Dapur itu ramai oleh suara tawa. Kiran sengaja membelikan jam tangan untuk Haidar karena miliknya hilang. Entah ketinggalan saat sedang wudhu atau jatuh dimana, Haidar tidak ingat persis kapan hilangnya.
“Ah iya, jam berapa mau berangkat nanti malam, Mas?” Kiran mendadak teringat dengan pesan dari Ibu mertuanya kemarin malam. Mereka diminta datang untuk makan malam bersama. Ada teman lama yang hendak berkunjung.“Nanti sepulang Mas dari kantor kita langsung berangkat. Biar shalat maghrib di sana saja. Takut macet di jalan kalau berangkat habis maghrib. Tidak enak sampai tamu Ayah dan Ibu menunggu.”Kiran mengangguk setuju. Haidar memang selalu pulang setiap jam makan siang. Lokasi kantor yang hanya memakan waktu sepuluh menit perjalanan menggunakan sepeda motor membuatnya leluasa setiap jam istirahat tiba.Sayang, harapan kadang tak seiring dengan rencana. Haidar mendapat cukup banyak pekerjaan yang harus diselesaikan hari itu juga. Posisi tutup bulan membuat pekerjaan tak bisa ditunda.Lepas maghrib, mereka sampai di rumah orangtua Haidar. Pasangan itu saling berpandangan saat melihat Xpander silver terparkir di halaman rumah. Siapakah? Seingat Haidar dan Kiran, mereka belum pernah melihat kenalan orangtuanya menggunakan mobil itu.“Assalamualaikum.” Haidar Kiran mengucap salam berbarengan.“Waalaikumsalam.” kompak yang ada di ruang tamu menjawab salam bersamaan. “Ah, ini dia, akhirnya yang ditunggu datang juga. Sudah lapar ni perut ini.” Candaan Hakim membuat ruangan itu ramai oleh suara tawa.“Ini Haidar? Wah sudah besar rupanya.”Haidar menoleh pada Ratna dan Hakim. Melalui tatapan mata dia bertanya siapa yang sedang menepuk-nepuk pundaknya saat ini.“Ini Om Fajar, Dar.”“Oooh, Om Fajar yang dulu sering kesini?” Haidar langsung ingat. Dia bergegas menyalami lelaki yang mengenakan kemeja putih dengan merk ternama itu. “Sudah lama tidak kesini, Om?” Haidar menarik tangan Kiran pelan dan memintanya bersalaman.“Om Fajar ini sudah lama keluar dari tempat kerja, Dar. Dia sekarang sudah menjadi pengusaha properti. Tahu PT. Tunggal Berjaya? Nah itu perusahaanya.” Hakim menjelaskan dengan cepat.“Ooh yang sekarang sedang menggarap perumahan subsidi dengan target seribu rumah tahun ini ya, Pak Fajar?” Kiran tersenyum.“Betul.” Fajar mengangguk cepat. “Mbak Kiran ini …?” Fajar menggantung ucapan yang bernada tanya.“Dulu saya bekerja di bidang perbankan, Pak. Sampai saat ini masih sering mengikuti perkembangan progres developer yang cukup qualified untuk diprospect menjadi nasabah. Naluri.” Kiran terkekeh yang disambut anggukan paham dari Fajar.“Bu Ratna? Boleh pinjam toilet? Ini Raya katanya kebelet.”“Oh boleh, mari saya antar Bu Rika.” Ratna sigap melangkah lebih dulu.Kiran menyipitkan mata saat melihat anak Fajar yang di dorong kursi roda. Sejak tadi, wanita itu memang lebih banyak diam dan sesekali ikut tertawa.“Itu anak saya, anak tunggal, namanya Raya. Dia diberi keistimewaan sejak lahir. Allah sengaja menitipkan kaki yang tidak berfungsi padanya agar bisa sabar dan banyak belajar dalam menjalani kehidupan.”Kiran menarik napas panjang. Hari itu, untuk pertama kalinya dia bertemu Raya. Gadis itu pendiam dan sepertinya sedikit kaku dengan orang baru. Wajahnya biasa-biasa saja. Jika dibandingkan Kiran, jelas orang akan bersepakat Raya tak ada apa-apanya.Namun, siapa sangka justru gadis biasa saja itu mampu membuat karam bahtera rumah tangganya dengan Haidar? Ah … lebih tepatnya bukan Raya yang membuat bahtera mereka karam, tapi Kiran sendirilah yang memilih melompat dan berenang menuju dermaga yang tak lagi sama dengan tujuan semula.Langkah kaki melambat saat memasuki area pekuburan. Jalanan yang becek dan sedikit berair membuat pelayat memelankan langkah karena khawatir tergelincir.Kiran membeku saat keranda diturunkan. Di sana, lubang menganga telah siap menanti tubuh yang asalnya dari tanah kini akan kembali ke dalam perut bumi.“Raya ….” Kiran berbisik lirih. Bahkan sampai detik mantan madunya itu akan dikuburkan, Kiran masih belum percaya sepenuhnya kalau wanita itu telah tiada untuk selamanya.