Share

Benih Haram Sahabatku
Benih Haram Sahabatku
Penulis: Queeny

Malam Ternoda

"Halo, Ndra?"

Reisa yang sudah terlelap, harus terbangun ketika ponselnya berdering pukul dua pagi. Wanita itu sebenarnya enggan menerima telepon. Namun, Andra tak mungkin menghubunginya jika tak penting. 

Akhirnya Reisa mengangkat panggilan itu. Rasa khawatir lebih kuat daripada kantuknya. 

"Bisa jemput dia sekarang?" tanya seorang wanita di seberang sana. 

"Kamu siapa?"

Suara Reisa terdengar emosi ketika mendengar wanita itu berbicara dengan santai melalui ponsel Andra, sahabatnya. 

"Tolong jemput aja dia. Teman kamu mabuk."

"Andra mabuk?" tanya Reisa tak percaya. 

"Iya, udah teler nih."

"Kalian dimana?"

"The Paradise." 

Wanita di telepon tadi menyebutkan sebuah kelab yang lokasinya terletak di pusat kota. 

Setelah mengetahui semua secara detail, Reisa bergegas mengambil sweater beserta dompetnya. Dia menyalakan mesin mobil tanpa berpikir dia kali bahwa ini sudah larut malam. 

"Astagfirullah."

Sampai di sana, Reisa hanya bisa menggeleng saat melihat keadaan Andra. Lelaki itu sedang teler di pangkuan seorang wanita yang meneleponnya tadi. 

Andra terbaring dengan pakaian yang terbuka, sembari memegang sebotol minuman keras. Saat Reisa menghampiri mereka, wanita malam itu malah tersenyum senang, sembari mengecup dan meraba tubuh sahabatnya.

"Astagfirullah."

Reisa membuang pandangan karena malu melihatnya. Bertahun-tahun mereka bersahabat, wanita itu tak pernah melihat Andra begini.

Berkali-kali Reisa memalingkan wajah, merasa risih dan juga jijik. Apalagi saat melihat Andra tampak menikmati sentuhan itu. 

"Kamu yang namanya Reisa?"

Wanita malam itu bertanya sembari mengisap rokok. Lispstiknya belepotan ke mana-mana. Sebagian menempel di wajah Andra.

"Iya benar."

"Tadi dia joget sama aku. Terus minta minum dan mabuk. Nih teler dan nyebut nama kamu terus."

"Ya ampun, Ndra."

Reisa mengumpat dalam hati. Jika memang Andra punya masalah, harusnya lelaki itu berbagi cerita. Bukan mencari pelampiasan di tempat seperti ini. 

"Aku buka ponselnya pakai sidik jari, terus nelpon kamu. Kayaknya mas ini lagi patah hati." 

"Dasar kamu, Ndra! Sejak kapan maen ke tempat beginian."

"Baiknya bawa pulang sekarang. Gak bisa ngapa-ngapain juga," ucap wanita itu genit. 

Reisa kembali menggerutu, lalu menunjuk wanita itu untuk meminta bantuan. 

"Kamu bantuin aku bawa dia ke mobil. Sekarang!" 

Tanpa banyak basa-basi Reisa bertindak cepat. Dia tidak mau berlama-lama berada di tempat seperti ini. 

Wanita malam itu mengangguk patuh. Akhirnya, dengan susah payah mereka berhasil membawa Andra ke mobil. Kaki jangkung Andra cukup sulit ditekuk. Bahkan kepalanya hampir saja terbentur. 

"Dia belum bayar," ucap wanita itu sembari mengulurkan tangan. 

"Memangnya kalian ngapain aja?"

"Cuma kiss. Adalah pegang-pegang dikit. Tapi itu juga gak gratis," ucap wanita itu menjelaskan. 

"Sialan," lirihnya. 

Reisa mengeluarkan dompet dan memberikan beberapa lembar uang kertas. 

"Aku rasa segini cukup."

"Makasih ya, Cantik."

Wanita malam itu meninggalkan mereka dan berjalan kembali ke ke kelab. Sementara itu, Reisa menarik napas panjang untuk menenangkan pikiran. 

"Kamu yang maen, malah aku yang bayar. Ngapain aja ini anak sama cewek begituan."

