Kiran melepas kacamata hitam yang dia gunakan. Titik-titik air hujan membuat buram penglihatannya. Gerimis terus membungkus bumi seakan enggan pergi. Andai ini hari-hari biasa, pastilah Kiran lebih memilih bergelung dengan selimut di atas kasur atau menepi sejenak dari kesibukan pekerjaan dengan menikmati semangkuk bakso hangat jualan Pakde Wiryo di samping kantor.
Sayangnya, ini bukan hari biasa.Di tengah rinai hujan, kalimah tahlil mengiringi langkah sepanjang jalan menuju tempat pemakaman. Kiran mengusap wajah. Dia merapikan jilbabnya yang sedikit basah. Wanita itu menggigil. Bukan hanya karena bajunya yang lembab terkena rintik, tapi juga karena kenyataan bahwa kini dia sedang mengantar sahabat sekaligus mantan madunya ke tempat peristirahatan menuju keabadian.“Astaghfirullahaladzim, hati-hati, jalannya licin.” Kiran menoleh ke belakang. Beberapa pelayat tampak sibuk membantu temannya yang terpeleset barusan.“Sudah pulang kerja, Nak?”Kiran menoleh ke samping. Dia tidak menyadari kalau sejak tadi Ratna menggandeng tangannya sepanjang perjalanan. Wanita itu sibuk bergelut dengan perasaan dan pikirannya sendiri sehingga tidak terlalu memperhatikan keadaan sekitar.“Belum, Bu.” Kiran menjawab pelan. “Tadi Kiran langsung berangkat kemari setelah membawa pesan dari Ibu.” Pekerjaannya sebagai Account Officer yang hampir tujuh puluh persen waktunya dihabiskan di luar membuat Kiran dengan mudah hadir disini. Beruntung dia membawa baju dan jilbab hitam sebagai cadangan.Mobilitasnya yang menggunakan kendaraan roda dua membuat Kiran tak jarang berkeringat dan menyisakan bau matahari. Kadang, dia juga kehujanan sehingga bajunya kebasahan. Oleh karena itulah dia selalu siap sedia membawa baju ganti agar selalu tampil modis dan wangi. Di pekerjaan yang dia geluti saat ini, tolak ukur yang pertama adalah penampilan.“Sebelum Raya tak sadarkan diri dalam perjalanan menuju rumah sakit tadi, dia mengatakan sangat ingin bertemu dengan Kiran. Jadi, maaf kalau ibu menghubungi dan ….”“Tidak apa-apa, Bu.” Kiran meremas tangan mantan ibu mertuanya. Dia tersenyum tipis untuk menenangkan. Kiran tahu sekali, andai Ratna terus melanjutkan ucapan pasti dia akan menangis lagi. Cukup. Kiran tak ingin kembali menjadi pusat perhatian.Kiran menegakkan pandangan. Di depan sana, Haidar menjadi ujung tombak yang mengangkat keranda istrinya. Bibir lelaki itu komat kamit mengucapkan kalimah tahlil. Sesekali Kiran dapat melihat Haidar mengusap wajah. Entah menghapus air mata atau menghela air hujan yang jatuh disana, Kiran tak tahu.Wanita itu memicingkan mata saat tak sengaja menatap jam tangan yang dikenakan mantan suaminya. Bukankah itu hadiah darinya empat tahun yang lalu?"Waaah, bagus sekali, Yang, mahal ini ya?" Kiran menahan napas sejenak. Bayangan hari itu mendadak mampir dan terpampang nyata di ingatannya. Dia bahkan seolah bisa melihat dengan jelas wajah lucu Haidar. Lelaki itu terlihat menggelikan di mata Kiran. Antara senang mendapat hadiah bagus dan khawatir dengan nominal yang akan dia sebut.“Buat Mas Haidar karena sudah bekerja keras selama ini. Mas jarang sekali membeli barang-barang sebagai reward untuk diri sendiri.” Kiran meletakkan sayur lodeh dan mendekat ke arah Haidar. Dia memeluk suaminya yang sedang duduk dari belakang. Jam tangan itu terlihat sangat serasi dengan kulit terang Haidar.“Bukan begitu, Yang, ada banyak hal yang harus kita prioritaskan. Cicilan rumah ini, program hamil di dokter, belum lagi ….”“Kalau Mas tidak suka, ya sudah sini kembalikan lagi.” Kiran duduk di samping Haidar sambil mengulurkan tangan. Dia tersenyum lebar saat melihat wajah suaminya sedikit berkerut melihatnya meminta kembali jam tangan itu. Dia tahu persis selera Haidar, dan jam tangan yang Kiran berikan tidak mungkin dia tolak.“Bukan begitu maksud Mas ….”“Kalau suka bilang terima kasih, Mas. Ini malah bahas harga dan merembet kemana-mana. Sampai cicilan rumah dibawa juga. Eeeh pas diminta berat hati mengembalikannya.” Kiran menahan senyum melihat Haidar salah tingkah.