Andra saat melihat wanita itu muncul dari dalam. Seperti biasa, Helena masih duduk di kursi roda dengan si perawat yang masih setia menemani. Andra membayar mahal untuk fasilitas ini. Semua kebutuhan wanita ini dia yang menganggung, entah sampai kapan. "Kayak yang lu liat. Lumpuh, nggak bisa jalan," lirih Helena. Sengaja, padahal mencari perhatian supaya sang pujaan hati merasa iba melihat kondisinya sekarang. Andra tersenyum mendengarnya. Perasaan bersalah itu tak bisa hilang begitu saja, sekalipun dia tidak sengaja. Menurut saksi mata, saat itu Helena sendiri tergesa-gesa sewaktu ingin menyebrang. Jadi, Andra tak sepenuhnya bersalah."Lu udah segeran sekarang." Andra mencoba berbasa-basi untuk mencairkan suasana yang sedikit canggung. "Ya, gini saja. Nggak bisa kayak dulu. Jalan