"Rei, tunggu!"Sekuat tenaga Andra berusaha mengejar istrinya. Lalu berjalan beriringan saat langkah mereka sudah sejajar. Reisa memilih diam. Selama ini dia sudah cukup sabar, mengalah dan menahan emosi. Bahkan membiarkan suaminya lebih mementingkan orang lain dibanding keluarga. Namun, saat melihat Andra menggendong Helena, hatinya panas. Wanita itu tampak bergelayut manja di pelukan suaminya.Andra mungkin tak menyadari bahwa Reisa berdiri di sana. Namun dia tahu bahwa Helena melihat kedatangannya.Helena dengan sengaja merapatkan tubuh ke Andra dan tersenyum mengejek Reisa. Seolah-olah dia menang karena berhasil merayu suaminya. Air mata Reisa hendak tumpah, kalau saja dia tidak ingat sedang berada di mana saat ini. Baginya, pemandangan tadi sungguh keterlaluan. "Rei." Andra menahan lengannya."Sorry gue tadi--" Entah harus bicara apa lagi. Semoga istrinya tidak salah paham. "Aku mau ke toilet."Sebisa mungkin Reisa harus menghindari suaminya untuk saat ini. Jika tidak, emosi
"Mbak, Makan dulu ya." Si perawat menyodorkan sesuap nasi ke mulut Helena. Wanita itu menolak karena tak berselera sama sekali. Sudah tiga hari di pulang ke rumah, tapi tak sekalipun Andra datang menjenguk.Helena mencoba menelepon tapi lambat di respons. Pesan yang dia kirim juga hanya dibaca. Andra sepertinya tak berniat membalas."Nanti mbak sakit." Helena membuka mulut dengan terpaksa. Jika tidak makan maka tubuhnya lemas. Namun semua makanan terasa hambar. "Len."Alina menghampiri mereka yang sedang makan di taman belakang. Si perawat berinisiatif untuk membawa Helena keluar setelah setelah dua hari wanita itu terkurung di kamar dan tak mau keluar.Melihat hal itu, seisi rumah menjadi bingung dibuatnya. Setelah tak ada Andra, Helena seperti kehilangan semangat hidup."Kok nggak abis makannya?" Alina duduk di sebelah Helena. Melihat piring nasi yang masih banyak, bahkan setengahnya pun belum habis, membuatnya pusing tujuh keliling."Gue lagi males makan," jawab Helena lirih.
Andreas menutup panggilan dengan hati riang. Ketika salah satu perawat mengirim pesan mengenai kondisi Helena yang semakin menurun setelah kepulangan dari rumah sakit, dia segera bertindak.Jadwal operasi masih setengah jam lagi. Andreas sendiri sedang berada di ruang ganti, memakai pakaian kebesaran mereka, seragam hijau.Pikirnya, mungkin dengan menelepon, Helena mau menuruti perintah. Selain itu, mendengar suara sang pujaan hati juga dapat mengobati rindunya yang terpendam selama tiga hari ini."Lagi jatuh cinta ya, Dokter?" tanya salah seorang perawat anastesi yang akan mendampinginya nanti di ruang bedah. "Sok tahu kamu." Andreas memalingkan wajah, malu dengan kelakuannya yang sedari tadi tersenyum melihat layar ponsel. Di kontaknya juga beberapa akun media sosial, Helena sengaja memasang foto profile yang sangat cantik sebelum kecelakaan itu terjadi. Helena terlihat sedang berdiri di belakang sebuah bangunan megah ciri khas salah satu kota di sebuah negara di luar negeri. Tan