"Rei--" 

Suara serak Andra begitu lirih memanggil nama wanita yang di cintainya.

"Ndra, kamu kalau ada masalah cerita dong. Nyusahin aku aja kayak gini."

***

Setelah memastikan semua baik-baik saja, Reisa mengendarai mobil menuju ke sebuah komplek perumahan di ibu kota. Rumah milik Andra. 

Suasana begitu sepi. Bahkan security tampak terkejut saat melihat mobilnya datang. 

"Malam banget, Mbak," sapa security saat mobil Reisa berhenti di pos jaga. 

"Si Andra mabuk," ucap Reisa kesal. 

Security menawarkan bantuan untuk mengantar mereka hingga tiba di rumah. Namun, Reisa menolaknya. Dia memutari jalan dan tiba di sebuah rumah besar bertingkat dengan pagar kayu. 

Reisa memencet bel. Untungnya pagar tidak dikunci. Sehingga dia bisa membuka sendiri dan memarkir mobil di halaman. 

"Assalamualaikum. Bibik, bukain pintu, dong! " teriak Reisa sembari mengetuk pintu rumah. 

Cukup lama mereka menunggu. Sementara Reisa terus saja mengetuk pintu. Tiga puluh menit berlalu dan dia masih sabar, walau matanya sudah ingin terpejam lagi. 

"Duh, Gusti. Ada apa ini?"

Seorang wanita paruh baya membuka pintu. Inah, pengasuh dan pengurus rumah yang bekerja untuk keluarga Andra dari kecil sampai sekarang, muncul di hadapan mereka. 

"Andra cari perkara, Bik," bisik Reisa. 

Andra sendiri sebenarnya sudah tidak memiliki orang tua. Dia yatim piatu dan anak tunggal. Ada beberapa orang yang bekerja di sini, tetapi tidak menginap. Hanya Inah yang menghuninya. 

Mereka bersahabat sejak SMA karena sama-sama kesepian dan butuh teman untuk tempat berbagi segala macam cerita hidup. 

Reisa menemukan Andra. Andra jatuh cinta pada Reisa.

Melihat kedekatan itu, papa Reisa sempat beberapa kali menanyaka hubungan mereka. Namun, wanita itu menjelaskan bahwa dia dan Andra hanya berteman.

Reisa menganggap Andra sebagai pengganti Wahyu, kakak kandungnya yang sudah lama meninggal.

Andra juga menjawab demikian saat ditanya. Padahal dalam hati, lelaki itu menyimpan rasa cinta yang tak diketahui oleh siapa pun. 

"Bantuin, Bik. Berat juga nih anak." 

Mereka menuntun Andra menuju kamarnya di lantai atas.

"Mas Andra kenapa, Non?" 

"Teler, Bik."

"Lah, kenapa? Biasanya gak pernah begini juga."

"Putus cinta kali, Bik." jawabnya asal. 

Saat ini Reisa tidak bisa berpikir apa-apa. Dia hanya perlu membawa Andra ke kamar, lalu pulang. 

"Sama siapa?" tanya Inah bingung. 

"Rei juga gak ngerti. Tau-tau dapat telepon dari cewek. Disuruh jemput nih anak."

Sejak tadi, papanya sudah melarang Reisa keluar rumah. Namun, dia berhasil meyakinkan bahwa hanya perlu menjemput Andra dan mengantarnya pulang. 

"Siapa pacarnya? Mas Andra gak pernah cerita. Biasanya juga curhat sama Bibik."

Inah membantu membuka sepatu dan kaus kaki tuannya. Sedangkan Reisa sendiri membuka lemari dan mencari baju ganti. 

"Gak tahu, Bik. Ntar, kalau udah sadar Rei tanyain." 

"Sama Non Reisa kali. Sejak tau non mau nikahan sama Mas Dimas, Den Andra jadi uring-uringan. Sering marah-marah gak jelas."

Inah mencoba menjelaskan karena beberapa kali dia mendapati tuannya melamun. Sejak mengetahui bahwa Reisa akan menikah. 

"Ah gak lah, Bik. Kita kan cuma temenan. Bibik kan juga tahu dari dulu gimana." 

