Hari itu, dua keluarga bertemu untuk berunding. Wisnu mendapatkan penangguhan penahanan, sementara Andra sudah diperbolehkan pulang karena kondisinya sudah pulih.
Hanya Reisa yang masih dirawat di rumah sakit karena beberapa kali berteriak di tengah malam.
Reisa bahkan sempat mengambil pisau buah dan menyayat lengannya karena depresi. Untunglah nyawanya masih bisa diselamatkan. Sehingga pihak keluarga berinisiatif membayar seorang psikiater untuk menanganinya.
Kondisi Reisa semakin menurun karena Dimas hanya sekali datang membesuk selama satu minggu dirawat. Padahal laki-laki itu adalah harapan semua orang untuk membantu proses penyembuhan, walaupun traumanya tidak akan hilang dengan mudah.
Ada banyak dukungan dan empati dari berbagai pihak karena kasusnya mulai tersebar. Namun, itu justeru membuat Reisa semakin tertekan karena aibnya terbongkar ke mana-mana.
"Saya mewakili keluarga besar datang ke sini untuk meminta maaf atas apa yang telah dilakukan oleh Andra kepada Reisa. Kami sangat menyayangkan sikapnya sehingga membuat putri Bapak ternoda."
"Semudah itu?" tanya Wisnu sinis.
"Andra melakukannya dalam kondisi mabuk. Dia gak sadar. Jadi--"
"Gak bisa! Semua harus tetap diproses hukum," ucap Wisnu tegas.
Beberapa orang saling berpandangan dan berbisik, berdiskusi bagaimana caranya agar hati Wisnu bisa diluluhkan. Mereka tak mau Andra di penjara karena akan merusak nama baik keluarga. Mereka ingin kedua insan itu dinikahkan sebagai bentuk pertanggung jawaban.
"Pak Wisnu. Kalau Andra di penjara, apakah Reisa akan tetap menikah dengan tunangannya?"
Wisnu menarik napas dalam dan menatap Sarah dengan lekat. Sejak kejadian itu, sikap Dimas dan keluarganya mulai berubah. Mereka memang sempat datang untuk membesuk, hanya saja setelah itu seperti menghilang.
Wisnu bahkan telah meminta Dimas untuk berbicara empat mata, tetapi lelaki itu mengatakan bahwa belum mempunyai waktu luang, karena sedang mengerjakan sebuah tender perumahan. Dari banyak kejanggalan itulah, dia sendiri tak yakin bahwa putrinya akan tetap menikah.
"Itu urusan internal kami. Saya hanya ingin keadilan untuk Reisa."
"Pak Wisnu, Andra siap bertanggung jawab atas perbuatannya. Dia mau menikahi--"
Brak!
Wisnu menggebrak meja sehingga membuat semua orang terkejut.
"Semudah itu? Apa kalian gak lihat Reisa trauma berat? Dia bahkan mau bunuh diri!" bentaknya.
Selama ini banyak sekali orang yang menyepelekan kasus pemerkosaan sehingga menikahkan pelaku dan korban.
Jika putusannya begitu, si pelaku tentu saja merasa senang karena selain terbebas dari jeratan hukum, juga bisa hidup tenang tanpa beban. Sementara korban akan menyimpan rasa trauma seumur hidup.
"Kami tahu. Makanya kami bersedia menunggu sampai Reisa benar-benar pulih."
Wisnu mengepalkan tangan penuh amarah. Rahangnya mengeras. Rasanya dia ingin melayangkan pukulan kepada semua orang yang datang.
Sebenarnya Wisnu adalah sosok yang penyabar. Namun, setelah kejadian ini, dia menjadi lebih temperamental. Sedikit saja ada yang menyinggung perasaan atau menyebut nama putrinya, maka dia akan emosional.
"Keluar kalian!"
"Mas," cegah Sarah saat kakaknya hendak memukul salah satu perwakilan yang datang.
"Maaf, Pak Wisnu. Kami tidak bermaksud--"
"Bilang sama Andra. Kami tetap akan memproses semuanya. Siap-siap saja masuk penjara!"
Mendengar itu, semua keluarga Andra langsung berpamitan. Mediasi kali ini gagal. Mereka pasrah dan siap menghadapi keluarga Wisnu di pengadilan nanti.