"Pagi, Sayang."Sebuah kecupan bersarang di pipi Reisa. Hari ini minggu, jadi Andra punya banyak waktu di rumah seharian. Reisa menggeliat karena merasa geli, lalu secara perlahan matanya terbuka. Andra tampak segar dengan balutan kaos putih dan celana jeans. Harum tubuhnya merasuk indera penciuman. Tiba-tiba saja Reisa menjadi mual. Harum tubuh Andra yang selalu disukainya, kini menjadi tak sedap baunya. Wanita itu menutup hidung dan membuang wajah ke samping. "Kenapa, gue bau asem?" Andra melirik ke arah lipatan lengannya sambil mengendus aromanya beberapa kali. "Emang gini kalau lagi hamil, Ndra. Kayak waktu Rendra dulu." Reisa duduk bersandar di ranjang sambil mengipas hidung. "Eh, kita belum periksa lagi, ya?"Tiba-tiba saja Andra teringat sesuatu. Semenjak dia sibuk mengurus Helena di rumah sakit, otomatis waktunya terbatas untuk keluarga.Saat ini, tanggung-jawab Andra sudah berkurang. Sehingga dia berjanji akan menghabiskan banyak waktu bersama mereka. "Nanti saja, Ndra
Ada yang berbeda pagi ini. Suara denting sendok dan garpu di meja makan masih seperti biasa, tapi entah mengapa terasa hambar.Andra beberapa kali melirik ke arah istrinya. Juga Inah yang sedari tadi terdiam menyiapkan sarapan pagi ini. Biasanya suara mereka riuh sekali, berisik saling bersahutan. Kali ini diam membisu, sibuk masing-masing dan tak saling menyapa. Andra tahu, ada sesuatu yang tak beres di rumah ini. Kemarin masih baik-baik saja. Hanya terasa berbeda saat malam ketik Reisa mendiamkannya. Andra juga tahu, hanya memilih untuk menunggu. Istrinya tak pernah marah terlalu lama. Biasanya hanya sebentar. Setelah itu mereka berbaikan."Bik Nah. Nasi goreng masih ada, nggak?"Andra bertanya. Setelah dia mengucapkan itu, tiba-tiba saja Reisa meletakkan sendok dan langsung berjalan ke dalam tanpa berucap kata.Aneh. Jika Reisa memang marah kepadanya, kenapa dia juga mendiamkan Inah. Andra memilih untuk tetap melanjutkan makan.Masakan Bik Inah sudah menjadi candu bagi Andra. Seh
"Den. Non Rei pergi."Andra tersentak saat Inah mengatakan itu di telepon, disertai dengan isak tangis. Hari ini ada rapat penting di hotel, jadi dia tidak mungkin meninggalkannya.Berbagai macam prasangka sempat terlintas di benak Andra. Hanya saja, dia berusaha tetap tenang dan mengendalikan diri. Istrinya tidak mungkin melakukan hal aneh di luar sana."Tadi bibik ke pasar sama si Nok. Pas pulang Non Reisa udah nggak ada. Rendra juga dibawa."Kali ini, Andra berusaha menenangkan Inah dengan mengucapkan kata-kata penghiburan. Dia meminta wanita paruh baya itu untuk tetap tenang karena sejak tadi terdengar panik.Setelah Inah tenang, Andra menutup telepon dan menarik napas panjang. Lalu dia menghubungi beberapa nomor untuk memastikan dimana keberadaan istri dan anaknya."Reisa ada di rumah papa, Ndra. Katanya mau di sini dulu sementara waktu." Andra bernapas lega saat mendengar jawaban Wisnu. Dia meminta disambungkan dengan Reisa, tetapi mertunya menolak. "Reisa belum mau ngomong sa
Reisa terbangun saat mendengar suara tangis putranya. Rendra tengah duduk sambil menarik bajunya. Matanya melihat sekeliling, ternyata hari sudah siang.Jarum jam di dinding menunjukkan angka sembilan. Cahaya matahari pun sudah mulai menyusup dari balik jendela. Reisa benar-benar kelelahan. Tidurnya nyenyak semalaman. "Sayang mama." Reisa menggendong Rendra dan memeriksa penyebab dia menangis. Ternyata diapers-nya penuh. Dengan cekatan wanita itu membawa putranya ke kamar mandi, lalu menggantikan popok. Reisa memencet tombol air hangat lalu memandikan putranya. Sekalipun ada yang membantu, tetap saja dia harus turun tangan langsung.Setelah selesai menyabuni dan memakaikan handuk, Reisa meletakkan Reindra di ranjang. Ritual pun dimulai. Dari memberikan sunscreen anak, minyak rambut juga lotion supaya kulit putranya tidak kering. Reisa membawa Rendra keluar dan menuju dapur. Mereka kelaparan. Begitu masuk, aroma harum masakan langsung terhirup. Bau omlet yang baru diangkat dari waj
