Haidar memeluk lutut. Mendadak tubuhnya menggigil kencang. Dia menggigit bibir hingga terasa asin. Pernikahannya dengan Kiran berakhir di tahun ke empat. Akankah dia kembali kehilangan istri? Apakah Raya benar-benar akan meninggalkannya juga di tahun keempat pernikahan mereka?
“Haidar! Astagfirullahaladzim, Naaaaak.” Ratna berlari ke dalam dan langsung menuntun anaknya Haidar. Dia sempat menoleh pada dokter dan perawat yang langsung menyiapkan tindakan untuk Raya.Di luar, Haidar membisu. Tatapan matanya kosong. Dia tidak memperdulikan sedikitpun gerakan gelisah sang Ayah yang berjalan mondar-mandir ke sana kemari. Sementara ibunya sejak tadi terus mengelus punggungnya untuk memberikan ketenangan.Haidar menyugar rambut dengan kasar. Perasaannya campur aduk. Baru saja dia mendengar kabar anak mereka telah tiada, kini dia harus menghadapi kenyataan Raya sedang bertarung dengan maut di dalam sana.Gelap.Mendadak pandangan Haidar menjadi hitam kelam. Telinganya berdenging seakan berada di ruang hampa suara. Sedetik berlalu, dia tenggelam dalam ruang pekat yang menyesakkan.Jauh.Di ujung sana, jauh dari jangkauannya, Haidar melihat setitik cahaya perlahan bersinar memenuhi sekitar. Lelaki itu tertatih berdiri. Dengan langkah diseret, dia memaksakan kaki agar bisa sampai di tempat terang bermandikan cahaya.“Perampingan karyawan, Bu. Sudah dua tahun ini produktivitas perusahaan mengalami kemunduran.” Hakim duduk bersandar sambil memejamkan mata. Sementara Ratna merapikan sepatu kerja suaminya dan bergegas melangkah ke belakang. Dia kembali ke ruang tamu sambil membawa segelas teh hangat.“Yang diambil hanya karyawan-karyawan muda yang semangat kerjanya masih menggebu, tapi bayarannya tidak terlalu besar karena masa kerja yang masih terhitung baru.” Hakim memijat kening. Lelaki itu melirik jam di dinding, sesiang ini dia sudah berada di rumah.“Semua rekan yang seangkatan Ayah kena perampingan?” Ratna memijat bahu suaminya. Dia paham sekali bagaimana gundahnya perasaan lelaki yang sudah menemani lebih dari setengah hidupnya itu.“Hampir, hanya beberapa orang yang dipertahankan karena memang posisinya cukup krusial di perusahaan.” Hakim menyesap teh hangat buatan istrinya. Manis dan pahit bersatu di dalam lidahnya. Rasa hangat mengalir dari mulut terus melewati tenggorokan. Sensasi yang memberikan ketenangan tersendiri bagi lelaki itu.“Ini pesangon dari perusahaan, Bu. tiga bulan gaji.” Hakim memberikan amplop coklat yang cukup tebal pada istrinya. “Sementara, kita bisa gunakan uang itu untuk membayar cicilan pinjaman.”Di sini, Haidar terpaku melihat wajah kedua orang yang sangat dia kasihi itu muram. Ratna bahkan setengah menangis saat mengambil amplop dari suaminya. Entah bagaimana, dia mendadak terlempar ke masa beberapa tahun lalu. Suatu waktu saat kedua orangtuanya berada di titik terendah hidup mereka.“Doakan Ayah bisa segera mendapatkan pintu rezeki yang baru, Bu.” Hakim menarik napas panjang.“Ibu tidak mau kita kehilangan rumah ini, Yah. Tempat ini saksi bisu perjuangan kita. Mulai dari hanya ruang sepetak dengan kamar mandi menumpang di toilet mushola, sampai akhirnya sekarang sudah lengkap dengan tiga kamar, dapur dan kamar mandi sendiri.” Bahu Ratna bergetar.