Pukul lima, subuh hari.
"Non Rei!"
Inah menutup mulut, setengah tak percaya melihat keadaan Reisa yang tak seperti biasanya.
"Bik. Tolong."
Reisa melangkah tertatih-tatih. Rasa sakit di sekujur tubuhnya sudah tidak dapat ditahan.
"Astagfirullah, Non. Kenapa?"
Inah memapah dan membantu Reisa berjalan. Pakaian wanita itu sebagian robek dengan rambut acak-acakan. Ada bekas lebam di pergelangan tangannya.
Dan ada bercak darah.
"Panggilkan taksi, Bik. Aku mau pulang," lirih Reisa. Matanya bengkak dengan air matanya tak berhenti menetes.
"Ada Tarno, Non. Sebentar bibik panggilkan di belakang. Tadi barusan dia datang."
Inah berlari ketakutan. Dalam hati menduga-duga apa yang sebenarnya terjadi. Wanita paruh baya itu tidak mau berprasangka. Namun, melihat kondisi Reisa seperti itu, dia mencurigai sesuatu.
Tuannya tak keluar kamar sejak tadi. Pintu kamarnya setengah terbuka, walau tidak ada suara apa pun dari dalam sana. Inah tidak berani mengintip karena itu tidak sopan.
"Nok, Nok. Cepetan udah ke sini."
Setengah berlari Inah memanggil Tarno di belakang rumah. Rutinitas lelaki itu setiap pagi adalah mengantar Andra berangkat kerja.
Saat ini Tarno sedang membersihkan mobil, memeriksa mesin, dan segala sesuatunya. Agar saat perjalanan nanti semua berjalan lancar.
"Kenape, Jah? Lu kayak di kejar setan aje."
Tarno menghentikan pekerjaannya. Terheran-heran melihat Inah yang berlari tak karuan dan ketakutan tidak jelas.
"Tolongin Non Reisa."
Inah bercerita sembari terisal. Dengan gugup, dia mengatakan kejadian tadi. Tanpa menambah atau melebihkan.
Tarno yang selalu siaga, bergegas ke dalam. Melihat kondisi Reisa yang menyedihkan, dia hanya bisa mengelus dada. Wanita itu terbaring di sofa dengan kondisi lemah.
"Non Reisa kenapa?"
Tarno memeriksa keadaannya.
"Ya Allah, Non. Ini kayak abis diper--"
Tarno berbalik ke arah Inah untuk meminta penjelasan. Namun, wanita itu tidak bisa menjawab apa-apa.
Reisa sendiri sudah tak dapat bersuara. Wanita itu sudah hampir pingsan.
Melihat Inah yang mulai ikut terisak, Tarno semakin bingung. Lelaki paruh baya itu bahkan meremas rambutnya karena merasa serba salah.
"Cepet, Nok. Bawa Non Rei pulang."
Inah membantu Tarno membawa Reisa keluar. Mereka benar-benar panik menghadapi situasi ini.
Sebelum meninggalkan rumah, Tarno masih menuntut penjelasan. Dia bingung harus mengatakan apa kepada keluarga Reisa nanti.
"Den Andra mana?" Tarno bertanya.
"Udah nanti aja. Tolongin Non Rei dulu. Kasian dia."
Inah membuka pintu mobil. Lalu membantu Reisa masuk dan membaringkannya dengan pelan. Wanita paruh baya itu bahkan mengusap rambut dan mencium pipi nonanya sebagai tanda sayang.
"Jalan, Nok."
Inah menutup pintu mobil dan melambaikan tangan. Dalam hatinya mengucap doa, semoga nonanya baik-baik saja saat tiba di rumahnya nanti.
Inah berharap keluarga gadis itu akan memperlakukannya dengan baik, mengingat kondisinya yang cukup parah. Semoga apa yang dia prasangka tidak benar adanya.
Sepanjang perjalanan, Tarno terus saja melihat keadaan Reisa di belakang. Gadis itu menangis sesegukan dan tak lama tertidur dengan kondisi yang memperihatinkan.
