“Mbak Kiran ya? Iiih benar, kan? Masya Allah tambah cantik aja.”
“Numpang parkir ya, Bu.” Kiran tersenyum sopan pada Desi. Wanita itu merapikan motor agar selaras dengan kendaraan lain yang juga sedang parkir di sana. Dia menarik napas panjang saat menoleh ke samping, rumah yang dulu pernah menjadi tempat ternyamannya untuk pulang.Tempat itu terlihat ramai. Pakaian hitam menjadi penanda bahwa di sana sedang berduka. Bendera kuning berkibar tertiup angin sepoi-sepoi yang sedikit basah. Gerimis kecil membungkus kota itu sejak jam dua tadi.Sebagian besar pelayat adalah tetangga sekitar sana. Beberapa tamu dikenali oleh Kiran sebagai rekan kerja Haidar kala masih bekerja di salah satu kantor BUMN dulu. Beberapa lagi dia tak tahu, mungkin dari kenalan keluarga Raya.“Lama tak berjumpa, Mbak.” Desi menepuk pelan pundak Kiran yang sedang termangu menatap keramaian. Dalam balutan busana hitam, para pelayat terlihat muram. Tak ada canda tawa, hanya wajah kelam dan penuh duka yang menggelayut di setiap wajah.Kiran menarik napas panjang saat merasakan tepukan pelan. “Iya, Bu.” Kiran tersenyum dan menoleh pada Desi. Dulu, mereka cukup dekat. Wanita itu bahkan sudah dia anggap seperti ibunya sendiri. Bahkan, saat dia dan Haidar bercerai tiga tahun lalu, Desi yang selalu menguatkan agar dia tegar menhadapi ujian yang sedang dijalani.“Kondisi Mbak Raya memang sangat lemah. Setiap akan berangkat, Mas Haidar selalu kemari untuk menitipkan Mbak Raya. Dia minta tolong untuk menengok ke rumah kalian ….”“Rumah Mas Haidar.” Kiran tersenyum saat memotong ucapan Desi. Rumah itu milik Haidar, mantan suaminya itu sudah mencicilnya sejak mereka belum menikah. Dulu, Kiran yang memproses pengajuan pinjaman Haidar. Dari sanalah mereka menjadi dekat hingga akhirnya cintapun melekat.“Ah iya, maaf ya, Mbak Kiran. Ibu selalu ingat kalau itu rumah kalian.” Desi tersenyum tipis mendengar helaan napas Kiran. Wanita itu paham, berat bagi mantan tetangganya itu menginjakkan kaki kembali ke sini.“Ibu pernah bertanya, kenapa tidak mencari asisten rumah tangga saja? Bukan karena Ibu keberatan dititipi Raya, tapi Ibu paham kalau Mas Haidar mulai sungkan setiap hari menitipkan istrinya.” Desi melambaikan tangan pada Yuli, tetangga yang hanya berkelang tiga rumah. Wanita itu mendekat untuk mengajak berbarengan melayat.“Seperti yang sudah Ibu duga, jawaban Mas Haidar adalah Mbak Raya tidak mau. Mbak Raya ingin mengerjakan semua pekerjaan rumah semampunya. Terlebih lagi, Mbak Raya paham sekali Mas Haidar tidak suka ada orang asing di rumah mereka. Yaa alasan yang sama seperti dulu Mbak Kiran ceritakan. Sepertinya Mbak Raya berusaha keras agar bisa mengisi kekosongan hati Mas Haidar setelah bercerai dari Mbak Kiran. Dari setiap obrolan kami, Ibu dapat menilai dia sudah berusaha semaksimal mungkin untuk menjadi istri yang baik.”Kiran tersenyum tipis mendengar cerita Desi. Dia tahu, Raya memang sebaik itu. Dulu, wanita itu bahkan tidak pernah menuntut apapun saat mereka masih menjadi madu. Bahkan, sebulan pertama pernikahannya dengan Haidar, Raya tidak sedikitpun merengek karena Haidar mengabaikannya.Sebulan pertama Haidar tidak pernah mengindahkan Raya. Jangankan berbagi malam, bertemu di luar saja dia seakan tak pernah kenal. Ah … serumit itu kisah yang mereka jalani dulu.