Hari itu, dua keluarga bertemu untuk berunding. Wisnu mendapatkan penangguhan penahanan, sementara Andra sudah diperbolehkan pulang karena kondisinya sudah pulih.
Hanya Reisa yang masih dirawat di rumah sakit karena beberapa kali berteriak di tengah malam.
Reisa bahkan sempat mengambil pisau buah dan menyayat lengannya karena depresi. Untunglah nyawanya masih bisa diselamatkan. Sehingga pihak keluarga berinisiatif membayar seorang psikiater untuk menanganinya.
Kondisi Reisa semakin menurun karena Dimas hanya sekali datang membesuk selama satu minggu dirawat. Padahal laki-laki itu adalah harapan semua orang untuk membantu proses penyembuhan, walaupun traumanya tidak akan hilang dengan mudah.
Ada banyak dukungan dan empati dari berbagai pihak karena kasusnya mulai tersebar. Namun, itu justeru membuat Reisa semakin tertekan karena aibnya terbongkar ke mana-mana.
"Saya mewakili keluarga besar datang ke sini untuk meminta maaf atas apa yang telah dilakukan oleh Andra kepada Reisa. Kami sangat menyayangkan sikapnya sehingga membuat putri Bapak ternoda."
"Semudah itu?" tanya Wisnu sinis.
"Andra melakukannya dalam kondisi mabuk. Dia gak sadar. Jadi--"
"Gak bisa! Semua harus tetap diproses hukum," ucap Wisnu tegas.
Beberapa orang saling berpandangan dan berbisik, berdiskusi bagaimana caranya agar hati Wisnu bisa diluluhkan. Mereka tak mau Andra di penjara karena akan merusak nama baik keluarga. Mereka ingin kedua insan itu dinikahkan sebagai bentuk pertanggung jawaban.
"Pak Wisnu. Kalau Andra di penjara, apakah Reisa akan tetap menikah dengan tunangannya?"
Wisnu menarik napas dalam dan menatap Sarah dengan lekat. Sejak kejadian itu, sikap Dimas dan keluarganya mulai berubah. Mereka memang sempat datang untuk membesuk, hanya saja setelah itu seperti menghilang.
Wisnu bahkan telah meminta Dimas untuk berbicara empat mata, tetapi lelaki itu mengatakan bahwa belum mempunyai waktu luang, karena sedang mengerjakan sebuah tender perumahan. Dari banyak kejanggalan itulah, dia sendiri tak yakin bahwa putrinya akan tetap menikah.
"Itu urusan internal kami. Saya hanya ingin keadilan untuk Reisa."
"Pak Wisnu, Andra siap bertanggung jawab atas perbuatannya. Dia mau menikahi--"
Brak!
Wisnu menggebrak meja sehingga membuat semua orang terkejut.
"Semudah itu? Apa kalian gak lihat Reisa trauma berat? Dia bahkan mau bunuh diri!" bentaknya.
Selama ini banyak sekali orang yang menyepelekan kasus pemerkosaan sehingga menikahkan pelaku dan korban.
Jika putusannya begitu, si pelaku tentu saja merasa senang karena selain terbebas dari jeratan hukum, juga bisa hidup tenang tanpa beban. Sementara korban akan menyimpan rasa trauma seumur hidup.
"Kami tahu. Makanya kami bersedia menunggu sampai Reisa benar-benar pulih."
Wisnu mengepalkan tangan penuh amarah. Rahangnya mengeras. Rasanya dia ingin melayangkan pukulan kepada semua orang yang datang.
Sebenarnya Wisnu adalah sosok yang penyabar. Namun, setelah kejadian ini, dia menjadi lebih temperamental. Sedikit saja ada yang menyinggung perasaan atau menyebut nama putrinya, maka dia akan emosional.
"Keluar kalian!"
"Mas," cegah Sarah saat kakaknya hendak memukul salah satu perwakilan yang datang.
"Maaf, Pak Wisnu. Kami tidak bermaksud--"
"Bilang sama Andra. Kami tetap akan memproses semuanya. Siap-siap saja masuk penjara!"
