Andra berulang kali memencet bel dan tidak ada yang membukakan pintu. Hari ini dia pulang larut malam karena ada meeting mendadak dengan pengurus hotel. Setelah lulus kuliah, laki-laki itu meneruskan usaha keluarga bersama beberapa paman dan sepupunya. Jam menunjukkan pukul sebelas. Biasanya selepas Maghrib, Andra sudah berada di rumah. Pulang awal atau pulang cepat baginya sama saja, tidak bisa bertemu dengan Reisa. Pernah suatu kali Andra mencoba mengintip saat melihat Reisa keluar kamar menuju dapur. Itu saja sudah membuatnya senang. Andra duduk di teras dan membuka tas untuk mencari kunci cadangan tetapi tidak ada. Rasanya dia ingin berteriak. Mengapa saat ini hidupnya semakin rumit, mencari kunci saja tidak ketemu. Andra mengambil ponsel, mencari sebuah nama langsung menelepon seseorang."Pak Nok, lagi di mana?""Balik ke rumah lama. Tadi, Nok nungguin Den Andra pulang. Tapi kemalaman. Jadi langsung jalan aja. Lupa ngabarin Aden."Andra menarik napas panjang. Rumah kesayangann
"Sayang," ucap Andra lembut lalu mengendurkan pelukannya."Jangan," lirih Reisa dengan tubuh gemetaran. Dia mencoba mendorong tubuh besar itu sembari meronta untuk melepaskan diri. "Gak apa-apa,ya. Kamu gak usah takut.""Tolong ...." ucapnya di antara isak tangis. "Gue gak akan ngelakuin itu lagi sama lu." Andra mengusap kepala Reisa dengan lembut dan penuh kasih sayang. Sementara wanita itu masih saja meronta sehingga Andra mengendurkan pelukannya. Dia terduduk di lantai sembari menangis.Andra ikut bersimpuh di hadapan Reisa dan mengusap banbu Reisa sembari berkata, "Tenang, ya. Tenang."Reisa menutup wajah dengan kedua tangannya. Kiniz Andra masih mengusap rambutnya dan mencoba menenangkan. Wanita itu masih menangis sesegukan, tetapi dia hanya diam dan tak dapat berbuat apa-apa."Lu mau makan bubur?" Tidak ada jawaban, sehingga Andra mengusap wajahnya lalu membuang napas dengan kasar. "Adek mau bubur?" Andra mencoba mengusap perut Reisa, tetapi tangannya ditepiskan lagi."Lu m
Mata Andra tak berkedip. Pemandangan dihadapannya sungguh memukau. Reisa terlihat cantik memakai dress selutut dan rambut yang dicepol asal-asalan. Wanita itu tengah asyik melihat-lihat Tarno yang sedang menyiram dan menanam beberapa bunga di taman belakang. Reisa mungkin lupa, atau tidak tahu, bahwa kamar Andra terhubung dengan taman itu. Sejak tadi, Andra menjadi pengintip di balik gorden. Dia tak berani membukanya lebar seperti hari-hari biasanya, melihat apa yang dilakukan pujaan hatinya. Saat Reisa bersenda gurau dengan Tarno, hati Andra menjadi ketar-ketir dibuatnya. Melihat senyuman dan tawa wanitanya itu bergema, dirinya dipenuhi dengan kebahagiaan. Ah, pagi ini memang indah.Hampir empat bulan sejak mereka tinggal di sini, suasana sangat mencekam. Sejak insiden bubur waktu itu, sikap Reisa sedikit melunak dan sudah kembali ceria. Tawanya bahkan terdengar sampai ke kamar Andra. Reisa sejak dulu memang suka menjahili orang lain. Pagi ini, Tarno yang menjadi korbannya. Bibit
Ruangan dokter itu nampak sejuk di mata. Nuansanya putih, dengan wallpaper abstrak, minimalis tetapi elegan. Di salah satu dindingnya dipasang beberapa poster mengenai kehamilan dan persalinan. "Wah, akhirnya papanya ikut juga. Silakan duduk." Dokter Andini menyambut kedatangan mereka malam itu.Andra menarik sebuah kursi untuk Reisa. Sekalipun perutnya belum terlalu besar, wanita itu terlihat agak kesulitan saat berdiri dan duduk. Mungkin merasa kurang nyaman.Walaupun permintaan dari papanya untuk berpindah-pindah dokter, Reisa memilih kembali ke sini untuk melakukan pemeriksaan. "Gimana Ibu, apa yang dirasakan di trisemeter kedua ini, apa merasa lebih baik?" Dokter Andini memulai pembicaraan dengan menanyakan kondisi Reisa. Pembawaannya yang tenang itu membuat merasa senang. Dia tidak sungkan untuk menceritakan keluhannya selama kehamilan."Sedikit lebih baik. Mual muntahnya berkurang. Ngggg ... cuma itu, Dok. Kenapa saya jadi sakit gigi. Terus kalau cuaca dingin kadang suka mim
Reisa berjalan menuju dapur. Ketika matanya terbuka, perutnya terasa lapar. Saat keluar kamar, terciumlah bau nasi goreng yang menggugah selera. "Bik, laper.""Non duduk dulu. Bibik lagi masak. Bentar lagi mateng, kok," ucap Inah sembari memotong beberapa bahan. Tangannya sangat cekatan dan terlatih mengerjakan semua."Bikin nasi goreng apa, Bik?""Sosis. Kesukaan Den Andra." Inah mengambil sosis beku dari dalam kulkas dan meletakannya di mangkuk. "Dia belum bangun?" Reisa menarik kursi dan duduk sembari melihat Inah bekerja. Semakin besar kandungannya, semakin cepat dia merasa lelah. "Belum. Paling sebentar lagi, Non."Mendengar itu, Reisa menjadi panik. Dia masih malu bertemu Andra. Wanita itu segera berdiri dan membantu Inah memasak. "Sini, Rei bantuin Bibik masak," ucapnya sembari meraih pisau. Inah terlihat kerepotan sendiri sejak tadi, sehingga dia ingin membantu. "Jangan, nanti Non mual," tolak Inah. Tak enak rasanya jika menyuruh nona mudanya mengerjakan pekerjaan rumah.