“Loh? Mbak Kiran!” Yuli memekik tertahan. “Masya Allah, makin cantik iiih.”Kiran tertawa kecil sambil menyambut pelukan Yuli. Dulu, dia memang cukup dekat dengan tetangga perumahan ini. Setelah keluar dari tempat kerja, Kiran mengisi hari dengan berbaur dan mengikuti kegiatan Ibu-ibu di sana agar tidak bosan selama menunggu Haidar pulang kerja.“Ayo kita rumah duka, sepertinya sudah akan berangkat ke pemakaman.”Kiran menggigit bibir menyadari Raya benar-benar telah tiada. Dari sini, dia bisa melihat dengan jelas keranda yang sudah disiapkan untuk membawa mantan madunya itu ke tempat peristirahatan terakhir.Mata Kiran mengembun. Mendadak semua kenangan masa lalu memenuhi ruang pikirannya. Melihat rumah itu kembali, seakan membawanya tersesat ke ruang memori. Bahkan dari posisinya berdiri saat ini, Kiran bisa melihat bunga mawar merah yang sedang mekar di halaman rumah itu.Ah … Raya benar-benar tak mengubah seditpun semua yang ada di sana. Bukan hanya mawar, tanaman hias lainnya pun tak berubah letaknya sejak dia pergi tiga tahun lalu. Kiran menyukai tanaman hias. Dia jugalah yang menata taman dan setiap detil yang ada di sana.Sama.Tak ada yang berbeda.Mawar merah di pojok dekat pagar. Kembang anting-anting (Fuschia) tergantung di atap depan, berderet 3 pot dalam posisi sejajar, menjuntai manis memamerkan mahkota bunga yang berwarna putih berpadu dengan kelopak merah. Pohon cemara di … Ah … tak ada yang berubah. Raya sempurna merawat semua agar tetap seperti sedia kala.“Mbak Kiran? Mau kesana?” Desi menoleh ke belakang saat menyadari wanita itu tak bergeming dari tempatnya.“Duluan saja, Bu, ada yang harus saya selesaikan dulu.” Kiran menjawab pelan. Dia masih harus menguatkan hati untuk menginjak rumah itu kembali. Terlebih, di dalam sana ada Raya yang terbaring dalam damai. Kalau bukan atas permintaan Raya waktu itu, dia tidak akan pernah datang kemari.“Assalamualaikum, Mbak Kiran sehat? Mbak, Raya hamil lagi. Alhamdulillah. Sesekali, mainlah kemari. Raya rindu sekali mengobrol dengan Mbak Kiran ….” Kiran menunduk. Dia tak sanggup mengingat pesan yang Raya kirim minggu lalu. Pesan yang sengaja dia abaikan.Tak disangka, umur Raya ternyata tidak panjang. Andai mau peka, mungkin saja pesan itu bisa menjadi pertanda. Namun, Kiran masih sibuk membalut luka. Jangankan bertamu dan bertemu dengan Raya, mengingat nama wanita itupun masih menyisakan sebak di dada.“Bareng saja, Mbak Kiran, justru akan terasa lebih berat kalau datang sendiri.” Yuli tersenyum. Dia paham perasaan mantan tetangganya itu. Dulu, dia menjadi saksi betapa harmonisnya pernikahan Kiran dan Haidar walau belum dikaruniai buah hati. Bahkan, pasangan itu selalu menjadi simbol keindahan cinta di perumahan mereka.Kiran yang tinggi semampai, berkulit putih dengan hidung mancung dan wajah sehalus porselen sangat serasi berdampingan dengan Haidar yang berbadan tegap dan gagah seperti anggota TNI. Kalau sedang bersama, setiap mata akan setuju simbol keindahan adalah mereka.“Terima kasih, Bu.” Kiran akhirnya melangkah pelan mengiringi Desi dan Yuli.