Hari itu, Dimas membawa Reisa bertemu dengan seorang lelaki, saat menjemputnya sepulang dari bekerja. Dia mempunyai rencana untuk melindungi sang kekasih. Dari orang-orang yang berniat jahat dan dari Andra tentunya.Ini tak bisa dibiarkan. Pembicaraannya kemarin dengan Andra membuat Dimas cemas. Dia khawatir jika lelaki itu nekat dan benar-benar akan menggagalkan pernikahan nereka. "Rei, kenalin. Ini Bimo." Reisa menjabat tangan Bimo. Jika diperhatikan dengan jeli, tampilan fisik Bimo mirip seperti orang yang pernah mendapat pendidikan militer. "Siapa ini?"Mata Reisa penuh tanya, tapi tak berani menduga. Entah apa maksud Dimas memperkenalkan lelaki ini kepadanya. "Bimo ini tadinya kerja di kantor papa. Tapi mulai sekarang dia bakal jadi supir pribadi sekaligus ngejagain lu." Dimas menjelaskan dengan pelan agar Reisa mau menerima. Dia tahu jika bicara dengan kekasihnya ini harus penuh dengan kelembutan.Reisa selalu diperlakukan baik oleh orang tuanya. Namun, hal itu menjadikanny
Bimo memarkir mobilnya di sebuah gedung bertingkat. Dimana Reisa berkantor di perusahaan milik papanya. Siang ini Bimo akan mengantar Reisa makan siang, karena gadis itu ingin mencoba menu baru di sebuah restoran. "Hai, Bim."Reisa menyapa Bimo dengan ramah. Walau di hatinya ada rasa risih jika harus berdekatan dengan orang baru. Apalagi lelaki itu anak menemaninya sepanjang waktu hingga hari pernikahan tiba."Siang, Mbak Rei.""Kamu udah makan?" "Sudah, Mbak," jawabnya pendek. Tadi sebelum ke sini, Bimo mampir di sebuah tempat makan untuk mengisi perut. Selama Reisa bekerja, lelaki itu tak boleh mengikuti. Sehingga job desknya sekarang lebih ke supir pribadi. "Kalau gitu jalan."Setelah menutup pintu mobil Reisa menarik napas panjang dan meletakkan tasnya di samping. Dia mengambil ponsel dan mengabari Dimas bahwa akan makan siang.Reisa merasa hidupnya sekarang dikekang. Namun, dia hanya menuruti apa maunya Dimas demi kebaikan bersama. "Mau ke mana kita ini?" Bimo bertanya. Me
Reisa turun dari tangga dengan langkah anggun. Hal itu membuat Dimas terpana. Lelaki itu menelan ludah akan hasratnya yang muncul saat melihat sang kekasih.Sudah beberapa kali Dimas mengajak Reisa bermesraan. Namun, gadis itu menolak secara halus. Reisa yang lahir dan besar di kota kecil, memang selalu dituntut untuk menjaga diri.Hal itulah yang membuat Dimas kesal, lalu melampiaskannya kepada wanita lain. Hanya untuk bersenang-senang dan bukan cinta. Namun, kebiasaannya ini sudah terjadi sejak lama, dari mereka sama-sama kuliah. "Sudah siap?"Suara Wisnu memecah keheningan. Reisa menoleh ke arah papanya, lalu mengangguk. Gaun yang dia pakai kali ini berwarna silver dengan model sederhana. Gadis itu tak memakai perhiasan berlebihan. Hanya sepasang anting mutiara yang menambah keanggunannya. "Siap, Papa," jawab gadis itu senang.Wisnu menatap putrinya dengan bangga. Reisa tak hanya berprestasi di sekolah, tetapi bekerja dengan baik di kantornya. Apalagi setelah bertunangan dengan
Andra benar-benar gelisah. Sejak kamarin perasaan lelaki itu tak menentu. Dia bahkan tak berselera makan. Semakin dekat hari pernikahan Reisa, mereka bahkan tak bertemu sama sekali. Sahabatnya itu sempat mengangkat teleponnya. Namun tak lama, katanya masih sibuk mempersiapkan acara.Andra meminta untuk video call dan Reisa mengabulkannya. Namun, saat berbincang, raut wajah gadis itu tak seperti biasa. Sebelum ada Bimo, Reisa masih sama seperti dulu. Bersikap hangat dan bersahabat. Namun, semua berubah ketika sang pujaan hati memiliki pengawal sendiri. Andra bahkan tak dilibatkan apa pun dalam persiapan pernikahan Reisa. Padahal lelaki itu bersedia jika direpotkan. Lelaki itu bagai tak dianggap sama sekali. Dan itu membuat Andra kecewa. "Den Andra gak makan? Inah masak enak, loh."Inah menegur tuannya. Sejak pulang tadi Andra tak menyentuh hidangan yang dimasaknya sama sekali. Hal itu membuatnya heran.Biasanya Andra akan lahap setiap melihat sajian di meja makan. Maklum, sejak ke