Beberapa hari kemudian. Andra tampak ragu-ragu saat hendak membuka pintu. Reisa sedang menemani Tarno mengurus bunga di taman. Sejak kejadian di dapur waktu itu, entah mengapa justeru Andra yang malu jika bertemu dengan Reisa. Jadi, saat ini dia hanya diam sembari mendengarkan suara khas tawa wanita itu yang bergema hingga ke kamar.Lama-kelamaan Andra tidak tahan juga. Godaan untuk mendekati Reisa semakin kuat. Manusia memang begitu, kan? Jika jatuh hati pada seseorang, selalu merasa rindu dan ingin berdekatan terus setiap saat.Akhirnya dengan mengumpulkan sedikit keberanian, Andra membuka pintu penghubung antara kamarnya dan taman belakang lalu berjalan mendekati mereka. "Hai ...." Wajah Andra memerah saat menyapa. Reisa terkejut dan tersenyum malu. Membuang pandangan lalu berpura-pura tidak melihat. "Den." Tarno menyapa tuannya. Sesekali melirik nonanya yang tiba-tiba saja menjadi salah tingkah, padahal tadi baik-baik saja. "Nanam apa, Pak Nok?" Andra bertanya, basa-basi te
Setelah berdiskusi cukup alot, akhirnya Reisa menyetujui untuk ikut ke acara launching restoran milik salah satu kenalan Andra. Wanita itu menyiapkan diri dengan memakai pakaian yang agak longgar agar perutnya tak kentara terlihat. Sayangnya, begitu tiba di sana banyak bisik-bisik yang tak enak didengar. Sekalipun Andra sudah berusaha menutupi, Reisa tetap saja menjadi down. Akhirnya setelah mengambil makanan, mereka bergegas pulang tanpa banyak basa-basi dengan yang lain. Suasana perjalanan pulang kali ini berbeda dari keberangkatan tadi pagi. Wajah Reisa cemberut dengan mata yang berkaca-kaca. Aibnya sudah tersebar. Itulah yang membuat wanita itu kembali berkecil hati. Padahal relasi Andra adalah orang-orang asing yang tak dia kenal. Mungkin karena perutnya yang sudah kelihatan sementara status lelaki itu yang masih bujangan. SEjak awal mereka sudah sepakat akan menikah setelah anak itu lahir. Andra merasa tak enak hati, karena dia yang memaksa ikut. Sedangkan Reisa memilih untu
Beberapa bulan kemudian. Setengah berlari lelaki itu memasuki rumah sakit. Satu jam yang lalu, penerbangannya mendarat mulus di tanah air. Negara tercinta yang beberapa bulan ini ditinggalkannya. Tidak ada bagasi, hanya sebuah tracker yang diletakkan di kabin yang dia bawa. Itu juga berisikan pakaian seadanya. Telepon dari mamanya yang mengabarkan bahwa papanya yang masuk rumah sakit karena serangan jantung, membuat lelaki itu segera pulang tanpa berpikir panjang. Dia rela meninggalkan semua pekerjaan yang ada di sana.Lelaki itu memang gagah sekali, walaupun hanya memakai kaos dan celana jenas. Di tambah kacamata yang membingkai wajah, maka tampak sempurnalah dia. Banyak wanita yang menoleh dan bertanya-tanya saat melihatnya. "Mengapa si ganteng ini berlari-lari di lorong rumah sakit?""Ini artis, ya? Kok macho banget sih.""Apa Oppa Min Hoo lagi nyasar? Siapa juga yang dibesuknya di rumah sakit ini."Lelaki itu tak melihat ke kanan dan kiri, sampai tak menyadari saat bahunya ber