“Bukan apa-apa.” Yuli mengelus punggung Kiran. Sungguh, dia yang bukan siapa-siapa pun miris dengan kisah cinta Kiran, Haidar dan Raya.Bacaan surah yasin memenuhi pendengaran saat mereka mulai memasuki gerbang. Kiran mengepalkan tangan saat melihat satu sosok terbaring di dalam sana. Kain panjang dengan corak batik mega mendung menutupi jasad itu.“Kiran?”Kiran membeku saat satu suara yang sangat dia kenal menyapa. Dia tak menyangka Haidar duduk di dekat pintu depan sehingga mereka langsung berhadapan. Tadinya dia pikir lelaki itu akan duduk di dalam sana, ikut membacakan surah yasin di samping jasad Raya.Semua mata sontak memandang ke arahnya. Dia sempurna menjadi pusat perhatian.Sesak.Kiran sesak menyadari semua yang ada di tempat ini tak berubah sedikitpun sejak dia pergi. Bahkan, sandal yang biasa dia gunakan untuk merawat taman masih tersimpan rapi di tempatnya.“Kiran …. ”Tangis pecah di rumah itu saat Ratna sambil menahan isak mendekati mantan istri anaknya. Dia menuntun Kiran untuk duduk di samping jasad Raya. Setetes air mata yang sejak tadi Kiran tahan akhirnya terjatuh saat kain penutup wajah mantan madunya dibuka.“Raya,” ucapnya lirih.Ruangan itu sempurna membisu saat tangan gemetar Kiran mengelus wajah Raya. lalu, sekejap kemudian isakan memenuhi ruangan. Seperti ada yang melecut hati setiap orang, mendadak rasa perih memenuhi rongga dada.Mereka mengenal Kiran dengan baik. Mereka pun tahu banyak tentang Raya. Sungguh, kalau harus memilih siapa yang paling terluka di antara semua, mereka tak bisa menjawabnya. Kiran, Haidar dan Raya menyimpan luka dan duka dengan porsi mereka sendiri. Mereka terjebak dalam sakit hati yang tak satupun bisa mengobati.Kiran melepas kacamata hitam yang dia gunakan. Titik-titik air hujan membuat buram penglihatannya. Gerimis terus membungkus bumi seakan enggan pergi. Andai ini hari-hari biasa, pastilah Kiran lebih memilih bergelung dengan selimut di atas kasur atau menepi sejenak dari kesibukan pekerjaan dengan menikmati semangkuk bakso hangat jualan Pakde Wiryo di samping kantor.Sayangnya, ini bukan hari biasa.Di tengah rinai hujan, kalimah tahlil mengiringi langkah sepanjang jalan menuju tempat pemakaman. Kiran mengusap wajah. Dia merapikan jilbabnya yang sedikit basah. Wanita itu menggigil. Bukan hanya karena bajunya yang lembab terkena rintik, tapi juga karena kenyataan bahwa kini dia sedang mengantar sahabat sekaligus mantan madunya ke tempat peristirahatan menuju keabadian.“Astaghfirullahaladzim, hati-hati, jalannya licin.” Kiran menoleh ke belakang. Beberapa pelayat tampak sibuk membantu temannya yang terpeleset barusan. “Sudah pulang kerja, Nak?”Kiran menoleh ke samping. Dia tidak menyad
Dapur itu ramai oleh suara tawa. Kiran sengaja membelikan jam tangan untuk Haidar karena miliknya hilang. Entah ketinggalan saat sedang wudhu atau jatuh dimana, Haidar tidak ingat persis kapan hilangnya.“Ah iya, jam berapa mau berangkat nanti malam, Mas?” Kiran mendadak teringat dengan pesan dari Ibu mertuanya kemarin malam. Mereka diminta datang untuk makan malam bersama. Ada teman lama yang hendak berkunjung.“Nanti sepulang Mas dari kantor kita langsung berangkat. Biar shalat maghrib di sana saja. Takut macet di jalan kalau berangkat habis maghrib. Tidak enak sampai tamu Ayah dan Ibu menunggu.”Kiran mengangguk setuju. Haidar memang selalu pulang setiap jam makan siang. Lokasi kantor yang hanya memakan waktu sepuluh menit perjalanan menggunakan sepeda motor membuatnya leluasa setiap jam istirahat tiba.Sayang, harapan kadang tak seiring dengan rencana. Haidar mendapat cukup banyak pekerjaan yang harus diselesaikan hari itu juga. Posisi tutup bulan membuat pekerjaan tak bisa ditund