"Ya Allah. Semoga apa yang aku takutkan gak benar adanya."
Tarno membatin. Dalam keadaan begini hatinya merasa tak tenang.
Reisa sudah biasa dan sering datang ke rumah Andra. Kadang-kadang wanita itu membawa makanan atau buah tangan lain.
Reisa cukup manja dengan Inah karena sudah tidak memiliki ibu. Dia dan Andra sudah seperti kakak adik. Namun, kalau memang benar mereka seperti saudara, kenapa yang tadi bisa terjadi.
Tarno menduga-duga, mungkin saja tuannya diam-diam menyukai Reisa. Sehingga berani berbuat itu.
"Astagfirullah."
Tarno kembali menepis semua prasangka dan kembali fokus menyetir.
* * *
Andra terbangun dari tidur panjang. Kepalanya terasa sakit, akibat pengaruh alkohol yang dia minum. Walau pun tidak mabuk parah, tetap saja menenggak barang haram itu membuatnya tubuhnya tak nyaman. Dia jarang menyentuhnya, hanya sesekali saat ada perayaan tertentu.
Andra duduk dan bersandar di ranjang, lalu tersadar saat melihat kondisi tubuhnya yang hanya berbalut selimut.
"Gue abis ngapain?"
"Reisa mana?"
"Ya Tuhan!"
"REISA!"
Andra berlari ke kamar mandi saat merasakan mual yang hebat melanda perutnya. Lelaki itu memakai baju dan segera keluar kamar.
Hampir seluruh rumah Andra kelilingi. Namun, dia tak menemukan keberadaan Reisa sama sekali, di ruang mana pun.
"Rei! Rei!" teriaknya.
Tidak ada jawaban, rumahnya sunyi dan sepi. Andra bertanya kemana yang lain. Mengapa tidak ada pekerja yang datang.
"Inah! Inah!"
Suara Andra menggelegar, membuat Inah yang sedari tadi bersembunyi menjadi semakin ketakutan. Belum pernah seumur hidupnya, selama bertahun-tahun bekerja di rumah ini, mendapati keadaan seperti sekarang.
"Inah!"
Inah segera datang karena tuannya sudah memanggil.
"Mana Reisa!"
Setengah membentak, Andra bertanya kepada orang yang sudah merawatnya sejak bayi.
"Pulang, Den." Inah gemetaran.
Selama ini Andra tidak pernah marah. Sekalipun Inah hanya pembantu, lelaki itu tidak pernah berlaku kasar kepada semua yang bekerja di rumahnya.
Andra sebenarnya anak yang baik, karena kedua orang tuanya mengajarkan begitu.
"Siapa yang antar?"
Kali ini suara Andra sedikit melunak.
"Si Nok, Den."
Inah tertunduk. Sepuh usianya, renta badannya. Hanya dia masih tahu diri siapa dan apa posisinya di rumah ini.
"Mobil Non Rei masih di parkiran." Wanita tua itu menjelaskan.
"Rei ..." Andra jatuh terduduk.
"Maafin gue."
"Maaf."
Andra bersimpuh di hadapan Inah dan menangis terisak-isak. Dia tidak tahu apa dirasakan saat ini. Apakah dia menyesali perbuatannya, atau malah bahagia dan mensyukurinya.
"Den ..."
Inah mendekati sang tuan dan memeluknya erat. Andra yang dia kasihi seperti anaknya sendiri.
Inah ikut menangis. Entah apa yang telah terjadi wanita itu tidak akan bertanya. Saat ini dia hanya perlu ada untuk mendengarkan semua yang akan diceritakan tuannya nanti.
Dalam posisi ini, Andra hanya perlu seseorang untuk tempatnya berbagi. Inah akan melindunginya, menjaganya sampai kapan pun, mungkin sampai menutup mata kelak.
"Maafkan aku Ma, Pa."
Andra meraung-raung menangis di pelukan Inah. Segalanya tumpah ruah di bahu renta itu. Di antara tangisnya, dia menceritakan kejadiannya.