“Tidak akan, Bu. Ayah janji rumah kita tidak akan disita Bank.”Haidar memejamkan mata melihat kepiluan dan ketakutan orangtuanya di depan sana. Dia tahu ayahnya meminjam uang di Bank dengan rumah mereka sebagai jaminan. Uang itu digunakan untuk biaya masuk kuliah adiknya. Sisanya, Ratna menggunakan uang itu untuk modal berjualan kecil-kecilan di depan rumah mereka.“In syaa Allah semua akan ada jalannya, Bu. Simpan saja masalah ini untuk kita berdua. Jangan sampai anak-anak tahu. Ayah takut bisa mempengaruhi pelajaran Risti. Ayah juga tidak mau menyusahkan Haidar, tanggungannya pun saat ini sudah besar.”Haidar menggigit bibir. Ayahnya benar. Kalaupun orangtuanya bercerita, dia tidak dapat membantu banyak. Saat itu dia juga masih mencicil KPR rumah yang dia tempati bersama Kiran.Selain itu, dia dan Kiran juga sedang berikhtiar melakukan program kehamilan. Memasuki tiga setengah tahun pernikahan, mereka berharap bisa segera mendapatkan keturunan. Biaya yang dibutuhkan tidak sedikit. Entah berapa yang sudah mereka keluarkan untuk kontrol setiap bulannya, Haidar tak pernah menghitung. Bahkan, tabungan Kiran semasa bekerja dulupun habis terpakai.Segala cara sudah mereka lakukan. Hanya program bayi tabung yang belum dilakukan. Besarnya biaya yang dibutuhkan membuat cara itu sulit untuk mereka tempuh. Perlahan kesadaran Haidar datang. Inilah awal kemelut dalam hidupnya.Andai ayahnya tidak dipecat, mungkin dia tidak akan menikah dengan Raya. Mungkin saat ini dia masih hidup rukun bersama Kiran dan Raya tidak akan terbujur bertaruh nyawa karena memaksa mengandung anaknya.Ah … Raya? Haidar tersentak. Seperti ada terowongan besar yang menyedot tubuhnya hingga dia tertarik dari sekitar Hakim dan Ratna. Haidar terus berputar hingga dia merasa dihempaskan dengan kencang kembali ke badannya yang sedang terduduk dengan kepala menunduk sambil memeluk lutut di depan ruang rawat istrinya.Dia mengangkat kepala dan melihat ayahnya berdiri di depan pintu sambil meremas tangan. Kekhawatiran terlihat jelas dari wajah yang mulai keriput itu. Sementara ibunya masih mengelus punggungnya.Tak ada yang berubah.Semua masih sama seperti saat dia belum terlempar ke dalam dimensi ruang masa lalu tadi. Bahkan, sepertinya kondisi Raya pun masih sama. Tenaga kesehatan masih berjuang keras di dalam sana untuk memulihkan kondisi Raya yang tadi kritis.“Keluarga Ibu Raya?”Hakim yang berdiri tepat di depan pintu langsung mendekat. Sementara Haidar langsung berjalan dengan dada berdegup kencang. Pandangan matanya bertemu dengan mata ayahnya. Tatapan yang berisi berjuta harap dan kekhawatiran yang saling berkelindan.“Bagaimana, Dok?” Ratna bertanya dengan suara bergetar.“Mohon maaf, Pak, Bu, kami sudah berusaha sebaik mungkin. Namun, kondisi Ibu Raya memang sudah sangat lemah sejak awal. Dia kehilangan banyak darah dalam perjalanan kemari.”“APA MAKSUD DOKTER?!”“Haidar!” Hakim langsung merangkul anaknya. Untuk pertama kali dalam tiga puluh tahun dia melihat Haidar berbicara dengan nada tinggi.