"Halo, Ndra?"Reisa yang sudah terlelap, harus terbangun ketika ponselnya berdering pukul dua pagi. Wanita itu sebenarnya enggan menerima telepon. Namun, Andra tak mungkin menghubunginya jika tak penting. Akhirnya Reisa mengangkat panggilan itu. Rasa khawatir lebih kuat daripada kantuknya. "Bisa jemput dia sekarang?" tanya seorang wanita di seberang sana. "Kamu siapa?"Suara Reisa terdengar emosi ketika mendengar wanita itu berbicara dengan santai melalui ponsel Andra, sahabatnya. "Tolong jemput aja dia. Teman kamu mabuk.""Andra mabuk?" tanya Reisa tak percaya. "Iya, udah teler nih.""Kalian dimana?""The Paradise." Wanita di telepon tadi menyebutkan sebuah kelab yang lokasinya terletak di pusat kota. Setelah mengetahui semua secara detail, Reisa bergegas mengambil sweater beserta dompetnya. Dia menyalakan mesin mobil tanpa berpikir dia kali bahwa ini sudah larut malam. "Astagfirullah."Sampai di sana, Reisa hanya bisa menggeleng saat melihat keadaan Andra. Lelaki itu sedang t
Pukul lima, subuh hari. "Non Rei!" Inah menutup mulut, setengah tak percaya melihat keadaan Reisa yang tak seperti biasanya."Bik. Tolong." Reisa melangkah tertatih-tatih. Rasa sakit di sekujur tubuhnya sudah tidak dapat ditahan. "Astagfirullah, Non. Kenapa?" Inah memapah dan membantu Reisa berjalan. Pakaian wanita itu sebagian robek dengan rambut acak-acakan. Ada bekas lebam di pergelangan tangannya. Dan ada bercak darah. "Panggilkan taksi, Bik. Aku mau pulang," lirih Reisa. Matanya bengkak dengan air matanya tak berhenti menetes. "Ada Tarno, Non. Sebentar bibik panggilkan di belakang. Tadi barusan dia datang." Inah berlari ketakutan. Dalam hati menduga-duga apa yang sebenarnya terjadi. Wanita paruh baya itu tidak mau berprasangka. Namun, melihat kondisi Reisa seperti itu, dia mencurigai sesuatu. Tuannya tak keluar kamar sejak tadi. Pintu kamarnya setengah terbuka, walau tidak ada suara apa pun dari dalam sana. Inah tidak berani mengintip karena itu tidak sopan."Nok, Nok.
Wisnu tergopoh-gopoh keluar dari kamar ketika salah satu pengurus rumah mengabari kondisi putrinya yang baru saja diantar pulang."Ada apa?""Non Rei, Pak. Kayaknya dirampok."Wisnu berlari ke ruang tamu dan mendapati putrinya terbaring di sofa. Dia mengucap istigfar berulang kali sembari memeriksa beberapa bagian tubuh Reisa yang lebam. "Pak Nok?" tanya laki-laki paruh baya itu kaget ketika melihat siapa yang mengantar putrinya pulang.Tarno sering ke rumah ini mengantar Reisa pulang. Putrinya memang sudah bersahabat sejak lama dengan Andra. Wisnu bahkan kenal siapa saja yang bekerja di rumah itu. Wisnu bahkan sudah menganggap Andra seperti anak sendiri. Anak itu baik dan sopan karena sudah terbiasa datang ke rumah. "Iya, Pak. Ini ... saya antar Non Rei pulang.""Sebenarnya ada apa ini?" Wisnu menarik kerah baju Tarno dengan penuh amarah. "Bukan saya, Pak. Saya cuma diminta nganterin Non Rei pulang.""Terus Reisa diapain sampai begini?"Dengan terbata, Tarno menceritakan apa y
"Arghhh!"Dimas melempar barang-barang di ruangannya saat menerima kabar terbaru mengenai kondisi Reisa. Lelaki itu duduk di sofa sembari meremas rambut berulang kali. Ponselnya kembali berdering, setelah satu jam yang lalu tak hentinya menerima panggilan. "Ya, Ma?""Kami mau ke rumah sakit. Kamu cepetan nyusul. Kita mau lihat Reisa," ucap seseorang di seberang sana. "Tapi aku masih ada kerjaan, Ma.""Dimas! Kamu ini gimana? Ini calon istri kamu kena musibah.""Mama jalan aja dulu. Aku nyusul."Dimas memutus panggilan lalu kembali ke meja kerja. Pikirannya kalut sehingga dia memutuskan untuk meninggalkan kantor dan menuju rumah sakit.Sepanjang perjalanan Dimas merenung sehingga tak fokus menyetir. Laki-laki itu tak mengira semua ini terjadi. Padahal, dia sudah menyewa seorang supir pribadi untuk mengantar sekaligus menjaga Reisa. Menurut informasi yang Dimas terima, Reisa menyelinap di malam hari tanpa sepengetahuan papanya. Itulah yang paling dia sesali. Geramnya lagi, Andra ben