Mendengar itu, semua keluarga Andra langsung berpamitan. Mediasi kali ini gagal. Mereka pasrah dan siap menghadapi keluarga Wisnu di pengadilan nanti.
***
"Ayo kita pulang, Nak."
Wisnu dan Sarah menuntun Reisa untuk turun dari ranjang dan duduk di kursi roda. Gadis itu masih lemah, tetapi sudah lebih baik dari sebelumnya.
Keluarga sepakat untuk melanjutkan perawatannya di rumah. Selain menghemat budget, juga lebih gampang mengawasi aktifitas Reisa sehari-hari.
Wisnu menambah CCTV di setiap sudut rumahnya. Dia takut jika percobaan bunuh diri itu terulang lagi. Laki-laki itu juga berpesan kepada pengurus rumah agar menyenbunyikan semua benda tajam yang sekiranya dapat dijangkau oleh Reisa.
Sarah bahkan mengabaikan anak-anaknya dan memilih untuk menjaga Reisa hingga benar-benar pulih.
"Dimas mana, Pa?" tanya Reisa ketika mendapati hanya papa dan tantenya yang datang.
"Kerja.," jawab Wisnu singkat.
"Kenapa dia gak jemput aku?"
"Dia sibuk. Nanti juga datang."
Sarah mendorong kursi roda, sementara Wisnu membawakan beberapa barang. Laki-laki itu sudah meminta pengurus rumah untuk mempersiapkan kamar yang baru.
Wisnu merenovasi kamar tamu menjadi kamar baru untuk Reisa. Dia tak mau putrunya mengingat semua kenangan tentang Andra. Sarah membelikan keponakannya berbagai macam barang baru, mulai dari pakaian, kosmetik hingga perlengkapan lain. Mereka bahkan berencana akan memindahkan gadis itu ke kota lain. jika sidang kasusnya selesai.
"Ayo, masuk! Kita pulang," ajak Sarah ketika membukakan pintu mobil.
Reisa menuruti semua perintah itu. Sepanjang perjalanan, dia hanya terdiam dengan pikiran yang tak menentu. Pandangan matanya menatap jalanan yang padat.
Wisnu menyetir dengan pelan, sembari bertanya apakah putrinya ingin makan sesuatu, setiap kali mereka melewati tempat makan.
"Kamu mau apa, Rei? Biar kita mampir terus cari dulu," bujuk Sarah.
Sejak dirawat, Reisa kehilangan selera makan. Tubuhnya kurus dengan mata cekung. Berbagai vitamin sudah diberikan tetapi hasilnya nihil.
"Rei mau ketemu Dimas."
Sarah memeluknya erat lalu mengatakan hal-hal yang membuat gadis itu senang, sekaligus untuk mengalihkan pembicaraan.
Hingga tak terasa mereka tiba di rumah. Seorang pengurus rumah membukakan pintu dan membawa barang-barang ke dalam.
"Kamarku?" tanya Reisa ketika Sarah membuka pintu ruangan yang lain.
"Lagi direnovasi. Jadi sementara waktu, kamu di kamar ini dulu, ya. Tante temenin," bujuk Sarah.
Begitu pintu dibuka, tampakah sebuah ruangan yang di desain minimalis. Reisa langsung merebahkan tubuhnya di ranjang dan berbaring sembari memeluk bantal.
"Tante mau pulang?"
Sarah menggeleng, lalu memeluk Reisa dengan erat.
"Mulai sekarang Tante tinggal di sini. Anak-anak besok bakalan nyusul. Biar rumah ini jadi rame."
Reisa tersenyum senang. Anak-anak Sarah masih berstatus pelajar. Itu karena jarak kelahiran tante dan papanya cukup jauh yaitu sembilan tahun. Sehingga sepupunya memang masih bersekolah.
"Jadi aku gak kesepian."
Sarah mengangguk tanda mengiyakan. Lalu menyusun berberapa barang Reisa ke dalam lemari.
"Kamu istirahat. Tante mau ke dapur. Kamu mau makan apa?"
Reisa menggeleng dan membuang pandangan.