“MASUK DAN BANGUNKAN RAYA! BUKANKAH ANDA SUDAH BERSUMPAH AKAN MEMBANTU SETIAP MANUSIA? KENAPA ANDA MEMBIARKAN ISTRIKU PERGI BEGITU SAJA?""Haidar …." Ratna memeluk pinggang anaknya. Baju bagian dada haidar basah terkena air mata ibunya."Dokter, tolong, tolong coba kembali. Tolong …." Haidar memohon. Tenaganya mendadak terasa habis. Badannya lemas. Sungguh, dia baru merasakan ternyata sesakit ini kehilangan seseorang yang selama ini tak pernah dia anggap ada."Tolong, Dok, tolong …." Ketakutan itu mengungkung Haidar. Pikirannya kalut. Akankah dia mampu melanjutkan hidup tanpa Raya? Kenapa dunia mendadak terasa hampa padahal selama ini di hatinya tak pernah ada cinta untuk Raya."Maaf …." Lelaki yang menggunakan jas putih dan kacamata itu menggeleng. Setelah berpamitan, dia melangkah pergi meninggalkan Haidar dan kedua orangtuanya yang tenggelam dalam lautan duka."Sabar … sabar …." Terbata Hakim berkata. Dia merengkuh Haidar dan memeluknya kencang. Berkali-kali lelaki itu menciumi kepala anaknya yang menangis tanpa suara.Haidar terguncang.Tepat di tahun keempat pernikahannya dengan Raya, sang istri pergi untuk selamanya. Raya pergi dengan membawa sebongkah hati yang layu dan mati karena tak pernah mendapat siraman cinta dari sang suami.Haidar tergugu. Perasaan bersalah menyesaki rongga dadanya.Sakit.Perih.Nyeri.Campur aduk dia rasa saat membayangkan perasaan Raya. Istrinya tersiksa hingga embusan napas terakhir karena mendamba cinta yang tak pernah berpihak padanya.Yang paling memilukan, Haidar bahkan tak diberi kesempatan untuk mengucapkan maaf pada istri yang tak pernah dicintainya.“Mbak Kiran ya? Iiih benar, kan? Masya Allah tambah cantik aja.”“Numpang parkir ya, Bu.” Kiran tersenyum sopan pada Desi. Wanita itu merapikan motor agar selaras dengan kendaraan lain yang juga sedang parkir di sana. Dia menarik napas panjang saat menoleh ke samping, rumah yang dulu pernah menjadi tempat ternyamannya untuk pulang.Tempat itu terlihat ramai. Pakaian hitam menjadi penanda bahwa di sana sedang berduka. Bendera kuning berkibar tertiup angin sepoi-sepoi yang sedikit basah. Gerimis kecil membungkus kota itu sejak jam dua tadi.Sebagian besar pelayat adalah tetangga sekitar sana. Beberapa tamu dikenali oleh Kiran sebagai rekan kerja Haidar kala masih bekerja di salah satu kantor BUMN dulu. Beberapa lagi dia tak tahu, mungkin dari kenalan keluarga Raya.“Lama tak berjumpa, Mbak.” Desi menepuk pelan pundak Kiran yang sedang termangu menatap keramaian. Dalam balutan busana hitam, para pelayat terlihat muram. Tak ada canda tawa, hanya wajah kelam dan penuh duka yang menggelayut
Kiran melepas kacamata hitam yang dia gunakan. Titik-titik air hujan membuat buram penglihatannya. Gerimis terus membungkus bumi seakan enggan pergi. Andai ini hari-hari biasa, pastilah Kiran lebih memilih bergelung dengan selimut di atas kasur atau menepi sejenak dari kesibukan pekerjaan dengan menikmati semangkuk bakso hangat jualan Pakde Wiryo di samping kantor.Sayangnya, ini bukan hari biasa.Di tengah rinai hujan, kalimah tahlil mengiringi langkah sepanjang jalan menuju tempat pemakaman. Kiran mengusap wajah. Dia merapikan jilbabnya yang sedikit basah. Wanita itu menggigil. Bukan hanya karena bajunya yang lembab terkena rintik, tapi juga karena kenyataan bahwa kini dia sedang mengantar sahabat sekaligus mantan madunya ke tempat peristirahatan menuju keabadian.“Astaghfirullahaladzim, hati-hati, jalannya licin.” Kiran menoleh ke belakang. Beberapa pelayat tampak sibuk membantu temannya yang terpeleset barusan. “Sudah pulang kerja, Nak?”Kiran menoleh ke samping. Dia tidak menyad
