Reisa membuka mata. Kepalanya terasa berat. Entah dimana dia berada. Matanya nanar menatap sekeliling dengan ruangan serba putih."Gak usah gerak dulu." Suara seorang lelaki berbisik di telinganya.Reisa menoleh, pandangannya masih samar-samar. Andra? Bukan!"Sini gue bantu."Dimas membantu Reisa duduk bersandar di ranjang pasien. Wanita itu menurut. Dalam kondisi begini, dia memang belum bisa banyak bergerak. "Mana yang sakit?" Dimas bertanya."Gak ada.""Lu mau makan, atau minum?" tawar Dimas. "Boleh."Dimas dengan sigap mengambilkan air dan membantu Reisa meminumnya. Dia juga mengambilkan tissue dan mengelap bekas air."Makasih.""It's okay.""Mana Nita?" tanya Reisa."Pulang ke rumah lu. Jemput Rendra. Katanya nangis. Sekalian jalan ke sini sama Om Wisnu," jelas Dimas.Reisa mengangguk dan rasa pusing langsung mendera. Rasanya dia ingin tidur lagi, tetapi perutnya lapar."Mau makan?"Reisa mengangguk. Dimas segera mengambilkan semangkok bubur yang tadi diberikan dari rumah sakit
"Jangan banyak gerak. Kamu masih pemulihan."Andra mendorong tubuh Reisa dengan lembut ke tempat tidur. Wanita itu tidak bisa diam, mengkhawatirkan ini dan itu. Sementara fisiknya belum sembuh total.Reisa tidak boleh terlambat minum obat. Jika tidak, maka bekas kuret akan terasa ngilu dan dia tidak tahan."Rendra nanti gimana?" "Biar aja sama Nita dulu. Kamu istirahat. Nanti kalau udah pulih kita ambil, ya.""Tapi aku kangen," rengek Reisa. "Kan ada gue. Kangen sama gue aja," bujuk Andra. "Ndra!""Sini gue kekepin. Biar anget," bisiknya nakal. Reisa mendorong suaminya saat mulai merapat. Namun, Andra malah menariknya lebih kuat sehingga tubuh mereka menempel erat. Reisa meringis kesakitan saat perutnya terasa ngilu. "Lu enggak apa-apa?" tanya Andra khawatir. "Jangan gitu, Ndra," keluh Reisa. "Sorry gue gemes sama lu.""Aku masih nifas ini." Andra menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Harus menunggu empat puluh hari rasanya dia tak sanggup. Leleki itu ingin bermesraan seperti
Satu minggu kemudian."Pa, Rei pamit." Reisa memeluk papanya dengan mata berkaca-kaca. Wisnu mengangguk sambil mengusap rambut putrinya. Walaupun terasa berat, tetapi dia harus ikhlas melepaskan. "Rendra ... " Air mata Nita menggenang di pelupuk mata. Dia memeluk erat tubuh mungil itu. Rasanya tak rela melepaskan cucu. "Jaga mereka baik-baik." Wisnu berpesan kepada menantunya.Andra mengangguk dan menyanggupi. Selama ini pun dia berusaha menjaga amanah yang telah dititipkan kepadanya. Istri dan anak-anak. Dua lelaki itu berpelukan. Kali ini saling menguatkan satu dengan yang lain. Perempuan tak mengerti bahwa, kaum lelaki juga memiliki banyak kepedihan dalam hatinya. Hanya mereka untuk menyimpannya sendiri dan tidak mengumbar ke mana pun. Bukan karena takut dinilai lemah. Namun, karena mereka yakin kalau mampu menyelesaikannya."Nanti aku ke sana ya, Rei. Kalau mas udah baikan. Ini masih harus check-up lagi."Nita memeluk erat tubuh anak sambungnya. Reisa seperti sahabat, tempat