“Masya Allah, merdu sekali suara adzan Mas Haidar.”Kiran menarik napas panjang saat mendengar beberapa pelayat memuji mantan suaminya. Dia mengakui Haidar memang memiliki suara yang bagus. Setiap kali mereka sedang shalat berjamaah di rumah, Kiran selalu terharu dan meneteskan air mata mendengar kalimah Allah dilantunkan. Ah … itu pula yang dulu menjadi alasan bapaknya menerima lamaran Haidar. Mereka baru dekat tiga bulan dan Haidar langsung mengajaknya ke pelaminan. Haidar sempat panas dingin saat bertemu untuk pertama kalinya dengan kedua orangtua Kiran dengan maksud langsung mengajukan pinangan.“Adzan isya’ baru selesai berkumandang, alangkah baiknya sebelum meneruskan pembicaraan ini kita menunaikan kewajiban terlebih dahulu.” Kiran ingat sekali, Haidar yang sudah panas dingin dengan cepat mengangguk saat itu.“Mari silakan, Nak Haidar.” Kiran tersenyum tipis mengingat wajah Haidar yang tidak mengerti saat bapaknya mempersilakan menjadi imam shalat mereka.“Saya, Pak?”“Iya, Ba
"Aku senang kamu sering kemari, Ran. Sejak kecil, aku jarang mempunyai teman dekat. Dulu ada satu orang, tapi dia pindah ke luar kota dan kami kehilangan kontak.”Kiran menautkan alis. Dia menghentikan kegiatan merajut dan menatap Raya yang masih asyuk terus menyulam. “Kamu memang jarang keluar rumah ya, Ray?”“Iya.” Raya mengangguk. “Aku takut kenapa-kenapa dan akan merepotkan banyak orang.”Kiran tersenyum tipis. Ini pertama kalinya Raya berbicara panjang lebar sejak perkenalan mereka. Biasanya, Raya hanya akan tertawa dan sesekali menanggapi jika Kiran bercerita. Pembawaannya yang riang dapat menghidupkan suasana di antara mereka.“Mbak Kiran? Pulang sekarang?”Kiran tersentak saat ada yang mencolek bahunya. Wanita itu tersenyum saat mengetahui Desi yang tadi memanggil. Dia mengangguk dan menoleh pada Ratna, mantan ibu mertuanya. Wanita itu tak melepaskan tangannya sedikitpun sejak berangkat tadi hingga sampai proses pemakaman selesai.“Bu, Kiran pamit.”“Pamit? Bisakah Kiran menem
“Nak ….” Ratna mengambil tangan Kiran yang terkepal di dada. “Maafkan kami, maafkan Ibu dan Ayah ….”Kiran membisu. Dia mengalihkan pandangan ke arah gundukan tanah merah yang dibawahnya terkubur jasad Raya. Sahabat yang sangat dia sayangi seperti keluarga sendiri, sekaligus madu pahit yang hadir begitu saja, menyirami manisnya mahligai rumah tangganya dengan Haidar.Bunga tabur memenuhi pusara Raya. Aroma mawar, sedap malam dan kenanga bercampur menjadi satu hingga menimbulkan wangi manis yang sangat khas. Kiran mengalihkan pandangan, di sana, di antara gerimis yang masih belum berhenti, berdiri terpaku sosok lelaki yang namanya masih terpatri di hati. Haidar menatapnya dengan pandangan yang sulit dia artikan.Ah … mengapa hidup sesakit ini? Kenapa semesta seolah masih saja ingin terus bermain-main dengan mereka?“Kiran duluan ya, Bu.” Wanita itu memalingkan wajah. Kiran sengaja memutus tatapan mata dengan Haidar. Napasnya tersengal, dia merasakan degup tak menentu di dalam sana saat
