Wisnu mendengarkan dengan seksama apa yang baru saja diungkapkan oleh putrinya. Mereka duduk di taman belakang. Nita memilih untuk membawa Rendra jalan-jalan, membiarkan ayah dan anak itu saling bertukar cerita."Lalu, kenapa kamu malah sedih?" tanya Wisnu sambil mengusap kepala Reisa. Wanita itu masih terisak lalu mengambil beberapa helai tissue untuk menghapus air mata. "Kenapa Bik Nah nggak ngomong dari awal, Pa?" Matanya sayunya menatap wajah tua yang sedang menghela napas panjang. "Kamu waktu itu depresi. Mau gugurkan kandungan. Kalau Inah ngomong saat itu juga, mungkin kamu bisa lakuin hal-hal yang nggak semestinya," jawab Wisnu tenang."Tapi, Pa--""Kamu berharap apa, Nak? Inah ngehalangin malam itu terus kamu tetap nikah sama Dimas?" Pertanyaan Wisnu menusuk hatinya. Reisa kembali terisak. Hal itu sempat terlintas di benaknya beberapa hari ini. Andaikan malam itu semua perbuatan Andra bisa dicegah, mungkin dia akan hidup bahagia bersama sang kekasih hati."Astagfirullah." B
Wajah Helena tersenyum saat mendapati siapa yang datang berkunjung hari ini. Setelah berhari-hari menunggu, akhirnya Andra datang juga. Sang pangeran impian kini muncul di hadapannya. "Lu sehat?' tanya Andra saat melihat wanita itu muncul dari dalam. Seperti biasa, Helena masih duduk di kursi roda dengan si perawat yang masih setia menemani. Andra membayar mahal untuk fasilitas ini. Semua kebutuhan wanita ini dia yang menganggung, entah sampai kapan. "Kayak yang lu liat. Lumpuh, nggak bisa jalan," lirih Helena. Sengaja, padahal mencari perhatian supaya sang pujaan hati merasa iba melihat kondisinya sekarang. Andra tersenyum mendengarnya. Perasaan bersalah itu tak bisa hilang begitu saja, sekalipun dia tidak sengaja. Menurut saksi mata, saat itu Helena sendiri tergesa-gesa sewaktu ingin menyebrang. Jadi, Andra tak sepenuhnya bersalah."Lu udah segeran sekarang." Andra mencoba berbasa-basi untuk mencairkan suasana yang sedikit canggung. "Ya, gini saja. Nggak bisa kayak dulu. Jalan
Nun jauh disana. Malam ini Helena juga mersakan hal yang sama."Awal terapi memang sakit. Bertahap nanti lama-lama akan terbiasa. Nyerinya akan berkurang. Hasil pemeriksaan sejauh ini bagus."Begitulah Andreas menjelaskan secara singkat mengenai kondisi Helena saat pemeriksaan berlangsung. Wanita itu bernapas lega. Harapannya untuk sembuh kini hidup lagi. Dia ingin kembali seperti dulu, bisa hidup normal seperti orang lain. "Ada peluang sembuh?" tanya Helena dengan ragu. Ada harap-harap cemas di dadanya."Kecil, tapi bisa saja terjadi. Asal kamu semangat. Jangan lemes kayak gini. Saya siap mendampingi."Andreas mengucapkan itu dengan yakin. Sudah saatnya dia bersikap sedikit agresif untuk mendekati Helena, karena momen mereka untuk bertemu semakin jarang. Helena terpana mendengar ucapan lelaki itu, tak menyangka bawa dokter yang merawatnya ini sangat baik hati. Dia masih tak mengerti bahwa Andreas memilik perasaan lain. Mata dan hatinya telah tertutup oleh pesona Andra."Maksudnya?"