"Sayang, jangan nyakitin diri sendiri," bisik Sarah lembut.
"Tapi, aku--"
"Nak, kami ada bersamamu. Jangan takut. Kita akan meminta keadilan."
Reisa kembali menangis sembari memeluk Sarah dengan erat. Hingga beberapa saat dia sudah mulai tenang dan kembali tertidur. Sarah bergegas ke dapur dan menyiapkan makanan untuk mereka semua.
***
Satu bulan kemudian.
"Reisa!"
Sarah berteriak ketika melihat keponakannya terjatuh di kamar mandi. Dengan susah payah, wanita itu mencoba mengangkat keponakannya tetapi gagal.
"Bibik ... tolong!" teriak Sarah.
"Ada apa, Bu?"
"Reisa."
"Ya Allah, Non Rei."
"Bantuin saya, Bik. Berat."Mereka memapah Reisa ke kamar dan membaringkannya di sofa.
Sarah meminta Bibik menggantikan pakaian Reisa yang basah dan segera menelepon kakaknya untuk mengabari kejadian tadi.
"Bawa ke rumah sakit sekarang," saran Wisnu.
"Tapi kami gak bisa bawanya. Berat," keluh Sarah. Cuma ada mereka berdua di rumah itu karena ini hari kerja.
"Aku kirim supir kantor. Kalian tunggu aja," kata Wisnu di seberang sana.
Sarah menunggu dengan hati berdebar. Tak lama jemputan datang. Mereka segera membawa Reisa ke rumah sakit terdekat, tempat yang sama saat pertama kali dirawat dulu.
Sarah menunggu dengan hati gelisah. Dia berharap dengan bantuan psikiater, keadaan Reisa semakin membaik. Sayangnya, yang terjadi justeru sebaliknya.
Hanya nama Dimas yang selalu Reisa sebut setiap hari. Wisnu bahkan sudah datang ke kantor laki-laki itu dan memohon agar dia datang. Sayang, permintaan itu ditolak Dimas dengan berbagai alasan.
Wisnu tahu sepertinya harapannya agar putrinya bisa menikah demi menutup aib tidak akan terkabul. Dia hanya perlu mencari cara bagaimana mengatakan itu kepada Reisa.
"Gimana kondisi keponakan saya, Dokter?" tanya Sarah was-was.
"Ibu Reisa ... positif."
"Hamil?"
Dokter mengagguk sembari menunjukkan hasil pemeriksaan.
"Ya Allah," ucap Sarah sembari menutup mulut.
"Apa kasusnya sudah disidangkan?" tanya dokter lagi. Dia adalah orang yang sama dengan yang pernah merawat Reisa pertama kali.
"Sudah, Dok. Sedang berjalan penyelidikannya. Kami masih menunggu hasil keputusan hakim."
"Kasihan Ibu Reisa."
"Apa harus dirawat lagi, Dokter?"
"Baiknya begitu."
Sarah mengambil ponsel dan mengabari Wisnu mengenai ini, tetapi belum memberi tahu perihal kehamilan Reisa untuk sementara waktu. Sepertinya keluarga mereka harus melakukan mediasi lagi.
