Dering ponsel di tas membawa Kiran kembali dari kenangan masa lalu. Mobil Haidar telah lama meninggalkan kafe tempat mereka bertemu. Kiran mendesah, dia tak dapat menolak permintaan Haidar yang ingin berjumpa disini. Wanita itu tahu persis dia sudah menyalahi SOP. Biasanya, setiap ada nasabah yang mengajukan pengajuan pembiayaan, Kiran akan menemui di tempat usaha atau tempat kerja yang bersangkutan. Namun, Haidar bukan hanya sekedar nasabah. Itu masalahnya.
"Halo, iya, Mas?" Alis Kiran bertaut saat mendengar serentetan tugas dari manajer marketing tempatnya bekerja. "Baik, Mas. Saya masih di luar, baru selesai prospect nasabah. Nanti sampai di kantor Kiran langsung buat ya." Kiran mematikan sambungan telepon saat atasannya itu selesai memberikan instruksi.Wanita bertubuh semampai itu langsung mengambil tas dan beranjak dari kafe. Seperti biasa, Haidar sudah membayar makan siang mereka hari ini. Gratifikasi, hal yang sangat Kiran hindari. Dia selalu menjaga diri dari jamuan-jamuan kecil yang berusaha nasabah berikan karena dia mencintai pekerjaan ini."Halo? Mir? Bantuin aku bikin laporan progres pipeline bulan ini dong? Mau ya? Ini aku masih di luar." Kiran urung menyalakan motor saat teringat tak bisa langsung pulang ke kantor."Ah, kamu mah kebiasaan! Tau deh karyawan teladan. AO yang selalu achieve dan melebihi target setiap bulan."Kiran terkekeh mendengar suara Mira di seberang sana. Kalau bukan karena ada janji kunjungan lagi, Kiran sudah meluncur ke kantor saat ini. Dia paling pantang meminta bantuan sesama AO karena dia paham sekali mereka sudah sibuk dengan target masing-masing.Akan tetapi, mau bagaimana lagi? Dia juga tak mungkin membatalkan janji dengan nasabah begitu saja. Biasa, tengah bulan atasan minta laporan progres pekerjaan untuk memastikan anggota timnya mencapai target di akhir bulan.Pekerjaan seorang AO sebenarnya bagaikan pisau bermata dua bagi Kiran. Dengan pekerjaan ini, dia bisa melupakan sejenak kesedihan karena karamnya mahligai rumah tangga dengan haidar beberapa tahun lalu.Bertemu dengan orang-orang baru dan tenggelam dalam setumpuk dokumen yang menggunung membantu banyak bagi Kiran untuk melewati tahun demi tahun yang terasa menyesakkan karena berpisah dengan pujaan.Bagaimana tidak? Sebelum jam setengah delapan pagi, dia sudah harus sampai di kantor untuk mengikuti apel pagi. Setelah maghrib, dia baru meninggalkan kantor. Kalau akhir bulan, dia bisa tetap di kantor sampai tengah malam untuk proses end of month.Itu pula yang akhirnya membuat Kiran mantap keluar dari pekerjaan ini saat masih bersama Haidar. Faktor kelelahan fisik dan stress membuat hormonnya terganggu hingga mereka belum juga memiliki keturunan sampai tahun kedua berumah tangga.“Boleh Kiran resign, Mas? Kiran sangat ingin mempersembahkan cucu untuk Bapak dan Ibu. banyak yang mengatakan ini salah satu faktor penyebab kita belum mempunyai keturunan.”“Boleh. Gaji Mas lebih dari cukup untuk kita, Yang. Lagipula, Mas senang kalau kau bisa berada di rumah sepenuhnya. Tidak seperti saat ini, lebih banyak waktu di kantor daripada di sini.”“Maaf.”“Tidak apa-apa, Mas tahu itu mimpimu. Kau sudah lebih dulu bekerja di sana sebelum menikah denganku. Jadi, ketika Mas memutuskan menikahimu, Mas tahu Mas harus menerima semua yang telah melekat pada istriku.”