Wisnu mendengarkan dengan seksama apa yang baru saja diungkapkan oleh putrinya. Mereka duduk di taman belakang. Nita memilih untuk membawa Rendra jalan-jalan, membiarkan ayah dan anak itu saling bertukar cerita."Lalu, kenapa kamu malah sedih?" tanya Wisnu sambil mengusap kepala Reisa. Wanita itu masih terisak lalu mengambil beberapa helai tissue untuk menghapus air mata. "Kenapa Bik Nah nggak ngomong dari awal, Pa?" Matanya sayunya menatap wajah tua yang sedang menghela napas panjang. "Kamu waktu itu depresi. Mau gugurkan kandungan. Kalau Inah ngomong saat itu juga, mungkin kamu bisa lakuin hal-hal yang nggak semestinya," jawab Wisnu tenang."Tapi, Pa--""Kamu berharap apa, Nak? Inah ngehalangin malam itu terus kamu tetap nikah sama Dimas?" Pertanyaan Wisnu menusuk hatinya. Reisa kembali terisak. Hal itu sempat terlintas di benaknya beberapa hari ini. Andaikan malam itu semua perbuatan Andra bisa dicegah, mungkin dia akan hidup bahagia bersama sang kekasih hati."Astagfirullah." B
Andra benar-benar gelisah. Sejak kamarin perasaan lelaki itu tak menentu. Dia bahkan tak berselera makan. Semakin dekat hari pernikahan Reisa, mereka bahkan tak bertemu sama sekali. Sahabatnya itu sempat mengangkat teleponnya. Namun tak lama, katanya masih sibuk mempersiapkan acara.Andra meminta untuk video call dan Reisa mengabulkannya. Namun, saat berbincang, raut wajah gadis itu tak seperti biasa. Sebelum ada Bimo, Reisa masih sama seperti dulu. Bersikap hangat dan bersahabat. Namun, semua berubah ketika sang pujaan hati memiliki pengawal sendiri. Andra bahkan tak dilibatkan apa pun dalam persiapan pernikahan Reisa. Padahal lelaki itu bersedia jika direpotkan. Lelaki itu bagai tak dianggap sama sekali. Dan itu membuat Andra kecewa. "Den Andra gak makan? Inah masak enak, loh."Inah menegur tuannya. Sejak pulang tadi Andra tak menyentuh hidangan yang dimasaknya sama sekali. Hal itu membuatnya heran.Biasanya Andra akan lahap setiap melihat sajian di meja makan. Maklum, sejak ke
Reisa turun dari tangga dengan langkah anggun. Hal itu membuat Dimas terpana. Lelaki itu menelan ludah akan hasratnya yang muncul saat melihat sang kekasih.Sudah beberapa kali Dimas mengajak Reisa bermesraan. Namun, gadis itu menolak secara halus. Reisa yang lahir dan besar di kota kecil, memang selalu dituntut untuk menjaga diri.Hal itulah yang membuat Dimas kesal, lalu melampiaskannya kepada wanita lain. Hanya untuk bersenang-senang dan bukan cinta. Namun, kebiasaannya ini sudah terjadi sejak lama, dari mereka sama-sama kuliah. "Sudah siap?"Suara Wisnu memecah keheningan. Reisa menoleh ke arah papanya, lalu mengangguk. Gaun yang dia pakai kali ini berwarna silver dengan model sederhana. Gadis itu tak memakai perhiasan berlebihan. Hanya sepasang anting mutiara yang menambah keanggunannya. "Siap, Papa," jawab gadis itu senang.Wisnu menatap putrinya dengan bangga. Reisa tak hanya berprestasi di sekolah, tetapi bekerja dengan baik di kantornya. Apalagi setelah bertunangan dengan
