“Nak ….” Ratna mengambil tangan Kiran yang terkepal di dada. “Maafkan kami, maafkan Ibu dan Ayah ….”Kiran membisu. Dia mengalihkan pandangan ke arah gundukan tanah merah yang dibawahnya terkubur jasad Raya. Sahabat yang sangat dia sayangi seperti keluarga sendiri, sekaligus madu pahit yang hadir begitu saja, menyirami manisnya mahligai rumah tangganya dengan Haidar.Bunga tabur memenuhi pusara Raya. Aroma mawar, sedap malam dan kenanga bercampur menjadi satu hingga menimbulkan wangi manis yang sangat khas. Kiran mengalihkan pandangan, di sana, di antara gerimis yang masih belum berhenti, berdiri terpaku sosok lelaki yang namanya masih terpatri di hati. Haidar menatapnya dengan pandangan yang sulit dia artikan.Ah … mengapa hidup sesakit ini? Kenapa semesta seolah masih saja ingin terus bermain-main dengan mereka?“Kiran duluan ya, Bu.” Wanita itu memalingkan wajah. Kiran sengaja memutus tatapan mata dengan Haidar. Napasnya tersengal, dia merasakan degup tak menentu di dalam sana saat
Kiran terisak. Hatinya ngilu mengingat setiap kepingan kenangan di antara mereka. Mengapa hanya kepedihan yang tersisa di sepanjang ingatannya? Bahkan, cuaca hari ini seolah menemani Kiran menapaktilasi kembali semua mendung yang masih juga enggan beranjak pergi hingga hari ini.Tiga tahun berlalu. Ratusan minggu terlewati. ribuan hari sudah Kiran lalui. Namun, mengapa nyeri itu masih menancap kuat di hati?"Kami dapat memahami kalau Nak Kiran berat hati merestui. Tapi, izinkan Om bicara sebentar, setelah itu kami akan menerima apapun keputusan yang Nak Kiran sampaikan." Seperti ada yang meremas hati Kiran saat kelebatan masa lalu kembali menghampiri.Malam itu, orangtua Raya dan mertuanya datang berkunjung setelah penolakan keras dari Haidar beberapa waktu lalu. Kiran tersenyum menanggapi ucapan Fajar. Pandai sekali mereka mencari waktu. Mereka datang tepat di saat Haidar sedang ke luar kota karena tugas dinas.“Kami mengenal Haidar sejak masih kecil. Dia anak lelaki yang baik. Bukan
"Kiran." Haidar terpana saat wanita yang pernah menjadi istrinya menoleh. Wajah putih bersih itu bersemu merah. Jejak-jejak sisa air mata terlihat jelas di sana.Haidar menarik napas panjang saat mata mereka bertemu. Hanya berjarak dua langkah, dia bisa melihat dengan jelas hati Kiran kembali berdarah dari pancaran matanya. Dia mengerti, semua yang ada di sini membangkitkan kenangan menyakitkan di dasar hati. Apa yang terjadi di antara mereka, tak selesai begitu saja. Walau ketuk palu hakim sudah memutuskan ikatan pernikahan, tapi tak ada yang bisa membendung perasaan.Dia mengetahui dengan jelas sebesar apa cinta Kiran untuknya. Pun wanita itu mengetahui dengan pasti sedalam apa perasaannya. Pertemuan demi pertemuan beberapa waktu terakhir membangkitkan kembali getaran-getaran yang tak pernah mati.Bagaimana akan mati jika setiap hari Haidar terus memupuk rasa hingga cinta itu justru tumbuh semakin subur? Dia bahkan sengaja mengajukan pinjaman ke tempat Kiran bekerja hanya untuk menc
Bahkan, hampir empat bulan ini perhatiannya tercurah sepenuhnya pada Raya yang harus berjuang karena proses kehamilannya sangat berat. Dengan langkah lebar, Haidar berjalan cepat menghampiri Kiran. Dia memegang kedua bahu istrinya yang sedang duduk di kasur. Dalam sekali sentakan, Kiran telah berada dalam pelukannya.“Maaf.” Haidar dapat merasakan badan Kiran mematung. Lidahnya terasa kelu. Banyak yang ingin dia katakan, tapi suaranya seakan tersumbat dan tertahan di tenggorokan.Hening mengungkung ruangan itu.Pengap.Udara mendadak terasa pengap.Sedetik berlalu, tangis Kiran akhirnya pecah. Haidar mengeratkan pelukan saat bahu istrinya bergetar hebat. Batin Haidar menjerit. Tanpa dia sadari, dia telah berlaku zalim selama ini.Lama mereka berpelukan. Tanpa berbicara, Haidar dan Kiran dapat merasakan hati mereka mulai baik-baik saja. Sebegitu kuatnya perasaan itu terhubung. Hati yang satu seakan saling terkait dengan hati yang lainnya. Saat yang satu terluka, yang lainnya menjadi ob