Wisnu mengucap doa dalam hati agar kedatangannya kali ini bisa diterima dengan baik. Sudah beberapa kali dia mengunjungi Dimas di kantor dan masih berharap agar lelaki itu mau menemui Reisa."Maksud Om, aku harus nikahin Rei?" tanya Dimas keberatan. Wajah Wisnu menegang. Dia menarik napas panjang dan mencoba menahan emosi yang hendak meluap. "Kalau kamu memang mencintai Reisa, Nak." "Reisa sudah kotor, Om. Dia mengandung benih Andra. Anak itu hasil perkosaan. Kenapa aku yang harus menanggung semuanya?" "Om rela melakukan apa saja kalau kamu bersedia."Dengan pengharapan yang besar Wisnu datang kepada Dimas untuk menerima Reisa. Dia bahkan menekan harga diri demi kebahagiaan putrinya.Hanya Dimas yang satu-satunya menjadi harapan menyembuhkan Reisa dan menutupi aib. Mereka sudah mempersiapkan pernikahan. Harinya juga sudah dekat, hanya tinggal menunggu waktu. "Maaf, aku gak bisa, Om." Dimas berlalu begitu saja meninggalkan Wisnu yang terdiam mematung. Dia menolak dengan tegas. Ha
Bunyi ketukan di pintu membuat Reisa terbangun. Dia mengerjapkan mata berulang kali dan melirik ke arah jam di dinding. Tubuhnya terasa pegal, juga perut yang semakin mual.Reisa berlari ke kamar mandi dan mengeluarkan isi perutnya. Hanya ada cairan, karena sejak kemarin malam dia tidak bisa makan. Atas kesepakatan bersama, Inah dan Tarno ikut tinggal bersama mereka untuk menjaga dan mengurus rumah ini. Mereka juga diminta untuk mengawasi sikap Andra selama menemani Reisa.Sarah menyanggupi akan menjenguk keponakannya satu minggu sekali. Sekalipun mereka dibiarkan tinggal bersama, tetapi Wisnu tetap memantau perkembangannya dari jauh. Setiap hari Inah sudah membuatkan berbagai macam jenis makanan. Akan tetapi, tidak ada satu pun yang bisa Reisa telan. Semalaman dia menangis karena merasa kelaparan. Akhirnya Reisa tertidur dengan perut yang kosong. Wanita itu lebih banyak mengurung diri di kamar sejak tinggal di sini. Papanya bilang, setelah bayi ini lahir, Andra akan menikahinya.
Dua bulan kemudian. Masih ada tiga antrean dan Reisa sudah tidak sabar menunggu. Kakinya kesemutan. Tubuhnya gemetaran. Mual yang terus menerus mendera membuatnya nekat berbaring di kursi tunggu, tak perduli ada banyak pasang mata yang melihat. "Mual, Bik," katanya manja. Di tangan Reisa ada sepotong roti manis untuk cemilan. Sedari tadi mulutnya mengunyah sambil mengeluhkan perut yang terasa tidak nyaman. Obat anti mual yang diberikan dokter dipemeriksaan sebelumnya juga tidak berefek banyak.Mualnya tidak hilang, kecuali pada saat tertidur. Begitu bangun, dia akan mengeluarkan semua yang dimakan sebelumnya. "Ya Tuhan. Beginikah rasanya mengandung?" Rasanya dia tidak sanggup."Sabar, Non. Bentar lagi giliran kita."Benar saja kata Inah. Tak lama setelah pasien yang di dalam selesai periksa, si perawat memanggil pasien berikutnya. "Antrean nomor sepuluh. Silakan masuk." Tidak ada yang berdiri sehingga beberapa pasien lain saling berpandangan. "Ibu Reisa. Ibu Reisa." Suara pangg
Andra berulang kali memencet bel dan tidak ada yang membukakan pintu. Hari ini dia pulang larut malam karena ada meeting mendadak dengan pengurus hotel. Setelah lulus kuliah, laki-laki itu meneruskan usaha keluarga bersama beberapa paman dan sepupunya. Jam menunjukkan pukul sebelas. Biasanya selepas Maghrib, Andra sudah berada di rumah. Pulang awal atau pulang cepat baginya sama saja, tidak bisa bertemu dengan Reisa. Pernah suatu kali Andra mencoba mengintip saat melihat Reisa keluar kamar menuju dapur. Itu saja sudah membuatnya senang. Andra duduk di teras dan membuka tas untuk mencari kunci cadangan tetapi tidak ada. Rasanya dia ingin berteriak. Mengapa saat ini hidupnya semakin rumit, mencari kunci saja tidak ketemu. Andra mengambil ponsel, mencari sebuah nama langsung menelepon seseorang."Pak Nok, lagi di mana?""Balik ke rumah lama. Tadi, Nok nungguin Den Andra pulang. Tapi kemalaman. Jadi langsung jalan aja. Lupa ngabarin Aden."Andra menarik napas panjang. Rumah kesayangann