“Terima kasih.”Kiran menarik menahan napas mengingat percakapannya dengan Haidar lima tahun yang lalu. Itu tahun kedua pernikahan mereka. Sebenarnya, Haidar maupun mertuanya tak pernah menyinggung masalah keturunan. Pun dengan kedua orangtua Kiran, mereka tak pernah bertanya apakah dia sudah berbadan dua atau belum.Namun, Kiran sebagai anak tunggal sangat mengerti keinginan orangtuanya. Dia bisa melihat binar mata penuh harap di mata keduanya setiap kali mendengar saudara atau tetangga yang baru memiliki cucu.“Mas Haidar ….” Kiran tanpa sadar mendesahkan nama Haidar. Setelah resmi bercerai, Kiran langsung mengajukan lamaran pekerjaan di tempat lama. Tanpa harus melewati serangkaian tes, dia langsung diterima karena memang prestasinya semasa bekerja luar biasa.Lampu merah di depan sana membuat Kiran buru-buru menekan rem untuk berhenti sejenak. Terik matahari menusuk kulit. Beruntung, dia mengenakan jaket tebal dan kaos tangan untuk melindungi tubuh.Kiran mendengus sebal saat truk besar di sebelahnya melenguh. Asap hitam langsung mengepul dari knalpotnya. Belum lagi bising suara klakson saling bersahutan. Wanita itu menggeleng pelan. Apa gunanya menyalakan klakson? Apa lampu merah akan langsung berubah hijau? Batin Kiran terus berkicau.Tatapannya mendadak terpaku pada sepasang suami istri yang sedang berboncengan. Si istri berusaha menutupi bayi yang digendongnya dengan hijab yang dia pakai agar tidak kepanasan. Bayi? Ah … mendadak batin Kiran gerimis. Hingga tahun ke empat pernikahan, mereka belum juga dikaruniai keturunan.“Ini sel telur Ibu Kiran banyak, tapi jumlahnya kecil-kecil.” Dokter kandungan menunjuk layar USG. “Kalau dari sini, saya bisa menganalisa belum ada sel telur yang matang. Nanti kita lihat dulu hasil tes laboratorium, tapi dugaan saya, besar kemungkinan PCOS karena tadi Ibu mengatakan ada riwayat menstruasi tidak teratur.”Air mata Kiran menetes mengingat hari itu. Untuk pertama kalinya setelah dua tahun pernikahan, mereka memutuskan cek ke dokter kandungan. Mereka pergi dengan hati riang penuh sejuta harapan, saat mendengar hasil pemeriksaan justru mematahkan semua impian.“Tidak ada masalah dengan analisa awal yang saya berikan. Banyak juga pasien saya yang PCOS memiliki keturunan. Asal mau mengubah pola hidup dan makan menjadi lebih sehat dan mengkonsumsi suplemen yang saya resepkan. Sementara ini, kita tunggu sampai hasil lab keluar agar lebih meyakinkan”Kiran terisak mengingat semua. Dia bahkan bisa merasakan tangan hangat Haidar meremas bahunya untuk memberikan kekuatan. Kaca helm yang dia gunakan berembun. Telinganya berdenging. Membuat semua keributan di lampu merah itu menjadi tak terdengar lagi.Mereka tak berhenti di satu dokter. Haidar mengajak Kiran mencari pendapat kedua. Berharap analisa dokter kandungan pertama salah, namun hasil pemeriksaan justru membuat hati Kiran semakin patah."Rahim terbalik atau dalam dunia medis biasa dikenal dengan rahim retro merupakan suatu kondisi yang biasa dialami oleh banyak wanita. Kalau rahim normal mulut rahim menghadap ke arah depan, maka pada rahim retro mulut rahim menghadap ke arah belakang."Kiran membeku mendengar ucapan dokter yang sedang menunjuk-nunjuk layar USG. Di sana, Haidar seolah duduk terpaku saat dokter