Bimo memarkir mobilnya di sebuah gedung bertingkat. Dimana Reisa berkantor di perusahaan milik papanya. Siang ini Bimo akan mengantar Reisa makan siang, karena gadis itu ingin mencoba menu baru di sebuah restoran. "Hai, Bim."Reisa menyapa Bimo dengan ramah. Walau di hatinya ada rasa risih jika harus berdekatan dengan orang baru. Apalagi lelaki itu anak menemaninya sepanjang waktu hingga hari pernikahan tiba."Siang, Mbak Rei.""Kamu udah makan?" "Sudah, Mbak," jawabnya pendek. Tadi sebelum ke sini, Bimo mampir di sebuah tempat makan untuk mengisi perut. Selama Reisa bekerja, lelaki itu tak boleh mengikuti. Sehingga job desknya sekarang lebih ke supir pribadi. "Kalau gitu jalan."Setelah menutup pintu mobil Reisa menarik napas panjang dan meletakkan tasnya di samping. Dia mengambil ponsel dan mengabari Dimas bahwa akan makan siang.Reisa merasa hidupnya sekarang dikekang. Namun, dia hanya menuruti apa maunya Dimas demi kebaikan bersama. "Mau ke mana kita ini?" Bimo bertanya. Me
Hari itu, Dimas membawa Reisa bertemu dengan seorang lelaki, saat menjemputnya sepulang dari bekerja. Dia mempunyai rencana untuk melindungi sang kekasih. Dari orang-orang yang berniat jahat dan dari Andra tentunya.Ini tak bisa dibiarkan. Pembicaraannya kemarin dengan Andra membuat Dimas cemas. Dia khawatir jika lelaki itu nekat dan benar-benar akan menggagalkan pernikahan nereka. "Rei, kenalin. Ini Bimo." Reisa menjabat tangan Bimo. Jika diperhatikan dengan jeli, tampilan fisik Bimo mirip seperti orang yang pernah mendapat pendidikan militer. "Siapa ini?"Mata Reisa penuh tanya, tapi tak berani menduga. Entah apa maksud Dimas memperkenalkan lelaki ini kepadanya. "Bimo ini tadinya kerja di kantor papa. Tapi mulai sekarang dia bakal jadi supir pribadi sekaligus ngejagain lu." Dimas menjelaskan dengan pelan agar Reisa mau menerima. Dia tahu jika bicara dengan kekasihnya ini harus penuh dengan kelembutan.Reisa selalu diperlakukan baik oleh orang tuanya. Namun, hal itu menjadikanny
Pintu ruangan Andra terbuka. Sesosok lelaki gagah masuk dengan santainya tanpa permisi."Sibuk?"Dimas tampak santai saat bertamu, menganggap Andra tidak akan berani melawannya."Gak juga. Jadi masih punya waktu buat Reisa," sindir Andra.Suasana menjadi tegang. Andra bahkan enggan meninggalkan kursinya. Lelaki itu bahkan tak mempersilakan Dimas duduk. Sehingga tunangan Reisa itu masih berdiri di hadapannya. "Gak usah nyindir gue," ucap Dimas sembari tersenyum mengejek."Gue cuma bicara fakta."Dimas terkekeh, lalu menatap Andra dengan sinis. Pandangan matanya begitu tajam. Namun, justru menambah ketampanannya. Wajar jika Reisa jatuh dan cinta setengah mati kepada lelaki itu. "Lu tadi makan siang sama Reisa?" Andra berhenti mengerjakan laporan, lalu meletakkan mouse yang sedari tadi setia menemani."Iya. Kenapa?" jawab Andra singkat. "Sering banget kayaknya.""Soalnya cuma gue yang bisa nemenin. Lu gak ada gunanya jadi tunangan," ucap Andra sarkas.Dimas mengepalkan jari. Amarah b
Panggilan telepon masuk, Andra segera mengambil ponselnya. Reisa is calling."Ya, Rei? Apaan?" Andra menutup laptopnya dan menjawab telepon. Laporan sedang banyak yang harus dikerjakan hari ini. Dia sedang fokus menyelesaikannya sedari pagi, saat tiba di kantor. "Ndra. Temenin aku makan siang, dong. Aku sendirian nih." Terdengar suara syahdu wanita di seberang sana. Si pemilik suara adalah seorang wanita cantik, mungil dengan rambut panjang tergerai. Bulu matanya lentik dengan suara manja. "Dimas mana?" Nada suara Andra terdengar malas. Selalu begini, hampir setiap hari terjadi dan sudah menjadi kebiasaan bagi mereka. Sekalipun status Reisa adalah tunangan dari orang lain. Namun, Andra lah yang selalu menemani. "Lagi meeting sama klien. Dia gak sempet nemenin aku katanya. Tadi barusan aku telepon. Kamu mau kan, Ndra?"Suara manja Reisa kembali terdengar. Wanita itu berusaha membujuk dan merayu sahabatnya. Andra menarik napas panjang. Entah sudah untuk yang ke berapa kalinya i