“Kamu menyindir Mas?”“Tidak, tapi kalau Mas merasa tersentil ya baguslah.”“Kiran ….”Dapur itu ramai oleh suara tawa. Kiran sengaja membelikan jam tangan untuk Haidar karena miliknya hilang. Entah ketinggalan saat sedang wudhu atau jatuh dimana, Haidar tidak ingat persis kapan hilangnya.“Ah iya, jam berapa mau berangkat nanti malam, Mas?” Kiran mendadak teringat dengan pesan dari Ibu mertuanya kemarin malam. Mereka diminta datang untuk makan malam bersama. Ada teman lama yang hendak berkunjung.“Nanti sepulang Mas dari kantor kita langsung berangkat. Biar shalat maghrib di sana saja. Takut macet di jalan kalau berangkat habis maghrib. Tidak enak sampai tamu Ayah dan Ibu menunggu.”Kiran mengangguk setuju. Haidar memang selalu pulang setiap jam makan siang. Lokasi kantor yang hanya memakan waktu sepuluh menit perjalanan menggunakan sepeda motor membuatnya leluasa setiap jam istirahat tiba.Sayang, harapan kadang tak seiring dengan rencana. Haidar mendapat cukup banyak pekerjaan yang harus diselesaikan hari itu juga. Posisi tutup bulan membuat pekerjaan tak bisa ditund
“Masya Allah, merdu sekali suara adzan Mas Haidar.”Kiran menarik napas panjang saat mendengar beberapa pelayat memuji mantan suaminya. Dia mengakui Haidar memang memiliki suara yang bagus. Setiap kali mereka sedang shalat berjamaah di rumah, Kiran selalu terharu dan meneteskan air mata mendengar kalimah Allah dilantunkan. Ah … itu pula yang dulu menjadi alasan bapaknya menerima lamaran Haidar. Mereka baru dekat tiga bulan dan Haidar langsung mengajaknya ke pelaminan. Haidar sempat panas dingin saat bertemu untuk pertama kalinya dengan kedua orangtua Kiran dengan maksud langsung mengajukan pinangan.“Adzan isya’ baru selesai berkumandang, alangkah baiknya sebelum meneruskan pembicaraan ini kita menunaikan kewajiban terlebih dahulu.” Kiran ingat sekali, Haidar yang sudah panas dingin dengan cepat mengangguk saat itu.“Mari silakan, Nak Haidar.” Kiran tersenyum tipis mengingat wajah Haidar yang tidak mengerti saat bapaknya mempersilakan menjadi imam shalat mereka.“Saya, Pak?”“Iya, Ba
"Aku senang kamu sering kemari, Ran. Sejak kecil, aku jarang mempunyai teman dekat. Dulu ada satu orang, tapi dia pindah ke luar kota dan kami kehilangan kontak.”Kiran menautkan alis. Dia menghentikan kegiatan merajut dan menatap Raya yang masih asyuk terus menyulam. “Kamu memang jarang keluar rumah ya, Ray?”“Iya.” Raya mengangguk. “Aku takut kenapa-kenapa dan akan merepotkan banyak orang.”Kiran tersenyum tipis. Ini pertama kalinya Raya berbicara panjang lebar sejak perkenalan mereka. Biasanya, Raya hanya akan tertawa dan sesekali menanggapi jika Kiran bercerita. Pembawaannya yang riang dapat menghidupkan suasana di antara mereka.“Mbak Kiran? Pulang sekarang?”Kiran tersentak saat ada yang mencolek bahunya. Wanita itu tersenyum saat mengetahui Desi yang tadi memanggil. Dia mengangguk dan menoleh pada Ratna, mantan ibu mertuanya. Wanita itu tak melepaskan tangannya sedikitpun sejak berangkat tadi hingga sampai proses pemakaman selesai.“Bu, Kiran pamit.”“Pamit? Bisakah Kiran menem
“Nak ….” Ratna mengambil tangan Kiran yang terkepal di dada. “Maafkan kami, maafkan Ibu dan Ayah ….”Kiran membisu. Dia mengalihkan pandangan ke arah gundukan tanah merah yang dibawahnya terkubur jasad Raya. Sahabat yang sangat dia sayangi seperti keluarga sendiri, sekaligus madu pahit yang hadir begitu saja, menyirami manisnya mahligai rumah tangganya dengan Haidar.Bunga tabur memenuhi pusara Raya. Aroma mawar, sedap malam dan kenanga bercampur menjadi satu hingga menimbulkan wangi manis yang sangat khas. Kiran mengalihkan pandangan, di sana, di antara gerimis yang masih belum berhenti, berdiri terpaku sosok lelaki yang namanya masih terpatri di hati. Haidar menatapnya dengan pandangan yang sulit dia artikan.Ah … mengapa hidup sesakit ini? Kenapa semesta seolah masih saja ingin terus bermain-main dengan mereka?“Kiran duluan ya, Bu.” Wanita itu memalingkan wajah. Kiran sengaja memutus tatapan mata dengan Haidar. Napasnya tersengal, dia merasakan degup tak menentu di dalam sana saat