Dapur itu ramai oleh suara tawa. Kiran sengaja membelikan jam tangan untuk Haidar karena miliknya hilang. Entah ketinggalan saat sedang wudhu atau jatuh dimana, Haidar tidak ingat persis kapan hilangnya.“Ah iya, jam berapa mau berangkat nanti malam, Mas?” Kiran mendadak teringat dengan pesan dari Ibu mertuanya kemarin malam. Mereka diminta datang untuk makan malam bersama. Ada teman lama yang hendak berkunjung.“Nanti sepulang Mas dari kantor kita langsung berangkat. Biar shalat maghrib di sana saja. Takut macet di jalan kalau berangkat habis maghrib. Tidak enak sampai tamu Ayah dan Ibu menunggu.”Kiran mengangguk setuju. Haidar memang selalu pulang setiap jam makan siang. Lokasi kantor yang hanya memakan waktu sepuluh menit perjalanan menggunakan sepeda motor membuatnya leluasa setiap jam istirahat tiba.Sayang, harapan kadang tak seiring dengan rencana. Haidar mendapat cukup banyak pekerjaan yang harus diselesaikan hari itu juga. Posisi tutup bulan membuat pekerjaan tak bisa ditund
“Masya Allah, merdu sekali suara adzan Mas Haidar.”Kiran menarik napas panjang saat mendengar beberapa pelayat memuji mantan suaminya. Dia mengakui Haidar memang memiliki suara yang bagus. Setiap kali mereka sedang shalat berjamaah di rumah, Kiran selalu terharu dan meneteskan air mata mendengar kalimah Allah dilantunkan. Ah … itu pula yang dulu menjadi alasan bapaknya menerima lamaran Haidar. Mereka baru dekat tiga bulan dan Haidar langsung mengajaknya ke pelaminan. Haidar sempat panas dingin saat bertemu untuk pertama kalinya dengan kedua orangtua Kiran dengan maksud langsung mengajukan pinangan.“Adzan isya’ baru selesai berkumandang, alangkah baiknya sebelum meneruskan pembicaraan ini kita menunaikan kewajiban terlebih dahulu.” Kiran ingat sekali, Haidar yang sudah panas dingin dengan cepat mengangguk saat itu.“Mari silakan, Nak Haidar.” Kiran tersenyum tipis mengingat wajah Haidar yang tidak mengerti saat bapaknya mempersilakan menjadi imam shalat mereka.“Saya, Pak?”“Iya, Ba
"Aku senang kamu sering kemari, Ran. Sejak kecil, aku jarang mempunyai teman dekat. Dulu ada satu orang, tapi dia pindah ke luar kota dan kami kehilangan kontak.”Kiran menautkan alis. Dia menghentikan kegiatan merajut dan menatap Raya yang masih asyuk terus menyulam. “Kamu memang jarang keluar rumah ya, Ray?”“Iya.” Raya mengangguk. “Aku takut kenapa-kenapa dan akan merepotkan banyak orang.”Kiran tersenyum tipis. Ini pertama kalinya Raya berbicara panjang lebar sejak perkenalan mereka. Biasanya, Raya hanya akan tertawa dan sesekali menanggapi jika Kiran bercerita. Pembawaannya yang riang dapat menghidupkan suasana di antara mereka.“Mbak Kiran? Pulang sekarang?”Kiran tersentak saat ada yang mencolek bahunya. Wanita itu tersenyum saat mengetahui Desi yang tadi memanggil. Dia mengangguk dan menoleh pada Ratna, mantan ibu mertuanya. Wanita itu tak melepaskan tangannya sedikitpun sejak berangkat tadi hingga sampai proses pemakaman selesai.“Bu, Kiran pamit.”“Pamit? Bisakah Kiran menem