"Ayo masuk." Andra membuka pintu rumah tempat tinggal mereka. Tadinya dia tinggal di apartemen selama berada di kota ini. Namun sejak kejadian itu, akhirnya dari pihak hotel memberikan rumah sewa untuk ditempati. Andra belum sempat memindahkan barang-barang. Baginya yang penting sudah ada tempat tinggal yang layak untuk keluarga. "Assalamualaikum."Reisa mengucap salam saat masuk ke dalam rumah itu. Ini tak sebagus rumah mereka sebelumnya, tetapi cukup nyaman. Tak apalah untuk sementara waktu, yang penting mereka berkumpul lagi. Andra menunjukkan semua ruangan, yang mana kamar Tarno dan Inah. Tidak ada kamar bayi karena ruangan di rumah itu tidak cukup.Bagi Reisa, semua perabotan tertata rapi saja dia sudah senang. Alat-alat elektronik lengkap semua. Jadi pekerjaan mereka lebih ringan. Kepindahan mereka ini termasuk mendadak dan tidak direncanakan sebelumnya. Andra sendiri berniat membawa mereka setelah istrinya melahirkan. Namun karena musibah itu terjadi, maka dia mempercepat
"Pagi Pak Andra."Begitulah sapaan para karyawan setiap harinya jika berpapasan dengan atasan mereka di kantor."Pagi."Andra membalasnya dengan senyuman atau anggukan. Sesekali jika ada waktu, meladeni mereka berbincang. Kadang-kadang, secara diam diam Andra melakukan survey dengan mendekati para karyawan untuk bertanya beberapa hal. Ada yang tidak beres sejak awal Andra pindah ke cabang ini. Entah ini jebakan atau apa, dia tak mengerti. Sebenarnya agak aneh jika tiba-tiba saja, hotel harus membuka cabang baru di saat kondisi ekonomi sulit.Memang benar keuangan hotel sudah stabil. Namun belum terlalu kuat untuk mengelola yang baru. Namun, hasil rapat direksi memutuskan seperti itu sehingga dia menaati kesepakatan bersama. Begitu tiba di tempat ini, Andra terkejut mendapatkan keadaan yang di luar perkiraan. Dana bantuan yang kabarnya akan dikucurkan lancar, mulai tersendat di detik terakhir peresmian. Hingga, Andra harus berusaha mati-matian mencari cara supaya tetap bertahan. Ti
Pukul 00.30 WibGuyuran air terdengar dari kamar mandi. Andra membasuh seluruh tubuhnya dengan sabun. Lelaki itu benar-benar membersihkan diri sehingga cukup lama berada di kamar mandi. Sebelum mandi, Andra sempat membalut selimut ke tubuh istrinya. Reisa langsung tertidur setelah di gempurnya habis-habisan. Reisa sudah tak dapat bergerak. Begitu Andra selesai, wanita itu langsung memejamkan mata. Suara dengkur halusnya terdengar indah.Andra mematikan shower, lalu memakai handuk. Lelaki itu keluar dari kamar mandi dan memilih baju di dalam lemari.Andra melirik ke arah boks bayi. Rendra tertidur lelap. Paling sebentar lagi anak itu terbangun dan minta susu. Untunglah Inah sudah menyiapkan semua keperluan itu di dalam kamar. Sepertinya malam ini Andra yang akan membuatkan susu botol. Dia tak tega harus membangunkan istrinya yang sudah terlelap.Pantas saja wajah Reisa memucat. Bangun di tengah malam dan menyusui ternyata cukup melelahkan. Kasihan istrinya.Selama ini Andra sibuk be
Andra melirik jam tangan. Sudah hampir setengah jam dia duduk di sini. Namun, orang yang ditunggu belum muncul juga."Sorry, Pak Andra."Andra menoleh saat orang yang dinantikannya datang. Dia mempersilakan duduk dan menyodorkan menu. Mungkin mereka akan berbicara santai dulu, sebelum memulai ke pokok pembicaraan. Andra tidak mau terburu-buru. Dia masih melihat peluang sebelum nantinya akan memilih pembeli. Ada banyak telepon yang masuk. Namun, lelaki itu harus memastikan rumah itu jatuh ke tangan orang yang tepat."Makan aja dulu. Saya juga gak buru-buru. Santai."Andra meneguk minumannya sambil melihat si notaris memilih menu. Dia mengambil ponsel dan membaca beberapa pesan masuk. Lelaki itu juga mengintip email yang menumpuk karena sebagian belum dibacanya."Gimana hotel, Pak? Lancar?"Seorang pelayan datang menghampiri meja mereka dan mencatat pesanan. Andra ikut menambah menu untuk dirinya sendiri. Hanya cemilan ringan karena tadi sudah makan di rumah. Sementara si Notaris memil