"Andra! Balikin buku aku." Reisa berlari mengejar seorang anak lelaki seusianya. Napasnya gadis itu terengah-engah. Sedari tadi dia berusaha, tetapi si target malah makin menjauh. Sedangkan sosok yang dikejar itu malah bersorak senang karena berhasil menggodanya. "Ambil kalau bisa!" Andra mengangkat tangan ke atas dan melambaikan buku itu. Tentu saja Reisa tidak bisa menjangkau karena tubuhnya mungil dan tak sampai sebahu lelaki itu."Kamu usil banget sih, Ndra." Tangan mungil Reisa berusaha menggapai tetapi tak sampai. Gadis itu mencoba lagi hingga akhirnya menyerah."Lu bantet sih, Rei. Makanya makan yang banyak. Tumbuh itu ke atas, bukan ke samping."Sudah menjadi kebiasaan Andra mengolok-olok Reisa. Gadis itu juga tidak pernah marah. Bukankah jika bersama sahabat, kamu bisa lepas menjadi diri sendiri. Bahkan semua kekuranganmu dia bisa memakluminya. "Kamu kalau mau nyontek bilang aja napa? Gak usah pake' ngambil buku aku."Reisa berhenti berlari dan duduk lemas sembari menyek
Sudah satu jam Andra menunggu, tapi Reisa belum turun juga.Melihat Andra yang sedari tadi gelisah, akhirnya Wisnu mengizinkan lelaki itu menyusul ke atas. Andra bergerak cepat, nenyusul Reisa di kamarnya. Lelaki itu hanya menunggu di luar pintu dan tak berani masuk. Sedekat apapun mereka, dia masih tahu batas."Cepetan, Rei! Rempong amat nih cewek." Andra mengetuk-ngetuk pintu kamar gadis itu."Berisik banget. Apaan?"Pintu terbuka.Mata Andra terbelalak mendapati sosok yang sedang berdiri dihadapannya. Reisa terlihat sangat anggun dengan dress kasual serta dandanan yang natural. Rambut panjangnya di gelung ke atas. Andra menelan ludah. Dalam hatinya berkata, bidadari ternyata di bumi juga ada. "Kenapa kamu, Ndra?" Gadis yang ditatap mesra itu begong, tak mengerti sinyal cinta di mata Andra rupanya. "Eh, gak apa-apa."Andra membuang muka sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Wajah lelaki itu bersemu merah. Kenapa dia jadi nervous begini.Reisa memang jarang berdandan. Gadi
Brugh!"Auw!"Seorang gadis berteriak saat tubuh mungilnya terbentur sesuatu yang keras, sehingga membuatnya terjatuh. Darah mengucur dari lutut yang mulus itu. Sementara itu, sang lawan masih tetap berdiri kokoh bahkan tak bergoyang sedikit pun. "Kamu gak apa-apa?""Perih ...."Gadis itu meringis kesakitan. Lututnya menghantam tembok sekolah. Keras dan masih terasa denyutnya. Tak lama lagi sepertinya akan menimbulkan luka lebam yang kebiru-biruan."Sini, gue bantuin."Gadis itu menyambut uluran tangan yang diarahkan kepadanya."Maaf ya, gue ga sengaja." Anak lelaki itu tersenyum. Ada rasa bersalah di dalam hatinya. "Iya, engga apa-apa, kok." Senyumnya terukir, membalas senyuman anak lelaki itu. "Wah berdarah gitu. Ayo kita ke UKS. Minta diobatin lukanya. Kasian lu."Anak lelaki itu menarik tangannya, tetapi ditepiskan. Gadis itu tidak mau bersentuhan karena masih malu. "Gak usah. Biarin aja, cuma luka kecil kok. Nanti aku bersihin di toilet juga bisa."Gadis itu tidak mau merepot