Semua rencana yang sudah disusun sejak lama. Sejak Dimas menjauhkan Reisa dengan dirinya.
Sejak Reisa bercerita dengan mata berbinar bahwa Dimas akan mempercepat rencana pernikahan mereka.
Sejak Reisa mengajaknya ke mana-mana untuk mempersiapkan segala sesuatu tentang pernikahan. Dia muak karena Dimas, calon suami yang dibanggakan sahabatnya itu tidak bisa menemani dengan alasan sibuk.
Andra sudah tidak tahu harus berbuat apa untuk mencegah terjadinya pernikahan mereka. Untuk itu, dia merencanakan semua dengan sangat matang.
Andra mencari sebuah kelab dan menyewa seorang wanita malam. Lelaki itu berpura-pura mabuk, lalu menelepon Reisa untuk datang dan mengantarnya pulang.
Tidak gampang karena Wisnu, sangat ketat menjaga putri semata wayangnya. Dia tidak akan membiarkan Reisa keluar tanpa pengawasan. Apalagi itu sudah tengah malam menjelang pagi.
Jantungnya berdebar saat menunggu saat Reisa datang ke tempat itu. Sandiwaranya berhasil. Dia sengaja berpura-pura tak sadarkan diri. Semuanya terjadi, berjalan sesuai dengan alur ceritanya.
Ketika Inah keluar dan menutup pintu, dengan segera Andra menarik Reisa ke pelukannya dan memaksa untuk menuruti semua keinginannya.
Malam itu, Andra telah berubah. Sosoknya bukan lagi manusia, tapi menjelma menjadi seperti seekor binatang.
"Apa Dengan Andra melakukanya?"
Akhirnya Inah memberanikan diri bertanya untuk memastikan.
"Iya, Bik."
Andra mengangguk lalu mengusap matanya yang bengkak. Wajah tampan lelaki itu tampak begitu kusut dengan rambut acak-acakan.
"Kenapa Den Andra melakukan itu?"
Andra menarik napas panjang dengan pikiran tak menentu. Lelaki itu mencoba menenangkan diri sebelum menjawab.
"Karena aku mencintainya. Dan aku gak Rela kalau Reisa menjadi milik orang lain."
Wisnu tergopoh-gopoh keluar dari kamar ketika salah satu pengurus rumah mengabari kondisi putrinya yang baru saja diantar pulang."Ada apa?""Non Rei, Pak. Kayaknya dirampok."Wisnu berlari ke ruang tamu dan mendapati putrinya terbaring di sofa. Dia mengucap istigfar berulang kali sembari memeriksa beberapa bagian tubuh Reisa yang lebam. "Pak Nok?" tanya laki-laki paruh baya itu kaget ketika melihat siapa yang mengantar putrinya pulang.Tarno sering ke rumah ini mengantar Reisa pulang. Putrinya memang sudah bersahabat sejak lama dengan Andra. Wisnu bahkan kenal siapa saja yang bekerja di rumah itu. Wisnu bahkan sudah menganggap Andra seperti anak sendiri. Anak itu baik dan sopan karena sudah terbiasa datang ke rumah. "Iya, Pak. Ini ... saya antar Non Rei pulang.""Sebenarnya ada apa ini?" Wisnu menarik kerah baju Tarno dengan penuh amarah. "Bukan saya, Pak. Saya cuma diminta nganterin Non Rei pulang.""Terus Reisa diapain sampai begini?"Dengan terbata, Tarno menceritakan apa y
"Arghhh!"Dimas melempar barang-barang di ruangannya saat menerima kabar terbaru mengenai kondisi Reisa. Lelaki itu duduk di sofa sembari meremas rambut berulang kali. Ponselnya kembali berdering, setelah satu jam yang lalu tak hentinya menerima panggilan. "Ya, Ma?""Kami mau ke rumah sakit. Kamu cepetan nyusul. Kita mau lihat Reisa," ucap seseorang di seberang sana. "Tapi aku masih ada kerjaan, Ma.""Dimas! Kamu ini gimana? Ini calon istri kamu kena musibah.""Mama jalan aja dulu. Aku nyusul."Dimas memutus panggilan lalu kembali ke meja kerja. Pikirannya kalut sehingga dia memutuskan untuk meninggalkan kantor dan menuju rumah sakit.Sepanjang perjalanan Dimas merenung sehingga tak fokus menyetir. Laki-laki itu tak mengira semua ini terjadi. Padahal, dia sudah menyewa seorang supir pribadi untuk mengantar sekaligus menjaga Reisa. Menurut informasi yang Dimas terima, Reisa menyelinap di malam hari tanpa sepengetahuan papanya. Itulah yang paling dia sesali. Geramnya lagi, Andra ben