Beberapa orang di ruangan itu tampak terkejut, saat Andra membuka pintu dan mengambil tempat duduk di kursi kebesarannya. Lelaki itu bersikap santai sembari mengulurkan tangan untuk bersalaman.Andra mengeluarkan laptop dan mulai mengerjakan sesuatu. Morning session adalah rutinitas yang dilakukan oleh para petinggi hotel, sebelum memulai aktivitas di setiap harinya. "Kapan datang, Ndra?" tanya salah seorang di antara mereka. Andra mendongak untuk melihat siapa yang berbicara. Om itu adalah salah satu sepupu dari papanya.'Kemaren sore, Om. Sekalian ngeliat rumah," jawabnya jujur. "Ada yang mau beli?" Wajah itu bertanya, padahal dalam hati berdebar, takut kecurangannya terbongkar. "Ada beberapa calon pembeli, tapi belum diputuskan." "Kok pulang gak ngabarin kita? Kan bisa ngadain kumpul-kumpul di rumah," tanya Om yang lain. Andra tersenyum pahit. Dalam keadaan seperti ini, sebagian dari mereka masih saja berpura-pura. Seolah-olah tidak tahu, padahal semua kecurangan sudah terciu
Andra benar-benar gelisah. Sejak kamarin perasaan lelaki itu tak menentu. Dia bahkan tak berselera makan. Semakin dekat hari pernikahan Reisa, mereka bahkan tak bertemu sama sekali. Sahabatnya itu sempat mengangkat teleponnya. Namun tak lama, katanya masih sibuk mempersiapkan acara.Andra meminta untuk video call dan Reisa mengabulkannya. Namun, saat berbincang, raut wajah gadis itu tak seperti biasa. Sebelum ada Bimo, Reisa masih sama seperti dulu. Bersikap hangat dan bersahabat. Namun, semua berubah ketika sang pujaan hati memiliki pengawal sendiri. Andra bahkan tak dilibatkan apa pun dalam persiapan pernikahan Reisa. Padahal lelaki itu bersedia jika direpotkan. Lelaki itu bagai tak dianggap sama sekali. Dan itu membuat Andra kecewa. "Den Andra gak makan? Inah masak enak, loh."Inah menegur tuannya. Sejak pulang tadi Andra tak menyentuh hidangan yang dimasaknya sama sekali. Hal itu membuatnya heran.Biasanya Andra akan lahap setiap melihat sajian di meja makan. Maklum, sejak ke
Reisa turun dari tangga dengan langkah anggun. Hal itu membuat Dimas terpana. Lelaki itu menelan ludah akan hasratnya yang muncul saat melihat sang kekasih.Sudah beberapa kali Dimas mengajak Reisa bermesraan. Namun, gadis itu menolak secara halus. Reisa yang lahir dan besar di kota kecil, memang selalu dituntut untuk menjaga diri.Hal itulah yang membuat Dimas kesal, lalu melampiaskannya kepada wanita lain. Hanya untuk bersenang-senang dan bukan cinta. Namun, kebiasaannya ini sudah terjadi sejak lama, dari mereka sama-sama kuliah. "Sudah siap?"Suara Wisnu memecah keheningan. Reisa menoleh ke arah papanya, lalu mengangguk. Gaun yang dia pakai kali ini berwarna silver dengan model sederhana. Gadis itu tak memakai perhiasan berlebihan. Hanya sepasang anting mutiara yang menambah keanggunannya. "Siap, Papa," jawab gadis itu senang.Wisnu menatap putrinya dengan bangga. Reisa tak hanya berprestasi di sekolah, tetapi bekerja dengan baik di kantornya. Apalagi setelah bertunangan dengan