menjelaskan semua."Ini yang membuat s**rma kesulitan mencapai ovum. Jadi, untuk posisi rahim seperti ini, ada tips yang bisa dilakukan saat sedang ber …."Kiran tersentak saat suara klakson di belakangnya menyalak kencang. Lampu merah telah berubah menjadi hijau sejak tadi rupanya. Sekejap, bayangan masa lalu pergi dari pikiran Kiran.Ah … kadang Kiran iri dengan pasangan yang begitu mudah dikaruniai buah hati. Andai dia memiliki keturunan, mungkin saja ada alasannya tetap bertahan menjalani pernikahan.Awalnya dia berusaha menerima kehadiran Raya karena pernikahan itu terjadi bukan atas kehendak mereka. Namun, Kiran mulai goyah saat di bulan kedua pernikahan kabar kehamilan Raya terdengar. Membuat keluarga Haidar dan Raya buncah oleh perasaan bahagia tanpa memikirkan Kiran yang sekian lama mendamba keturunan.Wahai kehidupan, kenapa seolah engkau senang benar mempermainkan perasaan? Belum cukup Kiran terguncang karena harus berbagi cinta dan raga suami yang sangat dia kasihi, tak lama kemudian datang kabar yang semakin membuatnya terpuruk dalam sepi.Kiran terluka. Dia hancur sehancur-hancurnya. Perasaan iri menguasai hati. Dia telah mengorbankan mimpinya menjadi wanita karir sukses agar bisa berbakti sepenuhnya pada suami. Dia melakukannya dengan penuh kerelaan agar semesta mau bermurah hati.Namun, kenapa dunia seakan mengejeknya? Tak cukup harus berbagi suami, dia ditampar lagi dengan kenyataan begitu mudahnya benih Haidar tumbuh subur di rahim wanita keduanya.Kiran menarik napas panjang saat tempat usaha nasabah yang akan dia kunjungi mulai terlihat. Mengenang Haidar bagaikan memakan buah simalakama. Satu sisi menyimpan begitu banyak keindahan. Sisi lainnya menyuguhkan luka tak berkesudahan. Bahkan, hingga tiga tahun berlalu sejak dia resmi bercerai dari Haidar, rasa sakit itu masih terus menghantui hingga titik terdalam sanubari."Ray?" Haidar memegang tangan Raya yang masih belum sadarkan diri. Dingin. Tangan istrinya terasa dingin. Haidar terisak. Walau pandangannya buram karena air mata, dia masih bisa melihat wajah Raya yang pucat.“Bangunlah, Ray.” Haidar mencicit. Hatinya mendadak terasa sangat sakit mengingat perjuangan yang Raya lalui agar bisa mempersembahkan keturunan untuknya. “Tak apa, Mas. Mungkin jika Raya bisa melahirkan anak Mas, Mas bisa sedikit mencintai Raya. Semoga saja anak ini nanti bisa menjadi pengobat luka yang terus menganga di hati Mas Haidar sejak bercerai dari Karin.” Haidar tergugu mengingat ucapan Raya beberapa bulan yang lalu. Dia terkejut setengah mati saat istrinya itu memberikan hasil pemeriksaan USG yang menunjukkan janin di rahimnya yang sudah berusia sepuluh minggu.“Kamu hamil, Ray?” Suara Haidar bergetar. Tangan lelaki itu gemetar saat mengambil lembar hasil USG dari tangan Raya. Matanya berkaca, dia kehabisan kata. Antara khawatir dan bahagia, Haidar tak bisa mengekspr