"Sayang," ucap Andra lembut lalu mengendurkan pelukannya."Jangan," lirih Reisa dengan tubuh gemetaran. Dia mencoba mendorong tubuh besar itu sembari meronta untuk melepaskan diri. "Gak apa-apa,ya. Kamu gak usah takut.""Tolong ...." ucapnya di antara isak tangis. "Gue gak akan ngelakuin itu lagi sama lu." Andra mengusap kepala Reisa dengan lembut dan penuh kasih sayang. Sementara wanita itu masih saja meronta sehingga Andra mengendurkan pelukannya. Dia terduduk di lantai sembari menangis.Andra ikut bersimpuh di hadapan Reisa dan mengusap banbu Reisa sembari berkata, "Tenang, ya. Tenang."Reisa menutup wajah dengan kedua tangannya. Kiniz Andra masih mengusap rambutnya dan mencoba menenangkan. Wanita itu masih menangis sesegukan, tetapi dia hanya diam dan tak dapat berbuat apa-apa."Lu mau makan bubur?" Tidak ada jawaban, sehingga Andra mengusap wajahnya lalu membuang napas dengan kasar. "Adek mau bubur?" Andra mencoba mengusap perut Reisa, tetapi tangannya ditepiskan lagi."Lu m
Mata Andra tak berkedip. Pemandangan dihadapannya sungguh memukau. Reisa terlihat cantik memakai dress selutut dan rambut yang dicepol asal-asalan. Wanita itu tengah asyik melihat-lihat Tarno yang sedang menyiram dan menanam beberapa bunga di taman belakang. Reisa mungkin lupa, atau tidak tahu, bahwa kamar Andra terhubung dengan taman itu. Sejak tadi, Andra menjadi pengintip di balik gorden. Dia tak berani membukanya lebar seperti hari-hari biasanya, melihat apa yang dilakukan pujaan hatinya. Saat Reisa bersenda gurau dengan Tarno, hati Andra menjadi ketar-ketir dibuatnya. Melihat senyuman dan tawa wanitanya itu bergema, dirinya dipenuhi dengan kebahagiaan. Ah, pagi ini memang indah.Hampir empat bulan sejak mereka tinggal di sini, suasana sangat mencekam. Sejak insiden bubur waktu itu, sikap Reisa sedikit melunak dan sudah kembali ceria. Tawanya bahkan terdengar sampai ke kamar Andra. Reisa sejak dulu memang suka menjahili orang lain. Pagi ini, Tarno yang menjadi korbannya. Bibit
Ruangan dokter itu nampak sejuk di mata. Nuansanya putih, dengan wallpaper abstrak, minimalis tetapi elegan. Di salah satu dindingnya dipasang beberapa poster mengenai kehamilan dan persalinan. "Wah, akhirnya papanya ikut juga. Silakan duduk." Dokter Andini menyambut kedatangan mereka malam itu.Andra menarik sebuah kursi untuk Reisa. Sekalipun perutnya belum terlalu besar, wanita itu terlihat agak kesulitan saat berdiri dan duduk. Mungkin merasa kurang nyaman.Walaupun permintaan dari papanya untuk berpindah-pindah dokter, Reisa memilih kembali ke sini untuk melakukan pemeriksaan. "Gimana Ibu, apa yang dirasakan di trisemeter kedua ini, apa merasa lebih baik?" Dokter Andini memulai pembicaraan dengan menanyakan kondisi Reisa. Pembawaannya yang tenang itu membuat merasa senang. Dia tidak sungkan untuk menceritakan keluhannya selama kehamilan."Sedikit lebih baik. Mual muntahnya berkurang. Ngggg ... cuma itu, Dok. Kenapa saya jadi sakit gigi. Terus kalau cuaca dingin kadang suka mim
Reisa berjalan menuju dapur. Ketika matanya terbuka, perutnya terasa lapar. Saat keluar kamar, terciumlah bau nasi goreng yang menggugah selera. "Bik, laper.""Non duduk dulu. Bibik lagi masak. Bentar lagi mateng, kok," ucap Inah sembari memotong beberapa bahan. Tangannya sangat cekatan dan terlatih mengerjakan semua."Bikin nasi goreng apa, Bik?""Sosis. Kesukaan Den Andra." Inah mengambil sosis beku dari dalam kulkas dan meletakannya di mangkuk. "Dia belum bangun?" Reisa menarik kursi dan duduk sembari melihat Inah bekerja. Semakin besar kandungannya, semakin cepat dia merasa lelah. "Belum. Paling sebentar lagi, Non."Mendengar itu, Reisa menjadi panik. Dia masih malu bertemu Andra. Wanita itu segera berdiri dan membantu Inah memasak. "Sini, Rei bantuin Bibik masak," ucapnya sembari meraih pisau. Inah terlihat kerepotan sendiri sejak tadi, sehingga dia ingin membantu. "Jangan, nanti Non mual," tolak Inah. Tak enak rasanya jika menyuruh nona mudanya mengerjakan pekerjaan rumah.