Bimo memarkir mobilnya di sebuah gedung bertingkat. Dimana Reisa berkantor di perusahaan milik papanya. Siang ini Bimo akan mengantar Reisa makan siang, karena gadis itu ingin mencoba menu baru di sebuah restoran. "Hai, Bim."Reisa menyapa Bimo dengan ramah. Walau di hatinya ada rasa risih jika harus berdekatan dengan orang baru. Apalagi lelaki itu anak menemaninya sepanjang waktu hingga hari pernikahan tiba."Siang, Mbak Rei.""Kamu udah makan?" "Sudah, Mbak," jawabnya pendek. Tadi sebelum ke sini, Bimo mampir di sebuah tempat makan untuk mengisi perut. Selama Reisa bekerja, lelaki itu tak boleh mengikuti. Sehingga job desknya sekarang lebih ke supir pribadi. "Kalau gitu jalan."Setelah menutup pintu mobil Reisa menarik napas panjang dan meletakkan tasnya di samping. Dia mengambil ponsel dan mengabari Dimas bahwa akan makan siang.Reisa merasa hidupnya sekarang dikekang. Namun, dia hanya menuruti apa maunya Dimas demi kebaikan bersama. "Mau ke mana kita ini?" Bimo bertanya. Me
Hari itu, Dimas membawa Reisa bertemu dengan seorang lelaki, saat menjemputnya sepulang dari bekerja. Dia mempunyai rencana untuk melindungi sang kekasih. Dari orang-orang yang berniat jahat dan dari Andra tentunya.Ini tak bisa dibiarkan. Pembicaraannya kemarin dengan Andra membuat Dimas cemas. Dia khawatir jika lelaki itu nekat dan benar-benar akan menggagalkan pernikahan nereka. "Rei, kenalin. Ini Bimo." Reisa menjabat tangan Bimo. Jika diperhatikan dengan jeli, tampilan fisik Bimo mirip seperti orang yang pernah mendapat pendidikan militer. "Siapa ini?"Mata Reisa penuh tanya, tapi tak berani menduga. Entah apa maksud Dimas memperkenalkan lelaki ini kepadanya. "Bimo ini tadinya kerja di kantor papa. Tapi mulai sekarang dia bakal jadi supir pribadi sekaligus ngejagain lu." Dimas menjelaskan dengan pelan agar Reisa mau menerima. Dia tahu jika bicara dengan kekasihnya ini harus penuh dengan kelembutan.Reisa selalu diperlakukan baik oleh orang tuanya. Namun, hal itu menjadikanny
Pintu ruangan Andra terbuka. Sesosok lelaki gagah masuk dengan santainya tanpa permisi."Sibuk?"Dimas tampak santai saat bertamu, menganggap Andra tidak akan berani melawannya."Gak juga. Jadi masih punya waktu buat Reisa," sindir Andra.Suasana menjadi tegang. Andra bahkan enggan meninggalkan kursinya. Lelaki itu bahkan tak mempersilakan Dimas duduk. Sehingga tunangan Reisa itu masih berdiri di hadapannya. "Gak usah nyindir gue," ucap Dimas sembari tersenyum mengejek."Gue cuma bicara fakta."Dimas terkekeh, lalu menatap Andra dengan sinis. Pandangan matanya begitu tajam. Namun, justru menambah ketampanannya. Wajar jika Reisa jatuh dan cinta setengah mati kepada lelaki itu. "Lu tadi makan siang sama Reisa?" Andra berhenti mengerjakan laporan, lalu meletakkan mouse yang sedari tadi setia menemani."Iya. Kenapa?" jawab Andra singkat. "Sering banget kayaknya.""Soalnya cuma gue yang bisa nemenin. Lu gak ada gunanya jadi tunangan," ucap Andra sarkas.Dimas mengepalkan jari. Amarah b
Panggilan telepon masuk, Andra segera mengambil ponselnya. Reisa is calling."Ya, Rei? Apaan?" Andra menutup laptopnya dan menjawab telepon. Laporan sedang banyak yang harus dikerjakan hari ini. Dia sedang fokus menyelesaikannya sedari pagi, saat tiba di kantor. "Ndra. Temenin aku makan siang, dong. Aku sendirian nih." Terdengar suara syahdu wanita di seberang sana. Si pemilik suara adalah seorang wanita cantik, mungil dengan rambut panjang tergerai. Bulu matanya lentik dengan suara manja. "Dimas mana?" Nada suara Andra terdengar malas. Selalu begini, hampir setiap hari terjadi dan sudah menjadi kebiasaan bagi mereka. Sekalipun status Reisa adalah tunangan dari orang lain. Namun, Andra lah yang selalu menemani. "Lagi meeting sama klien. Dia gak sempet nemenin aku katanya. Tadi barusan aku telepon. Kamu mau kan, Ndra?"Suara manja Reisa kembali terdengar. Wanita itu berusaha membujuk dan merayu sahabatnya. Andra menarik napas panjang. Entah sudah untuk yang ke berapa kalinya i