***
"Ayo kita pulang, Nak."
Wisnu dan Sarah menuntun Reisa untuk turun dari ranjang dan duduk di kursi roda. Gadis itu masih lemah, tetapi sudah lebih baik dari sebelumnya.
Keluarga sepakat untuk melanjutkan perawatannya di rumah. Selain menghemat budget, juga lebih gampang mengawasi aktifitas Reisa sehari-hari.
Wisnu menambah CCTV di setiap sudut rumahnya. Dia takut jika percobaan bunuh diri itu terulang lagi. Laki-laki itu juga berpesan kepada pengurus rumah agar menyenbunyikan semua benda tajam yang sekiranya dapat dijangkau oleh Reisa.
Sarah bahkan mengabaikan anak-anaknya dan memilih untuk menjaga Reisa hingga benar-benar pulih.
"Dimas mana, Pa?" tanya Reisa ketika mendapati hanya papa dan tantenya yang datang.
"Kerja.," jawab Wisnu singkat.
"Kenapa dia gak jemput aku?"
"Dia sibuk. Nanti juga datang."
Sarah mendorong kursi roda, sementara Wisnu membawakan beberapa barang. Laki-laki itu sudah meminta pengurus rumah untuk mempersiapkan kamar yang baru.
Wisnu merenovasi kamar tamu menjadi kamar baru untuk Reisa. Dia tak mau putrunya mengingat semua kenangan tentang Andra. Sarah membelikan keponakannya berbagai macam barang baru, mulai dari pakaian, kosmetik hingga perlengkapan lain. Mereka bahkan berencana akan memindahkan gadis itu ke kota lain. jika sidang kasusnya selesai.
"Ayo, masuk! Kita pulang," ajak Sarah ketika membukakan pintu mobil.
Reisa menuruti semua perintah itu. Sepanjang perjalanan, dia hanya terdiam dengan pikiran yang tak menentu. Pandangan matanya menatap jalanan yang padat.
Wisnu menyetir dengan pelan, sembari bertanya apakah putrinya ingin makan sesuatu, setiap kali mereka melewati tempat makan.
"Kamu mau apa, Rei? Biar kita mampir terus cari dulu," bujuk Sarah.
Sejak dirawat, Reisa kehilangan selera makan. Tubuhnya kurus dengan mata cekung. Berbagai vitamin sudah diberikan tetapi hasilnya nihil.
"Rei mau ketemu Dimas."
Sarah memeluknya erat lalu mengatakan hal-hal yang membuat gadis itu senang, sekaligus untuk mengalihkan pembicaraan.
Hingga tak terasa mereka tiba di rumah. Seorang pengurus rumah membukakan pintu dan membawa barang-barang ke dalam.
"Kamarku?" tanya Reisa ketika Sarah membuka pintu ruangan yang lain.
"Lagi direnovasi. Jadi sementara waktu, kamu di kamar ini dulu, ya. Tante temenin," bujuk Sarah.
Begitu pintu dibuka, tampakah sebuah ruangan yang di desain minimalis. Reisa langsung merebahkan tubuhnya di ranjang dan berbaring sembari memeluk bantal.
"Tante mau pulang?"
Sarah menggeleng, lalu memeluk Reisa dengan erat.
"Mulai sekarang Tante tinggal di sini. Anak-anak besok bakalan nyusul. Biar rumah ini jadi rame."
Reisa tersenyum senang. Anak-anak Sarah masih berstatus pelajar. Itu karena jarak kelahiran tante dan papanya cukup jauh yaitu sembilan tahun. Sehingga sepupunya memang masih bersekolah.
"Jadi aku gak kesepian."
Sarah mengangguk tanda mengiyakan. Lalu menyusun berberapa barang Reisa ke dalam lemari.
"Kamu istirahat. Tante mau ke dapur. Kamu mau makan apa?"
Reisa menggeleng dan membuang pandangan.
"Sayang, jangan nyakitin diri sendiri," bisik Sarah lembut.
"Tapi, aku--"
"Nak, kami ada bersamamu. Jangan takut. Kita akan meminta keadilan."
Reisa kembali menangis sembari memeluk Sarah dengan erat. Hingga beberapa saat dia sudah mulai tenang dan kembali tertidur. Sarah bergegas ke dapur dan menyiapkan makanan untuk mereka semua.
