[Rei, kok gak datang Nak. Papa kangen cucu]Andra tersenyum saat membacanya. Ternyata Wisnu yang mengirimkan pesan.Reisa sudah pucat pasi saat melihat Andra membuka ponsel. Wanita itu menarik napas lega saat melhat ekspresi wajah suaminya yang sembringah. "Kenapa, Ndra?" tanya Reisa. Dalam hati berdebar-debar takut Dimas yang mengirimkan pesan lagi."Ini papa nanyain. Kok kamu gak dateng ke sana? Kamu gak ngabarin, ya?"Andra mengerling wajah istrinya. Sekilas Reisa tampak terkejut. Namun, wanita itu cepat-cepat mengendalikan diri."Udah sama Nita. Mungkin maksud papa suruh nginap di sana lagi," jawabnya.Reisa meletakkan piring-piring kotor di wastafel dan membersihkan meja makan. Nanti Susi yang akan mencucinya."Jadi?""Besok saja kali. Kan kamu baru dateng. Lagian repot, harus banyak bawa barang adek.""Gak boleh gitu. Kan ngeliat orang tua.""Minggu lalu kan udah juga. Papa sih gak mau diajak jalan, coba kalau mau, kan seru.""Kalau kalian shopping kita memang males nemenin. La
Andra sudah bersiap-siap untuk berangkat pagi. Sekalipun off selama tiga hari, dia tetap akan mendatangi hotel dan bertegur sapa dengan para karyawan. Ada juga beberapa barang yang akan dia ambil di ruangan."Jadi berangkat?"Reisa bertanya saat mengantar Andra di depan. Wanita itu sedikit kecewa saat tadi malam sebelum tidur, suaminya berkata akan pergi kerja sebentar."Iya. Siang aku pulang." Andra mengecup kening Reisa. Setelah menghabiskan dua mangkok bubur ayam buatan istrinya, lelaki itu merasa lebih bersemangat saat akan berangkat.Sebenarnya Andra menginginkan asupan nutrisi yang lain. Namun melihat kondisi fisik Reisa yang gampang kelelahan, niatnya urung. Mobil Andra melaju kencang meninggalkan rumah. Memakan waktu sekitar satu jam jika di jalanan tidak terjebak macet. "Loh, Pak Andra."Para karyawan menatapnya heran ketika melihat langkah kakinya memasuki kantor. Andra menyapa satu per satu dengan ramah, lalu memencet tombol lift menuju ruangannya."Bapak?"Andra terseny
"Assalamualaikum."Nita bergegas keluar saat pelayan memanggilnya ke depan. Wanita itu bersorak riang saat melihat siapa tamu yang datang."Rendra." Nita langsung mengambil bayi mungil itu dari gendongan Andra."Sudah bisa apa, Sayang?" Nita bertanya gemas. Beberapa hari tidak bertemu cucu membuatnya rindu."Merangkak, Nek," jawab Andra dan membuat seisi orang di ruangan itu tertawa. "Apaan coba."Reisa mengamit lengan suaminya. Namun, Andra malah tertawa geli. "Biarin, udah ngerti, kok."Mereka duduk di sofa. Nita memanggil pelayan dan memintanya menyediakan snack yang banyak untuk Reisa.Nita paham bahwa putri sambungnya pasti kelaparan setelah perjalanan jauh menuju rumah mereka."Papa mana, Nit?' tanya Reisa karena tak melihat sosok tua itu muncul sejak tadi.Padahal ini hari libur. Mereka datang ke sini karena Andra akan berangkat besok dan ingin berpamitan. Lelaki itu sekalian mengantar anak istrinya untuk menginap lagi di sini. "Tidur. Kecapean dia," jawab Nita sambil meni
Andra berangkat subuh hari menuju bandara. Di antar Tarno, tapi tanpa Reisa dan Rendra. Sudah menjadi kesepakatan mereka sepeti itu, sehingga dia tidak mempermasalahkan.Tidak mungkin juga Andra membangunkan dua orang itu. Tadi malam Rendra sedikit rewel. Mungkin karena tidak tidur di kamarnya, sehingga semalaman mereka bergadang. Tadinya Andra ingin pulang setelah mengantar Reisa. Namun, karena Wisnu sakit, jadinya ikut menginap juga. Dia hanya menyuruh Tarno untuk mengambilkan koper yang sudah dipersiapkan. Andra merasakan kepalanya berat. Oleh karena itu sepanjang perjalanan dia memilih tidur di mobil. Biasanya dia akan berbincang sebentar dengan Tarno. "Den."Suara lembut Tarno membangunkan tuannya. Dia tak sampai hati, karena melihat Andra begitu kelelahan. Andra menggeliat. Badannya terasa remuk dan pegal di beberapa bagian."Udah sampai, Pak?""Iya, Den." Tarno membukakan pintu mobil, lalu mengeluarkan koper dari bagasi belakang. Dia menyerahkan barang-barang itu kepada An