Suasana pagi itu tenang. Setelah semalaman Andra berhasil menaklukan istrinya, kini semua kembali damai. Mereka makan pagi dengan santai sambil bercerita. "Bumil makan yang banyak."Andra mengambilkan tambahan lauk ke piring Reisa. Selama di Surabaya, istrinya sedikit rewel. Mungkin itu bawaan bayi walaupun tidak separah kehamilah Reindra dulu. Reisa tersenyum dan menatap suaminya mesra. Hal itu membuat Nita dan Wisnu merasa senang. Benar sesuai dugaan, mereka kembali akur dalam sekejap. Sejak dulu selalu bersama, berselisih paham juga mana bisa berpisah lama. "Bik Nah mana?" tanya Reisa karena sejak tadi tak menadapi wanita tua itu di dapur. Reisa ingin meminta maaf atas perlakuannya selama ini. Setelah mendengarkan nasihat Andra tadi pagi saat terbangun tidur, dia jadi mengerti dimana letak kesalahannya.Wajar jika Reisa merasa kecewa dan sakit hati. Itu manusiawi. Namun sejatinya manusia harus saling memaafkan. Tak ada yang perlu disesalkan.Sekalipun cara berjodoh mereka diawa
Dua bulan kemudian.Dua orang itu bergandengan tangan saat memasuki gedung resepsi. Pernikahan mewah yang tentunya memakan biaya yang tidak sedikit. Sang pengantin tampak bahagia bersanding di pelaminan. "Helena cantik ya, Ndra," bisik Reisa di antara suara bising orang-orang yang bercakap juga suara musik yang mengalun mengiringi acara."Akhirnya dia dapat jodoh yang cocok. Gue nggak nyangka Dokter Andreas suka sama dia."Mata Andra tak lepas menatap panggung megah di hadapannya. Sementara itu tangannya sibuk memasukkan makanan ke dalam mulut. "Jodoh setiap orang udah tertulis Lauhul Mahfuz. Kita gak tau dipertemukan dengan siapa. Gimana awal bermulanya. apakah baik atau enggak," kata Reisa bijak."Sama kayak lu sama gue. Sahabat jadi cinta." Andra mengedipkan mata menggoda istrinya. Reisa tertawa geli kemudian memukul lengan suaminya. Untung saja makanan tidak ada yang tumpah. Mereka sengaja memilih meja yang paling ujung, agar lebih bebas dan tak terlalu mencolok dilihat tamu ya
Sedari tadi Andra merasa gelisah, mondar mandir di depan ruang tunggu. Entah apa yang terjadi di dalam sana, dia hanya berpasrah diri kepada Tuhan.Andra Ingin mendampingi, tetapi dilarang masuk. Berulang kali dia menggosokkan kedua tangan, lalu mengusap wajah. Lelaki itu juga sesekali meremas rambut, mirip seperti seseorang yang sedang frustasi. Sudah satu jam Andra menunggu bersama Wisnu. Jika posisinya begini, serba tidak enak rasanya. Sesekali terdengar suara teriakan kesakitan dari dalam ruangan itu. Membuat jantung Andra berdetak kencang dan ingin melompat keluar. "Duduk." Wisnu menegur Andra karena melihat tingkah menantunya yang resah dan gelisah sedari tadi."Andra, duduk!" tegurnya sekali lagi. Andra menoleh tanpa berucap, lalu dia mengambil tempat di sebelah papa mertuanya. Lelaki itu hanya terdiam dan tak sanggup bicara. Entah kenapa dia dilanda kepanikan luar biasa."Tenang." Wisnu menepuk bahunya. "Doakan, dia sedang berjuang.""Paaa ..."Andra merengek. Ini kedua kal
Brugh!"Auw!"Seorang gadis berteriak saat tubuh mungilnya terbentur sesuatu yang keras, sehingga membuatnya terjatuh. Darah mengucur dari lutut yang mulus itu. Sementara itu, sang lawan masih tetap berdiri kokoh bahkan tak bergoyang sedikit pun. "Kamu gak apa-apa?""Perih ...."Gadis itu meringis kesakitan. Lututnya menghantam tembok sekolah. Keras dan masih terasa denyutnya. Tak lama lagi sepertinya akan menimbulkan luka lebam yang kebiru-biruan."Sini, gue bantuin."Gadis itu menyambut uluran tangan yang diarahkan kepadanya."Maaf ya, gue ga sengaja." Anak lelaki itu tersenyum. Ada rasa bersalah di dalam hatinya. "Iya, engga apa-apa, kok." Senyumnya terukir, membalas senyuman anak lelaki itu. "Wah berdarah gitu. Ayo kita ke UKS. Minta diobatin lukanya. Kasian lu."Anak lelaki itu menarik tangannya, tetapi ditepiskan. Gadis itu tidak mau bersentuhan karena masih malu. "Gak usah. Biarin aja, cuma luka kecil kok. Nanti aku bersihin di toilet juga bisa."Gadis itu tidak mau merepot
Sudah satu jam Andra menunggu, tapi Reisa belum turun juga.Melihat Andra yang sedari tadi gelisah, akhirnya Wisnu mengizinkan lelaki itu menyusul ke atas. Andra bergerak cepat, nenyusul Reisa di kamarnya. Lelaki itu hanya menunggu di luar pintu dan tak berani masuk. Sedekat apapun mereka, dia masih tahu batas."Cepetan, Rei! Rempong amat nih cewek." Andra mengetuk-ngetuk pintu kamar gadis itu."Berisik banget. Apaan?"Pintu terbuka.Mata Andra terbelalak mendapati sosok yang sedang berdiri dihadapannya. Reisa terlihat sangat anggun dengan dress kasual serta dandanan yang natural. Rambut panjangnya di gelung ke atas. Andra menelan ludah. Dalam hatinya berkata, bidadari ternyata di bumi juga ada. "Kenapa kamu, Ndra?" Gadis yang ditatap mesra itu begong, tak mengerti sinyal cinta di mata Andra rupanya. "Eh, gak apa-apa."Andra membuang muka sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Wajah lelaki itu bersemu merah. Kenapa dia jadi nervous begini.Reisa memang jarang berdandan. Gadi