Tangannya bergerak cekatan. Dia sudah berhasil menggantikan baju Andra, lalu mengatur posisi tidurnya sampai memakaikan selimut. Lelaki itu terlihat nyaman dalam lelapnya.

"Bibik ke belakang dulu ya, Non. Kalau ada apa-apa, ketok aja pintu kamar. Bibik suka gak sadar kalau udah tidur."

Wanita paruh baya itu berpamitan karena merasa sungkan. 

"Iya. Bibik tidur aja udah malem. Biar Rei yang ngurusin Andra."

Inah melangkah keluar dan menutup pintu. Tidak berani ikut campur apalagi bertanya banyak. Biasanya nanti tuannya akan cerita jika memang ada yang penting. 

"Rei--" 

Reisa menoleh saat mendengar Andra memanggilnya. 

"Kamu mau minum?" tawar Reisa iba. Rasanya dia sedih melihat kondisi Andra yang sekarang 

Andra mengangguk.

"Jangan tinggalin aku." 

Diantara sadar dan tidaknya, Andra mulai meracau. Lelaki itu bahkan meraih lengan Reisa dan memegangnya erat. 

"Gak, Ndra. Aku cuma mau keluar bentar ambil air ... auw." Tubuh Reisa terjatuh ke tempat tidur. 

Tangan besar dan kokoh milik Andra malah menariknya ke dalam pelukan.

"Sayang ...." Andra membenamkan wajahnya ke ceruk leher Reisa.

"Lepas, Ndra! Kamu mau apa?" 

Reisa mencoba berontak. Dia tidak rela dirinya disentuh seperti ini. 

"Aku mau kamu aja."

Kini, Andra berusaha menaklukan pujaan hatinya. 

"Kamu mabuk. Sadar woi!"

Reisa masih meronta, berusaha melepaskan diri dari rengkuhan lelaki itu. Perutnya mual mencium bau asam dari mulut Andra.

Kali ini Andra benar-benar tidak peduli. Lelaki itu akan melakukan apa saja, demi mendapatkan apa yang dia inginkan. 

Tubuhnya berbalik menindih, tak membiarkan pujaan hatinya bergerak sedikitpun.

"Ndra, lepasin! Kamu lagi gak sadar. Ini aku Reisa, bukan cewek yang tadi." 

Tangan mungil Reisa menepuk pipi Andra, mencoba menyadarkan sahabatnya. Dalam posisi begini, dia tak berdaya. Lemah, berusaha mempertahankan kesuciannya.

"Rei, jangan nolak aku." 

Tangan Andra mulai berkeliaran, mencari apa yang dia suka. 

"Lepas, lepas. Tolooong!" 

Reisa berteriak. Dia masih berusaha mempertahankan diri. Namun, tidak ada yang mendengar. Tidak ada yang bisa menolong. 

Reisa mulai menendang. Tangannya juga mencakar. Kehormatanya saat ini sedang dipertaruhkan. Apalah daya tubuh kecilnya tak sanggup melawan. Walaupun dia sudah sekuat tenaga mencoba. 

"DIAM REI!" Andra membentak. 

Seketika itulah Reisa tahu bahwa Andra sebenarnya tidak mabuk. Lelaki itu melakukannya dengan sadar. 

Mata Andra normal seperti biasa. Hanya saja saat ini, sesuatu yang bejat sedang menyelimutinya.

"Kamu?"

Andra menyumpal mulut Reisa dengan sebuah ciuman kasar. Tubuh besarnya bergerak sesuka hati, melakukan apa pun yang dia mau. Mengambil semua yang dia inginkan pada wanita ini. 

Untuk selanjutnya, Reisa tak dapat berbuat apa-apa. Tak kuasa menolak, tiada daya dan upaya. Di bawah kungkungan Andra dia kehilangan semuanya. 

Kesucian Reisa direnggut oleh orang yang paling dipercaya. Dirampas oleh orang yang disayang. Seluruh kesakitan yang dia rasakan hanya dapat diungkapkan dengan air mata.

Haruskah begini takdir hidupnya. Tak bolehkan dia meminta, sama seperti wanita lain. Menikah dan hidup bahagia bersama orang yang dicintai. 

"Mengapa harus begini?"

"Mengapa aku, Andra?"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status