Hari itu, dua keluarga bertemu untuk berunding. Wisnu mendapatkan penangguhan penahanan, sementara Andra sudah diperbolehkan pulang karena kondisinya sudah pulih. Hanya Reisa yang masih dirawat di rumah sakit karena beberapa kali berteriak di tengah malam. Reisa bahkan sempat mengambil pisau buah dan menyayat lengannya karena depresi. Untunglah nyawanya masih bisa diselamatkan. Sehingga pihak keluarga berinisiatif membayar seorang psikiater untuk menanganinya. Kondisi Reisa semakin menurun karena Dimas hanya sekali datang membesuk selama satu minggu dirawat. Padahal laki-laki itu adalah harapan semua orang untuk membantu proses penyembuhan, walaupun traumanya tidak akan hilang dengan mudah.Ada banyak dukungan dan empati dari berbagai pihak karena kasusnya mulai tersebar. Namun, itu justeru membuat Reisa semakin tertekan karena aibnya terbongkar ke mana-mana. "Saya mewakili keluarga besar datang ke sini untuk meminta maaf atas apa yang telah dilakukan oleh Andra kepada Reisa. Kami
Wisnu mengucap doa dalam hati agar kedatangannya kali ini bisa diterima dengan baik. Sudah beberapa kali dia mengunjungi Dimas di kantor dan masih berharap agar lelaki itu mau menemui Reisa."Maksud Om, aku harus nikahin Rei?" tanya Dimas keberatan. Wajah Wisnu menegang. Dia menarik napas panjang dan mencoba menahan emosi yang hendak meluap. "Kalau kamu memang mencintai Reisa, Nak." "Reisa sudah kotor, Om. Dia mengandung benih Andra. Anak itu hasil perkosaan. Kenapa aku yang harus menanggung semuanya?" "Om rela melakukan apa saja kalau kamu bersedia."Dengan pengharapan yang besar Wisnu datang kepada Dimas untuk menerima Reisa. Dia bahkan menekan harga diri demi kebahagiaan putrinya.Hanya Dimas yang satu-satunya menjadi harapan menyembuhkan Reisa dan menutupi aib. Mereka sudah mempersiapkan pernikahan. Harinya juga sudah dekat, hanya tinggal menunggu waktu. "Maaf, aku gak bisa, Om." Dimas berlalu begitu saja meninggalkan Wisnu yang terdiam mematung. Dia menolak dengan tegas. Ha
Bunyi ketukan di pintu membuat Reisa terbangun. Dia mengerjapkan mata berulang kali dan melirik ke arah jam di dinding. Tubuhnya terasa pegal, juga perut yang semakin mual.Reisa berlari ke kamar mandi dan mengeluarkan isi perutnya. Hanya ada cairan, karena sejak kemarin malam dia tidak bisa makan. Atas kesepakatan bersama, Inah dan Tarno ikut tinggal bersama mereka untuk menjaga dan mengurus rumah ini. Mereka juga diminta untuk mengawasi sikap Andra selama menemani Reisa.Sarah menyanggupi akan menjenguk keponakannya satu minggu sekali. Sekalipun mereka dibiarkan tinggal bersama, tetapi Wisnu tetap memantau perkembangannya dari jauh. Setiap hari Inah sudah membuatkan berbagai macam jenis makanan. Akan tetapi, tidak ada satu pun yang bisa Reisa telan. Semalaman dia menangis karena merasa kelaparan. Akhirnya Reisa tertidur dengan perut yang kosong. Wanita itu lebih banyak mengurung diri di kamar sejak tinggal di sini. Papanya bilang, setelah bayi ini lahir, Andra akan menikahinya.