Haidar memeluk lutut. Mendadak tubuhnya menggigil kencang. Dia menggigit bibir hingga terasa asin. Pernikahannya dengan Kiran berakhir di tahun ke empat. Akankah dia kembali kehilangan istri? Apakah Raya benar-benar akan meninggalkannya juga di tahun keempat pernikahan mereka?“Haidar! Astagfirullahaladzim, Naaaaak.” Ratna berlari ke dalam dan langsung menuntun anaknya Haidar. Dia sempat menoleh pada dokter dan perawat yang langsung menyiapkan tindakan untuk Raya.Di luar, Haidar membisu. Tatapan matanya kosong. Dia tidak memperdulikan sedikitpun gerakan gelisah sang Ayah yang berjalan mondar-mandir ke sana kemari. Sementara ibunya sejak tadi terus mengelus punggungnya untuk memberikan ketenangan.Haidar menyugar rambut dengan kasar. Perasaannya campur aduk. Baru saja dia mendengar kabar anak mereka telah tiada, kini dia harus menghadapi kenyataan Raya sedang bertarung dengan maut di dalam sana.Gelap.Mendadak pandangan Haidar menjadi hitam kelam. Telinganya berdenging seakan berada
“Mbak Kiran ya? Iiih benar, kan? Masya Allah tambah cantik aja.”“Numpang parkir ya, Bu.” Kiran tersenyum sopan pada Desi. Wanita itu merapikan motor agar selaras dengan kendaraan lain yang juga sedang parkir di sana. Dia menarik napas panjang saat menoleh ke samping, rumah yang dulu pernah menjadi tempat ternyamannya untuk pulang.Tempat itu terlihat ramai. Pakaian hitam menjadi penanda bahwa di sana sedang berduka. Bendera kuning berkibar tertiup angin sepoi-sepoi yang sedikit basah. Gerimis kecil membungkus kota itu sejak jam dua tadi.Sebagian besar pelayat adalah tetangga sekitar sana. Beberapa tamu dikenali oleh Kiran sebagai rekan kerja Haidar kala masih bekerja di salah satu kantor BUMN dulu. Beberapa lagi dia tak tahu, mungkin dari kenalan keluarga Raya.“Lama tak berjumpa, Mbak.” Desi menepuk pelan pundak Kiran yang sedang termangu menatap keramaian. Dalam balutan busana hitam, para pelayat terlihat muram. Tak ada canda tawa, hanya wajah kelam dan penuh duka yang menggelayut
Kiran melepas kacamata hitam yang dia gunakan. Titik-titik air hujan membuat buram penglihatannya. Gerimis terus membungkus bumi seakan enggan pergi. Andai ini hari-hari biasa, pastilah Kiran lebih memilih bergelung dengan selimut di atas kasur atau menepi sejenak dari kesibukan pekerjaan dengan menikmati semangkuk bakso hangat jualan Pakde Wiryo di samping kantor.Sayangnya, ini bukan hari biasa.Di tengah rinai hujan, kalimah tahlil mengiringi langkah sepanjang jalan menuju tempat pemakaman. Kiran mengusap wajah. Dia merapikan jilbabnya yang sedikit basah. Wanita itu menggigil. Bukan hanya karena bajunya yang lembab terkena rintik, tapi juga karena kenyataan bahwa kini dia sedang mengantar sahabat sekaligus mantan madunya ke tempat peristirahatan menuju keabadian.“Astaghfirullahaladzim, hati-hati, jalannya licin.” Kiran menoleh ke belakang. Beberapa pelayat tampak sibuk membantu temannya yang terpeleset barusan. “Sudah pulang kerja, Nak?”Kiran menoleh ke samping. Dia tidak menyad
Dapur itu ramai oleh suara tawa. Kiran sengaja membelikan jam tangan untuk Haidar karena miliknya hilang. Entah ketinggalan saat sedang wudhu atau jatuh dimana, Haidar tidak ingat persis kapan hilangnya.“Ah iya, jam berapa mau berangkat nanti malam, Mas?” Kiran mendadak teringat dengan pesan dari Ibu mertuanya kemarin malam. Mereka diminta datang untuk makan malam bersama. Ada teman lama yang hendak berkunjung.“Nanti sepulang Mas dari kantor kita langsung berangkat. Biar shalat maghrib di sana saja. Takut macet di jalan kalau berangkat habis maghrib. Tidak enak sampai tamu Ayah dan Ibu menunggu.”Kiran mengangguk setuju. Haidar memang selalu pulang setiap jam makan siang. Lokasi kantor yang hanya memakan waktu sepuluh menit perjalanan menggunakan sepeda motor membuatnya leluasa setiap jam istirahat tiba.Sayang, harapan kadang tak seiring dengan rencana. Haidar mendapat cukup banyak pekerjaan yang harus diselesaikan hari itu juga. Posisi tutup bulan membuat pekerjaan tak bisa ditund