“Masya Allah, merdu sekali suara adzan Mas Haidar.”Kiran menarik napas panjang saat mendengar beberapa pelayat memuji mantan suaminya. Dia mengakui Haidar memang memiliki suara yang bagus. Setiap kali mereka sedang shalat berjamaah di rumah, Kiran selalu terharu dan meneteskan air mata mendengar kalimah Allah dilantunkan. Ah … itu pula yang dulu menjadi alasan bapaknya menerima lamaran Haidar. Mereka baru dekat tiga bulan dan Haidar langsung mengajaknya ke pelaminan. Haidar sempat panas dingin saat bertemu untuk pertama kalinya dengan kedua orangtua Kiran dengan maksud langsung mengajukan pinangan.“Adzan isya’ baru selesai berkumandang, alangkah baiknya sebelum meneruskan pembicaraan ini kita menunaikan kewajiban terlebih dahulu.” Kiran ingat sekali, Haidar yang sudah panas dingin dengan cepat mengangguk saat itu.“Mari silakan, Nak Haidar.” Kiran tersenyum tipis mengingat wajah Haidar yang tidak mengerti saat bapaknya mempersilakan menjadi imam shalat mereka.“Saya, Pak?”“Iya, Ba
"Aku senang kamu sering kemari, Ran. Sejak kecil, aku jarang mempunyai teman dekat. Dulu ada satu orang, tapi dia pindah ke luar kota dan kami kehilangan kontak.”Kiran menautkan alis. Dia menghentikan kegiatan merajut dan menatap Raya yang masih asyuk terus menyulam. “Kamu memang jarang keluar rumah ya, Ray?”“Iya.” Raya mengangguk. “Aku takut kenapa-kenapa dan akan merepotkan banyak orang.”Kiran tersenyum tipis. Ini pertama kalinya Raya berbicara panjang lebar sejak perkenalan mereka. Biasanya, Raya hanya akan tertawa dan sesekali menanggapi jika Kiran bercerita. Pembawaannya yang riang dapat menghidupkan suasana di antara mereka.“Mbak Kiran? Pulang sekarang?”Kiran tersentak saat ada yang mencolek bahunya. Wanita itu tersenyum saat mengetahui Desi yang tadi memanggil. Dia mengangguk dan menoleh pada Ratna, mantan ibu mertuanya. Wanita itu tak melepaskan tangannya sedikitpun sejak berangkat tadi hingga sampai proses pemakaman selesai.“Bu, Kiran pamit.”“Pamit? Bisakah Kiran menem
“Nak ….” Ratna mengambil tangan Kiran yang terkepal di dada. “Maafkan kami, maafkan Ibu dan Ayah ….”Kiran membisu. Dia mengalihkan pandangan ke arah gundukan tanah merah yang dibawahnya terkubur jasad Raya. Sahabat yang sangat dia sayangi seperti keluarga sendiri, sekaligus madu pahit yang hadir begitu saja, menyirami manisnya mahligai rumah tangganya dengan Haidar.Bunga tabur memenuhi pusara Raya. Aroma mawar, sedap malam dan kenanga bercampur menjadi satu hingga menimbulkan wangi manis yang sangat khas. Kiran mengalihkan pandangan, di sana, di antara gerimis yang masih belum berhenti, berdiri terpaku sosok lelaki yang namanya masih terpatri di hati. Haidar menatapnya dengan pandangan yang sulit dia artikan.Ah … mengapa hidup sesakit ini? Kenapa semesta seolah masih saja ingin terus bermain-main dengan mereka?“Kiran duluan ya, Bu.” Wanita itu memalingkan wajah. Kiran sengaja memutus tatapan mata dengan Haidar. Napasnya tersengal, dia merasakan degup tak menentu di dalam sana saat
Kiran terisak. Hatinya ngilu mengingat setiap kepingan kenangan di antara mereka. Mengapa hanya kepedihan yang tersisa di sepanjang ingatannya? Bahkan, cuaca hari ini seolah menemani Kiran menapaktilasi kembali semua mendung yang masih juga enggan beranjak pergi hingga hari ini.Tiga tahun berlalu. Ratusan minggu terlewati. ribuan hari sudah Kiran lalui. Namun, mengapa nyeri itu masih menancap kuat di hati?"Kami dapat memahami kalau Nak Kiran berat hati merestui. Tapi, izinkan Om bicara sebentar, setelah itu kami akan menerima apapun keputusan yang Nak Kiran sampaikan." Seperti ada yang meremas hati Kiran saat kelebatan masa lalu kembali menghampiri.Malam itu, orangtua Raya dan mertuanya datang berkunjung setelah penolakan keras dari Haidar beberapa waktu lalu. Kiran tersenyum menanggapi ucapan Fajar. Pandai sekali mereka mencari waktu. Mereka datang tepat di saat Haidar sedang ke luar kota karena tugas dinas.“Kami mengenal Haidar sejak masih kecil. Dia anak lelaki yang baik. Bukan