***
Satu bulan kemudian.
"Reisa!"
Sarah berteriak ketika melihat keponakannya terjatuh di kamar mandi. Dengan susah payah, wanita itu mencoba mengangkat keponakannya tetapi gagal.
"Bibik ... tolong!" teriak Sarah.
"Ada apa, Bu?"
"Reisa."
"Ya Allah, Non Rei."
"Bantuin saya, Bik. Berat."Mereka memapah Reisa ke kamar dan membaringkannya di sofa.
Sarah meminta Bibik menggantikan pakaian Reisa yang basah dan segera menelepon kakaknya untuk mengabari kejadian tadi.
"Bawa ke rumah sakit sekarang," saran Wisnu.
"Tapi kami gak bisa bawanya. Berat," keluh Sarah. Cuma ada mereka berdua di rumah itu karena ini hari kerja.
"Aku kirim supir kantor. Kalian tunggu aja," kata Wisnu di seberang sana.
Sarah menunggu dengan hati berdebar. Tak lama jemputan datang. Mereka segera membawa Reisa ke rumah sakit terdekat, tempat yang sama saat pertama kali dirawat dulu.
Sarah menunggu dengan hati gelisah. Dia berharap dengan bantuan psikiater, keadaan Reisa semakin membaik. Sayangnya, yang terjadi justeru sebaliknya.
Hanya nama Dimas yang selalu Reisa sebut setiap hari. Wisnu bahkan sudah datang ke kantor laki-laki itu dan memohon agar dia datang. Sayang, permintaan itu ditolak Dimas dengan berbagai alasan.
Wisnu tahu sepertinya harapannya agar putrinya bisa menikah demi menutup aib tidak akan terkabul. Dia hanya perlu mencari cara bagaimana mengatakan itu kepada Reisa.
"Gimana kondisi keponakan saya, Dokter?" tanya Sarah was-was.
"Ibu Reisa ... positif."
"Hamil?"
Dokter mengagguk sembari menunjukkan hasil pemeriksaan.
"Ya Allah," ucap Sarah sembari menutup mulut.
"Apa kasusnya sudah disidangkan?" tanya dokter lagi. Dia adalah orang yang sama dengan yang pernah merawat Reisa pertama kali.
"Sudah, Dok. Sedang berjalan penyelidikannya. Kami masih menunggu hasil keputusan hakim."
"Kasihan Ibu Reisa."
"Apa harus dirawat lagi, Dokter?"
"Baiknya begitu."
Sarah mengambil ponsel dan mengabari Wisnu mengenai ini, tetapi belum memberi tahu perihal kehamilan Reisa untuk sementara waktu. Sepertinya keluarga mereka harus melakukan mediasi lagi.
Wisnu mengucap doa dalam hati agar kedatangannya kali ini bisa diterima dengan baik. Sudah beberapa kali dia mengunjungi Dimas di kantor dan masih berharap agar lelaki itu mau menemui Reisa."Maksud Om, aku harus nikahin Rei?" tanya Dimas keberatan. Wajah Wisnu menegang. Dia menarik napas panjang dan mencoba menahan emosi yang hendak meluap. "Kalau kamu memang mencintai Reisa, Nak." "Reisa sudah kotor, Om. Dia mengandung benih Andra. Anak itu hasil perkosaan. Kenapa aku yang harus menanggung semuanya?" "Om rela melakukan apa saja kalau kamu bersedia."Dengan pengharapan yang besar Wisnu datang kepada Dimas untuk menerima Reisa. Dia bahkan menekan harga diri demi kebahagiaan putrinya.Hanya Dimas yang satu-satunya menjadi harapan menyembuhkan Reisa dan menutupi aib. Mereka sudah mempersiapkan pernikahan. Harinya juga sudah dekat, hanya tinggal menunggu waktu. "Maaf, aku gak bisa, Om." Dimas berlalu begitu saja meninggalkan Wisnu yang terdiam mematung. Dia menolak dengan tegas. Ha
Bunyi ketukan di pintu membuat Reisa terbangun. Dia mengerjapkan mata berulang kali dan melirik ke arah jam di dinding. Tubuhnya terasa pegal, juga perut yang semakin mual.Reisa berlari ke kamar mandi dan mengeluarkan isi perutnya. Hanya ada cairan, karena sejak kemarin malam dia tidak bisa makan. Atas kesepakatan bersama, Inah dan Tarno ikut tinggal bersama mereka untuk menjaga dan mengurus rumah ini. Mereka juga diminta untuk mengawasi sikap Andra selama menemani Reisa.Sarah menyanggupi akan menjenguk keponakannya satu minggu sekali. Sekalipun mereka dibiarkan tinggal bersama, tetapi Wisnu tetap memantau perkembangannya dari jauh. Setiap hari Inah sudah membuatkan berbagai macam jenis makanan. Akan tetapi, tidak ada satu pun yang bisa Reisa telan. Semalaman dia menangis karena merasa kelaparan. Akhirnya Reisa tertidur dengan perut yang kosong. Wanita itu lebih banyak mengurung diri di kamar sejak tinggal di sini. Papanya bilang, setelah bayi ini lahir, Andra akan menikahinya.