Kiran terisak. Hatinya ngilu mengingat setiap kepingan kenangan di antara mereka. Mengapa hanya kepedihan yang tersisa di sepanjang ingatannya? Bahkan, cuaca hari ini seolah menemani Kiran menapaktilasi kembali semua mendung yang masih juga enggan beranjak pergi hingga hari ini.Tiga tahun berlalu. Ratusan minggu terlewati. ribuan hari sudah Kiran lalui. Namun, mengapa nyeri itu masih menancap kuat di hati?"Kami dapat memahami kalau Nak Kiran berat hati merestui. Tapi, izinkan Om bicara sebentar, setelah itu kami akan menerima apapun keputusan yang Nak Kiran sampaikan." Seperti ada yang meremas hati Kiran saat kelebatan masa lalu kembali menghampiri.Malam itu, orangtua Raya dan mertuanya datang berkunjung setelah penolakan keras dari Haidar beberapa waktu lalu. Kiran tersenyum menanggapi ucapan Fajar. Pandai sekali mereka mencari waktu. Mereka datang tepat di saat Haidar sedang ke luar kota karena tugas dinas.“Kami mengenal Haidar sejak masih kecil. Dia anak lelaki yang baik. Bukan
"Kiran." Haidar terpana saat wanita yang pernah menjadi istrinya menoleh. Wajah putih bersih itu bersemu merah. Jejak-jejak sisa air mata terlihat jelas di sana.Haidar menarik napas panjang saat mata mereka bertemu. Hanya berjarak dua langkah, dia bisa melihat dengan jelas hati Kiran kembali berdarah dari pancaran matanya. Dia mengerti, semua yang ada di sini membangkitkan kenangan menyakitkan di dasar hati. Apa yang terjadi di antara mereka, tak selesai begitu saja. Walau ketuk palu hakim sudah memutuskan ikatan pernikahan, tapi tak ada yang bisa membendung perasaan.Dia mengetahui dengan jelas sebesar apa cinta Kiran untuknya. Pun wanita itu mengetahui dengan pasti sedalam apa perasaannya. Pertemuan demi pertemuan beberapa waktu terakhir membangkitkan kembali getaran-getaran yang tak pernah mati.Bagaimana akan mati jika setiap hari Haidar terus memupuk rasa hingga cinta itu justru tumbuh semakin subur? Dia bahkan sengaja mengajukan pinjaman ke tempat Kiran bekerja hanya untuk menc
Bahkan, hampir empat bulan ini perhatiannya tercurah sepenuhnya pada Raya yang harus berjuang karena proses kehamilannya sangat berat. Dengan langkah lebar, Haidar berjalan cepat menghampiri Kiran. Dia memegang kedua bahu istrinya yang sedang duduk di kasur. Dalam sekali sentakan, Kiran telah berada dalam pelukannya.“Maaf.” Haidar dapat merasakan badan Kiran mematung. Lidahnya terasa kelu. Banyak yang ingin dia katakan, tapi suaranya seakan tersumbat dan tertahan di tenggorokan.Hening mengungkung ruangan itu.Pengap.Udara mendadak terasa pengap.Sedetik berlalu, tangis Kiran akhirnya pecah. Haidar mengeratkan pelukan saat bahu istrinya bergetar hebat. Batin Haidar menjerit. Tanpa dia sadari, dia telah berlaku zalim selama ini.Lama mereka berpelukan. Tanpa berbicara, Haidar dan Kiran dapat merasakan hati mereka mulai baik-baik saja. Sebegitu kuatnya perasaan itu terhubung. Hati yang satu seakan saling terkait dengan hati yang lainnya. Saat yang satu terluka, yang lainnya menjadi ob