"Andra! Balikin buku aku." Reisa berlari mengejar seorang anak lelaki seusianya. Napasnya gadis itu terengah-engah. Sedari tadi dia berusaha, tetapi si target malah makin menjauh. Sedangkan sosok yang dikejar itu malah bersorak senang karena berhasil menggodanya. "Ambil kalau bisa!" Andra mengangkat tangan ke atas dan melambaikan buku itu. Tentu saja Reisa tidak bisa menjangkau karena tubuhnya mungil dan tak sampai sebahu lelaki itu."Kamu usil banget sih, Ndra." Tangan mungil Reisa berusaha menggapai tetapi tak sampai. Gadis itu mencoba lagi hingga akhirnya menyerah."Lu bantet sih, Rei. Makanya makan yang banyak. Tumbuh itu ke atas, bukan ke samping."Sudah menjadi kebiasaan Andra mengolok-olok Reisa. Gadis itu juga tidak pernah marah. Bukankah jika bersama sahabat, kamu bisa lepas menjadi diri sendiri. Bahkan semua kekuranganmu dia bisa memakluminya. "Kamu kalau mau nyontek bilang aja napa? Gak usah pake' ngambil buku aku."Reisa berhenti berlari dan duduk lemas sembari menyek
Sudah satu jam Andra menunggu, tapi Reisa belum turun juga.Melihat Andra yang sedari tadi gelisah, akhirnya Wisnu mengizinkan lelaki itu menyusul ke atas. Andra bergerak cepat, nenyusul Reisa di kamarnya. Lelaki itu hanya menunggu di luar pintu dan tak berani masuk. Sedekat apapun mereka, dia masih tahu batas."Cepetan, Rei! Rempong amat nih cewek." Andra mengetuk-ngetuk pintu kamar gadis itu."Berisik banget. Apaan?"Pintu terbuka.Mata Andra terbelalak mendapati sosok yang sedang berdiri dihadapannya. Reisa terlihat sangat anggun dengan dress kasual serta dandanan yang natural. Rambut panjangnya di gelung ke atas. Andra menelan ludah. Dalam hatinya berkata, bidadari ternyata di bumi juga ada. "Kenapa kamu, Ndra?" Gadis yang ditatap mesra itu begong, tak mengerti sinyal cinta di mata Andra rupanya. "Eh, gak apa-apa."Andra membuang muka sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Wajah lelaki itu bersemu merah. Kenapa dia jadi nervous begini.Reisa memang jarang berdandan. Gadi
Brugh!"Auw!"Seorang gadis berteriak saat tubuh mungilnya terbentur sesuatu yang keras, sehingga membuatnya terjatuh. Darah mengucur dari lutut yang mulus itu. Sementara itu, sang lawan masih tetap berdiri kokoh bahkan tak bergoyang sedikit pun. "Kamu gak apa-apa?""Perih ...."Gadis itu meringis kesakitan. Lututnya menghantam tembok sekolah. Keras dan masih terasa denyutnya. Tak lama lagi sepertinya akan menimbulkan luka lebam yang kebiru-biruan."Sini, gue bantuin."Gadis itu menyambut uluran tangan yang diarahkan kepadanya."Maaf ya, gue ga sengaja." Anak lelaki itu tersenyum. Ada rasa bersalah di dalam hatinya. "Iya, engga apa-apa, kok." Senyumnya terukir, membalas senyuman anak lelaki itu. "Wah berdarah gitu. Ayo kita ke UKS. Minta diobatin lukanya. Kasian lu."Anak lelaki itu menarik tangannya, tetapi ditepiskan. Gadis itu tidak mau bersentuhan karena masih malu. "Gak usah. Biarin aja, cuma luka kecil kok. Nanti aku bersihin di toilet juga bisa."Gadis itu tidak mau merepot