Dua bulan kemudian. Masih ada tiga antrean dan Reisa sudah tidak sabar menunggu. Kakinya kesemutan. Tubuhnya gemetaran. Mual yang terus menerus mendera membuatnya nekat berbaring di kursi tunggu, tak perduli ada banyak pasang mata yang melihat. "Mual, Bik," katanya manja. Di tangan Reisa ada sepotong roti manis untuk cemilan. Sedari tadi mulutnya mengunyah sambil mengeluhkan perut yang terasa tidak nyaman. Obat anti mual yang diberikan dokter dipemeriksaan sebelumnya juga tidak berefek banyak.Mualnya tidak hilang, kecuali pada saat tertidur. Begitu bangun, dia akan mengeluarkan semua yang dimakan sebelumnya. "Ya Tuhan. Beginikah rasanya mengandung?" Rasanya dia tidak sanggup."Sabar, Non. Bentar lagi giliran kita."Benar saja kata Inah. Tak lama setelah pasien yang di dalam selesai periksa, si perawat memanggil pasien berikutnya. "Antrean nomor sepuluh. Silakan masuk." Tidak ada yang berdiri sehingga beberapa pasien lain saling berpandangan. "Ibu Reisa. Ibu Reisa." Suara pang
Andra berulang kali memencet bel dan tidak ada yang membukakan pintu. Hari ini dia pulang larut malam karena ada meeting mendadak dengan pengurus hotel. Setelah lulus kuliah, laki-laki itu meneruskan usaha keluarga bersama beberapa paman dan sepupunya. Jam menunjukkan pukul sebelas. Biasanya selepas Maghrib, Andra sudah berada di rumah. Pulang awal atau pulang cepat baginya sama saja, tidak bisa bertemu dengan Reisa. Pernah suatu kali Andra mencoba mengintip saat melihat Reisa keluar kamar menuju dapur. Itu saja sudah membuatnya senang. Andra duduk di teras dan membuka tas untuk mencari kunci cadangan tetapi tidak ada. Rasanya dia ingin berteriak. Mengapa saat ini hidupnya semakin rumit, mencari kunci saja tidak ketemu. Andra mengambil ponsel, mencari sebuah nama langsung menelepon seseorang."Pak Nok, lagi di mana?""Balik ke rumah lama. Tadi, Nok nungguin Den Andra pulang. Tapi kemalaman. Jadi langsung jalan aja. Lupa ngabarin Aden."Andra menarik napas panjang. Rumah kesayangan
"Sayang," ucap Andra lembut lalu mengendurkan pelukannya."Jangan," lirih Reisa dengan tubuh gemetaran. Dia mencoba mendorong tubuh besar itu sembari meronta untuk melepaskan diri. "Gak apa-apa,ya. Kamu gak usah takut.""Tolong ...." ucapnya di antara isak tangis. "Gue gak akan ngelakuin itu lagi sama lu." Andra mengusap kepala Reisa dengan lembut dan penuh kasih sayang. Sementara wanita itu masih saja meronta sehingga Andra mengendurkan pelukannya. Dia terduduk di lantai sembari menangis.Andra ikut bersimpuh di hadapan Reisa dan mengusap banbu Reisa sembari berkata, "Tenang, ya. Tenang."Reisa menutup wajah dengan kedua tangannya. Kiniz Andra masih mengusap rambutnya dan mencoba menenangkan. Wanita itu masih menangis sesegukan, tetapi dia hanya diam dan tak dapat berbuat apa-apa."Lu mau makan bubur?" Tidak ada jawaban, sehingga Andra mengusap wajahnya lalu membuang napas dengan kasar. "Adek mau bubur?" Andra mencoba mengusap perut Reisa, tetapi tangannya ditepiskan lagi."Lu m