"Kiran." Haidar terpana saat wanita yang pernah menjadi istrinya menoleh. Wajah putih bersih itu bersemu merah. Jejak-jejak sisa air mata terlihat jelas di sana.Haidar menarik napas panjang saat mata mereka bertemu. Hanya berjarak dua langkah, dia bisa melihat dengan jelas hati Kiran kembali berdarah dari pancaran matanya. Dia mengerti, semua yang ada di sini membangkitkan kenangan menyakitkan di dasar hati. Apa yang terjadi di antara mereka, tak selesai begitu saja. Walau ketuk palu hakim sudah memutuskan ikatan pernikahan, tapi tak ada yang bisa membendung perasaan.Dia mengetahui dengan jelas sebesar apa cinta Kiran untuknya. Pun wanita itu mengetahui dengan pasti sedalam apa perasaannya. Pertemuan demi pertemuan beberapa waktu terakhir membangkitkan kembali getaran-getaran yang tak pernah mati.Bagaimana akan mati jika setiap hari Haidar terus memupuk rasa hingga cinta itu justru tumbuh semakin subur? Dia bahkan sengaja mengajukan pinjaman ke tempat Kiran bekerja hanya untuk menc
Bahkan, hampir empat bulan ini perhatiannya tercurah sepenuhnya pada Raya yang harus berjuang karena proses kehamilannya sangat berat. Dengan langkah lebar, Haidar berjalan cepat menghampiri Kiran. Dia memegang kedua bahu istrinya yang sedang duduk di kasur. Dalam sekali sentakan, Kiran telah berada dalam pelukannya.“Maaf.” Haidar dapat merasakan badan Kiran mematung. Lidahnya terasa kelu. Banyak yang ingin dia katakan, tapi suaranya seakan tersumbat dan tertahan di tenggorokan.Hening mengungkung ruangan itu.Pengap.Udara mendadak terasa pengap.Sedetik berlalu, tangis Kiran akhirnya pecah. Haidar mengeratkan pelukan saat bahu istrinya bergetar hebat. Batin Haidar menjerit. Tanpa dia sadari, dia telah berlaku zalim selama ini.Lama mereka berpelukan. Tanpa berbicara, Haidar dan Kiran dapat merasakan hati mereka mulai baik-baik saja. Sebegitu kuatnya perasaan itu terhubung. Hati yang satu seakan saling terkait dengan hati yang lainnya. Saat yang satu terluka, yang lainnya menjadi ob
"Baik, saya rasa cukup dulu ya? Seperti biasa, pertengahan bulan nanti saya akan minta kembali laporan progres pipeline hari ini. Jadi, pastikan data nasabah yang kalian laporkan hari ini sudah cair dan menjadi angka untuk laporan kinerja ke pusat. Kalau gagal booking, segera cari gantinya."Kiran tersenyum melihat dua orang anak baru yang duduk gelisah di hadapannya. Mereka baru masuk tiga bulan ini. Terlihat sekali mereka tertekan dengan target yang diberikan.Kata siapa bekerja di Bank itu enak? Setiap pekerjaan pasti ada kesulitan dan kelelahan di dalamnya. Bekerja di bidang ini, Kiran sendiri menyadari selalu ada tekanan setiap kali mendekati akhir bulan jika angka pencapaian belum terpenuhi."Dirga, Lisa, kalian contoh Mbak Kiran. Dia dulu sempat keluar dari sini karena suatu alasan padahal karir sedang bagus-bagusnya." Rifki, Manager Marketing Bank mengangguk pada Kiran. "Tapi, begitu dia ingin kembali, perusahaan tidak ragu menerima. Karena apa? Ya, karena kinerjanya sudah ter
“Selamat siang, Mas Rifki. Maaf menunggu, tadi sedang ada langganan.”“Tidak masalah, Mas Pras. Kalau masih sibuk, kami bisa menunggu.” Rifki tertawa lebar sambil mengulurkan tangan.Di sini, Kiran terpaku. Prasetyo Damar Wiranata, lelaki yang dia kenal baik di masa lalu. Pras tak berubah, cara berpakaiannya terlihat santai untuk sekelas pemilik usaha yang biasa Kiran temui. Tubuh Pras yang tinggi dengan dada bidang terlihat memukau mengenakan kaos putih yang melekat erat di tubuhnya. Setelan jaket dan celana jeans biru melengkapi penampilannya.“Mbak Kiran, ini Mas Pras. Jangan kaget, penampilannya sedikit urakan karena belum ada yang mengurus.” Rifki terkekeh. “Mas Pras, ini Mbak Kiran. Dia yang nanti akan membantu proses take over pembiayaan.”“Kiran.” Pras berbisik lirih, tapi masih terdengar cukup jelas karena ruangan itu tidak terlalu luas. Rifki menautkan alis. Dia melihat Kiran dan Pras bergantian.Kiran menarik napas panjang. Kelebatan masa lalu melintas.“Ran, tolong, setida