Kiran terisak. Hatinya ngilu mengingat setiap kepingan kenangan di antara mereka. Mengapa hanya kepedihan yang tersisa di sepanjang ingatannya? Bahkan, cuaca hari ini seolah menemani Kiran menapaktilasi kembali semua mendung yang masih juga enggan beranjak pergi hingga hari ini.Tiga tahun berlalu. Ratusan minggu terlewati. ribuan hari sudah Kiran lalui. Namun, mengapa nyeri itu masih menancap kuat di hati?"Kami dapat memahami kalau Nak Kiran berat hati merestui. Tapi, izinkan Om bicara sebentar, setelah itu kami akan menerima apapun keputusan yang Nak Kiran sampaikan." Seperti ada yang meremas hati Kiran saat kelebatan masa lalu kembali menghampiri.Malam itu, orangtua Raya dan mertuanya datang berkunjung setelah penolakan keras dari Haidar beberapa waktu lalu. Kiran tersenyum menanggapi ucapan Fajar. Pandai sekali mereka mencari waktu. Mereka datang tepat di saat Haidar sedang ke luar kota karena tugas dinas.“Kami mengenal Haidar sejak masih kecil. Dia anak lelaki yang baik. Bukan
"Kiran." Haidar terpana saat wanita yang pernah menjadi istrinya menoleh. Wajah putih bersih itu bersemu merah. Jejak-jejak sisa air mata terlihat jelas di sana.Haidar menarik napas panjang saat mata mereka bertemu. Hanya berjarak dua langkah, dia bisa melihat dengan jelas hati Kiran kembali berdarah dari pancaran matanya. Dia mengerti, semua yang ada di sini membangkitkan kenangan menyakitkan di dasar hati. Apa yang terjadi di antara mereka, tak selesai begitu saja. Walau ketuk palu hakim sudah memutuskan ikatan pernikahan, tapi tak ada yang bisa membendung perasaan.Dia mengetahui dengan jelas sebesar apa cinta Kiran untuknya. Pun wanita itu mengetahui dengan pasti sedalam apa perasaannya. Pertemuan demi pertemuan beberapa waktu terakhir membangkitkan kembali getaran-getaran yang tak pernah mati.Bagaimana akan mati jika setiap hari Haidar terus memupuk rasa hingga cinta itu justru tumbuh semakin subur? Dia bahkan sengaja mengajukan pinjaman ke tempat Kiran bekerja hanya untuk menc
Bahkan, hampir empat bulan ini perhatiannya tercurah sepenuhnya pada Raya yang harus berjuang karena proses kehamilannya sangat berat. Dengan langkah lebar, Haidar berjalan cepat menghampiri Kiran. Dia memegang kedua bahu istrinya yang sedang duduk di kasur. Dalam sekali sentakan, Kiran telah berada dalam pelukannya.“Maaf.” Haidar dapat merasakan badan Kiran mematung. Lidahnya terasa kelu. Banyak yang ingin dia katakan, tapi suaranya seakan tersumbat dan tertahan di tenggorokan.Hening mengungkung ruangan itu.Pengap.Udara mendadak terasa pengap.Sedetik berlalu, tangis Kiran akhirnya pecah. Haidar mengeratkan pelukan saat bahu istrinya bergetar hebat. Batin Haidar menjerit. Tanpa dia sadari, dia telah berlaku zalim selama ini.Lama mereka berpelukan. Tanpa berbicara, Haidar dan Kiran dapat merasakan hati mereka mulai baik-baik saja. Sebegitu kuatnya perasaan itu terhubung. Hati yang satu seakan saling terkait dengan hati yang lainnya. Saat yang satu terluka, yang lainnya menjadi ob
"Baik, saya rasa cukup dulu ya? Seperti biasa, pertengahan bulan nanti saya akan minta kembali laporan progres pipeline hari ini. Jadi, pastikan data nasabah yang kalian laporkan hari ini sudah cair dan menjadi angka untuk laporan kinerja ke pusat. Kalau gagal booking, segera cari gantinya."Kiran tersenyum melihat dua orang anak baru yang duduk gelisah di hadapannya. Mereka baru masuk tiga bulan ini. Terlihat sekali mereka tertekan dengan target yang diberikan.Kata siapa bekerja di Bank itu enak? Setiap pekerjaan pasti ada kesulitan dan kelelahan di dalamnya. Bekerja di bidang ini, Kiran sendiri menyadari selalu ada tekanan setiap kali mendekati akhir bulan jika angka pencapaian belum terpenuhi."Dirga, Lisa, kalian contoh Mbak Kiran. Dia dulu sempat keluar dari sini karena suatu alasan padahal karir sedang bagus-bagusnya." Rifki, Manager Marketing Bank mengangguk pada Kiran. "Tapi, begitu dia ingin kembali, perusahaan tidak ragu menerima. Karena apa? Ya, karena kinerjanya sudah ter