Mata Andra tak berkedip. Pemandangan dihadapannya sungguh memukau. Reisa terlihat cantik memakai dress selutut dan rambut yang dicepol asal-asalan. Wanita itu tengah asyik melihat-lihat Tarno yang sedang menyiram dan menanam beberapa bunga di taman belakang. Reisa mungkin lupa, atau tidak tahu, bahwa kamar Andra terhubung dengan taman itu. Sejak tadi, Andra menjadi pengintip di balik gorden. Dia tak berani membukanya lebar seperti hari-hari biasanya, melihat apa yang dilakukan pujaan hatinya. Saat Reisa bersenda gurau dengan Tarno, hati Andra menjadi ketar-ketir dibuatnya. Melihat senyuman dan tawa wanitanya itu bergema, dirinya dipenuhi dengan kebahagiaan. Ah, pagi ini memang indah.Hampir empat bulan sejak mereka tinggal di sini, suasana sangat mencekam. Sejak insiden bubur waktu itu, sikap Reisa sedikit melunak dan sudah kembali ceria. Tawanya bahkan terdengar sampai ke kamar Andra. Reisa sejak dulu memang suka menjahili orang lain. Pagi ini, Tarno yang menjadi korbannya. Bibit
Ruangan dokter itu nampak sejuk di mata. Nuansanya putih, dengan wallpaper abstrak, minimalis tetapi elegan. Di salah satu dindingnya dipasang beberapa poster mengenai kehamilan dan persalinan. "Wah, akhirnya papanya ikut juga. Silakan duduk." Dokter Andini menyambut kedatangan mereka malam itu.Andra menarik sebuah kursi untuk Reisa. Sekalipun perutnya belum terlalu besar, wanita itu terlihat agak kesulitan saat berdiri dan duduk. Mungkin merasa kurang nyaman.Walaupun permintaan dari papanya untuk berpindah-pindah dokter, Reisa memilih kembali ke sini untuk melakukan pemeriksaan. "Gimana Ibu, apa yang dirasakan di trisemeter kedua ini, apa merasa lebih baik?" Dokter Andini memulai pembicaraan dengan menanyakan kondisi Reisa. Pembawaannya yang tenang itu membuat merasa senang. Dia tidak sungkan untuk menceritakan keluhannya selama kehamilan."Sedikit lebih baik. Mual muntahnya berkurang. Ngggg ... cuma itu, Dok. Kenapa saya jadi sakit gigi. Terus kalau cuaca dingin kadang suka mim
Reisa berjalan menuju dapur. Ketika matanya terbuka, perutnya terasa lapar. Saat keluar kamar, terciumlah bau nasi goreng yang menggugah selera. "Bik, laper.""Non duduk dulu. Bibik lagi masak. Bentar lagi mateng, kok," ucap Inah sembari memotong beberapa bahan. Tangannya sangat cekatan dan terlatih mengerjakan semua."Bikin nasi goreng apa, Bik?""Sosis. Kesukaan Den Andra." Inah mengambil sosis beku dari dalam kulkas dan meletakannya di mangkuk. "Dia belum bangun?" Reisa menarik kursi dan duduk sembari melihat Inah bekerja. Semakin besar kandungannya, semakin cepat dia merasa lelah. "Belum. Paling sebentar lagi, Non."Mendengar itu, Reisa menjadi panik. Dia masih malu bertemu Andra. Wanita itu segera berdiri dan membantu Inah memasak. "Sini, Rei bantuin Bibik masak," ucapnya sembari meraih pisau. Inah terlihat kerepotan sendiri sejak tadi, sehingga dia ingin membantu. "Jangan, nanti Non mual," tolak Inah. Tak enak rasanya jika menyuruh nona mudanya mengerjakan pekerjaan rumah.