Landing.Andra berdiri mengambil kopernya di kabin, begitu pesawat mendarat dengan sempurna. Dia ingin segera keluar dan menjauh dari wanita yang sejak tadi bersandar mesra di bahunya. "Kita bareng kan, Ndra?""Eh?"Sejak kapan mereka berjanji akan bersama setelah ini. Bukannya sudah punya tujuan masing-masing. Lagi pula bertemu juga tak sengaja. Kalau boleh memilih, Andra lebih baik tidak usah pulang dari pada harus bertemu Helena. "Gue udah ada yang jemput. Sorry.""Tapi gue sendirian. Gak ada temennya.""Lu kan bisa pesen taksi."Andra berjalan melewati lorong menuju bandara. Untunglah tidak ada bagasi jadi bisa segera pergi. Helena pastilah membawa banyak barang. Jangan berharap Andra akan menjadi dewa penolong dengan mengambilkan atau membawakan barang-barangnya. Mimpi kamu, Len."Tapi gue banyak bawaan. Berat ini. Gimana, dong?"Nah, sesuai dengan dugaan. "Lu pakai jasa Porter. Tuh, banyak seliweran. Pilih aja salah satu.""Ndra!"Andra sudah berjalan cepat meninggalkan Hele
Rendra menangis meraung-raung. Anak itu rewel. Badannya panas, demam, dan tidak mau minum susu sama sekali. "Bawa ke dokternya sekarang aja, Non," saran Inah. "Panggil Pak Nok, Bik." Reisa menggendong Rendra ke depan sembari menunggu Tarno datang. Tadi dia disuruh ke apotek karena obat penurun panasnya habis."Kenapa, Non?" Tarno menyerahkan kresek berisi obat dengan terburu-buru. "Ke dokter aja sekarang, Pak," titah Reisa. Dia sudah panik sejak tadi."Ayo, Non."Mereka segara masuk mobil dan berangkat menuju rumah sakit terdekat. Sampainya di instalasi gawat darurat, Rendra langsung diberikan pertolongan oleh dokter yang berjaga. "Demam biasa, Bu. Gak apa-apa. Ibu jangan khawatir," kata dokter itu menenangkan. Reisa menarik napas lega. Sebelumnya Rendra tidak pernah begini. Bayi mungilnya itu selalu sehat. "Dia gak mau minum susu. Makan bubur juga," curhat Reisa. Sebagai ibu baru yang belum berpengalaman, ada hal-hal yang dia kurang mengerti. "Ini giginya mau tumbuh satu."D
Ponsel berbunyi sejak tadi. Benda pipih itu bergetar terus sejak meminta si pemilik menjawab panggilannya. "Ya?" jawab Reisa. "Rendra sakit?"Reisa langsung paham siapa yang menelepon. Orang sama sekalipun nomor teleponnya berbeda."Udah ke dokter, kok," jawabnya."Lu kok gak bilang gue?"Memangnya kamu siapa? Ingin rasanya Reisa berkata seperti itu kepada lelaki ini."Aku gak inget. Lagian kita gak punya kepentingan apa-apa.""Rei, gue--"Tut!Reisa memutuskan panggilan dan melirik bayinya yang tertidur pulas di dalam boks. Untungnya Rendra tak rewel saat diberi obat. Reisa melirik ke arah jarum jam yang menunjukkan jam delapan malam. Sejak Andra tidak ada, rumah serasa sepi.Berada di rumah papanya Reisa juga merasa tak nyaman. Hanya dua malam dia menginap di sana, setelah diantar Andra sebelum berangkat. Setelah papa pulih, mereka memilih untuk pulang. Ketika sampai di rumah, Rendra malah sakit. Untung dia sigap dam langsung ke rumah sakit tadi pagi. Reisa berjalan ke dapur, e
Reisa membuka mata. Kepalanya terasa berat. Entah dimana dia berada. Matanya nanar menatap sekeliling dengan ruangan serba putih."Gak usah gerak dulu." Suara seorang lelaki berbisik di telinganya.Reisa menoleh, pandangannya masih samar-samar. Andra? Bukan!"Sini gue bantu."Dimas membantu Reisa duduk bersandar di ranjang pasien. Wanita itu menurut. Dalam kondisi begini, dia memang belum bisa banyak bergerak. "Mana yang sakit?" Dimas bertanya."Gak ada.""Lu mau makan, atau minum?" tawar Dimas. "Boleh."Dimas dengan sigap mengambilkan air dan membantu Reisa meminumnya. Dia juga mengambilkan tissue dan mengelap bekas air."Makasih.""It's okay.""Mana Nita?" tanya Reisa."Pulang ke rumah lu. Jemput Rendra. Katanya nangis. Sekalian jalan ke sini sama Om Wisnu," jelas Dimas.Reisa mengangguk dan rasa pusing langsung mendera. Rasanya dia ingin tidur lagi, tetapi perutnya lapar."Mau makan?"Reisa mengangguk. Dimas segera mengambilkan semangkok bubur yang tadi diberikan dari rumah sakit