Dua bulan kemudian. Masih ada tiga antrean dan Reisa sudah tidak sabar menunggu. Kakinya kesemutan. Tubuhnya gemetaran. Mual yang terus menerus mendera membuatnya nekat berbaring di kursi tunggu, tak perduli ada banyak pasang mata yang melihat. "Mual, Bik," katanya manja. Di tangan Reisa ada sepotong roti manis untuk cemilan. Sedari tadi mulutnya mengunyah sambil mengeluhkan perut yang terasa tidak nyaman. Obat anti mual yang diberikan dokter dipemeriksaan sebelumnya juga tidak berefek banyak.Mualnya tidak hilang, kecuali pada saat tertidur. Begitu bangun, dia akan mengeluarkan semua yang dimakan sebelumnya. "Ya Tuhan. Beginikah rasanya mengandung?" Rasanya dia tidak sanggup."Sabar, Non. Bentar lagi giliran kita."Benar saja kata Inah. Tak lama setelah pasien yang di dalam selesai periksa, si perawat memanggil pasien berikutnya. "Antrean nomor sepuluh. Silakan masuk." Tidak ada yang berdiri sehingga beberapa pasien lain saling berpandangan. "Ibu Reisa. Ibu Reisa." Suara pang
Andra berulang kali memencet bel dan tidak ada yang membukakan pintu. Hari ini dia pulang larut malam karena ada meeting mendadak dengan pengurus hotel. Setelah lulus kuliah, laki-laki itu meneruskan usaha keluarga bersama beberapa paman dan sepupunya. Jam menunjukkan pukul sebelas. Biasanya selepas Maghrib, Andra sudah berada di rumah. Pulang awal atau pulang cepat baginya sama saja, tidak bisa bertemu dengan Reisa. Pernah suatu kali Andra mencoba mengintip saat melihat Reisa keluar kamar menuju dapur. Itu saja sudah membuatnya senang. Andra duduk di teras dan membuka tas untuk mencari kunci cadangan tetapi tidak ada. Rasanya dia ingin berteriak. Mengapa saat ini hidupnya semakin rumit, mencari kunci saja tidak ketemu. Andra mengambil ponsel, mencari sebuah nama langsung menelepon seseorang."Pak Nok, lagi di mana?""Balik ke rumah lama. Tadi, Nok nungguin Den Andra pulang. Tapi kemalaman. Jadi langsung jalan aja. Lupa ngabarin Aden."Andra menarik napas panjang. Rumah kesayangan
"Sayang," ucap Andra lembut lalu mengendurkan pelukannya."Jangan," lirih Reisa dengan tubuh gemetaran. Dia mencoba mendorong tubuh besar itu sembari meronta untuk melepaskan diri. "Gak apa-apa,ya. Kamu gak usah takut.""Tolong ...." ucapnya di antara isak tangis. "Gue gak akan ngelakuin itu lagi sama lu." Andra mengusap kepala Reisa dengan lembut dan penuh kasih sayang. Sementara wanita itu masih saja meronta sehingga Andra mengendurkan pelukannya. Dia terduduk di lantai sembari menangis.Andra ikut bersimpuh di hadapan Reisa dan mengusap banbu Reisa sembari berkata, "Tenang, ya. Tenang."Reisa menutup wajah dengan kedua tangannya. Kiniz Andra masih mengusap rambutnya dan mencoba menenangkan. Wanita itu masih menangis sesegukan, tetapi dia hanya diam dan tak dapat berbuat apa-apa."Lu mau makan bubur?" Tidak ada jawaban, sehingga Andra mengusap wajahnya lalu membuang napas dengan kasar. "Adek mau bubur?" Andra mencoba mengusap perut Reisa, tetapi tangannya ditepiskan lagi."Lu m