Andra benar-benar gelisah. Sejak kamarin perasaan lelaki itu tak menentu. Dia bahkan tak berselera makan. Semakin dekat hari pernikahan Reisa, mereka bahkan tak bertemu sama sekali. Sahabatnya itu sempat mengangkat teleponnya. Namun tak lama, katanya masih sibuk mempersiapkan acara.Andra meminta untuk video call dan Reisa mengabulkannya. Namun, saat berbincang, raut wajah gadis itu tak seperti biasa. Sebelum ada Bimo, Reisa masih sama seperti dulu. Bersikap hangat dan bersahabat. Namun, semua berubah ketika sang pujaan hati memiliki pengawal sendiri. Andra bahkan tak dilibatkan apa pun dalam persiapan pernikahan Reisa. Padahal lelaki itu bersedia jika direpotkan. Lelaki itu bagai tak dianggap sama sekali. Dan itu membuat Andra kecewa. "Den Andra gak makan? Inah masak enak, loh."Inah menegur tuannya. Sejak pulang tadi Andra tak menyentuh hidangan yang dimasaknya sama sekali. Hal itu membuatnya heran.Biasanya Andra akan lahap setiap melihat sajian di meja makan. Maklum, sejak ke
Reisa turun dari tangga dengan langkah anggun. Hal itu membuat Dimas terpana. Lelaki itu menelan ludah akan hasratnya yang muncul saat melihat sang kekasih.Sudah beberapa kali Dimas mengajak Reisa bermesraan. Namun, gadis itu menolak secara halus. Reisa yang lahir dan besar di kota kecil, memang selalu dituntut untuk menjaga diri.Hal itulah yang membuat Dimas kesal, lalu melampiaskannya kepada wanita lain. Hanya untuk bersenang-senang dan bukan cinta. Namun, kebiasaannya ini sudah terjadi sejak lama, dari mereka sama-sama kuliah. "Sudah siap?"Suara Wisnu memecah keheningan. Reisa menoleh ke arah papanya, lalu mengangguk. Gaun yang dia pakai kali ini berwarna silver dengan model sederhana. Gadis itu tak memakai perhiasan berlebihan. Hanya sepasang anting mutiara yang menambah keanggunannya. "Siap, Papa," jawab gadis itu senang.Wisnu menatap putrinya dengan bangga. Reisa tak hanya berprestasi di sekolah, tetapi bekerja dengan baik di kantornya. Apalagi setelah bertunangan dengan
Bimo memarkir mobilnya di sebuah gedung bertingkat. Dimana Reisa berkantor di perusahaan milik papanya. Siang ini Bimo akan mengantar Reisa makan siang, karena gadis itu ingin mencoba menu baru di sebuah restoran. "Hai, Bim."Reisa menyapa Bimo dengan ramah. Walau di hatinya ada rasa risih jika harus berdekatan dengan orang baru. Apalagi lelaki itu anak menemaninya sepanjang waktu hingga hari pernikahan tiba."Siang, Mbak Rei.""Kamu udah makan?" "Sudah, Mbak," jawabnya pendek. Tadi sebelum ke sini, Bimo mampir di sebuah tempat makan untuk mengisi perut. Selama Reisa bekerja, lelaki itu tak boleh mengikuti. Sehingga job desknya sekarang lebih ke supir pribadi. "Kalau gitu jalan."Setelah menutup pintu mobil Reisa menarik napas panjang dan meletakkan tasnya di samping. Dia mengambil ponsel dan mengabari Dimas bahwa akan makan siang.Reisa merasa hidupnya sekarang dikekang. Namun, dia hanya menuruti apa maunya Dimas demi kebaikan bersama. "Mau ke mana kita ini?" Bimo bertanya. Me