“Nak ….” Ratna mengambil tangan Kiran yang terkepal di dada. “Maafkan kami, maafkan Ibu dan Ayah ….”Kiran membisu. Dia mengalihkan pandangan ke arah gundukan tanah merah yang dibawahnya terkubur jasad Raya. Sahabat yang sangat dia sayangi seperti keluarga sendiri, sekaligus madu pahit yang hadir begitu saja, menyirami manisnya mahligai rumah tangganya dengan Haidar.Bunga tabur memenuhi pusara Raya. Aroma mawar, sedap malam dan kenanga bercampur menjadi satu hingga menimbulkan wangi manis yang sangat khas. Kiran mengalihkan pandangan, di sana, di antara gerimis yang masih belum berhenti, berdiri terpaku sosok lelaki yang namanya masih terpatri di hati. Haidar menatapnya dengan pandangan yang sulit dia artikan.Ah … mengapa hidup sesakit ini? Kenapa semesta seolah masih saja ingin terus bermain-main dengan mereka?“Kiran duluan ya, Bu.” Wanita itu memalingkan wajah. Kiran sengaja memutus tatapan mata dengan Haidar. Napasnya tersengal, dia merasakan degup tak menentu di dalam sana saat
Kiran terisak. Hatinya ngilu mengingat setiap kepingan kenangan di antara mereka. Mengapa hanya kepedihan yang tersisa di sepanjang ingatannya? Bahkan, cuaca hari ini seolah menemani Kiran menapaktilasi kembali semua mendung yang masih juga enggan beranjak pergi hingga hari ini.Tiga tahun berlalu. Ratusan minggu terlewati. ribuan hari sudah Kiran lalui. Namun, mengapa nyeri itu masih menancap kuat di hati?"Kami dapat memahami kalau Nak Kiran berat hati merestui. Tapi, izinkan Om bicara sebentar, setelah itu kami akan menerima apapun keputusan yang Nak Kiran sampaikan." Seperti ada yang meremas hati Kiran saat kelebatan masa lalu kembali menghampiri.Malam itu, orangtua Raya dan mertuanya datang berkunjung setelah penolakan keras dari Haidar beberapa waktu lalu. Kiran tersenyum menanggapi ucapan Fajar. Pandai sekali mereka mencari waktu. Mereka datang tepat di saat Haidar sedang ke luar kota karena tugas dinas.“Kami mengenal Haidar sejak masih kecil. Dia anak lelaki yang baik. Bukan
"Kiran." Haidar terpana saat wanita yang pernah menjadi istrinya menoleh. Wajah putih bersih itu bersemu merah. Jejak-jejak sisa air mata terlihat jelas di sana.Haidar menarik napas panjang saat mata mereka bertemu. Hanya berjarak dua langkah, dia bisa melihat dengan jelas hati Kiran kembali berdarah dari pancaran matanya. Dia mengerti, semua yang ada di sini membangkitkan kenangan menyakitkan di dasar hati. Apa yang terjadi di antara mereka, tak selesai begitu saja. Walau ketuk palu hakim sudah memutuskan ikatan pernikahan, tapi tak ada yang bisa membendung perasaan.Dia mengetahui dengan jelas sebesar apa cinta Kiran untuknya. Pun wanita itu mengetahui dengan pasti sedalam apa perasaannya. Pertemuan demi pertemuan beberapa waktu terakhir membangkitkan kembali getaran-getaran yang tak pernah mati.Bagaimana akan mati jika setiap hari Haidar terus memupuk rasa hingga cinta itu justru tumbuh semakin subur? Dia bahkan sengaja mengajukan pinjaman ke tempat Kiran bekerja hanya untuk menc