"Baik, saya rasa cukup dulu ya? Seperti biasa, pertengahan bulan nanti saya akan minta kembali laporan progres pipeline hari ini. Jadi, pastikan data nasabah yang kalian laporkan hari ini sudah cair dan menjadi angka untuk laporan kinerja ke pusat. Kalau gagal booking, segera cari gantinya."Kiran tersenyum melihat dua orang anak baru yang duduk gelisah di hadapannya. Mereka baru masuk tiga bulan ini. Terlihat sekali mereka tertekan dengan target yang diberikan.Kata siapa bekerja di Bank itu enak? Setiap pekerjaan pasti ada kesulitan dan kelelahan di dalamnya. Bekerja di bidang ini, Kiran sendiri menyadari selalu ada tekanan setiap kali mendekati akhir bulan jika angka pencapaian belum terpenuhi."Dirga, Lisa, kalian contoh Mbak Kiran. Dia dulu sempat keluar dari sini karena suatu alasan padahal karir sedang bagus-bagusnya." Rifki, Manager Marketing Bank mengangguk pada Kiran. "Tapi, begitu dia ingin kembali, perusahaan tidak ragu menerima. Karena apa? Ya, karena kinerjanya sudah ter
“Selamat siang, Mas Rifki. Maaf menunggu, tadi sedang ada langganan.”“Tidak masalah, Mas Pras. Kalau masih sibuk, kami bisa menunggu.” Rifki tertawa lebar sambil mengulurkan tangan.Di sini, Kiran terpaku. Prasetyo Damar Wiranata, lelaki yang dia kenal baik di masa lalu. Pras tak berubah, cara berpakaiannya terlihat santai untuk sekelas pemilik usaha yang biasa Kiran temui. Tubuh Pras yang tinggi dengan dada bidang terlihat memukau mengenakan kaos putih yang melekat erat di tubuhnya. Setelan jaket dan celana jeans biru melengkapi penampilannya.“Mbak Kiran, ini Mas Pras. Jangan kaget, penampilannya sedikit urakan karena belum ada yang mengurus.” Rifki terkekeh. “Mas Pras, ini Mbak Kiran. Dia yang nanti akan membantu proses take over pembiayaan.”“Kiran.” Pras berbisik lirih, tapi masih terdengar cukup jelas karena ruangan itu tidak terlalu luas. Rifki menautkan alis. Dia melihat Kiran dan Pras bergantian.Kiran menarik napas panjang. Kelebatan masa lalu melintas.“Ran, tolong, setida
"Waalaikumussalam, kalau mau silaturahmi silakan saja, Mas. Menyambung tali silaturahmi sangat dianjurkan dalam agama kita. Tapi, aku mohon jangan ada bahasan apapun tentang masa lalu. Kasihan Bapak dan Ibu. Bagiku, semua tentang kita sudah berlalu saat hakim mengetuk palu.”Kiran menarik napas panjang setelah mengirimkan balasan untuk Haidar. Dia melemparkan ponsel ke sembarang arah. Aroma melati dari diffuser membuatnya menjadi sedikit lebih relaks. Dia melirik jam dinding. Dalam temaram lampu tidur, Kiran masih dapat melihat waktu menunjukkan hampir tengah malam.Beginilah malam-malam yang dia lalui semenjak pembacaan ikrar talak dibacakan Haidar di depan pengadilan. Walau penat beraktivitas seharian, dia belum juga bisa memejamkan mata. Semua kelebatan masa lalu seakan memenuhi ruang ingatannya.Hari-hari bahagia penuh canda, saling menguatkan saat program hamil yang dijalani belum juga berhasil, hingga saat-saat kelam yang sangat ingin Kiran lupakan. Semua kenangan itu sempurna m
Kiran menepuk kening saat pesan kedua masuk dari Pras. Lelaki itu tidak berubah sedikitpun sejak terakhir kali mereka bertemu delapan tahun lalu. Kiran mendadak terkekeh geli mengingat masa-masa putih biru dan saat-saat putih abu-abu yang mereka lalui bersama.Sejak masuk SMA, Pras sudah mengakuinya sebagai pacar kepada siapapun. “Kamu itu cantik, Ran. kalau mengaku jomblo, pasti banyak Kakak kelas yang mendekati. Jadi, berterima kasihlah padaku. Aku menyelamatkanmu dari para buaya itu.” Kiran menggeleng mengingat ucapan Pras dulu.“Lagipula, aku kan juga ganteng. Serasi kita. Kalau aku mengatakan kita pacaran, yang lain akan percaya saja. Toh kita terlihat cocok ….”“Kata siapa?” Kiran memonyongkan bibir. Dia bergegas mengambil es teh manis karena kepedasan. Biasanya, Kiran hanya menambahkan dua sendok sambal ke baksonya, tapi tadi dia tidak sengaja menumpahkan sambal itu sehingga jadilah kepedasan.“Ya kata aku lah, Ran.” Pras menepuk kening sambil menatap Ranti yang sibuk dengan ba