Hari itu, Dimas membawa Reisa bertemu dengan seorang lelaki, saat menjemputnya sepulang dari bekerja. Dia mempunyai rencana untuk melindungi sang kekasih. Dari orang-orang yang berniat jahat dan dari Andra tentunya.Ini tak bisa dibiarkan. Pembicaraannya kemarin dengan Andra membuat Dimas cemas. Dia khawatir jika lelaki itu nekat dan benar-benar akan menggagalkan pernikahan nereka. "Rei, kenalin. Ini Bimo." Reisa menjabat tangan Bimo. Jika diperhatikan dengan jeli, tampilan fisik Bimo mirip seperti orang yang pernah mendapat pendidikan militer. "Siapa ini?"Mata Reisa penuh tanya, tapi tak berani menduga. Entah apa maksud Dimas memperkenalkan lelaki ini kepadanya. "Bimo ini tadinya kerja di kantor papa. Tapi mulai sekarang dia bakal jadi supir pribadi sekaligus ngejagain lu." Dimas menjelaskan dengan pelan agar Reisa mau menerima. Dia tahu jika bicara dengan kekasihnya ini harus penuh dengan kelembutan.Reisa selalu diperlakukan baik oleh orang tuanya. Namun, hal itu menjadikanny
Pintu ruangan Andra terbuka. Sesosok lelaki gagah masuk dengan santainya tanpa permisi."Sibuk?"Dimas tampak santai saat bertamu, menganggap Andra tidak akan berani melawannya."Gak juga. Jadi masih punya waktu buat Reisa," sindir Andra.Suasana menjadi tegang. Andra bahkan enggan meninggalkan kursinya. Lelaki itu bahkan tak mempersilakan Dimas duduk. Sehingga tunangan Reisa itu masih berdiri di hadapannya. "Gak usah nyindir gue," ucap Dimas sembari tersenyum mengejek."Gue cuma bicara fakta."Dimas terkekeh, lalu menatap Andra dengan sinis. Pandangan matanya begitu tajam. Namun, justru menambah ketampanannya. Wajar jika Reisa jatuh dan cinta setengah mati kepada lelaki itu. "Lu tadi makan siang sama Reisa?" Andra berhenti mengerjakan laporan, lalu meletakkan mouse yang sedari tadi setia menemani."Iya. Kenapa?" jawab Andra singkat. "Sering banget kayaknya.""Soalnya cuma gue yang bisa nemenin. Lu gak ada gunanya jadi tunangan," ucap Andra sarkas.Dimas mengepalkan jari. Amarah b
Panggilan telepon masuk, Andra segera mengambil ponselnya. Reisa is calling."Ya, Rei? Apaan?" Andra menutup laptopnya dan menjawab telepon. Laporan sedang banyak yang harus dikerjakan hari ini. Dia sedang fokus menyelesaikannya sedari pagi, saat tiba di kantor. "Ndra. Temenin aku makan siang, dong. Aku sendirian nih." Terdengar suara syahdu wanita di seberang sana. Si pemilik suara adalah seorang wanita cantik, mungil dengan rambut panjang tergerai. Bulu matanya lentik dengan suara manja. "Dimas mana?" Nada suara Andra terdengar malas. Selalu begini, hampir setiap hari terjadi dan sudah menjadi kebiasaan bagi mereka. Sekalipun status Reisa adalah tunangan dari orang lain. Namun, Andra lah yang selalu menemani. "Lagi meeting sama klien. Dia gak sempet nemenin aku katanya. Tadi barusan aku telepon. Kamu mau kan, Ndra?"Suara manja Reisa kembali terdengar. Wanita itu berusaha membujuk dan merayu sahabatnya. Andra menarik napas panjang. Entah sudah untuk yang ke berapa kalinya i