“Masya Allah, merdu sekali suara adzan Mas Haidar.”Kiran menarik napas panjang saat mendengar beberapa pelayat memuji mantan suaminya. Dia mengakui Haidar memang memiliki suara yang bagus. Setiap kali mereka sedang shalat berjamaah di rumah, Kiran selalu terharu dan meneteskan air mata mendengar kalimah Allah dilantunkan. Ah … itu pula yang dulu menjadi alasan bapaknya menerima lamaran Haidar. Mereka baru dekat tiga bulan dan Haidar langsung mengajaknya ke pelaminan. Haidar sempat panas dingin saat bertemu untuk pertama kalinya dengan kedua orangtua Kiran dengan maksud langsung mengajukan pinangan.“Adzan isya’ baru selesai berkumandang, alangkah baiknya sebelum meneruskan pembicaraan ini kita menunaikan kewajiban terlebih dahulu.” Kiran ingat sekali, Haidar yang sudah panas dingin dengan cepat mengangguk saat itu.“Mari silakan, Nak Haidar.” Kiran tersenyum tipis mengingat wajah Haidar yang tidak mengerti saat bapaknya mempersilakan menjadi imam shalat mereka.“Saya, Pak?”“Iya, Ba
"Aku senang kamu sering kemari, Ran. Sejak kecil, aku jarang mempunyai teman dekat. Dulu ada satu orang, tapi dia pindah ke luar kota dan kami kehilangan kontak.”Kiran menautkan alis. Dia menghentikan kegiatan merajut dan menatap Raya yang masih asyuk terus menyulam. “Kamu memang jarang keluar rumah ya, Ray?”“Iya.” Raya mengangguk. “Aku takut kenapa-kenapa dan akan merepotkan banyak orang.”Kiran tersenyum tipis. Ini pertama kalinya Raya berbicara panjang lebar sejak perkenalan mereka. Biasanya, Raya hanya akan tertawa dan sesekali menanggapi jika Kiran bercerita. Pembawaannya yang riang dapat menghidupkan suasana di antara mereka.“Mbak Kiran? Pulang sekarang?”Kiran tersentak saat ada yang mencolek bahunya. Wanita itu tersenyum saat mengetahui Desi yang tadi memanggil. Dia mengangguk dan menoleh pada Ratna, mantan ibu mertuanya. Wanita itu tak melepaskan tangannya sedikitpun sejak berangkat tadi hingga sampai proses pemakaman selesai.“Bu, Kiran pamit.”“Pamit? Bisakah Kiran menem
“Nak ….” Ratna mengambil tangan Kiran yang terkepal di dada. “Maafkan kami, maafkan Ibu dan Ayah ….”Kiran membisu. Dia mengalihkan pandangan ke arah gundukan tanah merah yang dibawahnya terkubur jasad Raya. Sahabat yang sangat dia sayangi seperti keluarga sendiri, sekaligus madu pahit yang hadir begitu saja, menyirami manisnya mahligai rumah tangganya dengan Haidar.Bunga tabur memenuhi pusara Raya. Aroma mawar, sedap malam dan kenanga bercampur menjadi satu hingga menimbulkan wangi manis yang sangat khas. Kiran mengalihkan pandangan, di sana, di antara gerimis yang masih belum berhenti, berdiri terpaku sosok lelaki yang namanya masih terpatri di hati. Haidar menatapnya dengan pandangan yang sulit dia artikan.Ah … mengapa hidup sesakit ini? Kenapa semesta seolah masih saja ingin terus bermain-main dengan mereka?“Kiran duluan ya, Bu.” Wanita itu memalingkan wajah. Kiran sengaja memutus tatapan mata dengan Haidar. Napasnya tersengal, dia merasakan degup tak menentu di dalam sana saat