"Andra! Balikin buku aku." Reisa berlari mengejar seorang anak lelaki seusianya. Napasnya gadis itu terengah-engah. Sedari tadi dia berusaha, tetapi si target malah makin menjauh. Sedangkan sosok yang dikejar itu malah bersorak senang karena berhasil menggodanya. "Ambil kalau bisa!" Andra mengangkat tangan ke atas dan melambaikan buku itu. Tentu saja Reisa tidak bisa menjangkau karena tubuhnya mungil dan tak sampai sebahu lelaki itu."Kamu usil banget sih, Ndra." Tangan mungil Reisa berusaha menggapai tetapi tak sampai. Gadis itu mencoba lagi hingga akhirnya menyerah."Lu bantet sih, Rei. Makanya makan yang banyak. Tumbuh itu ke atas, bukan ke samping."Sudah menjadi kebiasaan Andra mengolok-olok Reisa. Gadis itu juga tidak pernah marah. Bukankah jika bersama sahabat, kamu bisa lepas menjadi diri sendiri. Bahkan semua kekuranganmu dia bisa memakluminya. "Kamu kalau mau nyontek bilang aja napa? Gak usah pake' ngambil buku aku."Reisa berhenti berlari dan duduk lemas sembari menyek
Sudah satu jam Andra menunggu, tapi Reisa belum turun juga.Melihat Andra yang sedari tadi gelisah, akhirnya Wisnu mengizinkan lelaki itu menyusul ke atas. Andra bergerak cepat, nenyusul Reisa di kamarnya. Lelaki itu hanya menunggu di luar pintu dan tak berani masuk. Sedekat apapun mereka, dia masih tahu batas."Cepetan, Rei! Rempong amat nih cewek." Andra mengetuk-ngetuk pintu kamar gadis itu."Berisik banget. Apaan?"Pintu terbuka.Mata Andra terbelalak mendapati sosok yang sedang berdiri dihadapannya. Reisa terlihat sangat anggun dengan dress kasual serta dandanan yang natural. Rambut panjangnya di gelung ke atas. Andra menelan ludah. Dalam hatinya berkata, bidadari ternyata di bumi juga ada. "Kenapa kamu, Ndra?" Gadis yang ditatap mesra itu begong, tak mengerti sinyal cinta di mata Andra rupanya. "Eh, gak apa-apa."Andra membuang muka sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Wajah lelaki itu bersemu merah. Kenapa dia jadi nervous begini.Reisa memang jarang berdandan. Gadi
Brugh!"Auw!"Seorang gadis berteriak saat tubuh mungilnya terbentur sesuatu yang keras, sehingga membuatnya terjatuh. Darah mengucur dari lutut yang mulus itu. Sementara itu, sang lawan masih tetap berdiri kokoh bahkan tak bergoyang sedikit pun. "Kamu gak apa-apa?""Perih ...."Gadis itu meringis kesakitan. Lututnya menghantam tembok sekolah. Keras dan masih terasa denyutnya. Tak lama lagi sepertinya akan menimbulkan luka lebam yang kebiru-biruan."Sini, gue bantuin."Gadis itu menyambut uluran tangan yang diarahkan kepadanya."Maaf ya, gue ga sengaja." Anak lelaki itu tersenyum. Ada rasa bersalah di dalam hatinya. "Iya, engga apa-apa, kok." Senyumnya terukir, membalas senyuman anak lelaki itu. "Wah berdarah gitu. Ayo kita ke UKS. Minta diobatin lukanya. Kasian lu."Anak lelaki itu menarik tangannya, tetapi ditepiskan. Gadis itu tidak mau bersentuhan karena masih malu. "Gak usah. Biarin aja, cuma luka kecil kok. Nanti aku bersihin di toilet juga bisa."Gadis itu tidak mau merepot